Bisnis Umrah MLM

Sepintas, boleh jadi tema diatas mengandung unsur provokatif dalam memahami ibadah umrah. Namun –sesungguhnya- bukan kesakralan pelaksanaan umrahnya yang hilang, tetapi bagaimana proses menuju kesucian umrahnya yang kini banyak mengalami kemerosotan sakral. Semua umat Islam telah memahami, bahwa ibadah umrah dan haji hanyalah bagi orang yang mampu (isthito’ah), baik segi finansial, maupun kesehatan jiwa dan raga. Tentunya, Islam tidak lantas menghukumi bahwa yang tidak mampu, atau orang miskin dilarang umrah dan haji. Namun pahala bagi mereka (orang yang kurang mampu) bisa sama, bahkan melebihi orang yang mampu melakukan perjalanan ke Tanah suci, jika dengan ikhlas mensyukuri dan menjalani kekurangan hidupnya dengan penuh ridha. Bahkan Rasulullah SAW bersama orang miskin yang sholeh di surga kelak.

Kembali ke pembahasan awal, mengenai hilangnya kesakralan umrah. Hal ini terjadi ketika niatan ibadah sudah masuk dan terjaring pada kategori bisnis ‘piramida’. Bak membeli kacang goreng, seorang yang ingin berangkat umrah (yang nota bene membutuhkan dana belasan hingga puluhan juta) hanya membayar sebesar 2,5 atau 3,5 juta saja misalnya. Ia bisa berangkat, namun dengan harus menjaring beberapa orang dengan membayar seperti apa yang dibayarkannya, begitu seterusnya.

Yah, itulah bisnis umrah Multi Level Marketing (MLM) yang dewasa ini sudah sangat menjalar bahkan pada ranah suci sekalipun semisal ibadah haji dan umrah. Entah apakah sebagai improvisasi bisnis atau apa, yang jelas jika ditelusuri –menurut saya- ada semacam pengkerdilan makna ‘isthito’ah’ (mampu) dalam syarat melaksanakan ibadah umrah maupun haji. Belum lagi jika kita bedah bagaimana proses bisnis seperti ini dalam ruang suci. Benar bahwa bisnis ini termasuk pada ranah Muamalat, yang secara definisi usul Fikihnya dibolehkan. “Al-Aslu fil mu’amalah al-ibahah, illa maa dalla dalillu ‘ala tahrimihi” (pada dasarnya hukum muamalah itu di perbolehkan, terkecuali ada hal yang menunjukan atas pelarangannya). Mari kita simak adakah hal yang membuat bisnis umrah MLM ini terjerumus pada hal yang diharamkan (?)

Secara global sistem bisnis MLM dilakukan dengan cara menjaring calon nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan member (anggota) dari perusahaan yang melakukan praktek MLM.

Lebih fokusnya untuk mengetahui bagaimana bisnis umrah MLM ini sesuai syariah atau tidak, sebaiknya kita ketahui standar Moral dalam berbisnis.

  1. Tauhid,
  2. Kebebasan,
  3. Keadilan,
  4. Tanggung jawab.

Dan standar Operasional dalam berbisnis:

  1. Menghindari segala praktik riba.
  2. Menghindari Gharar (ketidakjelasan kontrak/barang).
  3. Menghindari Tadlis (penipuan).
  4. Menghindari perjudian (spekulasi/masyir).
  5. Menghindari kedzoliman dan eksploitatif.

Lalu jika fakta dengan begitu jelas membuktikan bahwa yang diuntungkan dengan sistem MLM ini adalah Upline (level atas), sedangkan Downline (level bawah) akan selalu dirugikan adalah bahwa bentuk piramida ini akan berhenti pada level tertentu yang mana mereka tidak mungkin bisa mencari anggota baru, atau orang baru yang akan umrah lagi, yang dengannya semua harapan untuk melaksanakan umrah yang dijanjikan adalah impian belaka. Maka jalan keduanya, ia harus bersusah payah menyicil kekurangan biaya perjalanan umrah yang baru disetorkan sebesar 2,5 atau 3,5 juta.

Dan perlu dicermati bahwa dimanapun Downline akan selalu lebih banyak daripada Upline. Dan akhirnya penderitaan (gagal berangkat ke Tanah Suci) hanya dialami oleh para downline yang sulit mendapatkan member baru.

Dalam suatu kesempatan, Direktur Pembinaan Haji Kementerian Agama, Ahmad Kartono mengingatkan masyarakat agar tidak terpikat oleh penyelenggara ibadah haji atau umrah dengan sistem multi level marketing (MLM) atau sistem berantai. Karena sistem yang banyak berkembang belakangan ini memiliki potensi penipuan yang sering dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab.

Lebih khawatir lagi, jika proses bisnis umrah MLM ini menjadi semacam Bom waktu gagal massal berangkat ke Tanah suci, sebagaimana sub thema acara seminar HIMPUH beberapa waktu lalu.

Jika demikian, kita bisa memahami bagaimana bisnis MLM ini menurut pandangan syar’i atau, katakan ke nurani kita masing-masing. Apakah bisnis umrah MLM ini dibiarkan begitu saja (?) Jika ya, maka fatwa Haram MUI Aceh mengenai bisnis umrah MLM ini hanya digratiskan. Kita tunggu bagaimana komentar dan fatwa MUI pusat mengenai masalah ini. Semoga kesakralan ibadah haji dan umrah masih tetap terpatri disetiap sanubari muslim dimana pun berada.

Sebenarnya kandungan artikel ini ada korelasi dengan artikel beberapa waktu lalu (The Power of Optimism). Namun tidak salah jika kita sedikit mengulas bagaimana kekuatan harap itu bisa membuat peristiwa yang sulit menjadi sangat mudah dilakoni. Nabi Nuh belum tahu banjir akan datang ketika ia membuat kapal dan ditertawai kaumnya. Nabi Ibrahim belum tahu akan tersedia Domba ketika pisau nyaris memenggal buah hatinya. Nabi Musa belum tahu laut akan terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya ke air laut. Nabi Muhammad SAW pun belum tahu jika Madinah adalah kota tersebarnya ajaran yang dibawanya saat beliau diperintahkan berhijrah. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus patuh pada perintah Allah SWT dan tanpa berhenti berharap yang terbaik. Setiap kita –tentunya- memiliki harapan dari setiap apa yang kita jalani. Harapan (ar-rajaa) tidak boleh sirna selama manusia masih menjalani hidup. Ia harus tetap tumbuh seiring dengan rasa optimis dalam menghadapi kehidupan. Harapan adalah oksigen bagi jiwa yang masih menjalani kehidupan. Tanpa adanya kekuatan harap, derasnya gelombang kehidupan akan menghanyutkan manusia dalam keputus-asaan. Dengan sebuah harapanlah manusia akan berani menjalani hidup, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya, karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu, kita tidak akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun. Sekali kita kehilangan harapan, maka kita akan kehilangan seluruh kekuatan untuk menghadapi dunia, begitu pelajaran yang sering saya dengar dari sosok guru sekaligus Bapak di Cordova.

Harapan bisa membuat warna, membuat apa yang ada di dunia ini menjadi dinamis, dan harapan telah membuat perkembangan peradaban manusia sampai pada titik yang kita rasakan saat ini. harapan telah membuat yang mustahil menjadi mungkin. Adanya harapan untuk mempermudah manusia bepergian telah memunculkan berbagai alat transportasi yang semakin canggih dan cepat. Adanya harapan untuk mempermudah manusia berinteraksi dan berkomunikasi telah memunculkan alat komunikasi yang beraneka ragam. Berbicara mengenai harapan tentunya akan selalu terkait dengan kekecewaan dan kepuasan. Semuanya itu tergantung pada bagaimana cara manusia memandang atau menyikapinya. Kekecewaan akan didapatkan bilamana manusia telah diperbudak oleh harapan itu sendiri, yaitu ketika manusia memandang bahwa harapan-harapannya harus menjadi kenyataan, inilah salahsatu hal yang bersifat destruktif yang merupakan penyebab kehancuran hidup.

Sedangkan kepuasaan akan didapatkan bila manusia tidak diperbudak oleh harapan-harapan, tetapi manusia itu sendiri yang memegang kendali atas harapan-harapannya. Yang terpenting adalah bagaimana manusia menyikapi dan memandang sebuah harapan. Tidak dipungkiri bahwa harapan sebenarnya adalah sebuah “Energi”. Manusia seharusnya memandang bahwa harapan adalah sumber energi yang dapat memotivasi mereka untuk berbuat lebih dan berbuat yang terbaik tanpa tendensi apapun. Sehingga di kemudian hari akan didapatkan kepuasaan pada diri mereka karena menyadari telah melakukan hal besar yang tentunya memiliki manfaat yang besar bagi orang lain atau kehidupan.

Pun demikian dengan jemaah haji yang memiliki harapan untuk berangkat ke Tanah Suci pada tahun ini, namun terkendala dengan batasan kuota, masih memiliki harapan yang besar untuk tidak putus asa memohon dan berharap dengan segala kebajikan yang diamalkan. Karena itu juga sebagai bentuk pengharapan untuk menggapai sebuah cita-cita mulia.

Setelah harapan itu dikelola sebaik mungkin, maka –biasanya- “tangan-tangan” ALLAH bekerja di detik-detik terakhir usaha hamba-Nya. so’ Never Give up! Tetap Khusnudzon pada-Nya apapun yang terjadi.

Dalam Genggaman

Epilog dari kisah “Trilogi” ini akan sedikit membuka siapa dan bagaimana sepak terjang sosok yang menjadi tokoh antagonis dalam cerita ini. Meski –tentunya- Anda akan masih penasaran siapa yang dimaksud, benarkah atau hanya sebatas fiktif belaka. Kenapa bisa seperti itu, kok bisa, Masya Allah gak nyangka, bejad ya!. Dan ekspresi serta pertanyaan-pertanyaan lainnya akan muncul dalam benak kita. Bahkan –tidak mustahil- pertanyaan, koq artikel semacam ini ada di website ini’ akan juga terlontar di sudut pikir Anda. Namun percayalah kompleksitas kehidupan akan tertampung oleh sebuah jalur yang kan terlangkah. Bak Al-Qur’an suci yang terdapat beragam kisah dan cerita di dalamnya, bukan hanya sebagai pedoman, tetapi juga sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berfikir. Pun demikian dengan beragam artikel yang terdapat dalam website ini, warnanya akan dinamis jika artikel didalamnya memuat beragam kisah yang berwarna. Trilogi ini adalah persembahan cinta agar kita tidak terjerumus oleh rayu busuk fitnah seorang yang terbungkus kain kehormatan, namun justru menghancurkan image Islam tuk menjungjung tinggi martabat seorang wanita. Merokok, menghasud, memfitnah, merekayasa, menghancurkan, mengadu-domba, merusak, dan mencinta –merebut- yang jelas-jelas mustahil teraih.

Bak tulisan dan gambar dari papyrus yang terlihat sangat elok dan memiliki nilai jual tinggi, ia pawai dan pialang dalam menghembuskan ucapan sesatnya, tapi tahukah Anda Papyrus adalah jenis tanaman air yang sangat mudah ditemukan di pinggiran sungai Nil, Mesir. Jika tidak dijadikan sebagai alat seni untuk menulis atau melukis gambar-gambar sejarah Mesir kuno atau –bahkan- kaligrafi, maka tumbuhan itu sama saja dengan tumbuhan air lainnya. Tidak ada spesial dari sosok wanita ini, ia hanya pandai meliuk dalam kata tuk pengaruhi banyak orang agar ambisinya tergapai. Terutama dalam melontar fitnah atau pesan-pesan sms kepada setiap orang yang ia nilai bisa menghancurkan hamba yang di fitnahnya.

Setelah sekian lama gagal menghancurkan reputasi seorang yang sangat ia cintainya, maka perlawanan selanjutnya adalah bergabung dengan orang yang memiliki watak dan visi yang sama. Bersatu menyusun strategi tuk melampiaskan hasrat busuknya. Mengadu domba dan mengipas-ngipas orang agar melangkah bersama merobohkan kekuatan hak. Tak peduli dengan busana yang ia pakai, berjubah panjang dan berpenampilan iba (berharap orang mengasihinya) berani berteriak-teriak di keheningan malam dengan meronta-ronta. Sungguh tak peduli apa penilaian orang terhadap kemulian sosok wanita dalam Islam. Bahkan ia akan sangat marah ketika di tegur merokok –karena memang memakai jubah muslimah- yang menghancurkan image jutaan muslimah di muka Bumi, dengan asap mengepul di mulut ‘ular’-nya.

“Terdzolimi” itulah penggalan kalimat yang selalu menjadi andalannya sebagai alasan sikap bar-barnya. Seolah tidak tahu siapa yang mendzolimi dan siapa yang terdzolimi. Ibarat kata maling teriak maling. Hingga mulut berbusa pun orang hanya akan mencibir apa yang ia katakan, terkecuali bagi mereka yang memiliki watak seperti dia. Siapakah gerangan wanita antagonis dalam serial ini (?) Yang jelas –sesuai- bacaan sholat dalam tasyahud akhir, kita harus senantiasa berlindung kepada Allah SWT agar terhindar dari fitnah Dajjal.

Jika serangan dan fitnah itu usai. Maka sebagai muslim kita pun wajib menghentikan kebencian itu, meski jiwa teramat sakit oleh bisa-nya. pertempuran hanya diletuskan dalam arena laga. Jika usai maka usai sudah permasalahan itu, dan tiada kata yang teramat dahsyat selain i’m sorry goodbye.

Could be continue or not!

Meneropong, Merapat dan Menggasak

“Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, (QS. Al-Qolam: 10-11)

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah : 193)

Dalam sejarah Islam, betapa fitnah akan membawa bencana dan malapetaka di kehidupan masyarakat. Fitnah itulah yang membawa bencana terbunuhnya Sayyidina Usman Ra. Yang dituduh menjalankan nepotisme dalam kebijakannya. Fitnah itu juga yang menyebabkan nestapa sepanjang masa, pertempuran dan perselisihan diantara sahabat besar seperti Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Fitnah jugalah yang pernah membuat Rasulullah marah dan membiarkan (tidak menyapa) istrinya Aisyah sekian lama, karena tertinggal dari rombongan. Masih banyak lagi kisah dan cerita tentang bahaya laten fitnah.

Artikel ini adalah trilogi tentang kisah manusia yang haus akan sebuah eksistensi cinta, namun sebelum melangkah untuk melanjutkan artikel ini, sebaiknya Anda membaca juga artikel bagian pertamanya, sehingga pemahaman dalam tema diatas akan lebih mudah tercerna. Baiklah sebelumnya, mari kita simak apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, bahwa kejahatan yang terorganisir akan mudah mengalahkan kebenaran yang tercerai berai. Dalam konteks apapun suatu pergerakan baik positif maupun negatif jika dilakukan secara sistematis dan kontinyuitas maka hasilnya akan sesuai dengan apa yang diharap. Pun demikian dengan kejahatan, perancangan iblis akan menusuk pada rongga-rongga sistem yang tercerai berai. Serangan fitnah (yang nota bene jelas-jelas hal negatif) akan mudah berhasil dan mendapatkan kemenangan secara massif jika tidak ditanggulangi dengan sebuah perlawanan yang berarti. Lihat saja bagaimana Yahudi dengan gerakan Israel Raya-nya, mereka yang mendzolimi, namun mereka juga lah yang berteriak-teriak mengumbar fitnah, bahwa Hammas lah yang melakukan kekerasan dengan terorisnya. Wal hasil mereka sukses, yah sukses untuk meyakinkan bahwa muslim Palestina berhak untuk dibinasakan, di isolasi dan dimusnahkan di tanah jajahannya sendiri. Bukankah itu buah dari keganasan fitnah (?) Bukankah itu kejahatan yang terorganisir (?)

Kita lupakan sejenak Israel, kembali pada konteks trilogi yang kini menjadi bahasan kita. Jika fitnah itu sangat mudah menyelinap pada pola pikir kita, maka bagaimana jadinya jika si pelaku fitnah itu adalah sosok seorang wanita (?) Bahkan mungkin kini menjadi ‘segerombolan’ wanita-wanita yang haus akan cinta. Dahaga akan kasih sayang orang yang dicinta, dan lapar akan kehangatan cinta. Mereka hanya merasakan sentuhan mentari disebagian tubuhnya, sebagian lagi mereka harus rela pontang-panting mengejar dan mendekapnya.

Kita semua tahu, bahwa kelembutan wanita kadang mudah memperdaya manusia, bahkan bualan pun menjadi sangat nyata. Wanita adalah makhluk yang teramat indah, maka waspadalah jika keindahannya itu dipergunakan hal-hal jahat semacam fitnah, hasud dan dengki. Kemuliaan yang menjadi kudrat wanita di muka Bumi, akan mudah hanyut jika mereka ‘bersengkokol’ membangun bangunan dengki. Ber-strategi menggalang kekuatan dan menyerang setiap individu yang mereka nilai mudah terprovokasi. Bak pergerakan zionis, mereka yang membuat perkara, mereka yang berteriak terdzolimi.

Fitnah adalah muara dari kejahatan laten, bukan hanya lebih jahat dari pembunuhan namun juga lebih dahsyat dari musuh yang nyata-nyata memerangi kita. Tak ayal, Rasulullah SAW senantiasa mengajarkan kita di setiap akhir dari sholat lima waktu, agar kita berlindung dari godaan fitnah-nya Dajjal. Karena dengan fitnah, manusia sulit membuka tabir antara yang benar dan salah. Ini menunjukkan bahwa fenomena fitnah Dajjal memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Mereka meneropong, menelaah, merapatkan dan lalu menggasak.

Melawan semua itu hanya dengan merapatkan barisan dan menyatukan hati. Mengunci mulut untuk tidak terlena melakukan ghibah. Jika kejahatan mereka organisir dengan solid, maka kita sudah bergerak untuk membungkam itu, tentunya dengan strategi yang smart.

“Wanita akan sempurna, ketika mereka tahu bagaimana cara bersikap seorang wanita”

Saya rasa semua orang, baik wanita maupun pria, setuju bahwa R.A Kartini adalah sosok yang cukup inspiratif. Ide-idenya tentang persamaan hak dalam bidang pendidikan, sosial dan politik antara wanita dan pria sedikit banyak telah berpengaruh bagi perkembangan kultur sosial di Indonesia. Meski –sesungguhnya- tidak hanya Kartini yang menjadi ibroh maupun contoh bagi para wanita muslim dunia, jika ditelusuri sejarah kekuatan wanita, maka jauh lebih besar sosok Siti Khodijah Ra, Siti Aisyah dan wanita-wanita lainnya yang tegar, berani dan berjasa dalam membela agama dan bangsanya. Namun, tidak salah pada kesempatan ini, kita sedikit membahas pahlawan local yang –bisa saja- jasanya memberikan influance secara massif tentang dimana posisi wanita berada. Emansipasi wanita, begitulah mungkin tema besar yang kerap dibahas setiap hari Kartini tiba. Sayangnya, tujuan mulia kartini, selalu mentok pada sebuah perayaan seremoni saja. Padahal sesungguhnya ia berjuang dengan kerangka yang lebih luas. Dasar perjuangannya adalah menempatkan perempuan sebagai sosok yang bermartabat. Dengan demikian, cita-cita dan perjuangan Kartini adalah sebagai way of life. Cita-cita Kartini tidak pernah berhenti pada sebuah seremoni yang –saat ini- hanya menjadi siklus tahunan saja.

Rasanya, agar apa yang dicita-citakan Kartini tidak kebablasan dari emansipasi yang berubah wujud menjadi liberalisasi, kesamaan gender dll, maka tidak salah kita sedikit melirik bagaimana Kartini bersentuhan dengan Islam sebagai pola dasar pemikirannya yang segar, dan menjadi inspirasi jutaan manusia. Hidup dalam kubangan feodal, dan kungkungan adat jawa, Kartini mencoba untuk terus mencari jawaban agar dia beserta kaum wanita lainnya memiliki dasar perubahan yang ‘memberontak’ adat istiadatnya.

Akhirnya ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu bergolak di dalam pemikirannya. Terutama dalam menemukan Islam yang paripurna, sehingga ia mencoba mendalami ajaran Islam dengan menuangkan dalam tulisan surat-menyurat kepada sahabat dan orang sekitarnya. Awalnya, ajaran-ajaran Islam tak mendapat temapat dalam benak Kartini. Hal ini karena pengalamannya yang pahit dengan Sang Ustadzah. Ustadzahnya menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.

Dalam suratnya kepada Stella, sahabatnya, pada tahun 6 November 1899. Ia menuliskan “Mengenai agamaku Islam, aku harus menceritakan apa (?) Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya. Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Sedangkan disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.

Disini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya.”

Dalam waktu pencariannya itu, Kartini bertemu dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Semarang telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan surat Al-Fatihah yang disampaikan sang Kyai. Kartini pun mendesak salahsatu paman untuk menemaninya bertemu sang Kyai. Mari kita ikuti bagaimana petikan dialog Kartini dengan Kyai Sholeh, yang ditulis Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya (?)”. Tertegun Kyai Sholeh mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian (?)” Kyai balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Sejak itulah Kyai Sholeh menterjemahkan Al-Qur’an ke bahasa Jawa, dan dihadiahkan kepada Kartini. Dari sanalah perubahan mendasar terlahir dari setiap ide dan pemikirannya. Karenanya dalam menerjemahkan perjuangan dan spirit Kartini seharusnya dipelajari juga bagaimana filosopis buah pikir itu. Sehingga tidak terwejawantahkan dengan melampaui batas. Sebagaimana surat Kartini kepada Prof. Anton, salahseorang gurunya, 4 oktober 1902. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya. Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”

Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.

Atas nama perjuangan Kartini, sebagian wanita kini, justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.

Kartini telah mati, yah jasadnya telah puluhan tahun di perut bumi. Namun nama besarnya masih menjadi acuan hidup sebagian besar wanita negeri ini. Namun, entahlah sesuai atau tidak tujuan yang ia bangun dengan apa yang terjadi saat ini (?) Semoga (cita-cita) Kartini tidak mati juga!

Selamat Hari Kartini, untuk wanita Indonesia!

Selamat datang di dunia nyata. Dimana persaingan usaha sedemikian ketat. Inovasi bukanlah barang baru yang sulit ditiru. Para Follower bahkan mampu membuat tiruan yang lebih unggul dari sang Leader. Walhasil sebuah penemuan menjadi standar baru industri yang menguntungkan customer sebagaimana ATM dan Internet banking di dunia perbankan, sebagaimana android dan wifi dalam industri IT dan telekomunikasi. Sungguh indah dunia usaha apabila setiap perusahaan berlomba ber-inovasi yang akhirnya menjadi ikutan bagi perusahaan-perusahaan lain. Bukankah Rasulullah bersabda; “Barangsiapa memulai perbuatan baik di dalam Islam, maka baginya pahala dari kebaikannya dan pahala orang-orang yang mengikuti kebaikannya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikit pun. (HR; Muslim).

Persaingan baru sampai pada tahap membahayakan saat kedengkian, dendam, dan kebencian merajalela. Bila mana hasrat untuk menghancurkan lawan menjadi panglima para pengambil keputusan. Berbagai cara dilakukan demi tercapainya keinginan yang sesat. Mereka yang bermain di ‘akar rumput’ Cuma dapat melihat dengan kacamata kuda, karena siapa saja yang berani menggaji lebih tinggi, memberikan ketenangan bekerja dan kepastian karir, merekalah yang diikuti, (meski itu semua hanya bualan sesaat). Dan ternyata semua itu adalah perangkap hanya untuk dijadikan alat bagi skenario besar persaingan industri ber-aroma kedengkian. Dan akhirnya penyesalan memang selalu ada di akhir setiap kisah kehidupan.

Bagi mereka yang menjadi korban kedengkian, yakinilah bahwa Allah adalah Dzat yang tidak tidur. Setiap helai daun yang berguguran adalah atas sepengetahuan dan perkenan-Nya. Meskipun seluruh makhluk di muka bumi berkumpul merancang siasat dan tipu daya, tiada yang dapat mengalahkan kehendak-Nya. Dia akan melindungi siapa saja yang berikhtiar mencari nafkah, membangun bisnis, mengejar keuntungan, dengan berharap ridha Allah semata.

Pernahkah terbayang dibenak para pendengki, bahwa sebuah perusahaan terdiri dari berbagai komponen yang kompleks. Sejatinya ia menjadi tumpuan nafkah bagi karyawan, keluarga, supplier dan mitra-mitranya, serta kebanggaan bagi customer dan lingkungannya. Sebuah kedzaliman luarbiasa bila manuver persaingan bisnis menggulung harapan dan cita-cita sedemikan banyak orang. Bila gempuran ini disadari, mereka akan berjuang mempertahankan tempat dimana selama ini mereka bernaung.

Bila kedengkian menggurita, lantas dimanakah jalinan persaudaraan, pertemanan, dan ke-Islaman, sesama kita. Lantas apakah sebenarnya yang kita cari di dunia yang fana ini. Sedangkan kampung akhirat adalah sebuah keniscayaan atas apa yang telah kita perbuat di dunia. Kemanakah ujung dari Strategi bisnis, marketing, prosedur, CSR, IT, dan segudang seluk beluk perusahaan ? Bukankah akhirat adalah ujung dari segala urusan dunia. Yah’ Begitulah follower yang terkadang lupa bahwa ia hanya sebagai pengikut.

Dalam dunia bisnis, atau pada ruang kehidupan lain, banyak ungkapan yang menyebutkan bahwa ketika pohon berkembang dan menjulang tinggi, maka angin pun akan semakin kencang berhembus. Ujian, cobaan akan silih berganti menerpanya, selain menguji kekuatan batang, angin pun mencoba mengangkat akar-akar kuat yang mencengkram bumi. Tidak salah banyak penerimaan secara pasti, ketika sebuah perusahaan diguncang beragam badai, maka kalimat pasrah yang mengkiaskan suatu alamiyah jika perusahaan semakin besar maka wajarlah jika banyak yang ingin mengguncangnya. Sehingga, apatis dan pasrah kerap terlontar dari kondisi yang ada. Atau istilah lain yang sering kita dengar, di pukul wajah sebelah kiri, kita kasih wajah sebelah kanan. Tidak ada sama sekali perlawanan untuk menghentikan badai tersebut, karena tokh itu suatu alamiyah yang biasa terjadi pada suatu perusahaan yang sedang melesat. Atau karena saking lembutnya hati, sehingga enggan tuk melakukan perlawanan atau bahkan pertahanan. Padahal Islam tidak mengajarkan seperti itu, bukankah membela dan melawan kenistataan demi mempertahankan harga diri, harta dan jiwa adalah sebuah kewajiban yang harus ditegakkan (?) Bukankah melawan sebuah serangan merupakan hal yang dicontohkan oleh para tentara Allah (?)

Yah, seperti itulah kondisi real perjuangan dalam dunia kerja. Bukan hanya persaingan, penghancuran dan penjegalan, bahkan pembunuhan karakter terhadap masing-masing individu pun kerap dilakukan guna memuluskan ambisinya. Terlebih jika dilakukan karena dendam kesumat terhadap seseorang yang ia benci karena cinta mati. Ia akan habis-habisan menyerangnya, dari celah dan lubang semut sekalipun. Setahun, dua tahun bahkan sampai 3 tahun ia simpan dendam itu guna membuat strategi penghancuran. Menyerang melalui fitnah-fitnah murah, sms-sms gelap agar mendapat simpati dan dukungan manusia lain tuk mencabik-cabik bangunan itu. Mengaku terdzolimi, namun dendam kuasai hati. mengaku terdzolimi, namun jiwa tak berasa. Itulah korban cinta, fakta pun diputar balik. Setelah cinta tak teraih, nestapa pun yang beralih. Duhai merananya, hidup disibukkan oleh strategi dendam yang kesumat. Tercampak dari keluarga, tertendang dari rekan, dan kini bergabung tuk membalas dendam dari kasus yang dipendam.

Jika saja ‘kartu truf’ itu terbuka, maka akan lebih sakit penderitaan yang ia rasa. Tapi biarlah kartu itu terbuka mengikuti apa yang akan mereka rancang. Terlebih semua orang tahu bagaimana thabiat dan watak sosok wanita ‘terhormat’ itu sebelum ditendang di sebuah komunitas negeri.

Serangan bertubi-tubi ia lesakkan guna menghancurkan stabilitas kami, memecah-belah dan menyerang individu lemah diantara kami. Namun tetap benteng kokoh itu tak kan pernah runtuh hanya oleh dendam kesumat yang membabi buta. Hanya karena cinta yang tak berbuah, ia rela menghinakan dirinya sendiri, menghancurkan keluarga dan makhluk lainnya.

Bagi jiwa yang lemah, maka tipudaya-nya kan mudah memalingkan rasa. Karenanya hanya kebersamaan dan kesolidan team yang bisa menahan gejolak badai yang mereka hembuskan. Biarlah ia menjadi wanita yang hanya mengendap dendam karena cintanya. Benci karena teramat merindukan rasa yang tergadai.

Liku perjalanan setiap manusia memiliki goresan yang terkadang sulit terhapuskan. Ibarat melukis diatas batu, ia akan tetap ada melawan waktu, meski dipenghujungnya hanya menjadi prasasti. Dikenang, dilihat dan akhirnya dilupakan. Namun diantara sekian juta kisah, terdapat jua rentetan cerita hidup yang tak kan pernah usang ditelan zaman, ia meninggalkan sejuta rasa bagi yang ditinggalkannya. Namanya berhembus disetiap detak nafas manusia-manusia yang mencintainya. Kemuliannya terlukis dalam setiap benak makhluk yang dikasihinya. Ketiadaannya menjadi samudra airmata, dan kepergiannya diiringi isakan yang tiada henti. Manusia seperti itulah yang sulit dilupakan oleh segenap makhluk disekelilingnya. Manusia seperti itu juga lah yang membuat lisan orang terbungkam enggan tuk sekedar mengucap ‘Good bye’. Berbeda dengan sosok awal, yang diibaratkan lakon dan kepergiannya sangat mudah terhapus, perpisahannya hanya menghasilkan ungkapan “I’m Sorry good bye” that’s it. Tiada kalimat penyambung, atau rasa yang tersambung. Seolah pertemuan, perjumpaan dan jalinan rasa luntur oleh tindak lakunya sendiri.

Masih sulit memahami kemana arah artikel ini (?) Mari sedikit menyimak sebuah analogi –yang juga- pernah dilontarkan oleh salah seorang guru kami di Cordova. Dalam sebuah keluarga, kasih sayang dan cinta menjadi pilar penegak rasa. Orangtua menjadi sumber cinta bagi para anak yang dikasihinya. Di dunia ini, bagi makhluk yang memiliki nurani, tiada satupun orangtua yang tidak sayang dan cinta kepada buah hatinya. Tiada kemunafikan rasa dalam mengasihinya. Semua limpahkan kasih sayang untuk anak-anak tercintanya, sekalipun ia harus berenang dalam genangan darah dan airmata, meski ia harus mengorbankan rasa malu, kesal, marah, benci dan rasa-rasa yang berkecamuk dalam jiwanya. Ia tidak akan pernah mencampurkan air susu-nya dengan kotoran yang beracun, ia hanya ingin menyaksikan anak-anak kebanggannya hidup berkembang dengan rasa tulus yang tiada balas.

Setelah masa anak itu berkembang, tiba-tiba ada sosok asing yang entah asal-usulnya muncul darimana, memberikan sepotong kue dengan sedikit bualan manis, secara spontan si anak itu berpikir bahwa pemberiannya sangat luar biasa. Pujian mengalir deras, ia senang bahwa si orang asing ini teramat sayang kepadanya. Saking termakan oleh bualan manisnya, si anak termabuk oleh pemberian secuil kue itu hingga rela melupakan kasih serta sayang orangtuanya yang telah lama menyayanginya. Dengan pemberian itu’ ia merasa lebih disayang dan diperhatikan daripada orangtua yang telah lama melahirkan rasa.

Analogi ini mencerminkan bahwa siapapun kita, memiliki pilihan hidup masing-masing. Tiada yang menjamin bahwa kesetiaan, keloyalan dan kekeluargaan bisa tumbuh abadi, bersemi dalam kerangka cinta yang telah terbangun kokoh. Bak kisah Nabiyullah Adam As. yang tergelincir oleh hasut dan buaian iblis, meski telah berada dalam kehangatan cinta dan sayang-Nya ALLAH di surga-Nya.

Tiada kata ‘mantan’ dalam keluarga, tiada pula bahasa ‘pecat’ dalam keluarga ini. kalaupun ada hanyalah ungkapan “I’m Sorry Good Bye”, berjalanlah… tatap dan berkembanglah kau disana. Raih impian dan harapanmu!

Syukur Tiada Akhir

Kali keempat perjalanan suci ini kan bergerak. Menuju kesamaan cita, dan mendulang kebersihan jiwa. Meraih sebuah perjalanan berkualitas untuk tetap survive dalam merangkai tapak surga menuju Baitullah. Keberkahan yang terus hinggap pada perusahaan K-Link, tidak hanya terlihat dari megahnya gedung K-Link Tower yang menjulang tinggi di pusat kota, juga tidak hanya terlihat dari ratusan product kesehatan yang tersebar di seantero negeri, namun juga tampak pada ratusan karyawannya yang konsisten dalam mengimbangi bisnis dunia dan akhirat. Yakni meluasnya keberkahan dengan perjalan mereka ke tanah suci. Ratusan langkah manusia suci pilihan Robbi itu, secara tidak langsung adalah perekat perkembangan K-Link yang teramat dahsyat. Perjalanan yang tiada akhir (menuju kesucian Tanah haram) adalah konsekwensi syukur tiada akhir yang mereka tanamkan dalam setiap raihan point untuk meniatkan diri menuju Tanah Suci.

Ini adalah tahun keempat Cordova bersama K-Link merangkai ‘Perjalanan tiada akhir’, waktu yang cukup untuk saling mengenal apa dan bagaimana perjalanan ini terkonsep. Menyusun dan merangkai jalan yang telah terlalui tentunya lebih terasa nikmat dari saat pertama jumpa. Berbeda jika memiliki seorang kekasih baru, maka untuk mengenalnya harus lebih dalam memahami jiwanya, beradaptasi kembali, dan membutuhkan waktu untuk mengikat sebuah tali duriat (hubungan batin). Namun Alhamdulillah, Cordova dengan K-Link sudah seperti kekasih lama yang saling memahami dan menghargai ikatan rasa. Simbiosis mutualisme lebih terasa dengan melangkah dan berjalan bersama, baik dalam ikatan bisnis maupun rasa hangat kekeluargaan. Tidak mudah –memang- untuk bertemu seorang kawan perjalanan yang paham betul dengan sifat dan watak. Perjalanan edisi ke-4 inilah sebagai momentum raihan perjalanan yang lebih berkualitas. Merekat dengan langkah kebersamaan.

Terimakasih telah kembali memilih Cordova sebagai pelayan tamu-tamu pilihan ALLAH SWT. Semoga kami bisa menjawab amanah ini dengan penuh rasa, penuh tanggungjawab dan penuh dengan rasa cinta. Karena tiada yang paling indah dalam sebuah perjalanan selain merangkai tangan dengan penuh kebersamaan.

Kebersamaan bukan kata tapi jiwa, terasa dalam dada seindah purnama.
Kebersamaan bukan curahan tapi jawaban, syarat makna akan keajaiban dan kekuatan.
Kebersamaan bukan sandaran tapi asupan, memberi semangat tanpa batasan.
Kebersamaan bukan mata tapi telinga, siap mendengar kadang tak seksama
Kebersamaan bukan kaki tapi tangan, selalu merangkul dalam kehangatan.
Kebersamaan bukan langit tapi bumi, menjadi pijakan dalam kehidupan.
Kebersamaan bukan hujan tapi pelangi, mengindahkan pribadi ketika turunnya air mata.
Semoga kebersamaan ini tiada akhir seperti perjalanan yang tiada akhir…

Pernahkah Anda berhenti sejenak dari suatu perjalanan (?) Atau menoreh sesaat kebelakang untuk melihat sejauh mana perjalanan yang telah tertapak (?) Simple, kecil dan hal yang teramat mudah tentunya untuk kita lakukan, namun terkadang hal sederhana itu urung kita lakukan hanya karena enggan tergerus oleh kehidupan yang terus berlaju. Padahal sejatinya, berhenti sejenak itu adalah sebuah Sunatullah, sebuah keniscayaan yang tiada mungkin luput dari gerak nafas manusia dalam menapaki perjalanannya. Semua yang ada di Bumi ini memiliki kapasitas maksimal, dan agar mampu melakukan perjalanan nan panjang, ia harus selalu dipulihkan setelah mencapai kapasitas tertentu. Demikian dengan kondisi jiwa manusia, setelah mencapai perjalanan tertentu, ia perlu berhenti sejenak untuk muhasabah, menghitung dan menganalisis kualitas dirinya dalam mengemban hidup sejauh ini. berhenti sejenak sangat diperlukan dalam hidup, bukan untuk selamanya, tetapi hanya untuk melihat kebelakang tentang sejarah apa yang telah kita torehkan dalam skenario hidup, menapaki jejak langkah yang telah kita buat, mengatur langkah yang terseok, mengatur nafas yang tersenggal, untuk kemudian kembali berlari, lebih cepat, lebih terarah dan lebih mampu memikul beban.

Puncak berhenti yang terorganisir dengan teramat cantik di muka Bumi ini, hadir dalam prosesi Wukuf, yah berhenti sejenak untuk mengenali diri, instropeksi, dan mengatur bagaimana alur kehidupan yang telah dilaluinya selama ini. Hingga akhirnya efek dari pemberhentian itu menjadikan jiwa mengenali raga, jiwa memahami rasa, dan berujung kepada siapa Penggenggam raga serta siapa Pembulak-balik rasa.

Betapa mujarab-nya stopping effect, sehingga sahabat Rasulullah SAW, Muadz bin Jabal RA berkata kepada sahabatnya dengan ungkapan yang menyejukkan hati “Mari duduk sesaat untuk beriman”. Berhenti sejenak untuk menengok kondisi keyakinan kita terhadap apa yang kita lakukan ini agar tetap terjaga. Dengan berhenti sejenak yang berkualitas, akan serta merta mendorong kekuatan yang berlipat untuk melakukan perjalanan panjang.

Guna menghindari keragu-raguan dan mengokohkan semangat perjalanan, berhenti sejenak di tempat yang semestinya adalah langkah positif dan bermanfaat, seolah tampak merupakan langkah mundur, namun ketahuilah dengan selangkah ‘mundur’ itu, bisa dihasilkan seratus hingga seribu kali lipat langkah. Terkecuali bagi mereka yang memang lebih nikmat untuk berhenti selamanya.

Pun demikian dengan apa yang kerap Anda temukan dalam artikel di Website ini, ada jeda kosong dalam beberapa saat, namun kami tetap disini, berpijak di Bumi ini untuk kembali mensyiarkan apa yang semestinya disyiarkan. Semoga pemberhentian sejenak ini, bisa lebih memberikan suguhan baca yang berkualitas bagi pikir dan iman kita semua.