Jika dicermati dengan jujur, maka kebanyakan orang dewasa ini selalu menghindari untuk berpikir tentang kematian. Dalam kehidupan modern, seseorang biasanya menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang bertolak belakang dengan urusan kematian. Lebih asyik berpikir tentang dimana anak kita akan sekolah, di perusahaan mana kita akan bekerja, makan malam dimana nanti malam, baju apa yang akan kita gunakan besok hari dll. Hal-hal diatas yang selalu menjadi sangat penting untuk dipikirkan. Seolah-olah kehidupan diartikan sebagai sebuah proses kebiasaan yang dilakukan sehari-hari. Bahkan, pembicaraan tentang kematian sering dicela oleh mereka yang merasa tidak nyaman mendengarnya. Hampir setiap hari kita menyaksikan kematian orang, baik di media maupun secara langsung, namun kita -termasuk saya-, tidak banyak memikirkan tentang hari ketika orang lain menyaksikan kematian kita. Kita sama-sekali tidak mengira, bahwa kematian itu sedang menanti setiap desah nafas terakhir kita. Menanti sejati diantara langkah kaki. Setiap kita tidak bisa meyakinkan pada semua orang tercinta, bahwa perpisahan itu akan selalu diawali dengan salam dan lambaian tangan. Kematian bisa datang secara tiba-tiba, bisa saja tatapan harap anak tercinta untuk kita kembali kerumah menghangatkan mereka, tidak akan pernah terulang. Kematian akan menuntaskan sementara segala rasa. Transisi ‘rasa’ dari dunia menuju alam selanjutnya.

Manusia senantiasa takut mati. Karena selama hidup –tanpa disadari- kita lebih gemar mempelajari tentang apa dan bagaimana neraka. Gambaran tentang neraka hanya diperoleh untuk menakuti atau peringatan. Adapun tentang surga, gambaran tentangnya hanya memiliki porsi yang sangat kecil untuk dipelajari. Andai saja, selama hidup kita lebih memilih mencari tahu apakah itu surga, bagaimana cara menggapainya, apa saja amalan yang bisa menghantarkan kedalamnya, dst. Jika seperti itu, maka kita semua akan sangat merindukan kematian, bukan sebaliknya.

Kenapa ‘cerita’ tentang surga harus menjadi dominasi dalam pembelajaran manusia (?) Karena ternyata mental manusia saat ini, cenderung untuk tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak disukai atau diingininya. Bahkan cenderung untuk menafikan eksistensi sesuatu yang ia hindari pertemuannya. Kecenderungan seperti ini tampak terlihat jelas ketika membicarakan tentang kematian. Kebanyakan orang melihat kematian itu jauh dari diri mereka. Asumsi yang menyatakan bahwa mereka yang mati pada saat sedang tidur atau karena kecelakaan merupakan contoh orang lain, dan tidak akan menimpa dirinya. Semua orang berpikiran, belum saatnya mati, mereka selalu berpikir, selalu masih ada hari esok untuk menikmati hidup.

Bahkan –mungkin saja- orang yang meninggal dalam perjalanan ke sekolah atau terburu-buru untuk menghadiri rapat di kantornya juga berpikiran serupa. Tidak pernah terpikirkan, bahwa koran esok hari akan memberitakan kematian mereka. Sangat mungkin, selagi Anda membuka smartBLOG dan membaca artikel ini, Anda berharap untuk tidak meninggal setelah menyelesaikan membacanya, mungkin Anda merasa bahwa pada saat ini belum waktunya mati karena masih banyak hal-hal yang harus diselesaikan. Namun demikian, hal ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian, dan usaha-usaha seperti ini hanyalah alasan untuk menghindari kematian dan usaha-usaha seperti ini hanyalah hal yang sia-sia untuk menghindari proses kematian.
Sebelum segalanya terjadi, sebelum sujud sholat terakhir, sebelum akhir nafas berhenti, rasanya tidak salah jika kita bersama-sama menemukan cerita dan berita tentang surga.

Kehidupan adalah sejarah keberadaan manusia di muka bumi yang selalu berulang dari masa ke masa. Berbagai kaum datang silih berganti. Setiap generasi lahir dengan berbagai karakter dan warnanya yang menghiasi semesta. Beragam ulah perilaku telah mereka lakukan di muka bumi. Ragam peradaban dan budaya telah mereka tinggalkan menjadi warisan anak cucu keturunan mereka. Namun proses pergantian suatu kehidupan, seringkali luput dari perhatian kita. Umur manusia selalu berbeda antara suatu kaum dengan kaum yang datang kemudian. Namun menurut beberapa penlitian sejarah, bahwa semakin ke belakang, usia manusia semakin surut alias pendek. Seperti halnya usia kaum Nuh As, umur mereka sekitar 9500 tahunan. Usia kaum nabi Musa As sekitar 1500-an tahun. Kaum nabi Isa 600 tahunan. Adapun kita, kaum nabi Muhammad SAW. sebagai penghuni terakhir Bumi, hanya memiliki jatah hidup di dunia sekitar 60-100 tahunan. Meski ada juga orang yang umurnya kurang atau lebih dari itu. Setelah itu, perjalanan akan berakhir pada dua stasiun, surga atau neraka. Kesedihan sepanjang masa atau kesenangan yang tiada jeda. Semua berada pada genggaman kita saat ini, memasuki dua stasiun itu adalah sebuah pilihan, pilihan yang sudah jelas rambu dan jalurnya.

Seorang guru memberikan suatu inspirasi tentang suatu tangisan yang perlu dan tidak. Sesungguhnya kita tidak perlu menangis jika kelak kita melihat diri kita akan memasuki neraka, karena, selain tangisan sudah tiada arti, juga sebagai manusia –yang selalu melakukan khilaf dan nista- hanya mampu berada di sana. Namun sebaliknya, kita harus menangis jika kelak kita melihat diri ini memasuki surga, karena hanya atas belas-kasih dan Karunia Allah kita dapat memasuki surga yang tiada akhir atas segala keindahan. Dengan usia yang ‘minim’, kebaikan-kebaikan yang dikerjakan selama di dunia tak akan mampu membeli sejengkal tanah sekali pun di Taman Surga-Nya Allah SWT. Sebab dengan kenikmatan yang diberikan sejak di dunia saja, manusia tidak akan mampu membalasnya meski beribadah setiap saat sepanjang hayatnya.

Sejalan dengan itu, doa tentang ketidakpatutan-nya manusia berada di Surga, kerap berkumandang di setiap pengajian, bahkan terdengar di media-media usai kumandang Adzan. “Ya Allah Tuhanku, sesungguhnya hamba tidak pantas untuk masuk ke dalam Surga-Mu (Firdaus), Namun hamba tidak akan kuat menahan panasnya api neraka…” Petikan doa yang realistis itu, memberikan pemahaman yang jelas, bahwa manusia masuk kedalam surga hanya karena Karunia dan Kasih-Sayang-Nya.

Sebelum segalanya tiada arti, sebelum sesuatu kebaikan menjadi mimpi, sebelum nafas terhenyak mengakhiri hidup, sebelum tangisan terakhir meledak, sejatinya tangisan menjadi ‘sesuatu’ yang tidak akan pernah ditinggalkan hanya karena merasa risih jika diri menangisi nistanya diri. Malu atau gengsi jika dikatakan sebagai makhluk ‘melow’ hanya karena menangis atas segala puing dosanya. Namun lebih mulia menangis saat ini, daripada menanti tangisan terakhir melanda diri.