Bagaimana Malaikat Izrail Mencabut Nyawa

Cara malaikat Izrail mencabut nyawa tergantung dari amal perbuatan orang yang bersangkutan, bila orang yang akan meninggal dunia itu durhaka kepada ALLAH SWT, maka malaikat Izrail mencabut nyawanya dengan kasar. Sebaliknya, bila terhadap orang sholih, cara mencabutnya dengan lemah lembut dan hati-hati. Namun demikian peristiwa terpisahnya nyawa dengan raga tetap teramat menyakitkan. Rasulullah SAW bersabda: ‘Sekiranya sakaratul maut itu, kira-kira tiga ratus kali sakitnya dipukul pedang”. (HR.Ibnu Abu Dunya). Di dalam kisah Nabi Idris AS., beliau adalah seorang ahli ibadah, dan selalu berdzikir di dalam kesibukannya sehari-hari. Catatan Sholih Nabi Idris AS sangat menarik perhatian malaikat maut (Izrail). Maka bermohonlah Ia kepada ALLAH SWT, agar di perkenankan mengunjungi Nabi Idris AS di dunia. ALLAH SWT mengabulkan permohonan malaikat Izrail, maka turunlah ia ke dunia dengan menjelma sebagai seorang lelaki tampan, dan bertamu kerumah Nabi Idris AS.

Assalamu’alaikum, ya Nabi ALLAH”. Salam malaikat Izrail. “Wa’alaikum salam wa rahmatullah” jawab Nabi Idris AS. Beliau sama sekali tidak mengetahui, bahwa lelaki yang bertamu kerumah-nya itu adalah malaikat Izrail. Seperti tamu yang lain, Nabi Idris AS melayani malaikat Izrail, dan ketika tiba saat berbuka puasa, Nabi Idris AS mengajaknya buka bersama, namun ditolaknya oleh malaikat Izrail. Selesai berbuka puasa, seperti biasanya ia mengkhususkan waktunya “menghadap” ALLAH SWT sampai keesokan harinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian Malaikat Izrail.

Pagi harinya nabi Idris AS mengajak jalan-jalan “tamunya” itu ke sebuah perkebunan dimana pohon-pohonnya sedang berbuah. “Izinkan saya untuk memetik buah-buahan ini untuk kita” pinta malaikat Izrail (menguji Nabi Idris AS). “Subhanallah“, kata Nabi Idris AS. “kenapa (?)” Malaikat Izrail berpura-pura terkejut. “Buah-buahan ini bukan milik kita” ungkap Nabi Idris AS. kemudian beliau berkata: “Semalam anda menolak makanan yang halal, kini anda menginginkan makanan yang haram”.

Malaikat Izrail tidak menjawab. Beliau penasaran dengan tamunya itu, karena selama berjalan dengannya, banyak hal yang membuat heran Nabi Idris atas tamunya. Kemudian beliau bertanya: “Siapakah engkau sebenarnya (?)”. ‘Aku malaikat Izrail’ jawab tamunya. Spontan, nabi Idris terkejut, hampir tidak percaya, seketika tubuhnya bergetar tak berdaya. “Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku (?)” tanya Nabi Idris AS dengan serius. “Tidak” Senyum malaikat Izrail penuh hormat. “Atas izin ALLAH, aku sekedar berziarah kepadamu” jawab malaikat Izrail.

Nabi Idris AS manggut-manggut, beberapa lama kemudian beliau hanya terdiam. “Aku punya keinginan kepadamu” tutur Nabi Idris AS. “Apa itu (?) Katakanlah!” jawab malaikat Izrail. “Aku mohon engkau bersedia mencabut nyawaku sekarang, lalu mintalah kepada ALLAH SWT untuk menghidupkan ku kembali, agar bertambah rasa takut ku kepada-Nya dan meningkatkan amal ibadahku.” pinta Nabi Idris AS.

“Tanpa seizin ALLAH SWT, aku tak dapat melakukannya.” tolak malaikat Izrail. Pada saat itu pula ALLAH SWT memerintahkan malaikat Izrail agar mengabulkan permintaan Nabi Idris AS. Dengan izin ALLAH malaikat Izrail segera mencabut nyawa beliau, sesudah itu beliau wafat. Malaikat Izrail pun menangis, ia memohon kepada ALLAH SWT agar menghidupkan Nabi Idris kembali. ALLAH SWT mengabulkan permohonannya. Setelah dikabulkan nabi Idris pun hidup kembali.

“Bagaimanakah rasa mati itu, sahabatku (?)” Tanya malaikat Izrail. “Seribu kali lebih sakit dari binatang hidup yang dikuliti” jawab Nabi Idris AS. “Caraku yang lemah lembut itu, baru kulakukan terhadapmu”. kata malaikat Izrail.

MASYA ALLAH, lemah lembutnya malaikat maut (Izrail) itu terhadap Nabi Idris AS….
Bagaimanakah jika sakaratul maut itu, datang kepada kita (?) Siapkah kita untuk menghadapinya (?)

“Orang cerdas adalah orang yang mengingat kematian. karena dengan
kecerdasannya dia akan mempersiapkan segala perbekalan untuk menghadapinya”

Photo by : www.IslamicThinkers.com

Kita sering mendengar ungkapan ‘Jangan Saling Mendahului…”, baik dalam lingkup normatif birokrasi, atau dalam peraturan lalulintas, bahkan sering juga kita lihat tulisan besar-besar dibelakang bus antar kota misalnya. Atau dibelakang truk-truk besar, selain tulisan-tulisan unik, lucu dan menggelitik seperti; ‘Sesama kendaraan umum jangan saling mendahului’, ‘Pergi karena tugas, pulang karena beras’, atau ‘The me anak is 3 (demi anak istri –maksudnya-)’ dan lain-lain. Pesan-pesan lugas yang terpampang didepan mata kita itu, terkadang membuat kita tersenyum lucu. Message-nya sampai, namun hanya selintas dalam benak kita. Selanjutnya akan hilang dan lenyap dalam fokus pikiran kita. Tetapi, message yang dimaksud tema diatas akan selalu ada dalam ‘naskah suci’, kendati nyaris hampa dalam aplikasi. Yah ‘Harap Saling Mendahului’ atau antonim dari tulisan-tulisan besar di belakang truk ‘Jangan saling mendahului’ adalah sebuah pesan dari agama untuk saling mendahului dalam kebajikan. Jika ‘berlomba dalam kebaikan’ adalah sebuah bentuk motivasi untuk melakukan kebaikan, maka ‘mendahului kebaikan’ yang akan dikerjakan adalah sebuah gerbang menuju jalur kebaikan yang lebih besar.

Untuk meringankan bahasan diatas, mari kita ber-anologi. Misalnya, ketika kaki mulai melangkah untuk mengais rezeki, maka sebelum kita mendapatkan rezeki dari hasil pekerjaan tersebut, kita terlebih dulu mendahulukan amalan yang akan memberkahi rezeki kita nanti. Amalan itu adalah sedekah. Sedekah adalah suatu ‘gerbang’ menuju samudra rezeki yang penuh berkah. Kongkritnya, sebelum menerima, kita memberi terlebih dulu. Niscaya, selain mendapatkan rezeki yang lebih dahsyat, apa yang akan kita kerjakan pun terasa mudah dan ringan.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Ra. Berkata: Seseorang datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah yang bagaimanakah yang paling besar pahalanya” (?) Beliau bersabda; “Engkau bersedekah dalam keadaan sehat, dan sangat membutuhkannya, dan berangan-angan menjadi kaya. Janganlah menunda-nunda sedekah. Sehingga jika ajal telah sampai ke kerongkongan engkau berkata, ‘untuk si fulan sekian, untuk si fulan sekian’.padahal hakikatnya memang harta itu untuk si fulan.”

Filosopi ‘memberi’ makhluk (manusia) dan Kholik (ALLAH) sangat berbeda. Ketika kita sering meminta kepada manusia, satu-dua kali akan biasa, namun jika terlalu sering maka ia akan sangat membencinya. Berbeda dengan ALLAH SWT, semakin sering dipinta, DIA akan semakin mendekap, tetapi semakin jarang meminta dan memohon, maka DIA akan semakin menjauhinya. ‘Gerbang’ menuju permohonan dan permintaan kita kepada ALLAH itulah yang diidentikan dengan sedekah.

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada ALLAH, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan ALLAH), maka ALLAH akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipatan ganda yang banyak. Dan ALLAH-lah Yang menyempitkan serta melapangkan (rezeki). Dan kepada-NYA lah kamu dikembalikan” (QS: Al-Baqarah :245).

So’ dahului-lah pekerjaan kita dengan sedekah!

Berkah Pemimpin Adil

Suatu masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, salah seorang Kisra (Raja) Persia yang adil bijaksana sedang berburu di hutan belantara. Karena asyiknya mengejar buruan, sang Raja terpisah dari pasukannya, padahal saat itu hujan mulai turun. Ia melihat sebuah gubug sederhana dan minta ijin berteduh, yang segera saja diijinkan. Penghuni gubug itu, seorang wanita tua dan anak gadisnya tidak mengenal sang raja, karena saat itu tidak memakai pakaian kebesarannya. Di salah satu sudut gubug itu ada seekor lembu, sang gadis memerah susunya dan memperoleh hasil yang melimpah (banyak sekali), untuk menjamu tamunya tersebut. Sang Raja minum dan ia langsung merasakan kesegarannya. Melihat keadaan itu, terbersit dalam hati sang Raja untuk menerapkan aturan pemungutan cukai (pajak) bagi pemilik lembu. Hal itu akan menjadi sumber pemasukan yang sangat lumayan bagi kerajaan.

Ketika malam menjelang, sang gadis akan memerah susu lembu seperti biasanya, tetapi ia tidak mendapatkan setetes pun, maka ia berseru, “Wahai ibu, sepertinya raja di Istana mempunyai niat jahat terhadap rakyatnya!” Ibunya berkata, “Mengapa engkau berkata seperti itu (?)”. Sang gadis berkata, “Karena lembu ini tidak mengeluarkan susunya walau hanya setetes!” Sang ibu berkata, “Sabarlah, ini masih malam, nanti menjelang subuh, cobalah lagi untuk memerahnya”

Sang raja yang tengah beristirahat di atas tumpukan jerami itu dengan jelas mendengar pembicaraan ibu dan anak tersebut. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Begitu besarkah pengaruhnya dari apa yang aku putuskan dari niatan ini (?)” Ia berkutat dengan pikirannya sendiri, dan akhirnya membatalkan niatnya untuk menarik pajak (cukai) bagi pemilik lembu, yang kehidupan mereka umumnya sangat sederhana. Menjelang subuh, sang gadis mencoba memerah susu lembunya, dan ia memperoleh hasil yang melimpah seperti sebelumnya. Maka ia berseru, “Wahai ibu, rupanya niat jahat sang raja telah hilang, lembu ini telah mengeluarkan susunya lagi!”

Sang ibu mengucap syukur, begitu juga dengan tamu (raja) yang ikut mendengarnya. Ketika hari telah terang, tamu yang juga -sebenarnya- raja, berpamitan dan mengucap terima kasih, tetapi tetap tidak membuka jati dirinya. Tidak lama berselang, datang serombongan pasukan yang membawa ibu dan anak penghuni gubug sederhana itu ke istana raja. Mereka diperlakukan dengan hormat dan penuh penghargaan.

Ketika mereka dihadapkan kepada sang Raja, barulah mereka menyadari kalau tamunya semalam adalah penguasa yang sempat dibicarakan (di ghibah). Mereka berdua meminta maaf, tetapi raja yang bijaksana itu berkata, “Tidak mengapa, tetapi bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu (?)”

Sang ibu berkata, “Kami telah tinggal puluhan tahun lamanya di tengah hutan itu. Jika raja yang memerintah berlaku adil dan baik, maka bumi kami ini subur, kehidupan kami luas dan lapang, serta ternak kami banyak menghasilkan. Tetapi jika raja yang memerintah berlaku kejam dan buruk, maka bumi kami ini kering, tanah dan ternak-ternak kami tidak menghasilkan apa-apa, sehingga kehidupan kami menjadi sempit!!”

(Dari berbagai sumber)

Jika saja sore itu tidak masuk kerja, maka kami akan kehilangan ‘jabaran’ penting tentang konsep Amar Ma’ruf, Nahi Munkar (Memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar) dari tokoh ‘central’ dan ‘otak’-nya Cordova. Unik dan asyik –tentunya- bekerja sambil belajar, ilmu yang ditelurkannya selalu menciptakan rasa tuk selalu berkembang dan berpikir. Yah, karena hidup tidak hanya tuk bekerja, namun lebih dari itu, hidup untuk berkarya. Apa yang diutarakannya tentang penghancuran secara sistemik, kami pahami dengan penghancuran konsep Nahi Munkar (Mencegah yang munkar) secara sistemik. Jika secara global, systemic damage ini kerap dilakukan oleh komunitas ‘pintar’ tuk menghancurkan sebuah gerakan, moralitas, bahkan tauhid sekalipun. Namun tidak salah jika dipahami tentang penghancuran secara sistematis di sebuah komunitas, company, tempat usaha kita bekerja misalnya.

Timbul lah sebuah pertanyaan, adakah seorang yang ‘hidup’ dan bekerja dalam perusahaan itu menghancurkannya (?) Melenyapkan sebuah tempat mengais rezekinya sendiri (?) Jawabannya Ada!, dan sangat mudah tanpa harus terpikir serta mengeluarkan energi banyak. Semua yang ada pada komunitas itu berpotensi melakukan penghancuran-nya secara sistemik tanpa terkecuali. Berbahayanya lagi penghancuran itu menjalar dengan cepat dan tak berasa, yah tak terasa seperti menghancurkan sebuah bangunan yang telah terbangun kokoh. Systemic Damage itu adalah Melakukan Pembiaran. Yah membiarkan suatu hal negatif yang dilakoni rekan satu tim-nya. Cuex dengan segala kesalahan yang tampak depan mata, -bisa jadi- hati memang berontak, namun tak tersalur melalui tindakan dan pelarangan (nahi munkar).

Boleh jadi, maraknya rasa cuex masyarakat kita dewasa ini karena sedang atau telah berada di sebuah tempat nyaman, atau yang sering disebut zona aman. Sehingga terlahir sebuah sikap individualistik akut, jika dalam kondisi sulit –rasanya- kepekaan hati akan sangat tergugah manakala melihat sesuatu yang salah dihadapan kita. Saya, Anda dan juga kita berpotensi untuk menghancurkan segala impian yang terbangun oleh kita sendiri, karena sikap pembiaran itu. Yah, membiarkan virus terus menjalar pada sendi-sendi kehidupan. Sikap dan mentalitas pembiaran pada hal yang salah adalah cerminan dari suatu kaum apatis, kaum yang kerap memusuhi sebuah perubahan akan kedinamisan hidup.

Dalam Islam, konsep Nahi Munkar (Melarang kemungkaran / membiarkan kesalahan) memiliki peran yang teramat besar dalam perkembangan Islam. Pun dalam dunia dakwah, karena memerintah lebih mudah dari melarang. Membiarkan sebuah kesalahan terjadi adalah bentuk pekerjaan yang abstrak, sehingga kehancuran tatanan bangunan-nya pun dengan sangat mudah ter-luluh-lantakkan. Karena hancurnya pun tak kan pernah terasakan. Secara tiba-tiba tatanan itu hancur, karena virusnya telah menjadi sebuah sikap dan mentalitas yang kebal dan meramu pada otak-otak yang apatis.

Sore itu, kita menerima sebuah ‘injection’ penawar tuk melawan sikap apatis kami terhadap apa yang terjadi. Mencoba untuk selalu peka pada hal sedetail mungkin bagi kejayaan Islam secara global.

Ketika ALLAH Mengingatkan

Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerja yang ada di bawahnya. Pekerja itu berteriak, namun temannya tidak dapat mendengar, karena suara bising dari mesin-mesin yang berbunyi. Sehingga usahanya sia-sia saja. Untuk menarik perhatian orang yang ada di bawahnya, ia mencoba melemparkan uang logam di depan orang tersebut. Orang itu berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang kedua pun memperoleh hasil yang sama. Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil, lalu melemparkannya ke arah orang itu. Batu kecil itu tepat mengenai kepalanya, dan karena merasa sakit, orang itu menengadah ke atas. Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yang berisi pesan pentingnya.

ALLAH terkadang menggunakan cobaan-cobaan ringan untuk membuat kita menengadah kepada-NYA. Seringkali ALLAH melimpahi kita dengan rahmat, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepada-NYA. Karena itu, agar selalu mengingat kepada-Nya, ALLAH sering menjatuhkan “batu kecil” kepada kita. Seandainya orang yang dilempari uang logam itu “menyadari” bahwa uang tersebut ‘jatuh dari atas’, tentunya dia akan menengadah ke atas sehingga pekerja tadi dapat menjatuhkan catatan pesan pentingnya dan ‘tidak perlu’ menjatuhkan ‘batu kecil’ tersebut.

Demikian dengan kita, seandainya setiap rahmat yang diberikan ALLAH kepada kita, cukup mampu membuat kita menengadah kepada-NYA. Tentunya ALLAH tidak perlu menjatuhkan ‘batu-batu kecil’ kepada kita. Tubuh kita, kesehatan kita, pengetahuan dan ilmu yang ada di pikiran dan hati kita, harta kita, dan semua yang kita anggap milik kita sesungguhnya adalah milik ALLAH, titipan dan amanah dari-NYA.

Semua adalah rahmat yang diberikan ALLAH kepada kita. Seyogyanya kita (kami dan Anda) cukup mampu untuk ‘menengadah kepada-NYA’. Senantiasa bersyukur dan selalu ingat kepada “catatan penting” dari ALLAH SWT.

(Dari berbagai sumber)

Jika Anda mengikuti setiap artikel dalam website ini, -tentunya- Anda ingin melihat, bertemu dan bersanding dengan hidden person Cordova yang selalu kami tempatkan sebagai sosok misterius. Kembali (setelah sekian lama), tidak mengangkat ide-ide segarnya, kini kita bersama menyimak kemana dan bagaimana pikirnya bergerak. Jangan pernah bertanya, siapa dan darimana ia berasal, tapi apa dan bagaimana dampak pikir yang ia sembahkan untuk Islam akan memberikan lipatan motivasi setiap bertemu dengannya. Aura positif yang dipancarkan melalui ide-ide segarnya, membuat Anda merasa berada di arena pertempuran dengan semangat menjulang tinggi. Inovasinya yang tiada henti membuat pergerakan hidup semakin berwarna. Kali ini, kita akan me-record paparan idenya tentang apa yang akan menghiasi website ini. Salah-satunya adalah analisisnya tentang wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW.

Iqra” adalah kata perintah yang diterima oleh Nabi Muhammad saat menerima wahyu pertama. Iqra, atau “Bacalah” sepertinya hanya sebuah kata biasa. Tidak ada yang istimewa, seperti halnya ketika kita diperintah ibu guru untuk membaca. Namun ternyata jika kita masuk lebih dalam, tersimpan sebuah perintah yang begitu penting dan luarbiasa terhadap eksistensi dan perkembangan peradaban umat manusia. Tentu ALLAH SWT telah memperhitungkan saat perintah membaca pada Rasul yang jelas-jelas tidak bisa membaca. Namun ketika Jibril “Mentransfer” perintah itu, tidak lantas berwujud menyerupai bentuk tulisan untuk dibacanya. Tetapi hakikat perintah itu masuk melalui telinga dan menuju sel-sel otak untuk diteruskan ke relung hati sehingga berbuah pada sikap dan tindakan.

Iqra, (bacalah)”, kata Jibril. Dengan hati bergetar dan pikiran yang saat itu tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, Nabi lantas menjawab, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)” Seketika itu pula beliau merasakan ada rasa dingin yang begitu tajam menusuk dan menjalar di sekujur tubuhnya. “Iqra (bacalah)”, Jibril kembali mengulangi kata-katanya. Nabi pun kembali menjawab dengan lirih, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)”. Lantas Jibril memeluknya, kemudian melepaskannya seraya mengatakan kalimat yang sama, “Iqra (bacalah)”! Dan lagi-lagi Nabi hanya bisa menjawab, “Ma anaa bi qari (aku tidak bisa membaca)”.

Sungguh ini merupakan sebuah perintah yang membingungkan dan justru ditujukan kepada seseorang yang tidak pernah membaca suatu tulisan apapun sebelumnya, seseorang yang bahkan tidak tahu apa itu menulis dan apa itu membaca. Lalu apa sebenarnya tujuan perintah “Iqra” tersebut (?). kata IQRA secara harfiah berasal dari kata ‘qara a’ yang memiliki arti “Menghimpun”. Seseorang dikatakan menghimpun, apabila ia mampu merangkai huruf demi huruf, kata demi kata serta kalimat demi kalimat dan kemudian mengucapnya.

Membaca tidak musti dengan mata, karena tanpa mata pun kita harus mampu membaca. Dan membaca adalah sebuah komponen yang meliputi beragam unsur. Antara mata, telinga, mulut, otak dan hati harus menjadi satu kesatuan yang menghasilkan output dari membaca, yakni tindakan. Karena tanpa tindakan hakikat membaca hanya akan membusuk dalam diri manusia. Oleh karenanya ALLAH memberikan wahyu pertama itu dengan bentuk “fi’il amr” (kata perintah) agar kita membaca, dan me-wejentahkannya untuk diikuti pula oleh umat manusia. Sehingga konsep inti Islam pun, yakni berbagi, menjadi klimaks dari indahnya wahyu ALLAH tersebut.

Akhirnya kita bisa mengambil arti yang luas dari “Iqra” tersebut, diantaranya; Membaca, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, dsb. Tetapi setelah itu proses selanjutnya harus melahirkan sebuah bentuk amaliyah atau tindakan. So, membaca bukan sekedar menggoyang lidah untuk melantunkan huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat. Namun lebih luas yakni untuk membaca ayat-ayat ALLAH yang tercipta dan terdapat di alam semesta dan membaca ayat-ayat ALLAH yang terdapat pada diri manusia. Sebagaimana firman ALLAH : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap wilayah Bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar” (QS. Fushilat: 53).

Pada intinya, kita harus mampu “membaca” sesuatu melalui otak dan hati, kata hidden person diatas. Sehingga kita mampu “membaca” dengan melihat, mendengar dan meraba. Karena memang “Membaca” adalah satu komponen yang meliputi beragam unsur yang dianugrahi ALLAH SWT pada manusia. Bahkan dengan “membaca”, Rasul mampu membaca dan menerawang sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang. Nantikan artikel-artikel menarik lainnya hanya di website ini.

Things to Do on Friday

Hari Jum’at adalah hari raya umat Islam. Atau dikenal dengan Sayyidul Ayyam (raja-nya hari), karena didalamnya memiliki faedah dan kebaikan yang berlimpah. Seperti hadist dari Aus bin ‘Aus, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Di hari itu, Adam diciptakan, di hari Adam meninggal, di hari itu, tiupan Sangkakala pertama dilaksanakan, dan pada hari itu pula, tiupan kedua dilakukan (HR. Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad, Shahih). Setelah kita tahu bagaimana mulianya hari Jum’at, maka –tentunya- hari itu dipenuhi juga oleh ‘rambu’ yang seharusnya diperhatikan oleh umat Rasulullah SAW. Diantara amalan dan larangan (rambu) itu adalah; pertama: Terlarang mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat dan siang harinya dengan berpuasa.

Sebagaimana Hadist Rasul dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat tertentu dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa kecuali jika bertepatan dengan puasa yang mesti dikerjakan ketika itu.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi Rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini menunjukkan dalil yang tegas dari pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah dan yang sependapat dengan mereka mengenai dimakruhkannya mengerjakan puasa secara bersendirian pada hari Jum’at. Hal ini dikecualikan jika puasa tersebut adalah puasa yang bertepatan dengan kebiasaannya, atau ia berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya, atau bertepatan dengan puasa nadzarnya seperti ia bernadzar meminta kesembuhan dari penyakitnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8/19).

Kedua, ketika shalat Shubuh di hari Jum’at dianjurkan membaca Surat As Sajdah dan Surat Al Insan. Hadist dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at “Alam Tanzil …” (surat As Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkura” (surat Al Insan) pada raka’at kedua.” (HR. Muslim).

Ketiga, Memperbanyak shalawat kepada Nabi di hari Jum’at. Hadist dari Abu Umamah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, hasan lighoirihi).

Keempat, Dianjurkan membaca Surat Al Kahfi di malam atau siang hari Jum’at. Hadist dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan disinari oleh cahaya di antara dua jum’at” (HR. Hakim, shahih).

Dalam lafazh lainnya disebutkan, “Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat cahaya antara dirinya dan rumah yang mulia (Ka’bah).” (HR. Ad Darimi, shahih mauquf)

Kelima, Memperbanyak do’a di hari Jum’at. Hadist dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan tentang hari Jum’at, lantas beliau bersabda, “Di hari Jum’at terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu do’a pada ALLAH bertepatan dengan waktu tersebut melainkan ALLAH akan memberi apa yang ia minta.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada hadits yang menyebutkan tentang kapan waktu mustajab di hari Jum’at yang dimaksud. Hadits tersebut adalah dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Waktu siang di hari Jum’at ada 12 (jam). Jika seorang Muslim memohon pada Allah ‘Azza wa Jalla sesuatu (di suatu waktu di hari Jum’at) pasti ALLAH ‘Azza wa Jalla akan mengabulkannya. Carilah waktu tersebut yaitu di waktu-waktu akhir setelah ‘Ashar.” (HR. Abu Daud).

Keenam, Mandi Jum’at
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa (yang menggauli istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian dia pun mandi, lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi no. 496, An Nasai 3/95-96, Ibnu Majah no. 1078, dan Ahmad 4/9)

Mandi Jum’at ini menurut jumhur (mayoritas) ulama, hukumnya adalah sunnah (bukan wajib). Di antara alasannya adalah dalil, “Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhal.” (HR. An Nasai, At Tirmidzi dan Ibnu Majah, shahih).

Al Bahuti Al Hambali mengatakan, “Awal mandi Jum’at adalah ketika terbit fajar dan tidak boleh sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Inilah yang lebih mendekati maksud.” Imam Nawawi menyebutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar (Shubuh), mandi Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama.”

Di antara keutamaan mandi jum’at disebutkan dalam hadits, “Barang siapa berwudhu’ kemudian menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi shalat Jum’at, lalu dia mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk menyimak khutbah), maka akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu sampai Jum’at (berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu.”
(HR. Muslim)

(Sumber: fimadani.com)

Pernahkah terpikir oleh kita bahwa sesuatu yang telah terjadi di masa lampau, sesungguhnya adalah potret perjalanan yang akan kita telusuri guna menghadapi masa depan yang masih abstrak. Kata orang, histori atau sejarah selalu diibaratkan dengan sebuah tongkat petunjuk arah perjalanan. Dalam Islam sering kita dengar ungkapan ‘Sunnatu At-Tadawul’ atau siklus perputaran. Setiap makhluk hidup akan berada pada track ‘Lahir, hidup, mati’, begitu seterusnya. Namun, Dzat Maha Pengasih tidak membiarkan kita hidup tanpa skenario. Oleh karenanya, Dia menciptakan kehidupan masa lalu (sejarah) sebagai bahan perenungan dan pijakan untuk membenahi segala proses menghadapi masa depan. Terkadang, bercermin pada sejarah memang sulit, dan terkesan meniupkan aroma romantisme belaka. Terlebih ketika suatu peristiwa terdahulu harus diwejentahkan pada tataran realitas kekinian. Namun, ketika sejarah itu kembali (dan pasti terulang) suatu saat –tentunya- dengan konsep dan wajah yang lain, kita telah memiliki tali kokoh guna menghindari kesalahan yang serupa. Pepatah mengatakan “Hanya Khimar (keledai) yang akan jatuh pada lubang yang sama”.

Subhanallah, benar tampaknya ALLAH SWT menciptakan masa lalu untuk masa depan. Dengan detail ALLAH menggambarkan bagaimana drama perjalanan makhluknya dimasa lampau. Masa ketika dosa pertama terjadi adalah rasa sombong yang diperankan oleh Iblis. Ketika ALLAH memberikan perintah sujud kepada Adam as, iblis malah mengutarakan keberatan yang terbalut oleh kesombongannya. “Bagaimana aku harus bersujud pada Adam yang diciptakan dari tanah, sedang aku dari api” (QS. Shad: 75-83). Dari kisah masa lalu ini, ALLAH mengajarkan manusia bahwa sifat sombong akan menjerumuskan kehidupannya.

Kedua, sejarah juga mengajarkan sesuatu yang sangat berharga. Yakni kesalahan pertama manusia, yang hal ini ditokohkan oleh nenek moyang umat manusia, Nabi Adam as. Sejarah mencatat, bahwa kepatuhan pada pimpinan, ketua, lebih tinggi lagi pada ALLAH SWT. Adalah hal mutlak yang harus menjadi perhatian manusia. Karena kesalahan pertama Nabi Adam adalah mengikuti hawa nafsu (iblis) dengan menyampingkan perintah ALLAH.

Subhanallah…Benar-benar DIA menciptakan masa lalu untuk pegangan manusia menghadapi kehidupan, kini dan seterusnya.

Whatever yang telah kita kerjakan di masa lalu, seharusnya menjadi sebuah pijakan hari ini, karena langkah kita hari ini adalah potret miniatur masa depan. Tak ada masa depan yang gelap, ketika sinar menembus hari ini, menyinari sepanjang perjalanan melalui kerja keras dan untaian doa.Tak ada masa depan yang hancur, ketika hari ini tersusun rapi bak jalan mulus yang menghantar destinasi. Terimakasih Tuhan yang telah menciptakan masa lalu sebagai pijakan kami hari ini.

Rasanya kita tahu (sedikit ataupun banyak) tentang sejarah perjalanan dan keyakinan para Nabi, juga –tentunya- tentang bagaimana sikap mereka mengenai masadepan yang akan dijalaninya. Namun mereka juga kerap tidak mengetahui tujuan akhirnya, ketika sebuah perintah dititahkan. Seperti Nabi Nuh belum tahu banjir akan datang ketika ia membuat kapal dan ditertawai kaumnya. Nabi Ibrahim belum tahu akan tersedia Domba ketika pisau nyaris memenggal buah hatinya. Nabi Musa belum tahu laut akan terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya ke air laut. Nabi Muhammad SAW pun belum tahu jika Madinah adalah kota tersebarnya ajaran yang dibawanya saat beliau diperintahkan berhijrah. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus patuh pada perintah Allah SWT dan tanpa berhenti berharap yang terbaik. Setiap kita –tentunya- memiliki harapan dari setiap apa yang kita jalani. Harapan (ar-rajaa) tidak boleh sirna selama manusia masih menjalani hidup. Ia harus tetap tumbuh seiring dengan rasa optimis dalam menghadapi kehidupan. Harapan adalah oksigen bagi jiwa yang masih menjalani kehidupan. Tanpa adanya kekuatan harap, derasnya gelombang kehidupan akan menghanyutkan manusia dalam keputus-asaan.

Dengan sebuah harapanlah manusia akan berani menjalani hidup, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya, karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu, kita tidak akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun. Sekali kita kehilangan harapan, maka kita akan kehilangan seluruh kekuatan untuk menghadapi dunia, begitu pelajaran yang sering saya dengar dari sosok guru sekaligus Bapak di Cordova.

Harapan bisa membuat warna dan keyakinan, membuat apa yang ada di dunia ini menjadi dinamis, dan harapan telah membuat perkembangan peradaban manusia sampai pada titik yang kita rasakan saat ini. harapan telah membuat yang mustahil menjadi mungkin. Adanya harapan untuk mempermudah manusia bepergian telah memunculkan berbagai alat transportasi yang semakin canggih dan cepat. Adanya harapan untuk mempermudah manusia berinteraksi dan berkomunikasi telah memunculkan alat komunikasi yang beraneka ragam. Berbicara mengenai harapan tentunya akan selalu terkait dengan kekecewaan dan kepuasan. Semuanya itu tergantung pada bagaimana cara manusia memandang atau menyikapinya. Kekecewaan akan didapatkan bilamana manusia telah diperbudak oleh harapan itu sendiri, yaitu ketika manusia memandang bahwa harapan-harapannya harus menjadi kenyataan, inilah salahsatu hal yang bersifat destruktif yang merupakan penyebab kehancuran hidup.

Sedangkan kepuasaan akan didapatkan bila manusia tidak diperbudak oleh harapan-harapan, tetapi manusia itu sendiri yang memegang kendali atas harapan-harapannya. Yang terpenting adalah bagaimana manusia menyikapi dan memandang sebuah harapan. Tidak dipungkiri bahwa harapan sebenarnya adalah sebuah “Energi”. Manusia seharusnya memandang bahwa harapan adalah sumber energi yang dapat memotivasi mereka untuk berbuat lebih dan berbuat yang terbaik tanpa tendensi apapun. Sehingga di kemudian hari akan didapatkan kepuasaan pada diri mereka karena menyadari telah melakukan hal besar yang tentunya memiliki manfaat yang besar bagi orang lain atau kehidupan.

Pun demikian dengan jemaah haji yang memiliki harapan untuk berangkat ke Tanah Suci pada tahun ini, namun terkendala dengan batasan kuota, masih memiliki harapan yang besar untuk tidak putus asa memohon dan berharap dengan segala kebajikan yang diamalkan. Karena itu juga sebagai bentuk pengharapan untuk menggapai sebuah cita-cita mulia.

Setelah harapan itu dikelola sebaik mungkin, maka –biasanya- “tangan-tangan” ALLAH bekerja di detik-detik terakhir usaha hamba-Nya. so’ Never Give up! Tetap Khusnudzon dan yakin pada-Nya apapun yang terjadi.

The Chapter inside Raudhah

Pagi itu di kota Nabi, udaranya segar dan lumayan dingin, temperaturnya sekitar 19-21 Celcius, hampir sama dengan suhu pagi di kota Bandung. Saat sholat Subuh, perjalanan spritualku kembali terlangkah di pelataran SuciNya. Memulai perjalanan yang kuharapkan menjadi tambal dari kegelisahan hidup. Perjalanan jiwa berbalut rasa, dan perjalanan yang teramat penting dari nilai langkahku. Journey of my life, sarat dengan dinamika. Laksana waktu yang berpacu, semuanya tak pernah henti, begitu pun dengan langkah ini kuharapkan ada cerita cinta yang tak kan pernah padam pada perjalanan ini.

Entah siapa yang memulai –dalam waktu sekejap- terbentuk kerumunan. Jemaah sholat merangsek maju menuju Raudhah, satu sisi terdepan di Masjid Nabawi. Di Masjid Rasul ini, beragam wajah berbeda bangsa, termasuk kami berharap sempat untuk merasakan nikmatnya ibadah di Raudhah, satu dari Taman-Taman Surga yang dikatakan Rasulullah SAW. “Antara rumahku (Makam Nabi) dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman surga”.

Raudhah menyimpan rapi kenangan perjuangan Nabi-Nya. Mengejarnya, seperti napak tilas perjuangan Baginda Rasul. Di tempat barokah itu, barisan sahabat Nabi di tempa. Hamparan ketakwaan senantiasa menghiasi Raudhah, dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Dada terasa sesak. Airmata tumpah di Surga-Nya, tak mampu menyimpan kenangan dan keindahan sejarah tanah ini.

Bagi jemaah pria, bisa lebih merasakan bagaimana getaran nafasnya berdetak, ketika menyentuh tirai makam manusia agung berada. Rasulullah bersama dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Desahan dan gejolak rasanya sangat terasa meski terhalang tembok berukiran indah.

Keindahan yang di rasakan pagi itu benar-benar menyeruak dalam jiwa. Di luar kesadaran, tangisan tersedu sembari berdoa kepada Pencipta Alam dengan keberkahan makhluk termulia Rasulullah SAW, agar suatu saat kami dan keluarga diperkenankan kembali dan kembali merasakan deraian cinta yang penuh berkah di tempat ini.

Masjid ini benar-benar masjid cinta. Tak ada lagi sesuatu yang indah, selain keindahan yang dirasakan saat Allah mencintai hamba-Nya. Masjid yang menyatukan gairah cinta, kepada-Nya, kepada kekasih-Nya dan letupan cinta kepada manusia yang menemani langkah hidup kami.

Yaa Rasulullah…
Engkaulah yang menjadi permata hati kami
Engkaulah yang menjadi mutiara akal ini
Engkaulah yang menerangi kegelapan jiwa ini
Engkaulah yang menunjuki jalan keselamatan

Yaa Nabiyallah…Yaa Rasulallah…Yaa Habiballah
Sholawat dan salam untukmu
Semoga kami dapat bertemu denganmu
Nanti di Yaumil akhir