Estafeta perjuangan dalam menaburi kemabruran haji sedang dilakoni serius oleh team Cordova. Bahu-membahu antara trisula pucuk pimpinan bersama staff dan hajjguard Cordova dalam memberikan pelayanan yang tidak setengah-setengah bagi para jemaahnya. Jemaah yang sudah dirindukan oleh ka’bah dan makhluk suci lainnya itu, menjadi motivasi yang sangat ampuh tuk melakukan segala explorasi guna meraih impian terbesarnya sebagai haji yang mabrur. Untuk itu, segala perangkat menuju common holy purpose adalah suatu bentuk ikhtiar dalam mewujudkan pelayanan suci. Grand Manasik yang diselenggarakan di sebuah manasik park, Sabtu dan Ahad kemarin menyisakkan kerinduan yang sangat pada Baitullah. smartHAJJ Cordova melakoni setiap etape dengan penuh antusias, mereka melakukan dengan penuh khusyuk laiknya sedang melakukan ibadah haji dengan beragam kondisi seperti di tanah suci. Bagaimana setiap bangunan suci terpampang di setiap sudut arena manasik. Begitu juga figuran-figuran askar (polisi) di tanah Suci, orang-orang Arab, infrastruktur, berikut perlengkapan dan peralatan yang nyaris sama dengan kondisi riil disana.

Tema ‘Best for Last’ dari Grand Manasik ini juga membawa relung jiwa setiap orang yang berada di arena itu, terbawa dengan goal setting yang terbangun. Melakukan ibadah sebaik mungkin, sebelum kematian tiba menghadang. Atau kita jadikan peribadahan haji ini dengan sangat baik, seolah inilah persembahan terakhir kita dalam mengarungi samudra hidup. Terlebih kehadiran Pepeng, Ferrasta Soebardi bersama keluarga. Menceritakan bagaimana penderitaannya selama mengalami sakit Multiple Sclerosis (MS), salah satu penyakit langka di dunia yang menyerang sistem daya tahan tubuh Pepeng. Penyakit ini dapat menimbulkan kelumpuhan di beberapa bagian tubuh penderita. Pepeng sendiri pertama kali mengetahui ia menderita penyakit MS pada tahun 2005, ketika terjatuh dan tidak bisa bangun dari jatuhnya.

Ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya dan keluarga, namun dengan keyakinan yang kuat dan khusnudzon akan karunia ALLAH SWT, maka ia bersama, istri dan keluarganya tegar menjalani semua yang terjadi. Menjadikan segalanya menjadi ladang amal yang harus dikerjakan sebaik mungkin, melakukan yang terbaik sebelum ajal tiba.

The Grand Manasik kemarin, bukan hanya sebagai pengetahuan yang wajib di ketahui jemaah haji, manasik itu juga sebagai momentum ‘pendeklarasian’ ratusan hati yang terikat dalam satu rasa. Yah, satu rasa tuk perjalanan cinta.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Cordova selalu menjadikan manasik sebagai gambaran riil dalam menyesuaikan semua aspek yang terjadi di tanah suci. Meski –tentunya- tidak akan sama persis, namun pendekatan dalam beragam sektor menjadi gambaran smartHAJJ dengan sangat detail. Sebagaimana gaya Cordova, penyampaian materi pun bukan hanya melalui metode tradisional yang acap menegangkan otot, dan mengkatupkan mata, kondisi menyenangkan dalam manasik itu menjadi bekal dalam perjalanan riil-nya nanti.

Berbuat baik sebelum segalanya berakhir, adalah pertanda manusia visioner yang selalu mengedepankan aksi sebelum sesuatunya hancur tak bermakna. Salah satu hikmah kenapa kematian dirahasiakan adalah memberikan pilihan manusia agar selalu melakukan yang terbaik setiap hal yang dikerjakannya. Karena ia tidak tahu kapan kematian itu menyapa langkahnya. Kapan, dimana dan sedang apa ia menghembuskan nafasnya. Kematian itu adalah gerbang pertama manusia menghadapi masa depan abadinya. Sebab melakukan yang terbaik sebelum ajal tiba adalah satu pilihan tuk men-genggam kunci kenikmatan abadi di kampung akhirat.

Dikisahkan seorang lelaki kaya ingin bunuh diri karena kehidupan dan hartanya gagal membuat ia bahagia. Semua yang ia hasilkan dari jerih-payahnya seolah memusuhi dan menjadi faktor utama dalam merusak segala kebahagian hidup. Hidupnya terasa sesak dengan segala problematika yang ia ciptakan sendiri. Istrinya terasa semakin jauh dan melelahkan berhadapan dengannya, masalah kecil selalu menjadi ‘perang besar’ dengan bumbu teramat pedas tuk diucapkan.

Gagal dalam mendidik buah hati, anak-anaknya semakin terasa durhaka dan tiada hormat kepadanya. Setiap saat selalu muncul masalah dikarenakan ulah sang anak. Perkelahian, tawuran, hingga terjerat kasus narkoba. Semuanya menjadi sangat menyakitkan, terlebih mereka –sesungguhnya- adalah asset yang paling indah dalam kehidupannya. Di lingkungan kantor, ia tidak lagi dihormati, karena –memang- ia jarang pula menghormati atasan maupun bawahannya. Tertekan dengan suasana yang menghimpit dada, ia tak kuasa tuk menjalani kehidupannya lagi. Ia lebih memilih untuk segera mengakhiri hidupnya, namun sebelum waktu eksekusi itu dilaksanakan, ia ingin yang terakhir kalinya mengadu ke salahsatu ustadz terpandang di desanya.

Dengan sedikit tergesa, ia menceritakan keinginan untuk membunuh dirinya kepada sang ustadz. Dengan sangat detail ia juga menceritakan semua alasan untuk sebuah niatan besar dalam hidupnya itu, mengakhiri dirinya. “Bagaimana Ustadz, saya sudah letih, tidak tahan dengan semua kehimpitan ini, bisakah ustadz memberikan cara mengakhiri hidup namun tetap dalam koridor khusnul khotimah” (happy ending).

Dengan bijak sang Ustadz memahami kondisi dia, dan mengganggukan keinginnannya. Setelah itu ia mohon izin ke belakang untuk membawakan obat atau racun untuk diminum oleh si lelaki yang sudah ngebet mengakhiri hidupnya dengan paksa. “Ini saya bawakan racun ter-keras di kota ini, minumlah”, seru Sang Ustadz dengan membawa botol kecil berwarna putih dengan penutupnya. Tanpa menunggu lama-lama, si lelaki langsung menegaknya sampai habis.

“Karena unik dan kerasnya racun ini, maka efeknya akan timbul setelah 24 jam dari sekarang. Maka, jika kau ingin khusnul khotimah, mati dalam keadaan baik, selamat atau happy ending, maka lakukanlah kebaikan sekecil apapun dengan sempurna, lakukan yang terbaik, karena kematian mu akan tiba esok hari tepat jam 8 pagi ini”, seru sang ustadz dengan serius ke lelaki yang akan menghadapi kematian ini. “Baiklah ‘Stadz, terimakasih, saya mohon izin pulang”. Jawabnya dengan sedikit lemas.

Selama diperjalanan menuju rumah, semua yang ada dalam pikirnya menerawang dan mengingat apa yang terjadi sejak ia kecil. Memorinya terus merayap kepada sosok-sosok yang telah mengisi kehidupannya selama ini. Ia menjadi ingat pada kakek-neneknya yang sudah belasan tahun meninggal. Ia juga mendadak ingat ketika kakeknya marah dan memukul kakinya dengan sejadah karena susah dibangunkan untuk sholat subuh. Hingga terus menerawang ingatannya menuju kenyataan yang ia hadapi saat ini.

Setiba di rumah, ia langsung menemui istrinya dan memeluknya erat. Seraya kaget, sang istri terperanjat “Ada apa seh!” Tanya istrinya dengan ketus. Karena memang sudah lama mereka tak pernah bersua dengan mesra. “Mah, maafkan papah. Selama ini papah tak pernah merhatikan mamah, papah gak peduli dengan perasaan yang mamah rasakan. Papah minta maaf sayang, mungkin hari ini adalah hari terakhir papah memeluk dan melihat mamah, maafkan papah sayang”.

Kontan saja dengan ketulusan itu, sang istri yang awalnya merasa heran, kini malah lebih meledak akan tangisannya yang masih dalam pelukan suaminya. “Maafin mamah juga Pah, mamah yang gak bisa buat papah bahagia di rumah, mamah banyak nuntut ke papah, banyak maunya, maafin mamah yang belum bisa jadi istri sholehah pah, maafin mamah”, tangisnya meledak dalam hangatnya cinta suci.

Setelah saling memaafkan, lelaki yang nyawanya kian habis termakan detik waktu itu, segera menghampiri anak-anaknya. Memeluknya dengan sangat erat, airmatanya mengalir dengan deras, seolah enggan tuk melepas dari sentuhan kulit orang yang ia sayangi. Bertubi-tubi ia menciumi kening, wajah dan kepalanya. Semakin erat cengkraman tangannya memeluk, jangankan ditinggalkan, meninggalkannya pun tak kuasa ia hadapi. Sayangnya teramat besar, terlebih ia telah lama menyia-kan anak-anaknya tanpa pendidikan baik dalam rumahtangga. Kesedihan yang mendalam teramat ia rasakan, saat maut kan segera menjemput dengan meninggalkan mereka seperti kondisi sekarang.

Lama ia mendekap anak-anaknya seraya enggan melepaskannya. Persis yang dilakukan ibunya. Si anak, yang awalnya kaget kini tenggelam dengan tangisan airmata, bersatu dengan hangatnya cinta ayah dan anak.

Dalam sisa waktunya ini, ia enggan tuk melepas sesuatu dari mulutnya terkecuali dzikir dan perkataan baik kepada setiap orang yang akan ditemuinya. Meski enggan tuk melangkah dan berangkat kantor yang terakhir kalinya dalam hidup, karena masih kurang cukup waktu perjumpaan terakhirnya dengan keluarga tercinta.

Ia berjalan dengan segala kerendahan, menyapa setiap orang yang dilaluinya, dan memperbanyak sedekah. Semuanya ia kerahkan demi Best for Last yang sudah di depan mati. Melakukan –sekuat tenaga- apa yang terbaik pada detik-detik kehidupannya. Setelah melakukan kebaikan dengan totalitas yang terbangun dari hati, dengan cepatnya ia mendapatkan keindahan hidup yang sesungguhnya. Keluarganya kembali dalam dekapan romantisme hidup, lingkungan kerjanya menjadi orang-orang yang sebaliknya memberikan kebahagiaan kepadanya, tetangganya dan semua orang menjadi sangat bersahabat dengannya.

Hingga tibalah satu jam waktu yang ditentukan, waktu obat itu akan segera bereaksi dan mematikan rasa. Ia terlanjur bergairah dengan kehidupan barunya, ia kembali bergegas menuju rumah ustadz untuk meminta penawar obat yang telah ia tegak kemarin. Ia masih ingin berbuat baik sebelum segalanya berakhir.

Best for Last, demikianlah kisah seorang yang secara yakin hari kematiannya akan segera tiba. Kebaikan demi kebaikanlah yang akan ia perbuat. Meski ia tak sadar bahwa yang ia minum itu –sebenarnya- adalah air putih biasa. Namun ketika hati dan pikirnya telah terbentuk pada suatu keyakinan bahwa kematiannya akan segera tiba, maka semua prilaku dengan sangat cepat merubah apa yang biasanya ia kerjakan.

Best for Last menjadi sebuah keniscayaan akan sebuah pilihan hidup. Now or never, kerjakan kebaikan sebaik mungkin, sekarang atau tidak selamanya.

So’ menghadapi Grand Manasik kali ini, Cordova menyongsong tema “Best For Last” dengan sebuah tujuan bahwa kita jadikan pengabdian dan peribadahan haji ini, seolah yang terakhir dari kehidupan kita.

“Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta” –Cordova Founding Father-

Setiap kita –tentunya- pernah merasakan bagaimana langkah hidup tersendat hanya karena tiada ‘move’ dalam dirinya. Tak ada rasa tuk melanjutkan hamparan medan yang menghadang. Seperti filosopi sepeda yang kan terjatuh kala berhenti dalam putaran jeruji rodanya. Seperti bumi yang kan hancur ketika porosnya tak berfungsi untuk diputar dan memutarinya. Semisal ka’bah yang tak kan pernah berhenti dari putaran thawaf sebelum segalanya musnah. Begitulah ternyata langkah manusia. Fitrahnya terus bergerak dan bergerak, melangkah dan meloncat, menari dan ber-ritme. Terkecuali saat jasad terkujur kakulah ia kan berhenti dari segala pergerakan raga.

Hidup untuk bekerja dan berkarya, melangkah dan bergerak adalah bukti dari kerja dan proses berkarya. Namun terkadang semua itu menemui titik dimana segala komponen berhenti dari jalur alami manusia, sedang ia masih kokoh berdiri hidup dengan kenyataannya.

Suatu saat, saya bercerita pada sosok yang menjadi guru sekaligus orangtua kami di Cordova. “Saya benar-benar stuck dalam berkarya, tidak produktif dalam bekerja”, layaknya gerobak sayur yang mogok ditengah jalan, padahal banyak manusia di Pasar yang sudah menunggu kedatangannya. Atau ibarat pisau yang tumpul, tidak bisa digunakan untuk kepentingan apapun. Saya benar-benar menjadi ‘thing’ yang mudah dan kapan saja di ‘campakkan’ ke sebuah tempat yang teramat rendah.

Merosotnya gairah dan spirit saya menjadi penghambat aliran ‘rizki’ yang kan mengalir pada mulut-mulut mungil penerus estafeta hidup. Bahkan bukan hanya mereka yang berada di rumah, imbasnya –bisa jadi- mengganggu derasnya ‘aliran’ ke puluhan bahkan ratusan jiwa yang menanti hasil proses karya kami. Karena –memang- kami adalah satu yang bersinergi. Satu terhambat, semuanya kan merasakan dampak hambatan tersebut. Itulah sebuah team yang kami pelajari di Cordova.

Mati sebelum ajal. Berhenti ditengah jalan, dan lembut sebelum menjadi bubur. Saat itulah adigium diatas terasa menjadi semacam pelita ditengah gelapnya malam. “Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta”. Kalimat itulah yang –sejatinya- menjadi pengobar jiwa tuk kembali menyuntikan rasa menghadapi kenyataan yang ada.

kita bisa sedikit membedakan apa yang dikatakan dengan bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas. Yah’ bekerja keras selalu berorientasi dengan kerjaan fisik yang mudah melelahkan, begitupun dengan bekerja cerdas, meski positif dan menghasilkan lebih dari apa yang mereka kerjakan total dengan fisik. Namun terkadang akan selalu menghadapi titik lelah dalam berfikir. Tetapi dengan kerja ikhlas yang terlahir dari hati, ia akan selalu menempatkan kerja dan karyanya sebagai bagian dari kewajiban ibadah kepada Rabb-nya. Sehingga menjalaninya dengan penuh tanggungjawab, penuh konsentrasi, dan penuh dengan pengabdian.

Jika dirumuskan, mungkin bisa seperti ini; Bekerja keras itu menghasilkan, bekerja cerdas itu melipatgandakan, dan bekerja ikhlas itu menentramkan.

Karena segala sesuatunya bermula dari hati yang menjadi komandan setiap aksi gerak manusia.

“Jika banyak sasaran besar yang tak tercapai, itu karena kita menghabiskan waktu untuk mengerjakan hal yang kurang penting dulu”
–Cordova Founding Father-

Road to Grand Manasik

Pernahkah Anda merasa stuck (?), daya pikir seolah membeku dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, luput dari schedule pekerjaan, lebih parah terjadi semacam disorientasi akan realita dihadapan kita. Diri merasa hina, rendah dan tak berguna untuk berjuang menebang semua rasa itu. Seolah terdekap oleh balutan kuat yang membungkus jiwa tuk berkreasi, pikir tumpul menembus benteng kokoh kepenatan. Tak mampu berbuat baik dengan karya sekecil apapun, tidak berkontribusi pada sel tubuh team yang saling merangkai. Bak luka yang memutus jaring salahsatu kekuatan team. Roboh tak berdaya. Mati kelaparan ditengah lumbung padi. Tenggelam di kolam kering, dan terluka ditengah pesta. Saat seperti itulah sesungguhnya kita benar-benar membutuhkan semacam miracle, yah keajaiban yang –sejatinya- muncul dan –memang- terdapat pula dalam diri kita. Mengenang, melihat dan nostalgia akan apa yang dulu sempat terjadi. Juga membangun kembali kerangka fikir akan sebuah karya hidup.

Setiap hari hidup, mulai dari membuka mata, bekerja, bercengkrama hingga kembali istirahat, tentu akan mengalami berbagai peristiwa. Namun, dari setiap peristiwa itu, selalu ada ungkapan simple nan jujur yang ‘mengganggu’, “Sudah kita isi dengan apa hari ini (?) Satu hal yang konon katanya, membuat kita hidup bahagia adalah mengisi hari dengan berbuat baik. Sesederhana apapun itu, sekecil apa pun, ketika dilakukan dengan tulus dan ikhlas, maka perbuatan baik itu akan menumbuhkan kebaikan demi kebaikan. Begitu pesan bapak, sekaligus guru kami di Cordova. Mengangkat batu yang menghalang jalan, menghibur orang yang sedih, bahkan sekedar memberi makan burung liar disekitar tempat tinggal kita sekalipun, ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan maka hal itu akan terus memberikan kebahagiaan hidup, termasuk menjadi salahsatu solusi kepenatan ‘berkarya’.

Hal demikian juga menjadi pintu masuk untuk mengatasi sebagian masalah yang menggelayut dalam ‘eksistensi’ karya kita. Karena awal kesuksesan selalu akan menjadi bekal untuk mencapai kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Orang kaya menjadi lebih kaya bukan karena harta yang dimilikinya, namun karena arah yang benar dalam usaha dan kehidupannya, yakni tindakan yang on the track dalam langkahnya, sehingga kesuksesan itu akan muncul berulang-ulang.

Pun demikian jika kita menilik dan memperhatikan disekitar kita, bahkan –mungkin- kita sering mendengar kalimat, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” think, act, change –sejatinya- bisa merubah paradigma yang tertuang dari istilah diatas, jika kita melihat diri sendiri, apakah kita semakin kaya atau semakin miskin (terlepas apakah kaya atau miskin harta maupun kaya dan miskin jiwa). Jika ternyata kita semakin miskin, maka tiada lain kita bersegera berbalik arah, karena pastinya kita melakukan kesalahan baik disadari ataupun kebodohan yang sebenarnya dirasakan. Atau karena salah menyusun konsep, terperosok akan peta kerja yang tak terkonsep.

Orang kaya yang semakin kaya, ternyata bukan karena dia memiliki harta lebih banyak, namun karena dia sudah berada pada langkah dan arah yang benar. Kesuksesan yang dia capai telah membuat efek domino untuk kesuksesan berikutnya.

Jika kita melakukan kebaikan, minimal satu kali setiap hari. Jika setiap kita terbiasa melakukan, bagaimana kita membayangkan terjadinya sebuah keindahan yang bisa terjadi dari jutaan kebaikan yang rutin dikerjakan. Sebuah harmoni yang pasti akan membawa keberkahan dan keberlimpahan pada setiap makhluk.

Do the best, Bismillah

Sebuah Otokritik – ‘Ibda Binafsika’

Hampir di setiap tahun, di penghujung Ramadhan, airmata tumpah dalam penyesalan yang mendalam. Bukan karena Ramadhan kan segera sirna laiknya para ulama yang larut dalam kesedihan, karena mendamba Ramadhan tiba setiap saat. Atau karena tangisan anak yang merengek ingin dibelikan baju lebaran seperti yang dipakai teman-temannya, atau karena tidak punya dana untuk mudik. Namun airmata yang biasa tercurah saat itu adalah rasa sesal karena menyiakan tamu yang entah akan kembali jiwa ini menyapanya, atau tidak. Tamu yang telah lama dinanti, namun sering lupa akan keagungannya. Tamu yang memberikan kesempatan peleburan genangan nista dan dosa. Menghancurkan segala kotor yang kita luluri sekujur diri di bulan-bulan lainnya. Perencanaan shaum tanpa dusta, shaum tanpa paksa, dan shaum tanpa dosa, sulit direalisasikan dalam praktiknya. Bukan menyanggah sabda Rasul yang menyebutkan Ramadhan ini pintu surga di buka lebar-lebar, pintu neraka di kunci dan syetan-syetan di ikat kencang. Benar bahwa syetan dalam bentuk jin itu di ikat pengaruhnya agar tidak mendominasi keburukan di muka Bumi, namun bagaimana dengan syetan yang berjenis manusia, atau yang memiliki watak itu, bisa saja menjadi ‘influence’ virus keburukan. Sehingga ‘mengkambing-hitamkan’ ramadhan dengan dalil itu, padahal dirinya adalah perwujudan tabiat syetan yang sulit di ikat oleh aturan Ramadhan. Begitulah sisi gelap manusia yang kadang perencanaan amal baik-nya kerap tersita dan cenderung amblas, hingga tak terasa Ramadhan berakhir.

Katanya Ramadhan bulan Qur’an, tapi tak sebaris pun mushaf terbaca. Konon Ramadhan bulan berkah, namun rezeki cepat hilang, dan terus merasa kurang. Sejatinya Ramadhan adalah bulannya silaturahmi terjaga, tetapi justru keadaan sosial dan keluarga bak neraka. Direncana sunat terawih tak terlewat, eksekusinya bolong setengah bulan. Direncana khatam Qur’an dalam Ramadan, act-nya kosong, bahkan satu Juz pun butuh sebulan membacanya. Direncana setiap Ramadhan tiba, ingin menjadi orang yang gemar shodaqah, buktinya jangankan infak shodaqah, zakat fitrah pun harus berapa kali diingatkan.

Seringkali di Ramadhan manusia menjadi lihai dalam perencanaan, -meski- sebenarnya di bulan lainnya pun demikian (pawai dalam perencanaan saja). Yah mungkin airmata yang mengalir deras di setiap penghujung Ramadhan itu, diakibatkan oleh banyaknya perencanaan yang aksinya tak sebanding dengan prosentasi gairahnya. Kalaupun tidak ‘tekor’ minimal merugi dalam menuai berkah di Ramadhan. Sehingga wajar jika Rasul bersabda “Berapa banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Limited Edition

Mohon maaf, sangat disayangkan untuk tahun ini, program HJE (Holiday Journey Edition) telah closed. Banyaknya peminat program liburan Cordova, sehingga bagi Anda sekeluarga jika ingin bersama menikmati liburan yang berkualitas bersama Cordova tahun besok, bisa mendaftarkan diri dari sekarang. Sebagai hadiah kasih sayang anak dan keluarga, kita bisa menikmatinya bersama di Tanah suci dan dua kota kaya di Timur Tengah, Abudhabi dan Dubai. Program Holiday Journey yang ditawarkan Cordova memiliki perbedaan tersendiri dengan Holiday Journey yang pernah ada. Liburan yang mencangkup aspek ukhrawi dan duniawi ini dirancang khusus memenuhi permintaan jemaah yang setiap tahun memiliki agenda libur bersama sanak keluarga. Setelah khusyuk melaksanakan umrah di Baitullah, Anda dan keluarga akan menyaksikan kehebatan negeri kaya di UEA, Dubai dan Abu Dhabi. Salahsatunya, anak kita tercinta dapat merasakan secara langsung bagaimana wahana bermain terbesar dan tercanggih di dunia dengan Ferrari World-nya. Ferrari bukan hanya mobil, tetapi sudah menjadi gaya hidup dan seni. Ia Merupakan manifestasi dari kecepatan, kemewahan dan rasa yang baik. Inilah berbagai kreasi yang luar biasa dari team ferari yang paling terkenal di seantero Bumi.

Ferrari tak melulu memikirkan bagaimana caranya untuk memproduksi mobil-mobil cepat, namun pabrikan berlambang kuda jingkrak ini mewujudkan sebuah wahana hiburan yang super canggih. Arena hiburan seluas 200.000 meter persegi ini, menyuguhkan puluhan atraksi dan game-game yang membuat kita dan anak-anak berdecak kagum. Di antaranya Roller coaster berbentuk mobil Ferrari itu bisa melesat hingga 240 km/jam dan seakan-akan membawa terbang pengunjung yang menaikinya. Ada juga atraksi yang memungkinkan para pengunjung merasakan efek G-Force, seperti yang biasa dialami oleh para pembalap Formula 1, ketika kendaraan mereka melayang ke udara. Untuk menikmati G-force, pengunjung menaiki menara dan naik di kursi yang terinspirasi dari Ferrari Enzo itu, kemudian ditembakkan ke atas sampai ketinggian 62 m. Tujuannya adalah untuk menawarkan kekuatan gravitasi seperti yang dialami di dalam kendaraan Ferrari. Tentunya untuk beberapa permaianan di Dunia Ferrari terbatas hanya untuk orang dewasa dan orang yang memiliki adrenalin tinggi.

Inilah taman hiburan yang membuat pengunjung benar-benar bisa menikmati “Si Kuda Jingkrak”. Ferrari world di Abu Dhabi akan memberikan pengalaman yang memikat dan menarik semua khalayak, termasuk keluarga dan penggemar Ferrari. So, jangan lupakan pengalaman indah yang menyenangkan bersama keluarga di liburan nanti.

Selain itu, kita bisa pula merasakan permainan ski. Di Dubai ada salju (?) Yah’ di sebuah mall besar, disamping hotel yang akan kita tinggali disulap menjadi arena ski yang sangat besar. Plus dengan kereta gantung dan arena bola salju beserta perlengkapan ski-nya. Dijamin Anda akan terpuaskan dengan hiburan bersama anak-anak tercinta. Belum lagi merasakan bagaimana naik ke sebuah menera tertinggi di dunia, Burj Al-Khalifa, menyaksikan diatasnya bulatan bumi yang jelas terpampang. Juga merasakan bagaimana keindahan dunia air di dalam mall terbesar di Timur Tengah. Sebuah pengalaman yang fantastis, pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan.

Jika diperhatikan, dewasa ini banyak aktifitas negatif berselimut indah. Racun yang tertutupi madu, maksudnya hal yang sebenarnya buruk namun di modifikasi sedemikian rapih oleh hal yang baik. Diantara sekian aktivitas negatif, sedikit kita ambil contoh bagaimana rasa malas terselimuti oleh ungkapan excuse yang meyakinkan diri bahwa hal itu adalah optimisme akan apa yang terjadi. Orang malas apapun bisa menjadi alasan. Bahkan alasan yang tampak seperti optimisme, padahal hanya sebagai dalih agar dia tidak perlu bertindak. Tentunya hal demikian sangat berbahaya, sebab akan terdengar baik dan benar padahal –sesungguhnya- dapat menghancurkan diri sendiri dan khalayak ramai.

Pernah suatu saat saya menumpang sebuah bus. Sebagai standar keselamatan sebuah bus ac harus menyediakan minimal satu tabung pemadam kebakaran seandainya terjadi apa-apa seperti kebakaran. Mungkin kita pernah mendengar banyak korban akibat terjebak di bus yang terbakar, alasannya beraneka ragam, salahsatunya –bisa jadi- karena tidak ada tabung alat pemadam kebakaran. Dari percikan api menjadi membesar karena sulit untuk dipadamkan. Untuk itu, salahsatu standar keselamatan harus ada tabung pemadam kebakaran agar bisa ter-antisipasi percikan api tersebut.

Saya melihat ke tempat tabung itu, tempat sanggahan dan tulisannya ada, namun tabungnya tidak ada. Salahsatu penumpang bus bertanya kepada kondektur, Pak tabung pemadamnya dimana (?) Dia melihat tempat sanggahan tabung, kemudian menjawab, “Ah…tidak akan terjadi apa-apa Pak” Jawabnya enteng. Seperti sebuah optimisme tidak akan terjadi apa-apa. Adakah yang bisa menjamin (?) Apa yang dia katakan itu baik-baik saja, tetapi itu hanya alasan atas kemalasan dia menyiapkan perlengkapan bus sebelum berangkat. Jika terjadi apa-apa, semisal percikan apa, apakah akan selamat hanya dengan ucapan itu (?).

Benar bahwa semua kita dianjurkan untuk bersikap optimis atas segala hal, namun usaha tetap perlu diperlukan. Optimis yang benar adalah saat kita yakin akan menghasilkan yang baik di saat kita sudah berusaha. Malas memperbaiki diri dengan dalih akan baik-baik saja. Ungkapan kondektur itu adalah salahsatu dari ribuan alasan untuk tidak menuntut diri agar berusaha mengadakan tabung pemadam tersebut. Sedangkan berusaha adalah musuh terbesar bagi orang yang malas.

Berkaitan dengan alasan-alasan ‘pemalas’ yang bisa berselimut dari kalimat ‘suci’ lainnya adalah syukur. Hal ini juga seperti kata-kata bijak, padahal hanya untuk menutupi kemalasannya meraih pencapaian yang lebih tinggi. Misalnya dengan mengatakan mensyukuri yang ada saja tanpa harus meraih yang lebih besar lagi. Padahal –sesungguhnya- kita bisa tetap bersyukur sambil tetap berusaha meraih yang lebih baik. Wong usaha kita tuk mencapai yang lebih baik tidak akan merusak syukur kita.

Ah saya mah, syukuri apa yang ada saja”, adalah –bisa jadi- ungkapan rasa malas untuk meraih kembali apa yang belum dapat diraih dengan bekerja keras. Syukur adalah urusan hati, sementara usaha adalah urusan fisik. Karenanya, syukur dan ikhtiar tidak akan saling mengganggu. Artinya, kita bisa menyukuri yang ada sambil tetap berusaha untuk mendapatkan yang lebih baik.

Di sebuah tempat nan jauh dari kota, di Jawa Barat, tampak seorang pemuda bergegas menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan kegamangan. Ia seperti mencari sesuatu di surau itu. “Assalamu’alaikum, ustadz ” ucapnya ke sosok ustadz yang selama ini menjadi guru spritual di kampung itu. Spontan, ustadz yang rendah hati itu menghentikan kesibukannya. Ia menoleh ke si pemuda dan senyumnya pun mengembang. “Wa’alaikumussalam. Mangga. Mari masuk!” ucapnya sambil membukakan gerbang kayu surau yang sudah teramat tua. Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila. “Ada apa, Kang (?)” ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup. “Ustadz, saya diterima kerja di kota!” ungkap sang pemuda kemudian. “Alhamdulillah, Syukurlah,” timpal Ustadz muda itu dengan penuh bahagia. “Ustadz, jika tidak keberatan, berikan saya petuah agar bisa berhasil!” ucap sang pemuda sambil menunduk.

Ia pun menanti ucapan sang ustadz di hadapannya yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya. “Kang, Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan,” untaian kalimat singkat meluncur tenang dari mulut sang Ustadz. Pemuda itu masih belum bereaksi. Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata sang ustadz. Tapi, tak berhasil. “Maksud, Ustadz (?)” ucapnya kemudian. “Kang, Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak jumlahnya, air kian bersemangat untuk bergerak kebawah. Ia selalu mencari celah untuk bisa mengaliri dunia dibawahnya,” jelas sang Ustadz dengan tenang.

“Lalu dengan awan, Ustadz (?)” tanya si pemuda penasaran. “Jangan sekali-kali seperti awan, Kang. Perhatikanlah! Awan berasal dari tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi,” terang sang Ustadz dengan penuh bijak. “Tapi Kang,” tambahnya kemudian. “Ketinggian awan cuma jadi bahan permainan angin.”

Dan si pemuda pun tampak mengangguk pelan.

Sebenarnya kandungan artikel ini ada korelasi dengan artikel beberapa waktu lalu (The Power of Optimism). Namun tidak salah jika kita sedikit mengulas bagaimana kekuatan harap itu bisa membuat peristiwa yang sulit menjadi sangat mudah dilakoni. Nabi Nuh belum tahu banjir akan datang ketika ia membuat kapal dan ditertawai kaumnya. Nabi Ibrahim belum tahu akan tersedia Domba ketika pisau nyaris memenggal buah hatinya. Nabi Musa belum tahu laut akan terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya ke air laut. Nabi Muhammad SAW pun belum tahu jika Madinah adalah kota tersebarnya ajaran yang dibawanya saat beliau diperintahkan berhijrah. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka harus patuh pada perintah Allah SWT dan tanpa berhenti berharap yang terbaik. Setiap kita –tentunya- memiliki harapan dari setiap apa yang kita jalani. Harapan (ar-rajaa) tidak boleh sirna selama manusia masih menjalani hidup. Ia harus tetap tumbuh seiring dengan rasa optimis dalam menghadapi kehidupan. Harapan adalah oksigen bagi jiwa yang masih menjalani kehidupan. Tanpa adanya kekuatan harap, derasnya gelombang kehidupan akan menghanyutkan manusia dalam keputus-asaan. Dengan sebuah harapanlah manusia akan berani menjalani hidup, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya, karena harapanlah kita menanam pohon meski kita tahu, kita tidak akan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun. Sekali kita kehilangan harapan, maka kita akan kehilangan seluruh kekuatan untuk menghadapi dunia, begitu pelajaran yang sering saya dengar dari sosok guru sekaligus Bapak di Cordova.

Harapan bisa membuat warna, membuat apa yang ada di dunia ini menjadi dinamis, dan harapan telah membuat perkembangan peradaban manusia sampai pada titik yang kita rasakan saat ini. harapan telah membuat yang mustahil menjadi mungkin. Adanya harapan untuk mempermudah manusia bepergian telah memunculkan berbagai alat transportasi yang semakin canggih dan cepat. Adanya harapan untuk mempermudah manusia berinteraksi dan berkomunikasi telah memunculkan alat komunikasi yang beraneka ragam. Berbicara mengenai harapan tentunya akan selalu terkait dengan kekecewaan dan kepuasan. Semuanya itu tergantung pada bagaimana cara manusia memandang atau menyikapinya. Kekecewaan akan didapatkan bilamana manusia telah diperbudak oleh harapan itu sendiri, yaitu ketika manusia memandang bahwa harapan-harapannya harus menjadi kenyataan, inilah salahsatu hal yang bersifat destruktif yang merupakan penyebab kehancuran hidup.

Sedangkan kepuasaan akan didapatkan bila manusia tidak diperbudak oleh harapan-harapan, tetapi manusia itu sendiri yang memegang kendali atas harapan-harapannya. Yang terpenting adalah bagaimana manusia menyikapi dan memandang sebuah harapan. Tidak dipungkiri bahwa harapan sebenarnya adalah sebuah “Energi”. Manusia seharusnya memandang bahwa harapan adalah sumber energi yang dapat memotivasi mereka untuk berbuat lebih dan berbuat yang terbaik tanpa tendensi apapun. Sehingga di kemudian hari akan didapatkan kepuasaan pada diri mereka karena menyadari telah melakukan hal besar yang tentunya memiliki manfaat yang besar bagi orang lain atau kehidupan.

Pun demikian dengan jemaah haji yang memiliki harapan untuk berangkat ke Tanah Suci pada tahun ini, namun terkendala dengan batasan kuota, masih memiliki harapan yang besar untuk tidak putus asa memohon dan berharap dengan segala kebajikan yang diamalkan. Karena itu juga sebagai bentuk pengharapan untuk menggapai sebuah cita-cita mulia.

Setelah harapan itu dikelola sebaik mungkin, maka –biasanya- “tangan-tangan” ALLAH bekerja di detik-detik terakhir usaha hamba-Nya. so’ Never Give up! Tetap Khusnudzon pada-Nya apapun yang terjadi.

“Wanita akan sempurna, ketika mereka tahu bagaimana cara bersikap seorang wanita”

Saya rasa semua orang, baik wanita maupun pria, setuju bahwa R.A Kartini adalah sosok yang cukup inspiratif. Ide-idenya tentang persamaan hak dalam bidang pendidikan, sosial dan politik antara wanita dan pria sedikit banyak telah berpengaruh bagi perkembangan kultur sosial di Indonesia. Meski –sesungguhnya- tidak hanya Kartini yang menjadi ibroh maupun contoh bagi para wanita muslim dunia, jika ditelusuri sejarah kekuatan wanita, maka jauh lebih besar sosok Siti Khodijah Ra, Siti Aisyah dan wanita-wanita lainnya yang tegar, berani dan berjasa dalam membela agama dan bangsanya. Namun, tidak salah pada kesempatan ini, kita sedikit membahas pahlawan local yang –bisa saja- jasanya memberikan influance secara massif tentang dimana posisi wanita berada. Emansipasi wanita, begitulah mungkin tema besar yang kerap dibahas setiap hari Kartini tiba. Sayangnya, tujuan mulia kartini, selalu mentok pada sebuah perayaan seremoni saja. Padahal sesungguhnya ia berjuang dengan kerangka yang lebih luas. Dasar perjuangannya adalah menempatkan perempuan sebagai sosok yang bermartabat. Dengan demikian, cita-cita dan perjuangan Kartini adalah sebagai way of life. Cita-cita Kartini tidak pernah berhenti pada sebuah seremoni yang –saat ini- hanya menjadi siklus tahunan saja.

Rasanya, agar apa yang dicita-citakan Kartini tidak kebablasan dari emansipasi yang berubah wujud menjadi liberalisasi, kesamaan gender dll, maka tidak salah kita sedikit melirik bagaimana Kartini bersentuhan dengan Islam sebagai pola dasar pemikirannya yang segar, dan menjadi inspirasi jutaan manusia. Hidup dalam kubangan feodal, dan kungkungan adat jawa, Kartini mencoba untuk terus mencari jawaban agar dia beserta kaum wanita lainnya memiliki dasar perubahan yang ‘memberontak’ adat istiadatnya.

Akhirnya ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu bergolak di dalam pemikirannya. Terutama dalam menemukan Islam yang paripurna, sehingga ia mencoba mendalami ajaran Islam dengan menuangkan dalam tulisan surat-menyurat kepada sahabat dan orang sekitarnya. Awalnya, ajaran-ajaran Islam tak mendapat temapat dalam benak Kartini. Hal ini karena pengalamannya yang pahit dengan Sang Ustadzah. Ustadzahnya menolak menjelaskan makna ayat yang sedang diajarkan.

Dalam suratnya kepada Stella, sahabatnya, pada tahun 6 November 1899. Ia menuliskan “Mengenai agamaku Islam, aku harus menceritakan apa (?) Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya. Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Sedangkan disini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab.

Disini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya.”

Dalam waktu pencariannya itu, Kartini bertemu dengan Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Semarang telah merubah segalanya. Kartini tertarik pada terjemahan surat Al-Fatihah yang disampaikan sang Kyai. Kartini pun mendesak salahsatu paman untuk menemaninya bertemu sang Kyai. Mari kita ikuti bagaimana petikan dialog Kartini dengan Kyai Sholeh, yang ditulis Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh.

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya (?)”. Tertegun Kyai Sholeh mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian (?)” Kyai balik bertanya. “Kyai, selama hidupku baru kali ini aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan main rasa syukur hatiku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Sejak itulah Kyai Sholeh menterjemahkan Al-Qur’an ke bahasa Jawa, dan dihadiahkan kepada Kartini. Dari sanalah perubahan mendasar terlahir dari setiap ide dan pemikirannya. Karenanya dalam menerjemahkan perjuangan dan spirit Kartini seharusnya dipelajari juga bagaimana filosopis buah pikir itu. Sehingga tidak terwejawantahkan dengan melampaui batas. Sebagaimana surat Kartini kepada Prof. Anton, salahseorang gurunya, 4 oktober 1902. “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya. Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”

Tak ada sepatah katapun dalam surat tersebut yang mengajarkan wanita untuk mengejar persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran agar sejajar dengan kaum pria. Kartini memahami bahwa kebangkitan seseorang ditandai oleh kebangkitan cara berfikirnya. Kartini mengupayakan pengajaran dan pendidikan bagi wanita semata-mata demi kebangkitan berfikir kaumnya agar lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai seorang wanita.

Atas nama perjuangan Kartini, sebagian wanita kini, justru terjebak pada nilai-nilai liberalisasi dan ide-ide Barat yang justru ditentang oleh sang pahlawan. Perjuangan yang kini dilakukan oleh para feminis, pembela hak-hak wanita sangat jauh dari ruh perjuangan Kartini. Kartini tidak menuntut persamaan hak dalam segala bidang. Kartini hanya menuntut agar kaum wanita diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Tak lebih dari itu.

Kartini telah mati, yah jasadnya telah puluhan tahun di perut bumi. Namun nama besarnya masih menjadi acuan hidup sebagian besar wanita negeri ini. Namun, entahlah sesuai atau tidak tujuan yang ia bangun dengan apa yang terjadi saat ini (?) Semoga (cita-cita) Kartini tidak mati juga!

Selamat Hari Kartini, untuk wanita Indonesia!