Perencanaan adalah awalan yang menentukan. Perencanaan juga bisa mengindikasikan langkah yang diayunkan terkonsep dengan baik. Rencana adalah ‘makhluk’ yang masih berada dalam dunia khayal, bayangan yang terkontrol oleh alam pikir. Ia masih hal ghaib yang sulit terdeteksi oleh dunia riil, masih terkesan liar dan meletup-letup. Sebagian keberadaannya masih berada di luar kawasan otak. Perencanaan akan semakin fokus menjadi ‘makhluk utuh’ ketika tergiring pada sebuah ketetapan hati, yakni; niat. Dengan diikat oleh hati, maka keliaran-nya menjadi lunak dan cenderung taat. Hati menjadi komandan ‘makhluk’ yang bernama rencana. Sehingga memiliki spirit tuk segera bermetamorfosa menjadi nyata. Semua karya manusia awalnya dari sebuah perencanaan yang liar, sampai terikat oleh kekuatan niat tuk merubahnya. Sehingga dalam Islam, ALLAH menilai dan memberikan apresiasi (pahala) ketika sebuah kebaikan masih berada dalam dunia khayal (perencanaan). Jika rencana kebaikan –meski- tanpa aksi saja ALLAH memberikan apresiasi, lalu bagaimana jika semua itu berwujud menjadi aksi (?)

Bila setiap helaan nafas nyaris kosong oleh satu rencana pun, maka dapat dipastikan kita berada dalam langkah kerugian yang nyata. Karenanya, tidak salah jika hati ini di sesakkan oleh rencana kebaikan itu, siapa tahu jika telah penuh akan meluber menjadi aksi. Kekuatan Islam dalam melaksanakan hidup terdapat pada niat, dan niat –seperti telah dijelaskan di atas- adalah corong yang mengingat semua rencana yang ada. Aksi tergantung oleh niat, begitu sabda Rasul dalam menyoal amalan (aksi) dalam setiap langkah.

Rencana yang baik memang harus jelas, matang, mantap, tertata, dan terperinci setiap langkahnya, sehingga memudahkan untuk proses selanjutnya. Namun jika hidup hanya penuh rencana dan rencana terus menerus hingga meluber sekalipun tanpa aksi, tindakan dan gerak nyata, maka rencana itu hanya akan berakhir di tempat sampah, terbuang percuma.

Pada umumnya, gagasan dan pikiran-pikiran yang mendukung ke arah tujuan kita, berdampingan dengan tantangan dan masalah yang pasti muncul di lapangan, namun berbarengan dengan itu pula segala jalan keluar akan menghampiri dengan bergerak secara ajaib.

Setiap mengawali perencanaan-perencanaan –tentunya- selalu berhadapan dengan kondisi yang sesuai dengan keinginan kita atau tidak sama sekali. Perubahan alamiah yang terjadi dari fase ‘liar’ menuju sebuah konsep, dilanjutkan aksi maka akan ada semacam ‘transisi’ dari sikap yang berubah. Seperti halnya, tidak ada di dunia ini yang menginginkan perubahan tanpa melalui trubulensi (perguncangan) yang terjadi. Baik dirasakan dalam jiwa ataupun tapak yang melangkah. Permasalahan lama tidaknya, besar kecilnya ‘guncangan’ itu selalu tergantung pada pola pikir kita sendiri.

Semua manusia tentunya ingin selalu menjadi yang spesial di mata siapapun. Anak dimata orangtua, istri di mata suami, murid di mata guru, dan seterusnya. Terlebih jika spesial itu di hadapan ALLAH SWT, Rabb dan Dzat yang memberikan segalanya kepada makhluk. Tentunya akan sangat berharga, karena setiap perlakuan spesial akan dirasa kenikmatan yang tiada tara. Diberikan layanan yang prima, layanan kasih serta sayang dari apa yang kita inginkan. Semua yang spesial berawal dari pemberian layanan yang spesial juga. ALLAH akan sesuatu yang spesial, ketika kita memberikan persembahan (layanan) total kepada-NYA. Pun demikian dalam dunia bisnis, pelayanan berhubungan dengan kualitas produk yang berupa barang ataupun jasa. Jika untuk meningkatkan kualitas produk, maka kini telah dikembangkan konsep Total Quality Management. Adapun untuk meningkatkan kualitas pelayanan (service) telah dikembangkan konsep Total Quality Service. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan perlu diidentifikasikan ‘Siapa pelanggan kita (?)’, ‘Apa kebutuhan pelanggan kita (?)’ dan apa ‘produk’ yang kita tawarkan (?). Pelayanan prima merupakan terjemahan dari istilah ‘Excellent Services’ yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik, atau pelayanan yang terbaik. Itulah result yang akan diraih dari identifikasi-identifikasi diatas tersebut.

Pelayanan prima bermula dari hal detail yang tak luput dari perhatian. Selain ‘hardware’, ‘software’, -tentunya- brainware juga harus diperhatikan. Yah, jika dalam ilmu komputer ada perangkat lunak dan keras, maka brainware adalah orang yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan komputer tersebut. Tanpa adanya brainware, mustahil hardware dan software yang canggih sekalipun dapat dimanfaatkan secara maksimal. Demikian pula dalam dunia pelayanan jasa, jika semua alat dan product sudah tersedia, tetapi orang yang mengendalikannya luput dari upgrade (pembenahan) diri, maka goal yang dituju akan lepas atau jauh api dari panggang.

Dalam pelayanan prima terdapat dua elemen yang saling berkaitan, yakni pelayanan dan kualitas. Kedua elemen itu sangat penting untuk dimiliki oleh setiap kita yang menjadi ‘brainware’ dalam sebuah perusahaan jasa. Dengan kata lain, pelayanan yang memenuhi standar kualitas adalah suatu pelayanan yang sesuai dengan harapan dan kepuasan costumer.

Untuk memenuhi semua itu, Cordova mencoba terus berbenah dalam segala hal. Road to Excellent, pengertiannya adalah proses menuju kesempurnaan, yah karena kita meyakini bahwa setiap apa yang kita berikan dengan total, tidak akan pernah ada kata sempurna, karena kesempurnaan hanya milik-NYA. Terus melangkah dalam kenyamanan pelayanan terbaik. Merangkai tangga kesempurnaan dengan segala kerendahan hati.

(to be continued)

Manusia adalah makhluk paling istimewa yang diciptakan ALLAH SWT. Betapa hebatnya keistimewaan itu, hingga para Malaikat dan iblis diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam AS. Sebagai manusia pertama ciptaan ALLAH SWT. Tingkat keimanan paling tinggi yang dimiliki Malaikat dapat diraih oleh manusia, bahkan tingkat pembangkangan iblis sekali pun dapat dijumpai pada diri manusia. Manusia bukanlah Malaikat dengan keimanan yang konstan dan juga bukan iblis yang selalu membangkang selamanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki manusia, rasa syukur –tentunya- wajib untuk selalu dipanjatkan. Selain tercipta dalam sebaik-baiknya bentuk, sempurna tak tertandingi dengan ciptaan makhluk lainnya di muka bumi. Sebagai khalifah dan makhluk ‘pilihan’.

Manusia juga memiliki suatu ‘ruang’ yang akan dibangga-banggakan ALLAH dihadapan semua makhluk langit. Di dengar dan di perhatikan setiap tetesan tangis dan butiran pasir yang melekat dalam langkah suci. Menjadi manusia yang ‘sempurna’ adalah saat ALLAH benar-benar bangga dihadapan hambanya. Amazing!

Namun perlu disadari, sebagian orang –bahkan- yang sudah mampu secara materi, tetapi masih berdalih ‘belum terpanggil’, sehingga belum juga melaksanakan Umrah maupun Haji ke tanah suci. Padahal –sesungguhnya- yang ikut andil dalam ‘menentukan’ terpanggil atau tidaknya oleh ALLAH SWT ke tanah suci-NYA adalah manusia itu sendiri.

Ibaratnya, untuk dapat berkunjung ke Istana Negara dan bertemu dengan Presiden saja, tentu hanya orang-orang tertentu, atau pilihan, atau yang mempunyai prestasi tertentu saja, yang mana akan mendapatkan undangan khusus bisa masuk ke Istana dan berjumpa langsung dengan Presiden.

Terlebih untuk dapat berkunjung ke Baitullah, tentunya kita juga harus ‘berprestasi’, dan menjadi pribadi-pribadi muslim pilihan dalam pandangan ALLAH. Sudah banyak mungkin cerita yang kita dengar dari orang-orang biasa tetapi ‘luar biasa’, yang pada akhirnya di ‘mampukan’ oleh ALLAH SWT dari jalan yang tak disangka-sangka, hingga dapat berkunjung ke tanah suci-Nya.

The priority adalah gelar yang disematkan ILAHI RABBI, menjadi tamu khusus dari Dzat Maha Segalanya. Menjadi sosok yang teramat dibanggakan, menjadi manusia yang terbebas dari segala kelusuhan dosa, kesemrawutan jiwa, dan keangkuhan raga. Karena the priority adalah celah meraih pintu mabrur!

Well, kepalan tangan kembali melingkar, lengan baju tersingsing dan langkah kembali terhentak. Bergerak menyusuri setiap alunan jiwa yang terlontar. Kembali jiwanya hinggap pada setiap sudut raga yang memancar. Jiwa dan rasa itu kembali lagi, yah sekian lama hening melanda, tiada gairah dan darah. Kini kembali merajut setiap asa yang terhempas. Bergerak bersama mengusung spirit yang melanda, ia telah kembali. Kembali mencengkram kepalan yang hampir putus. Bak seruling bambu, apa yang terlontar kembali menjadi ‘sound of heaven’. Kenapa harus heaven (?) yah, karena ungkapan yang terlontar dari founding father kami itu adalah sebuah komando ‘perang’ menggulung mental-mental tempe. Mental yang kerap menahan kami dari angin surga dunia, kesuksesan dalam setiap langkah. Mengayun setiap nafas yang berdetak, menjadi sebuah energi yang teramat besar dalam menciptakan sejarah.

Setiap kita adalah penjual. Menjual sesuatu yang menopang aktivitas bisnis kita. Lebih ekstrim –saya- menyebutkan bahwa saya ‘menjual diri’ untuk hal yang memberikan positif value. Kesadaran diri bahwa setiap gerak dan hal yang menyangkut diri saya, adalah sebuah peluang market tuk meraih cita yang terhimpun bersama. Ada semacam korelasi dengan sebuah perjalanan hidup yang senantiasa disaksikan Sang Kholik ALLAH SWT, setiap gerak menjadi bukti yang kan berbuah kelak. Pun demikian, dengan apa yang kini kami lakoni dalam lingkup dunia kerja, bahwa, selain kualitas pelayanan, performa dan adab dalam melayani tamu ALLAH adalah value yang tak terbantahkan.

Suatu barang yang –awalnya- berharga mahal, akan sangat bernilai rendah ketika si penjual tak mampu membingkainya dengan sangat indah. Atau membiarkannya menjadi sangat tak berharga, terlebih ketika punggawa product itu seolah tak mengerti akan nilai product yang dijualnya, yang mahal tak selamanya bernilai. Ada hal yang menyurutkan nilai kemahalannya. So’ jadilah penjual yang smart! Begitulah sound of heaven yang kami dengarkan hari itu. Ada semacam intonasi yang menguatkan tutur dari ritme yang bergelora.

Suaranya begitu mempengaruhi, tatapannya begitu tajam, sehingga langkah terkendali tuk menggapai semua asa yang tercita. Pengaruh bisa kita temukan dimana saja. Film, musik, selebritis, ulama, cendikiawan, orator, politikus, bahkan seorang koruptor saja bisa dengan sangat mempengaruhi seseorang. Ia masuk dan menyerap pada darah dan sukma. Menyelinap pada aktivitas otak untuk beraksi sesuai arahannya. Pengaruh bisa diciptakan dari nilai kecintaan pada objek yang dihadapinya. Semakin kita mencintai sesuatu yang positif maka pengaruh dari yang ia hadapinya akan begitu besar masuk dalam dirinya. Begitu sebaliknya. Betapa dahsyatnya dunia ini, ketika masing-masing manusia bisa memberikan positive influence kepada manusia lainnya, tentu pengaruh kepositifan yang dapat dirasakan manfaatnya secara universal.

Totalitas, integritas dan dedikasinya terhadap jemaah, tidak akan mungkin terlampaui oleh kami, terlebih dengan sound of heaven-nya.

Rasanya untuk saat ini, saya harus keluar terlebih dulu dari lingkaran fikih mengenai hukum merayakan Maulid Nabi. Satu hal yang –mungkin- selalu menjadi diskusi alot antara yang boleh dan tidak. Saya hanya ingin membangunkan rasa cinta pada idol sesungguhnya, kekasih –yang seharusnya- menjadi paling sejati diantara cinta dan kasih terhadap manusia lainnya. Rasulullah SAW, Muhammad bin Abdullah. Yah, keagungan cintanya kepada kita, tidak akan pernah tersaingi oleh makhluk yang pernah ada dalam jagad ini. Sejujurnya, jika bukan karena tanggal merah, atau tulisan-tulisan besar pada baliho di jalanan mengenai Maulid Nabi, Saya –mungkin- akan semakin melupakan-mu duhai Rasul. Mungkin juga, ungkapan shalawat yang setiap hari terlontar hanya sebuah kelayakan dzikir usai ibadah shalat, tanpa mendalami betapa hidupmu penuh dengan rasa cinta kepada kami. Maafkan kami yang meninggalkanmu dalam buku-buku sejarah yang entah sudah chapter keberapa, karena luput dari ingatan. Serta merasa cukup dengan memajang namamu pada hiasan dinding rumah dan masjid yang begitu indah. Maafkan kami ya Rasulallah yang ternyata masih saja ingat kepadamu karena sebuah momentum, karena sebuah baliho dan tanggal merah, masih teramat jauh dengan cinta kasihmu yang teramat besar.

Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa risalah, jangankan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Tak akan pernah ada seorang muslim –sejati- luntur dari rasa cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. Meski tak pernah jumpa dan menatapnya, hati kan selalu merindu.

Dalam sebuah syair Arab disebutkan; Bagaimana mungkin dapat diimbangi seorang insan terbaik yang hadir di muka Bumi. Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai ketinggian derajatnya. Semua orang yang mulia tunduk dihadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah disisi-nya. Abdullah bin Mas’ud (sahabat Rasul), mengungkapkan; Sampai sekarang masih terlintas dalam ingatanku saat Rasulullah SAW mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah-darah. Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdo’a “Ya ALLAH, ampunilah kaumku, karena mereka kaum yang jahil.

Shalawat dan salam bagimu duhai Rasulullah, kekasih ALLAH yang sangat kami rindu. Izinkan kami tuk selalu berada di samping pusaran Rasul-MU, sebelum jiwa meregang kehadirat-MU Yaa Rabb. Mudahkan dan berikan limpahan rezeki umat Islam yang tak kuasa membendung luapan rindu dalam diri. Kami mohon jangan ENGKAU matikan hati dan jasad terlebih dulu sebelum berada di tanah suci-MU dan dekat dengan kekasih-MU

Atas nama seni, teman saya membiarkan rambutnya gondrong dan berantakan (baca; acak-acakan), atas nama seni juga teman saya menggambar tubuhnya dengan tato, semua perihal kebebasan selalu di sandarkan dengan aktivitas seni. Seni tak terbatas oleh norma, komentarnya. Namun, tahukah dia bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir kita (?) watak dan aktivitas hidupnya kan terpengaruhi oleh kekuatan seni yang mengalir dalam darahnya. Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, ALLAH menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah.

Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya ALLAH Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah. Bukan malah karena mengaku, atau mengatasnamakan seni, ia malah bebas membiarkan rambut atau anggota tubuhnya berantakan.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis.

Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)

Banjir surut, Semangat pantang Surut!

Jantung negeri kembali berduka, sudah hampir sepekan ibukota tergenang. Tiada yang bisa menghalau kala alam menyapa. lirih atas segala yang menimpa. Berlutut sadar akan kuasa Dzat Maha Segala. Mari kita hentikan –sementara- polemik musibah banjir ini sebagai ujian atau Adzab ALLAH SWT. Karena ‘cibiran’ yang menunjukkan kata ‘adzab’ atas banjir yang melanda, adalah sesuatu yang menyakitkan rasa bagi mereka yang menjadi korban. Tidak juga membahas tentang kesalahan siapa bencana ini, rakyat atau pemerintah, bangunan perkotaan atau bangunan di bantaran kali, warga puncak atau ibukota, penduduk yang di hulu atau yang berada di hilir. Semuanya akan menjadi absurd ketika musibah melanda. Tanpa juga berlepas tangan bahwa –mungkin- ada celah andil peran kita dalam musibah ini. Alam tak pernah salah, yang kemungkinan besar salah adalah kita, yah kita semua tanpa pandang bulu. Berintropeksi tanpa menyalahkan orang adalah cerminan kedewasaan dalam menghadapi musibah.

Hal yang teramat penting dilakukan saat ini adalah bagaimana menghadapi segala hal pasca banjir, kebersihan, wabah penyakit dan juga persiapan untuk menghadapi gejala alam yang kemungkinan terjadi kembali. Karena menurut prediksi BMKG, cuaca ekstrem akan terus berlanjut hingga akhir bulan ini. Musibah ini juga merajutkan kembali rasa kebersamaan. Saling mengasihi antara mereka yang menjadi korban dengan masyarakat yang berempati. Tak luput saudara-saudara kita yang berada di luar Ibukota yang turut terlanda musibah, semoga semua dapat kembali berjalan normal. Bangkit dan kembali berjalan menghadapi kehidupan. Jika banjir kan surut, tetapi semangat dan khusnudzon pada Sang Pencipta tiada kata surut.

Karena sesungguhnya, musibah yang menimpa menunjukan kepada manusia akan kekuasan ALLAH dan lemahnya hamba. Musibah menjadikan seseorang kembali kepada ALLAH dan bersimpuh dihadapan-NYA. Musibah juga menjadikan seorang memiliki sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasih pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah serta membantu meringankan bebannya. Melalui musibah pula kita kerap merasakan kenikmatan atas rezeki yang ALLAH berikan selama ini.

So’ jangan pernah berburuk sangka kepada ALLAH akan musibah yang terjadi, mungkin alam menyapa kita untuk segera berbenah atas apa yang telah kita lakukan kepada alam dan keimanan kita. Foto: VIVAnews

Well, tujuh tahun sudah Cordova berada dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Dari segi umur, memang masih tampak ‘hijau’, namun spirit membangun peradaban Andalusia-nya tak pernah hanyut dalam setiap langkah. Tak banyak mengira kalau Cordova tampil bukan hanya di dunia traveling suci haji dan umrah, karena memang sejak awal bangunannya di-setting bukan hanya sebagai jembatan menuju Baitullah, tetapi lebih integral merangkai cita mulia peradaban Islam di Cordoba, Andalusia. Kemajuan sains dan budayanya telah banyak menelurkan inspirasi untuk merubah dan mengembalikan paradigma Islam sebagai agama kuat yang elegan dengan balutan seni Islam yang menawan dan berkarakter. Menyerap kelebihan budaya lain, lalu memodifikasi dan membuat inovasi dengan beragam ide adalah ciri sains yang juga menjadi salahsatu ciri agama Islam. Karena sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa Islam bukanlah agama baru, dan Al-Quran bukanlah satu-satunya kitab, tetapi kitab terakhir yang menyempurnakan semua kitab yang telah ada. Ciri khas Islam adalah menjadi penghubung ke masa lalu dan masa depan.

Begitulah Cordova ini dibangun dengan penuh konsep yang menyelaraskan zaman ‘klasik’ dengan kondisi yang akan terus berlaju. Menjaga tradisi tanpa menanggalkan impian masadepan yang terus mengalami perubahan. Karenanya –saya- sering melihat banyak orang yang terheran-heran melihat headquarter Cordova atau setiap both-both yang terpasang baik di ajang expo maupun event-event Cordova. Entahlah, apakah keheranan itu sebagai rasa takjub akan keindahan seni Islam. Atau heran karena sulit mendeteksi profit apa yang didapatkan Cordova dalam merancang semua ini. Merancang sebuah Civilization (Peradaban) yang –mungkin- banyak pihak yang meragukan atau pesimis akan terwujud. Tetapi dengan spirit kuat, komitmen dan kerja smart, minimal akan tumbuh generasi Cordoba melalui celah komunitas smartHAJJ dan smartUMRAH-nya.

Saya dan juga team, sangat menyadari ke arah mana Cordova ini di bentuk. Terpaan mental dan pembelajaran hidup menjadi yang utama dalam membangun misi besar ini. Karenanya serpihan dinding penyangga bangunan ini, terdiri dari kombinasi rasa, jiwa dan raga. Semua terbalut oleh semangat keindahan peradaban Cordova yang menjanjikan kesejahteraan lahir dan batin. Seperti semangat Ibnu Battuta dari Marokko. Seorang petualang terhebat sepanjang sejarah. Perjalanan dan petualangannya naik haji kerap menjadi syiar besar bagi perkembangan Islam di Muka Bumi.

Hanya soal waktu, begitu para ulama menjelaskan tentang kembalinya peradaban Islam ke tangan muslim. Sejarah kan selalu terulang, karena hidup selalu mengalami siklus perputaran. Cordova akan menjadi barometer betapa Islam adalah agama yang tak bisa dilepaskan dengan keindahan apapun. Bismillah…semua tergantung pada niat.

“Cinta itu laksana pohon dalam jiwa, akarnya adalah ketundukan, dan buahnya adalah ketaatan, tanpa pohon Bumi kian gersang” –Cordova Founding Father

Banyak syair yang menceritakan tentang kekuatan cinta. Tentang sesuatu yang dapat merubah segala hal mustahil menjadi nyata. Tentang rasa yang mendorong raga tuk melakukan segala asa, dan masih banyak hal yang terungkap dari cerita cinta. Namun sering juga cinta menjadi absurd, dari dan untuk siapa rasa cinta tertinggi itu diberikan. “Jangan terlampau besar mencinta, karena dapat terjatuh pada jurang kebencian”, adigium yang sering terdengar dari pujangga cinta itu –tentunya- hanyalah sepenggal cinta sesama makhluk. Namun berbeda ketika rasa cinta itu tertuangkan kepada Dzat Maha Pen-Cinta. Bahkan seorang sufi selalu memposisikan dirinya sebagai ‘Pengemis’ cinta Ilahi, bahwa cinta tertinggi itu hanyalah untuk ALLAH SWT.

Jika dicermati dengan nurani, maka puncak perjalanan hidup manusia –sesungguhnya- adalah mahabbah atau cinta, dan yang berhak untuk menerima cinta tertinggi kita hanyalah ALLAH SWT. DIA lah satu-satunya Mustahiq cinta. DIA hanya berlaku diskriminatif dalam urusan agama dan cinta saja. IA hanya mencintai orang yang mencintai-NYA. Dan IA memberikan kepada siapa saja kasih sayang-NYA, tetapi tidak dengan cinta (hubb)-NYA. Semakin kita mendekat, maka IA akan semakin merapat kepada kita, pun demikian semakin jauh kita pada-NYA, maka kenestapaan yang teramat dahsyat bagi manusia. Sebab DIA tidak akan pernah mendekat kepada kita.

Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi’ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: “Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu, tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada ALLAH SWT”. Tentang cinta itu sendiri, Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada ALLAH adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah terhitung dalam mencintai ALLAH SWT. Seorang mukmin pecinta ALLAH pastilah mencintai apa-apa yang di cintai-NYA pula. Rasulullah pernah berdoa: “Ya ALLAH karuniakan kepadaku kecintaan kepada-MU, kecintaan kepada orang yang mencintai-MU dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-MU.

Jiwa para pencinta, tak kan pernah mengemis cinta kepada selain kekasihnya. Ia terus memberikan cinta kepada Mustahiq cinta hakiki, tak peduli harus berkorban hidup yang berupa materi. Karena dengan mencintai-NYA, ia kan terjamin oleh kekasihnya yang MAHA segalanya.

Rasanya jika kita tanya ke separuh muslim Indonesia secara random tentang nama-nama bulan hijriyyah, atau menanyakan tanggal berapa hari ini dalam kalender Hijriyyah, pastinya masih banyak yang kurang paham. Kalau pun tahu, -mungkin- akan berpikir sejenak sebelum menjawabnya. Mengapa demikian (?) karena memang kalender Hijriyyah masih terasa asing dalam penentuan tanggal di negeri ini. Selain itu, gebyar dari peralihan tahun Masehi begitu membahana di langit bumi. Kemeriahannya menyulut semua generasi dari generasi mengenang setiap peralihan tahun Masehi. Sebelum mengupas tentang dominasi Masehi atas Hijriyyah, baiknya kita bahas dulu tentang tahun Hijriyyah dan Masehi. Penanggalan Bulan Hijriyyah adalah mengikuti perputaran bulan, bukannya matahari seperti penanggalan Masehi. Oleh karena itu, jumlah harinya pun berbeda. Hijriyyah memiliki 11 hari lebih pendek dari Masehi, karena dalam perhitungan matahari dalam satu tahun terdapat 365 hari, sedangkan pergerakkan bulan hanya terdapat 354 hari.

Ada dua sisi jika kita perhatikan mengenai dua tahun ini, pertama ditelaah secara history, kedua dengan pendekatan adat dan tradisi. Baiklah pertama kita kupas sedikit tentang Masehi. Tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (Sebelum Masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Adapun Bulan Hijriyyah, seperti namanya, ia ditetapkan setelah Rasulullah SAW Hijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan sekedar secara fisik tapi juga hijrah secara drastis dari sisi mental. Seperti yang diungkapkan oleh sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab tentang hijrahnya Nabi Muhammad Saw, bahwa “Hijrah itu membedakan antara yang hak dan bathil”.

Secara tradisi, peringatan Tahun Baru Masehi merupakan budaya asli Eropa yang di impor ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sebelum masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengenal kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Budaya peringatan Tahun Baru Masehi tak lepas dari peringatan kelahiran Isa Al Masih as. dalam kepercayaan orang Kristen. Nama Masehi diambil dari kata Al Masih -gelar untuk Nabi Isa AS-. yang dianggap Tuhan oleh Umat Kristen. Secara bahasa, kata Masehi juga sering digunakan untuk menyebut nama lain dari agama Kristen. Tahun Masehi dalam bahasa Latin disebut Anno Domini (Tahun Tuhan), disingkat AD.

Kendati demikian, apapun alasan yang terlontar dengan pendekatan histori atau pun tradisi, kita masih harus mengakui, bahwa tahun Masehi masih sangat melekat dikalangan masyarakat kita. Entahlah, apakah itu konspirasi Yahudi agar umat Islam terhindar dari pengetahuan tentang penanggalan Islam, yang nota bene sebagai acuan dari penjadwalan ibadah, atau memang karena kitanya sendiri (muslim) yang tidak ingin di ribet kan dengan dua penanggalan Hijriyyah maupun Masehi. Syiar tentang pentingnya penanggalan Hijriyyah, masih kalah dengan geliat mereka yang ‘memiliki’ tahun Masehi. So, kita masih sadar, bahwa Masehi (masih) Juara.