Mudik Barokah 1432 H
Setiap tahun di akhir bulan suci, selalu ada cerita tentang sebuah rasa. Rasa sedih karena harus ditinggal Ramadhan, juga rasa lain yang selalu ada dalam jiwa peraih kemenangan fitri. Begitu cepat waktu bergulir, rasanya baru kemarin cerita tentang mudik barokah 1431 di posting pada smartBLOG ini, kini kembali ‘pesta’ tahunan itu menjadi pembahasan yang yang tak akan pernah basi hingga dua pekan ke-depan. Entah sejak kapan aktivitas ‘mudik’ lebaran ini berlangsung, yang jelas setiap orang memiliki catatan rasa dalam perjalanan mudik. Terlebih bagi mereka yang menjadikan mudik sebagai jalan silaturahmi bersama keluarga di kampungnya. Pulang kampung menjadi sesuatu yang ‘sakral’ bagi mereka yang jarang bertemu dengan sanak keluarga. Tak peduli harus berjubel memesan tiket, berdesak dengan ribuan pemudik lainnya, dan bercengkrama dengan kondisi macet yang membosankan. Semuanya menjadi aroma perjalanan yang penuh cita demi menghirup udara tanah leluhurnya. Bukan hanya itu, semua perbekalan dikumpulkan untuk berbagi saat tiba di kampungnya nanti. Bagi orang desa yang mencari nafkah di ibukota, banyak cerita yang terekam dalam benaknya untuk diceritakan pada handai taulan tentang kehidupan kota yang penuh dengan dinamika.
Bagi sebagian orang, semangat mudik menjadi salahsatu ‘pendistribusian’ rezeki untuk saling berbagi. Jauh-jauh hari, dengan niatan tulus, sebagian pendapatannya ia tukarkan dengan lembaran uang untuk dibagikan. Tidak hanya lembaran uang sepuluh ribu rupiah, lima ribu hingga seribuan menjadi suatu nilai yang sempurna di hari yang fitri. Merasakan ‘keringat’ kota, meski semua tahu bahwa uang itu diperoleh dari tunjangan hari raya yang ia dapatkan. Ada semacam perputaran ‘rezeki’ yang berdampak berkah pada setiap lini. Baik orang ‘kota’ maupun orang ‘desa’ mendapatkan keberkahan aktivitas mudik.
Dalam kegiatan mudik, -terlepas- dari aspek negatifnya berupa kemacetan yang luarbiasa. Terdapat keberkahan yang tampak pada rona setiap perangkat mudik. Dari mulai pengguna jasa perjalanan, angkutan jasa perjalanan, penjual BBM, pegawai Jasa Rahardja, penjual asongan, Bapak polisi, bengkel-bengkel kendaraan, rumah makan di Rest Area, bahkan –mungkin- juga para pengamen jalanan yang ikut merasakan berkahnya kegiatan mudik. Bak air bah yang mengalir pada tempat yang lebih rendah, rezeki ‘orang kota’ saat itu mengalir deras pada ‘orang desa’. Pada saat itu juga, sesungguhnya tiada perbedaan lagi antara orang kota dan desa. Karena tidak ada penamaan orang kota atau orang desa, jika salah-satunya tidak ada.
Menjelang keberangkatan Mudik lebaran, biasanya kami (Cordova team) mendapat pesan untuk selalu memberikan report tentang kegiatan selama berada di kampung halaman. Saling posting photo aktivitas mudik dengan ragam ceritanya. Selain itu, kami diajarkan untuk tidak banyak menawar jika membeli sesuatu pada saat hari yang fitri. Tentunya menjaga keberkahan yang dirasakan semua orang. Biarlah pada hari fitri itu, para penjual mendapatkan pula keberkahan yang mereka raih melebihi harga pada hari biasanya.
Bagi sahabat dan saudara kami yang besok dan hari-hari berikutnya akan berangkat mudik, hati-hati dijalan, sampaikan salam pada keluarga di kampung halaman. Sampai jumpa kembali di Headquarter dengan semangat baru. Ma’assalamah Ilal Liqo…Mudik Barokah!