Terkadang, kita sering confused bagaimana menjelaskan kepada anak kita yang kritis menanyakan tentang hewan qurban yang disembelih secara massal saat hari raya Iedul Adha. Mungkin ada juga yang hampir menyamakan qurban itu mirip ritual sesajen, sebagai pemberian ‘upeti’ kepada Dzat Penguasa Alam. Untuk menjawab pertanyaan itu, setidaknya, kita harus melaraskan apa yang dimaksud qurban dengan bahasa yang sangat sederhana, bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Namun sebelumnya, -tentu- kita harus lebih tahu dan memahami definisi serta filosofi qurban seutuhnya. Qurban sesungguhnya salahsatu jenis ibadah paling tua di dunia. Perintah penyembelihan Nabiyullah Ismail, putra Khalilullah Ibrahim adalah kepatuhan seorang hamba kepada RABB-nya. Harta paling berharga Ibrahim AS adalah anaknya. Padahal ia mendapatkan Ismail -buah hatinya-, setelah penantian yang begitu panjang. Sisi lainnya, qurban adalah pendekatan diri secara sempurna kepada ALLAH SWT. Qurban akar kata dari qaraba – yaqrabu – qurbaanan. Biasanya dalam bahasa Arab, kalau satu kata diakhiri dengan alif dan nun, mengandung arti ‘yang sempurna’. Seperti qara-a, yaqra-u, qiraatan, qur’anan, dengan arti “Bacaan yang sempurna”. Begitupun pengertian dari Qurbaanan berarti “Pendekatan yang sempurna”.

Oleh karenanya, untuk menggambarkan kesempurnaan itu terlihat pertama kali pada binatang yang disembelih, tidak boleh ada yang cacat. Artinya, hewan yang disembelih harus sebaik-baiknya. Dari segi subtansinya, seorang yang berkorban jangan setengah-setengah, harus sempurna. Jika kita perhatikan ada dua nilai dari peristiwa qurban ini, pertama, jangan pernah menganggap sesuatu itu mahal ketika tujuannya mempertahankan nilai-nilai Ilahiyah. Value kedua, disisi lain jangan sekali-kali kita melecehkan manusia, jangan sekali-kali mengambil hak-hak manusia, karena manusia itu makhluk agung yang sangat dikasihi ALLAH. Karena kasihnya ALLAH kepada manusia, maka digantilah Ismail dengan seekor binatang.

Qurban adalah puncak pengorbanan dari totalitas kita selaku makhluk. Karena didalamnya mengandung dua dimensi ibadah yang bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, kejadian simbolik itu merupakan upaya pendekatan diri (qurban) dalam menangkap nilai dan sifat-sifat Ilahiyah. Secara horizontal, hal demikian melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata.

Saya utarakan diatas, bahwa qurban hanyalah simbol ketaatan belaka. Karena –meski- jenis pengorbanan itu adalah hewan, namun sesungguhnya esensi itu terdapat dibalik ritual penyembelihannya, yakni ketaatan dan totalitas. Karena daging dan darah yang diqurbankan tidak akan pernah sampai kepada ALLAH, hanya ketakwaannya itulah yang menjadi nilai di sisi-Nya. Selanjutnya, barulah daging dan sejenisnya menjadi kebaikan sebagai ibadah horizontal.

So, pengertian tentang pembantaian hewan dalam mendekatkan diri kepada ALLAH setiap hari raya Iedul Adha adalah salah. Karena –memang- tujuannya bukan menjadikan bulan ini sebagai bulan ‘berdarah-darah’ tetapi bulan ketaatan yang total. Puncak dari segala ritual pengabdian. Sehingga hanya ALLAH dan qurbannya lah yang tahu, hewan mana yang akan menjadi saksi di surga kelak.

Kembali kepada pertanyaan polos anak kita, bagaimana perasaan hewan qurban ketika menanti waktu disembelih, setelah mendengar dan melihat ‘kerabatnya’ dijagal. Maka cukup kita katakan, bahwa hewan qurban itu paling senang jika mati untuk di qurbankan di hari raya.

Agar tidak hilang dan percuma begitu saja, kami akan selalu menjadi ‘pemungut’ serakan ilmu yang abadi dan bermanfaat di suatu saat nanti. Jika Anda kurang mengerti apa maksud dari awal tulisan ini, maka baiknya coba membaca postingan artikel sebelumnya ‘Today For Tomorrow’. Setelah jelas maksudnya, maka Anda akan paham, bahwa serakan ilmu yang dimaksud itu adalah status profile dari sosok yang kami banggakan. Dalam dan merangsang otak untuk belajar memahami apa yang ia maksud disetiap status yang diposting dalam BBM-nya. Kala itu tulisannya adalah ‘Sky to Sky’ –yang- mungkin saat ini sudah berubah lagi. Sebelum saya menanyakan langsung apa maksud Sky to Sky, saya coba mengeksplor seharian untuk mencari tahu apa yang ia maksud ‘dari langit ke langit’. Rasanya sulit untuk dimengerti, meski dibantu klu dengan gambar gumpalan langit, tetapi pikiran saya –tetap- tidak bisa menjelajahinya. Padahal jawabannya sangat simple, yang dimaksud sky to sky adalah pikiran dan –tentunya- ide sebagai buah dari pikir yang harus seluas dan sedalam langit. Dalam dan luasnya laut tidak sedalam dan seluas langit. Secara tidak langsung, status itu mengajarkan kita untuk terus berpikir tanpa henti, mendalami segala arus yang berkecamuk dalam riak alam pikir. Karena satu-satunya yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah pikiran.

ALLAH SWT menciptakan sesuatu selalu berpasang-pasangan. Ada siang ada malam, ada langit dan juga bumi. Posisi otak diatas, sedangkan hati berada di bawah. Sangat logic bila sky to sky adalah perumpamaan luasnya domain otak untuk berpikir. Jika kita andaikan otak itu langit, maka hati adalah bumi. Di langit ada petir berbentuk listrik, sedangkan di bumi terdapat medan magnet, karena penetral listrik yang baik adalah bumi. Hubungan antara otak dan hati sangat erat, karena keduanya memegang peranan penting dalam segala aktivitas hidup.

Otak merupakan simbol pengetahuan, kecerdasan dan kekuasaan. Sedangkan hati adalah simbol kebajikan. Bila otak selalu di atas, maka hati menariknya ke bawah, tujuannya agar manusia selalu mengingat asal-muasalnya yang terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah. Adakalanya posisi otak dan hati selaras, kita dapat menjumpainya ketika seorang hamba bersujud sewaktu shalat. Jika kita lukiskan hubungan itu, suatu hubungan yang sangat bersahaja. Hal ini tercipta karena seorang hamba bersujud merendahkan dirinya. Bahkan, merendahkan dirinya sampai ke titik nadir di hadapan sang Khalik. Penyerahan yang ikhlas ini menunjukan betapa tidak berdayanya manusia di saat tengah bersujud di hadapan ALLAH Yang Maha Tinggi.

Dari ‘Sky to Sky’ kita dapat menjelajah, betapa peranan otak, dalam hal ini pikiran, mampu menciptakan segala hal yang diinginkan manusia untuk melakukan apa saja. Buah karya yang akan dinikmati oleh jutaan manusia selalu bermula dari lintasan pikir. Ia (otak) tidak akan bekerja, jika kita sengaja mengubur kreativitas otak dengan malas untuk (dipaksa) berpikir. Dari ‘Sky to Sky’ mengajarkan kita, bahwa otak itu harus dibuat bekerja agar pikiran ini menjadi tajam. Otak ibarat raksasa, karena dengan otak, manusia bisa membuka sedikit demi sedikit rahasia alam semesta. So’ mari bersama belajar untuk tidak membiarkan otak menjadi malas, karena raksasa itu sudah harus dibangunkan kembali.

Untuk beberapa saat lagi, seluruh jemaah haji akan merapat pada satu titik ‘penentu’ di ranah yang teramat suci. Birokrasi Kementrian haji Saudi Arabia pun melakukan ‘closing date’ bagi jemaah bervisa haji pada esok hari pukul 04.00 waktu setempat. Semua perjalanan dari Jeddah menuju Madinah tidak diperkenankan lagi, pun demikian dari Madinah menuju Makkah besok adalah hari terakhir. Jemaah semua diarahkan memasuki kota Makkah, untuk bersiap melakoni essential journey dalam perjalanan haji. Semua pantauan mata tertuju pada satu titik yang teramat saklar dalam perjalanan haji. Sebuah inti dari perjalanan haji, jantung dalam pelaksanaan haji, samudra dari segala gerak yang terlangkah, dan ruang yang tiada batas dalam pelebur segala nista. Ia menjadi semacam oase ditengah dahaga jutaan dosa yang membelenggu. Penantian kala tujuh langit terbuka, dan gelombang yang menggetarkan Malaikat penyangga Arsy. Saat itu, airmata menjadi permata yang tiada bandingannya, serta penyesalan akan melenyapkan semua dosa yang telah mengkelamkan jiwa. Amazing moment!

Haji adalah perwujudan perjalanan napak tilas. Pertama napak tilas tempat dan yang kedua adalah napak tilas perjalanan spiritual Nabi Ibrahim. Napak tilas tempat ditunjukkan dengan penyelenggaraan ibadah yang dilakukan di Mekah dan sekitarnya, tanpa bisa digantikan tempat lain dalam keadaan bagaimanapun. Karena disana lah berdiri rumah suci Kabah atau Baitullah dimana semua doa akan dikabulkan. Napak tilas kedua adalah berbagai ritual, semacam sa’i antara Shafa dan Marwah yang dirujuk dari kisah Siti Hajar. Ritual ini adalah refleksi bahwa manusia harus berusaha dan bekerja tidak sekedar menengadahkan tangan berdoa dan seolah-olah semuanya akan dijatuhkan ALLAH dari langit. Sebagai penyempurna dari perjalanan itu adalah Wukuf atau berhenti untuk berinstropeksi, berdoa dan menyesali segala kehinaan diri. Inilah yang akan menjadi penentu dari semua perjalanan haji.

Adapun setelah itu adalah ritual awal perjalanan hidup kembali. Bagaimana menjaga kunci pintu surga, untuk tidak kembali direbut oleh iblis. Maka ritual yang dilakukan adalah pendekatan dan penyerahan diri dengan melakukan –thawaf- Ifadhoh dan melempar jumroh sebagai simbol perlawanan kepada iblis durjana untuk mendekap apa yang didapat saat wukuf berlangsung.

Meski menjadi ‘puncak’ dalam pelaksanaan haji, wukuf tidak semata menjadi ibadah individual dan tujuan terakhir melakoni rangkaian haji (final goal). Alumnus Arafah harus menjadi penyemangat dalam mobilitas vertikal, yang bertujuan agar manusia menjadi terbuka mata hatinya (be aware) terhadap kekuasaan ALLAH SWT yang Maha Agung. Tidak malah menjadi diri merasa agung diantara manusia yang belum merasakan bagaimana edukasi wukuf di Arafah. Ia telah siap melakukan recovery dan revolusi diri atas mentalitas demi kemaslahatan manusia yang lebih luas.

Wukuf sudah pasti akan memapah manusia kembali pada fitrahnya. Sebuah proses ritual penghapusan dosa dan pertaubatan ideal. Semua akan kembali bermula dari Arafah. Untuk semua jemaah haji yang kini sedang menanti “The Essential Journey” termasuk smartHAJJ Cordova, semoga selalu diberikan kesehatan, keikhlasan dan kelancaran dalam memperjuangkan raihan kunci surga sebagai kunci utama kehidupan manusia.

Selalu ada hal yang menarik ketika saya memperhatikan status profile dari list contacts BlackBerry, terlebih status itu berasal dari orang yang sangat saya kagumi. Di dalamnya, banyak pembelajaran yang tak pernah ditemukan di ruang-ruang publik, dan teramat sayang jika dilewatkan begitu saja. Karena, setiap berapa waktu, status itu akan terganti oleh kalimat lain yang maknanya tak kalah dahsyat dari sebelumnya. Jika dikumpulkan, saya yakin, ‘catatan sakti’ itu akan menjadi buku kehidupan yang akan berharga bagi generasi setelahnya. Goresan yang mewakili pikirannya melalui status itu, membuat influence positif bagi setiap orang yang melihat, menelaah dan mempelajarinya. Malam itu, -seperti biasa- saya selalu melihat setiap status yang terpampang dari list contacts BBM. Seketika, jari tangan saya berhenti sedikit lama melihat apa yang ditulis oleh sosok yang kerap membuat kagum dengan ide dan joke-joke segarnya. Sederhana namun sangat dalam. Jika dibaca hanya dengan mata telanjang, sekilas tidak ada yang spesial dari apa yang ditulisnya. Tapi cobalah sedikit meluangkan waktu untuk lebih mendalami tulisan itu. Apa yang melatarbelakangi tulisan itu, bagaimana perasaanya ketika itu dan tentunya apa makna tulisan “Today for Tomorrow” itu. Makna tentu berbeda dengan arti, karena untuk memaknai kalimat tersebut, kita harus sedikit memberikan ruang pikir untuk mendalaminya. Tidak hanya sebatas mengartikan.

Setiap membuka lembaran hari, selalu ada tekad baru, semangat baru dan harapan baru untuk terus merayakan hidup. Hari esok kan tiba karena hari ini ada. Menjalani kehidupan di hari ini untuk bekal di hari esok. Jujur, saat saya melihat status itu, saya hanya terfokus pada kalimat yang tertera, tidak dengan image yang beliau padukan dengan kalimat statusnya. Setelah dijelaskan olehnya, bahwa setiap menulis status, ia senantiasa melaraskan dengan image atau photo yang menopangnya, maka kini sangat jelas bahwa apa yang dirangkainya semakin mudah memahami apa maksud yang diinginkannya.

Yah, image itu menggambarkan hitungan jarum jam yang tiada akhir. ‘Langkah hidup’ yang terus berjalan. Jam itu menunjukkan untuk sesuatu yang tak pernah habis, meski oleh kematian. Karena memang perjalanan tidak akan henti hanya oleh sebuah kematian. Ruh akan terus berjalan menembus ruang yang tak pernah kita rasakan sebelumnya. Makna today for tomorrow inilah yang lebih mendeskripsikan tentang pentingnya perjuangan di hari ini. Sebelum esok tiba, hari inilah yang menjadi penentu esok seperti apa.

Hingga mentari esok hari terbit, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita tidak bisa melakukan apa-apa esok hari. Kita tidak mungkin sedih, atau ceria di esok hari. Karena esok belum –tentu- ada kita dunia, meski pasti esok kan tiba. Namun hari ini kita dapat mengerjakan lebih banyak hal di hari ini, tentunya jika kita mampu memaafkan hari kemarin dan melepas segala ketakutan pada esok hari.

Today For Tomorrow, menjadikan hidup semakin bermakna. Persiapan menyambut esok adalah suatu yang logis untuk setiap manusia yang akan berlanjut pada tahapan hidup selanjutnya.

Thanks’ ‘status saktimu’ selalu memberikan arti untuk kami. Semoga setiap ‘esok’ tiba kita selalu berada dalam kebersamaan. Merangkai hidup melalui detik waktu yang tiada henti. Bisa saja, setelah saya menulis artikel ini, status profile beliau telah berubah dan berganti dengan ‘pembelajaran’ berikutnya.

Sudah dua pekan lebih kiranya kami kembali menyaksikan bagaimana geliat rasa yang berlabuh dari sosok Bapak kami di Cordova. sebenarnya, bukan pertama kali kami saksikan ‘fenomena’ ini, karena memang setiap musim haji tiba, ia menjadi sosok yang benar-benar misterius, sulit tuk di terka, terlebih menampung asa yang bergejolak dalam pikirannya. Meletup-letup, fluktuatif bahkan cenderung memuncak ketika menyaksikan lengahnya kami dalam memberikan pelayanan terbaik untuk smartHAJJ yang teramat ia cintai. Tak peduli berhari-hari ia tak pejamkan mata di gelap malam, berhari-hari tak bersama keluarga, dan berhari-hari menenangkan rasa cemas yang menggurita disetiap gerak yang terlakoni. Mata yang telah sayu karena sulitnya merasakan lentangan tubuh dalam mimpi indah, menjadi aktifitas kesehariannya. Bagi khalayak ramai, mungkin suatu yang terlalu berlebihan, tetapi baginya, berpikir dan bekerja hingga ‘mengorbankan’ diri dan ‘keharmonisan’ rasa belum seberapa untuk menciptakan tujuan mulia para jemaahnya agar sayhdu, khusyuk, nikmat, bahagia dan mudah mendapatkan haji yang Mabrur.

Setiap tatapan, langkah dan gerak tubuhnya selalu mencerminkan ia orang yang tak mudah puas terhadap kinerja dan buah pikir yang terlalu flat. Datar, mendayu tak ber-irama bukan ritme yang ia tanamkan dalam sebuah event, terlebih menghantarkan smartHAJJ ke Baitullah. Bahkan ia akan menjadi sosok yang paling ‘mengerikan’ ketika melihat smartHAJJ-nya diperlakukan secara biasa, apalagi jika ditangani dibawah standar pelayanan yang selama ini ia bangun. Jemaah haji dan umrah adalah segalanya, bukan semata melebihkan atau men-dewa-kan mereka, tetapi –memang- sejak zaman azali nama mereka telah termaktub dalam Lahul Mahfudz sebagai tamu-tamu suci pilihan ALLAH SWT. So’ tiada alasan bagi siapapun menyiakan Kesucian mereka, termasuk raja Arab sekalipun hanya menjadi pelayan para haji di dua tanah suci (Khadimul Kharamain).

Setiap malam, dimana kami memulaskan rasa kantuk, justru ia kerap merangkai ide yang tiada batas. Merelakan raganya ‘tertusuk’ angin malam, batinnya teriris kesendirian, dan senyumnya terpendam keresahan. Gelisah jika kami tidak bisa memberikan pelayanan sebaik mungkin. Karena baginya, pelayanan tahun ini harus jauh melebihi tahun yang telah terpijak, begitu seterusnya.

Totalitas, integritas dan dedikasinya terhadap jemaah, tidak akan mungkin terlampaui oleh kami, sekalipun jika semua crew digabungkan ‘head to head’ dengan beliau.

Malam tadi, setelah memantau persiapan keberangkatan lusa hari. Dengan suara parau dan rasa sakitnya, beliau tak henti menuturkan kata ‘jemaah’ seraya berpesan ‘titip jemaah, layani mereka dengan maksimal dan rasa tulus’. Subhanallah…kami hanya berkaca, dengan batin penuh harap, semoga pengorbanan yang telah kau berikan menjadi sesuatu yang sangat berharga dan penuh keberkahan. Semoga rasa sakitnya segera diangkat dengan kesehatan yang sempurna. We know, u never Give up!

Dalam hitungan hari, smartHAJJ Cordova akan segera melangkahkan tapak menuju Baitullah. Berjumpa dengan jutaan manusia, dengan kesamaan rasa dan airmata. Meninggalkan sementara buah hati dan keluarga tercinta, menunda kehangatan raga dalam pelukan kasih sang mahligai cinta. Dalam hal ini tentunya adalah anak-anak sumber inspirasi nan sempurna. Menggadaikan rasa demi menggapai cinta yang hakiki, hingga harus mengendapkan lara tatkala hati kian terikat oleh buaian cinta sang anak. Tidak mudah meninggalkan buah hati tercinta, jika batin bisa mengucap, ia akan berteriak menggetarkan raga karena sulit tuk membendung linangan airmata sosok yang ditinggal. Buah cinta yang selalu ditimang, didekap, dicium dan disayangi melebihi harta apapun yang dimiliki. Ada dua rasa yang menyelinap dalam jiwa ketika pijakan suci telah tertumpu, rasa rindu pada Sang PEMILIK, dan anugerah cinta yang terpendam. Manusiawi, karena –memang- dua rasa itulah yang akan menghantarkan para ‘manusia suci’ pada kesempurnaan cinta yang didamba.

Bukan tanpa beban –tentunya- ketika Nabiyullah Ibrahim AS. meninggalkan Siti Hajar beserta anak semata wayangnya Ismail AS. ditengah gurun tanpa meninggalkan sedikit pun makanan. Pertempuran batin manusia itu luluh oleh ketulusan cinta pada Sang KHOLIK. Ia hanya yakin bahwa PEMILIK anak dan istrinya tidak akan pernah membiarkan mereka dalam kesengsaraan, terlebih mendzoliminya.Tapak-tapak suci Ibrahim AS beserta keluarganya itulah yang menjadikan sejarah mengabdikan pada etape perjalanan haji hingga akhir zaman.

Pun demikian dengan jutaan calon haji di muka bumi, pertempuran rasa akan selalu mereka hadapi selaku manusia yang memiliki rasa. Namun pada akhirnya perasaan itu akan luluh oleh magnet cinta yang menyerap rasa dengan volume yang teramat dahsyat. Pantas saja jika Rasulullah SAW mengajarkan salah satu doa perjalanan dengan “Allahumma Anta Shohibul fii Safarii Wal Kholifatu Fil Ahly” “Yaa ALLAH Engkaulah yang akan menemani perjalananku, dan menjadi penjaga bagi keluargaku (yang ditinggal)”.

Perjalanan menuju Tanah Suci, sangat berbeda dengan perjalanan kita ke berbagai destinasi di belahan bumi. Jutaan harap menggelayut dalam setiap langkah yang terpijak. Sehingga nuansa ‘melankolis’ yang melibatkan rasa akan sangat terasa baik yang meninggalkan maupun yang ditinggal.

Sebelum pelukan terakhir pada buah hati tercinta, marilah kita tatap dalam-dalam, cium dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Mengajak mereka berdiskusi bahwa perjalanan suci ini adalah jalan menuju kesempurnaan cinta kita kepada mereka. Karena pada hari Arafah nanti, nama mereka akan menggema di atas langit, bersama manusia-manusia yang senantiasa hadir dalam kasih dan cinta kita.

“Bekerjalah untuk dunia-mu, seolah-olah kau akan hidup selamanya. Dan berbuatlah untuk akhirat-mu, seolah-olah kau akan meninggal esok hari”, demikian pesan Nubuwah yang kerap menjadi motivasi setiap kita untuk selalu melakukan yang terbaik dalam setiap hal. Sebelum segalanya berakhir, maka tanamkan niat dalam jiwa, bahwa kesungguh-sungguhan lah yang akan membuahkan hasil yang sungguh-sungguh juga. Jika perjalanan haji tahun ini, kita jadikan seolah perjalanan akhir kita menuju Arafah, maka segala daya upaya akan menjadi prioritas utama dalam setiap langkah. Haji adalah Arafah, hadist shahih riwayat Ibnu Hibban itu sangat jelas menunjukan bahwa puncak ibadah haji sesungguhnya berada saat di Arafah. Semua aspek ‘Legalitas’ haji bermuara di sebuah padang nan luas. Seluruh jemaah berkumpul dengan kesatuan rasa dan kesamaan warna. Membentuk suatu lingkaran harmony diantara keragaman watak dan jiwa.

Demikian lah hari Arafah yang mampu menggetarkan bumi dan langit. Getaran dahsyat bergemuruh turut mengantarkan pujian ALLAH dihadapan malaikat atas hamba-hamba-Nya yang sedang wukuf di tanah Arafah. Hari Arafah, begitu banyak moment peng ’zero’an diri. Pembakaran dosa dan penghambaan jiwa menjadi rangkaian penggenap di hari Arafah. Air mata jutaan manusia membasahi setiap celah pungkahan tanah Arafah sebagai saksi ketakberdayaan. Simbol tauhid yang hanya meng-satu kan ALLAH semarak bergema di langit tak beratap. Langsung berada di hadapan-Nya, tak ada batas, tak ada sekat, tak ada jarak kita dengan-Nya.

Subhanallah…Demikianlah dahsyatnya hari Arafah, sehingga jutaan manusia rela berjubel menahan rasa panas, lesu dan kusut nampak kerutan di wajahnya, tanpa harus bermandi sabun yang serba harum. Namun disisi ALLAH, mereka adalah manusia pilihan yang memancarkan cahaya dari sinar raut wajahnya yang semerbak mengharumkan jagad raya.

Arafah, hari dan tempat yang sangat dinanti jutaan calon jemaah haji seluruh dunia. Tidak terkecuali bagi smartHAJJ Cordova 1432 H. Tak terasa, waktu yang dinanti kian mendekat mengharap sebuah preparation matang dalam merangkai perjalanan suci. Segala persiapan baik fisik maupun psikis sudah harus diperhatikan oleh setiap jemaah. Perjuangan medan haji tidak mudah, tetapi juga jangan terlalu dibuat cemas dan khawatir menghadapinya. Rileks dan tetap berkoordinasi dengan hajjguard Cordova yang setiap saat siap memberikan pelayanan eksklusif. Momentum hari-hari menjelang keberadaan kita di Arafah sangat layak dijadikan ajang persiapan jemaah untuk menggali kekuatan fisik dan psikis. Terutama dalam mengkristalkan aspek religius setiap calon jemaah haji.

Before The Last Arafah adalah kesempatan untuk lebih mematangkan diri dalam menggapai kemabruran haji. Karena sikap dan karakter tak mungkin bisa diciptakan secara instant. Oleh karenanya, jangan biarkan waktu berjalan cepat tanpa arah dan sesuatu yang tak bermakna. Semakin mendekati hari Arafah, semakin jadi persiapan ibadah khusyuk kita mengalami peningkatan. Ikhlas dan sabar menerima sesuatu yang tak sesuai hati, karena saat tiba di Baitullah banyak hal yang tak diharapkan sering terjadi begitu saja. Entah masalah antrian imigrasi, makanan yang tak cocok dan seribu satu masalah lainnya yang siap mempertaruhkan pahala haji kita.

Dunia sedang dirundung duka, yah terutama mereka yang mengenal dan menggunakan buah karya sang visioner, Steve Jobs. Sosok inovator yang mampu mengubah dunia dengan pikirannya itu meninggal setelah lama berjuang melawan kanker pankreas. Rasanya kita tidak bisa menafikan karya fenomenal-nya, -meski berbeda keyakinan- tetapi secara jujur, product yang diciptakannya sangat banyak membantu jutaan manusia dalam membangun sebuah peradaban, yang membuat revolusi informasi, sehingga tidak hanya bermanfaat, tetapi juga menyenangkan. Tidak hanya dirasakan oleh bangsa Barat, tetapi dunia Arab sekalipun banyak menggunakan karya Steve Jobs. Dalam hal ini, semua manusia di bumi sepakat bahwa teknologi yang tercipta melalui Steve Jobs adalah sebuah inovasi luarbiasa yang pernah ada di muka bumi. Hidup yang banyak memberikan inspirasi itu, bermula dari tidak mudahnya berpuas diri dengan karya yang dicipta. Berani berpikir beda yang terkadang melawan arus pikiran khalayak manusia. Berpikir beda, bukan proses melawan suatu ‘pakem’ pola pikir, tetapi usaha smart dalam merangkai ‘pakem’ itu agar lebih berwarna, tidak flat terlebih kaku.

Dalam beberapa sumber, Steve selalu bilang bahwa dia menjalani hidupnya setiap hari ibarat itu adalah hari terakhirnya, before the last, sebelum sesuatunya berakhir ia selalu memacu pikirnya untuk selalu menciptakan karya yang bermanfaat bagi manusia, simple but smart. Itulah yang dia lakukan, ada cita untuk mengubah pikiran manusia untuk lebih maju, juga tuk mengubah seluruh tatanan industri. Dan lebih fantastik, ia melakukan hal langka yang pernah dilakukan manusia dalam sejarah, yakni mengubah cara kita memandang dunia, dari terobosan informasi.

Mengambil pelajaran dari Steve Jobs, kita bisa melihat bagaimana etos kerja yang smart, yang mengeluarkan ide meski dalam keadaan sakit. Berjuang dari nol tuk membuktikan bahwa manusia memiliki pusaka yang teramat mahal, yakni otak yang terus digunakan. Bukan bekerja keras, tetapi bekerja smart, sehingga buah karya-nya tampak sangat ciamik dan bermanfaat.

Dari sejarah hidupnya, kita bisa melihat ternyata sukses bukan hanya tentang tingkat pendidikan seseorang, melainkan juga pola pikir yang dia terapkan. Orang sukses bukan hanya berprilaku berbeda, mereka juga berpikir dengan cara yang berbeda. Di sisi lain, orang biasa cenderung berinteraksi dengan berfokus hanya pada tujuan-tujuan pribadi mereka. Tetapi orang sukses, berinteraksi dengan berfokus bukan hanya pada tujuan pribadinya, melainkan juga dengan tujuan orang lain.

Dalam kehidupan, banyak orang memikirkan berbagai masalah dan tujuannya. Serta berpikir bagaimana pasangan, atasan, orangtua dapat membantu mereka memecahkan atau mencapainya. Sebaliknya, orang sukses memikirkan pasangan, atasan atau orangtuanya dan memikirkan cara agar dapat membantu mereka.

Begitulah Steve, sosok yang tak pernah surut dari ide-ide briliyan, karena hidupnya tidak hanya fokus untuk pribadinya, tetapi bagaimana membantu banyak orang dari hasil buah pikirnya. Rasanya, jika disamakan bagaimana pola pikir Steve, hampir sama apa yang dilakukan oleh Bapak kami di Cordova. Sulit untuk puas dari sebuah karya, memiliki pola pikir yang berbeda dengan suatu kebiasaan, dan semua meyakini bahwa apa yang dalam pikirnya, tidak melulu terfokus hanya untuk tujuan pribadinya. Tetapi untuk semua keluarga besar Cordova, terlebih teruntuk smartHAJJ Cordova.

Terima Kasih & Selamat Jalan Steve Jobs!

Siapa pun kita, apapun latar belakang kita, setiap menghadapi suatu perjalanan, maka yang terlintas dalam benak adalah melakukan sebuah persiapan. Yah, karena faktor yang paling penting dari kesuksesan sebuah perjalanan adalah persiapan. Terutama riset yang komprehensif tentang perjalanan itu sendiri. Bagaimana lokasi dan akses menuju destinasi yang kita inginkan. Akankah mudah dilalui, atau banyak rintangan yang harus dihadapi. Bagaimana pula menghadapi kondisi tempat –yang belum pernah dirasakan-, terlebih jika perjalanan itu akan dilakoni seorang diri. Demikianlah semestinya kita menghadapi sebuah perjalanan, laiknya kita menghadapi sebuah perjalanan akhir dari episode hidup yang kita lakoni. Sebelum langkah menjadi perjalanan akhir kita, sejatinya persiapan menghadapi langkah yang kan tertapaki menjadi prioritas ‘riset’ tentang tempat yang menjadi pilihan kita. Karena the last journey manusia hanya ada dua macam, yakni husnul khatimah (akhir yang baik) atau su’ul khatimah (akhir yang buruk). Terserah kita akan memilih yang mana. Dua-duanya memiliki konsekwensi yang harus dilalui. Jika memilih yang pertama, maka persiapan menghadapi journey itu yang harus benar-benar ketat. Namun jika memilih yang kedua, tak perlu repot mempersiapkan perjalanan itu, karena konsekwensinya akan menimpa setelah journey itu berakhir.

Yang menjadi masalah adalah, kita semua tidak tahu kapan dan bagaimana ‘the last journey’ itu menghampiri kita. Bisa saja ia menghampiri disaat persiapan itu longgar dari pengamatan. Terlepas dari ikatan yang telah kita rancang sebelumnya, mungkin disaat kita khilaf justru akhir dari segalanya tiba. Ia tak pernah sedikit pun memberikan aba-aba ketika akan menghampiri, kalaupun ada bentuknya hanya ‘signal’ yang sulit diterka oleh manusia pada umumnya. Hanya ‘persiapan’ menghadapi the last journey itulah yang menjadi ‘key’ penenang jiwa.

Karenanya, bagi mereka yang sedang ‘bersiap’ menghadapi semua itu dijamin perjalanan akhirnya sesuai dengan ia niatkan. Seperti halnya, ketika seseorang melangkahkan kaki menuju surau untuk beribadah, lalu ‘the last journey’ menghadapnya sebelum tapak menginjak surau, maka betapa bahagianya perjalanan akhir yang ia lakoni.

Pun demikian bagi mereka yang menanti suatu perjalanan spritual menuju Arafah-Nya, segala yang ia hadapi menjadi jaminan suatu kesholehan hingga berada di tanah suci-Nya. Terlebih jika niatan itu tertanam untuk selalu menghindari dari segala nista yang menggoda gairah langkahnya. Berlabuh diatas lautan rasa menanti cinta Sang Maha Pencipta.

Before the last journey, kematian adalah hal yang pasti menghampiri. Siapapun dan apapun dia, tidak akan pernah bisa menghindarinya. Selain perbedaan cara berjumpa Izrail, maka perbedaan orang menghadapi akhir perjalanannya itu adalah cara pandang dalam mempersiapkan diri menghadapinya. Ada yang melihat akhir perjalanan itu sebagai gerbang menuju keabadian sehingga persiapannya begitu detail, ada juga yang menganggap akhir perjalanan itu sebagai peristiwa alam biasa. Wallahu ‘alam

Jika ingin mabrur, jangan takabur, perbanyaklah syukur. Ungkapan itu sangat relevan bagi setiap muslim, terlebih untuk calon jemaah haji yang akan segera menuju Tanah Suci. Karena mabrur merupakan puncak kebaikan yang meliputi seluruh amal sholeh, termasuk syukur. Mungkin kita sering mendengar bahwa manusia harus bisa bersyukur dalam hidup ini. Namun, bersyukur tidak hanya sesuatu yang wajib dilakukan oleh mereka yang memiliki iman, tetapi juga syukur sebagai alat pembuka rezeki dan nikmat yang berlimpah. Seperti yang dijanjikan Allah dalam firman-Nya “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berjanji kepadamu; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, PASTI kami akan menambah ni’mat-Ku kepadamu” (QS. Ibrahim:7). Bersyukur bukan sekedar kata-kata, syukur adalah sebuah rasa terimakasih dan penghargaan yang mendalam atas sebuah pemberian dari Dzat Maha Kuasa. Karena bersyukur itu bukan sebuah konsep anyar, maka artikel ini hanya akan sedikit menggambarkan betapa syukur memiliki nilai yang sangat penting dalam setiap etape perjalanan hidup. Selain itu, artikel ini juga akan sekilas menuangkan tentang persepsi ‘syukur’ yang sederhana. Syukur yang akan membuka pintu rezeki dan anugerah yang lebih besar lagi. Syukur yang tiada henti, akan menciptkan suatu sistem ‘panen rezki’ yang sulit diperkirakan darimana munculnya.

Tentang syukur, banyak dikalangan kita yang memahami perasaan syukur dengan terbalik. Jika kita bersyukur karena telah mendapatkan atau mengalami sesuatu yang menyenangkan, itu sangat wajar, sebab semua orang mampu melakukan hal itu. Syukur yang dijanjikan Allah akan mendapat balasan rezeki yang berlimpah adalah rasa syukur akan apapun yang diberikan-Nya dalam semua situasi dan kondisi. Tidak peduli apakah hujan, angin, badai, guntur, banjir, kemarau. Sehat, sakit, sedih, senang. Segala suasana, setiap situasi, apapun yang terjadi. Bila kita merasa bersyukur saat itu, maka hal demikian adalah pertanda Allah menerima kesuksesan kita sembari menanti rezeki yang lebih besar.

Kegiatan syukur tak akan pernah surut hingga ruh meregang atas raga. Aktivitas itu hanya akan berhenti disaat semua yang dirasa telah hilang. Eleman yang menghidupkan manusia dalam segala hal adalah sesuatu yang selalu luput dari rasa syukur. Bisa jadi ia enggan mengucapkan syukur hanya lantaran merasa hidupnya sulit, tiada harta, makan pun sedapatnya. Tetapi ia lupa, bahwa udara yang ia hirup masih masuk dalam rongga nafasnya. Ia lupa bahwa beratus bahkan beribu kali ia harus mengedipkan mata dalam sehari. Ia pun khilaf, bahwa kakinya masih bisa menegakkan tubuh untuk berjalan kemana ia mau. Rezeki yang melekat dalam diri kita lah yang selalu luput dari perhitungan kita. Sehingga mata selalu mengawas pada rezeki yang didapatkan dari ‘luar’.

Sebelum segalanya berakhir, tiada yang pantas bagi setiap hamba selain ungkapan syukur atas segala nikmat yang didapat. Firman Allah; “Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitung-nya” (QS. Ibrahim: 34). So’ before the last Syukur, kita hiasai bersama desah nafas ini dengan rasa syukur yang tiada henti kepada-Nya.