Rasanya untuk saat ini, saya harus keluar terlebih dulu dari lingkaran fikih mengenai hukum merayakan Maulid Nabi. Satu hal yang –mungkin- selalu menjadi diskusi alot antara yang boleh dan tidak. Saya hanya ingin membangunkan rasa cinta pada idol sesungguhnya, kekasih –yang seharusnya- menjadi paling sejati diantara cinta dan kasih terhadap manusia lainnya. Rasulullah SAW, Muhammad bin Abdullah. Yah, keagungan cintanya kepada kita, tidak akan pernah tersaingi oleh makhluk yang pernah ada dalam jagad ini. Sejujurnya, jika bukan karena tanggal merah, atau tulisan-tulisan besar pada baliho di jalanan mengenai Maulid Nabi, Saya –mungkin- akan semakin melupakan-mu duhai Rasul. Mungkin juga, ungkapan shalawat yang setiap hari terlontar hanya sebuah kelayakan dzikir usai ibadah shalat, tanpa mendalami betapa hidupmu penuh dengan rasa cinta kepada kami. Maafkan kami yang meninggalkanmu dalam buku-buku sejarah yang entah sudah chapter keberapa, karena luput dari ingatan. Serta merasa cukup dengan memajang namamu pada hiasan dinding rumah dan masjid yang begitu indah. Maafkan kami ya Rasulallah yang ternyata masih saja ingat kepadamu karena sebuah momentum, karena sebuah baliho dan tanggal merah, masih teramat jauh dengan cinta kasihmu yang teramat besar.

Semua orang –mungkin- pernah merasakan bagaimana rasanya ketika dihinggap perasaan rindu, asa yang menggebu. Jiwa yang meronta karena ingin segera berjumpa. Siang malam gelisah, pasrah menunggu saat yang begitu dinanti. Terlebih jika penantian itu terhadap sosok mulia pembawa risalah, jangankan menatap dan menyentuh makamnya, mendengar nama mulia-nya saja, hati terasa bergetar, shalawat menggema dalam jiwa. Dan rasa melebur dalam raga. Semua partikel mengalir dalam tubuh. Tak akan pernah ada seorang muslim –sejati- luntur dari rasa cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. Meski tak pernah jumpa dan menatapnya, hati kan selalu merindu.

Dalam sebuah syair Arab disebutkan; Bagaimana mungkin dapat diimbangi seorang insan terbaik yang hadir di muka Bumi. Semua orang yang terpandang tidak akan mampu mencapai ketinggian derajatnya. Semua orang yang mulia tunduk dihadapannya. Para penguasa Timur dan Barat rendah disisi-nya. Abdullah bin Mas’ud (sahabat Rasul), mengungkapkan; Sampai sekarang masih terlintas dalam ingatanku saat Rasulullah SAW mengisahkan seorang Nabi yang dipukul kaumnya hingga berdarah-darah. Nabi tersebut mengusap darah pada wajahnya seraya berdo’a “Ya ALLAH, ampunilah kaumku, karena mereka kaum yang jahil.

Shalawat dan salam bagimu duhai Rasulullah, kekasih ALLAH yang sangat kami rindu. Izinkan kami tuk selalu berada di samping pusaran Rasul-MU, sebelum jiwa meregang kehadirat-MU Yaa Rabb. Mudahkan dan berikan limpahan rezeki umat Islam yang tak kuasa membendung luapan rindu dalam diri. Kami mohon jangan ENGKAU matikan hati dan jasad terlebih dulu sebelum berada di tanah suci-MU dan dekat dengan kekasih-MU

Atas nama seni, teman saya membiarkan rambutnya gondrong dan berantakan (baca; acak-acakan), atas nama seni juga teman saya menggambar tubuhnya dengan tato, semua perihal kebebasan selalu di sandarkan dengan aktivitas seni. Seni tak terbatas oleh norma, komentarnya. Namun, tahukah dia bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir kita (?) watak dan aktivitas hidupnya kan terpengaruhi oleh kekuatan seni yang mengalir dalam darahnya. Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, ALLAH menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah.

Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya ALLAH Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah. Bukan malah karena mengaku, atau mengatasnamakan seni, ia malah bebas membiarkan rambut atau anggota tubuhnya berantakan.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis.

Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)

Lebih dari 4000 tahun lalu, tiga anak manusia, dengan bekal secukupnya, berjalan kaki sejauh 2000 km melintasi gurun pasir dari Syam menuju lembah tandus yang tak berpenghuni, Bakkah. Mereka adalah satu keluarga: Ibrahim, sang ayah, Ismail, sang anak yang masih bayi, dan Hajar, sang ibu. Dapatkah kita menghitung bahwa jarak tempuh mereka mungkin -saat ini – sebanding dengan jarak antara Sulawesi – Jakarta. Di lembah Bakkah, mereka memulai kehidupan baru tanpa siapa-siapa. Ya, cuma mereka bertiga. Tidak lama setelah itu, sang ayah mendapat perintah dari Dzat Mahakuasa untuk kembali ke negeri asalnya serta melanjutkan tugas-tugas sucinya di sana. Sungguh, ia tak kuasa memberitahukan perintah itu kepada istrinya. Namun, harus bagaimana (?) Dengan terbata-bata, akhirnya, disampaikannya juga perintah itu.

“Apakah Kakanda akan meninggalkan kami di sini, di gurun gersang tak berpenghuni ini, tanpa siapa-siapa (?)”, tanya istrinya dengan sendu. Nabi Ibrahim hanya terdiam karena sungguh -memang- ia tidak memiliki jawabannya dari sudut pandang manusiawi. “Atas perintah ALLAH-kah ini wahai Kakanda (?)”
“Ya…”, jawab sang suami dengan lirih.

Menurut kita, logika mana yang dapat menerima seorang ayah harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah di sana (?) Dapat dibayangkan, jika saja saat itu sudah berdiri Komnas HAM, tentunya NABIYULLAH Ibrahim As sudah diseret ke pengadilan HAM karena dakwaan pelanggaran HAM berat. Namun begitulah, tidak semua hal dan peristiwa di dunia ini dapat dilogikakan oleh manusia. Yang dapat menerima rumus logika hanyalah yang sifatnya “rasional”, sedangkan hal-hal yang suprarasional, bukan menjadi wilayah garapannya

Sebelum meninggalkan mereka di lembah itu, Nabi Ibrahim menengadah ke langit. Dengan tangan terangkat, ia menggumamkan beberapa penggal doa, bukan untuk menunjukkan kegalauan hatinya, melainkan sebaliknya. Untaian munajat itu justru untuk mempertegas keyakinannya akan kepastian jaminan yang diberikan oleh ALLAH SWT, Sang Pembuat Skenario, yang memilih ia dan keluarganya sebagai pemeran utama.

“Ya, RABB”, demikian orang tua suci itu memulai doanya, “Sungguh aku telah menempatkan dzurriyat (istri dan anak)-ku untuk menetap di lembah yang tak tertumbuhi tanaman apa pun, di sisi rumah-MU yang disucikan. Yaa RABBANAA, semua itu kulakukan agar mereka mendirikan salat. Maka penuhilah hati sebagian manusia dengan cinta kepada mereka dan rezekikan kepada mereka buah-buahan agar mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).

Sungguh sebuah doa yang visioner dari seorang visioner! Dan, lihatlah, bagaimana ia menjadikan “rezeki buah-buahan” sebagai prioritas terakhir dalam permohonannya itu.

Dalam bagian munajat-munajatnya yang lain, lelaki suci ini kembali menunjukkan visi futuristiknya yang cemerlang. Saat itu, ia telah meng-install di alam bawah sadarnya bahwa sebentar lagi lembah Bakkah yang gersang, tandus, dan tidak berpenghuni itu akan menjadi kawasan yang makmur, aman, dan sejahtera. Lihatlah, bagaimana visi itu dituangkan dalam doa.

“Wahai RABB, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman dan berikanlah rezeki kepada penduduknya berupa buah-buahan yang banyak…” (Q.S. al-Baqarah: 126).

Visi yang dilandasi skill individu dan spirit keagamaan tentunya akan menghasilkan visi yang Mardho TILLAH. Karenanya, jangan pernah bermain-main dengan visi, sebab itulah yang akan menampakkan kehidupan kita selanjutnya, setelah langkah saat ini tertapak.

“Cinta itu laksana pohon dalam jiwa, akarnya adalah ketundukan, dan buahnya adalah ketaatan, tanpa pohon Bumi kian gersang” –Cordova Founding Father

Banyak syair yang menceritakan tentang kekuatan cinta. Tentang sesuatu yang dapat merubah segala hal mustahil menjadi nyata. Tentang rasa yang mendorong raga tuk melakukan segala asa, dan masih banyak hal yang terungkap dari cerita cinta. Namun sering juga cinta menjadi absurd, dari dan untuk siapa rasa cinta tertinggi itu diberikan. “Jangan terlampau besar mencinta, karena dapat terjatuh pada jurang kebencian”, adigium yang sering terdengar dari pujangga cinta itu –tentunya- hanyalah sepenggal cinta sesama makhluk. Namun berbeda ketika rasa cinta itu tertuangkan kepada Dzat Maha Pen-Cinta. Bahkan seorang sufi selalu memposisikan dirinya sebagai ‘Pengemis’ cinta Ilahi, bahwa cinta tertinggi itu hanyalah untuk ALLAH SWT.

Jika dicermati dengan nurani, maka puncak perjalanan hidup manusia –sesungguhnya- adalah mahabbah atau cinta, dan yang berhak untuk menerima cinta tertinggi kita hanyalah ALLAH SWT. DIA lah satu-satunya Mustahiq cinta. DIA hanya berlaku diskriminatif dalam urusan agama dan cinta saja. IA hanya mencintai orang yang mencintai-NYA. Dan IA memberikan kepada siapa saja kasih sayang-NYA, tetapi tidak dengan cinta (hubb)-NYA. Semakin kita mendekat, maka IA akan semakin merapat kepada kita, pun demikian semakin jauh kita pada-NYA, maka kenestapaan yang teramat dahsyat bagi manusia. Sebab DIA tidak akan pernah mendekat kepada kita.

Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi’ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: “Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu, tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada ALLAH SWT”. Tentang cinta itu sendiri, Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada ALLAH adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah terhitung dalam mencintai ALLAH SWT. Seorang mukmin pecinta ALLAH pastilah mencintai apa-apa yang di cintai-NYA pula. Rasulullah pernah berdoa: “Ya ALLAH karuniakan kepadaku kecintaan kepada-MU, kecintaan kepada orang yang mencintai-MU dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-MU.

Jiwa para pencinta, tak kan pernah mengemis cinta kepada selain kekasihnya. Ia terus memberikan cinta kepada Mustahiq cinta hakiki, tak peduli harus berkorban hidup yang berupa materi. Karena dengan mencintai-NYA, ia kan terjamin oleh kekasihnya yang MAHA segalanya.

Rasanya jika kita tanya ke separuh muslim Indonesia secara random tentang nama-nama bulan hijriyyah, atau menanyakan tanggal berapa hari ini dalam kalender Hijriyyah, pastinya masih banyak yang kurang paham. Kalau pun tahu, -mungkin- akan berpikir sejenak sebelum menjawabnya. Mengapa demikian (?) karena memang kalender Hijriyyah masih terasa asing dalam penentuan tanggal di negeri ini. Selain itu, gebyar dari peralihan tahun Masehi begitu membahana di langit bumi. Kemeriahannya menyulut semua generasi dari generasi mengenang setiap peralihan tahun Masehi. Sebelum mengupas tentang dominasi Masehi atas Hijriyyah, baiknya kita bahas dulu tentang tahun Hijriyyah dan Masehi. Penanggalan Bulan Hijriyyah adalah mengikuti perputaran bulan, bukannya matahari seperti penanggalan Masehi. Oleh karena itu, jumlah harinya pun berbeda. Hijriyyah memiliki 11 hari lebih pendek dari Masehi, karena dalam perhitungan matahari dalam satu tahun terdapat 365 hari, sedangkan pergerakkan bulan hanya terdapat 354 hari.

Ada dua sisi jika kita perhatikan mengenai dua tahun ini, pertama ditelaah secara history, kedua dengan pendekatan adat dan tradisi. Baiklah pertama kita kupas sedikit tentang Masehi. Tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (Sebelum Masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Adapun Bulan Hijriyyah, seperti namanya, ia ditetapkan setelah Rasulullah SAW Hijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan sekedar secara fisik tapi juga hijrah secara drastis dari sisi mental. Seperti yang diungkapkan oleh sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab tentang hijrahnya Nabi Muhammad Saw, bahwa “Hijrah itu membedakan antara yang hak dan bathil”.

Secara tradisi, peringatan Tahun Baru Masehi merupakan budaya asli Eropa yang di impor ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sebelum masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengenal kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Budaya peringatan Tahun Baru Masehi tak lepas dari peringatan kelahiran Isa Al Masih as. dalam kepercayaan orang Kristen. Nama Masehi diambil dari kata Al Masih -gelar untuk Nabi Isa AS-. yang dianggap Tuhan oleh Umat Kristen. Secara bahasa, kata Masehi juga sering digunakan untuk menyebut nama lain dari agama Kristen. Tahun Masehi dalam bahasa Latin disebut Anno Domini (Tahun Tuhan), disingkat AD.

Kendati demikian, apapun alasan yang terlontar dengan pendekatan histori atau pun tradisi, kita masih harus mengakui, bahwa tahun Masehi masih sangat melekat dikalangan masyarakat kita. Entahlah, apakah itu konspirasi Yahudi agar umat Islam terhindar dari pengetahuan tentang penanggalan Islam, yang nota bene sebagai acuan dari penjadwalan ibadah, atau memang karena kitanya sendiri (muslim) yang tidak ingin di ribet kan dengan dua penanggalan Hijriyyah maupun Masehi. Syiar tentang pentingnya penanggalan Hijriyyah, masih kalah dengan geliat mereka yang ‘memiliki’ tahun Masehi. So, kita masih sadar, bahwa Masehi (masih) Juara.

Nama aslinya Didi Darmadi, namun terkenal dengan sebutan Jantux. Wajahnya sedikit sangar, rambut panjang bergelombang, serta perawakannya subur namun berotot. Yah, Didi adalah sosok yang kerap kami jumpai di kawasan Cordova office. Meski terlihat ‘sangar’, namun –sesungguhnya- Didi memiliki hati yang mulia. Selain bekerja sebagai ‘tukang parkir’ di sebuah mini market, ia juga merangkap sebagai tukang ojek. Pelanggan ojeknya bukan hanya kalangan WNI, bahkan ia mengaku banyak juga orang ‘bule’ yang menjadi pelanggan setianya. “Setiap pagi saya mengantar ‘bule’ asal Inggris ke kantornya di daerah Sudirman, setelah itu kembali giliran sama teman-teman jaga parkir”, gumam Didi yang hobi menggunakan kacamata hitam kemana pun itu.

Sepintas, orang yang baru pertama melihat penampilannya, akan mengira bahwa Didi adalah seorang Preman. Yah, preman ‘kampung’ yang konon sering mengganggu kepentingan umum. Namun jika mengenal lebih dekat dengan Didi dan teman-teman ‘seperjuangannya’, maka penilaian itu salah. Didi bersama temannya itu, hanyalah sekelompok orang yang mencari nafkah dengan apa yang bisa mereka kerjakan. Bagi mereka, pekerjaan sebagai tukang parkir dan tukang ojek bukanlah suatu pekerjaan yang hina. Bahkan mereka menikmati pekerjaannya, bersemangat mendulang rezeki, -meski- harus berjuang lebih keras untuk survive di tengah geliat kehidupan masyarakat Kemang.

Jika ditelusuri lebih lanjut, tentunya kita akan salut dengan Didi ‘n’ the gank. Bagaimana tidak, dengan penghasilan seadanya, ternyata Didi bisa menyekolahkan adik-adiknya. Ia rela putus sekolah dan bekerja ‘serabutan’ hanya karena lebih memilih agar adik-adiknya lah yang melanjutkan sekolah. Pun demikian dengan M. Tisna, yang terkenal dengan sebutan Dede, atau juga Opick yang akrab di panggil Jawa. Nasibnya hampir sama dengan Didi, bedanya mereka sudah berkeluarga dan memiliki buah hati. Penghasilan mereka pun terfokus untuk mengepulkan dapur serta biaya pendidikan anak-anaknya.

Meski hidup dalam kesederhanaan, jika kita singgah ke tempat ‘nongkrong’-nya, maka akan tampak sebuah kencleng kuning, dibalik kaki besi antena Parabola milik mini market tempat mereka ‘bekerja’. Saat ditanya, ternyata kencleng itu adalah uang rembukan sisa dari uang parkir. Setiap harinya mereka menyisihkan sepuluh persen dari pendapat uang parkir. Lalu setelah terkumpul banyak, mereka serahkan uang itu kepada anak-anak yatim yang berada disekitarnya. Penanggungjawabnya adalah Opick, atau ‘Jawa’. Sosok yang pertama kami kenal di daerah itu, bahkan nyaris menganggap sebagai Preman Kemang Timur saat itu.

Ternyata setelah dekat dan mengenal mereka, banyak sisi positif yang kami dapatkan dari mereka yang nampak ‘terpinggirkan’ oleh kehidupan ibukota. Jiwa yang senantiasa bersyukur, tidak mengeluh, solidaritas, serta apa-adanya. Terkadang kami harus banyak belajar kepada mereka tentang arti kehidupan. Tentang sebuah mental manusia ‘pekerja’, manusia yang penuh rasa, manusia yang terlepas dari zona nyaman.

Kami hanya bisa menatap tawa lepas mereka di balik jendela ber-krey kayu.

Pahlawan adalah manusia misterius. Karya tanpa nama, keberadaanya tiada namun berasa. Terpuruk, terluka, demi bangsa dan agama –Cordova Founding Father-

Pagi itu, gerbang menuju pemakaman tua baru saja terbuka. Ratusan langkah mulai menapaki anak tangga di sebelah utara tempatku menginap. Ratusan bahkan ribuan pusara dan batu nisan berjejer rapi. Tidak ada yang unik, semuanya hampir sama bentuk dan panjang-nya makam-makam itu. Jarak antara satu makam ke makam lain hanya berapa kasta saja, antara blok satu dengan blok lain di batasi jalan untuk mereka yang berziarah. Meski tanpa pohon kemboja yang selalu menghiasi makam di Tanah Air, ratusan nisan itu tetap terlihat bersih dan terawat. Tidak pula berlapis semen, atau keramik mewah. apalagi berlapis emas atau replika helm diatas pusaranya. Nisan yang dijadikan sebagai petunjuk itupun hanya seponggah batu biasa. Hanya sebagai tanda, bahwa area itu adalah makam seseorang. Makam manusia mulia yang merupakan pahlawan sebenarnya.

Yah, di dalam sana jasad manusia-manusia mulia terkujur. Tanpa terukir sedikit pun nama dan jasa mereka. Tanpa hiruk pikuk pro dan kontra, layak atau tidak bergelar pahlawan. Kontribusinya sangat jelas dan terasa oleh jutaan manusia hingga kini. Saya tidak begitu paham tentang letak sahabat Rasul yang satu dengan yang lain, karena memang bentuknya sama rata. Tidak ada perbedaan antara raja dan budak, kaya dan miskin, semuanya sama bernisan batu. Hanya beberapa sahabat dekat Rasul saja yang –mungkin- di yakini letaknya dimana, itu pun kerap diakhiri oleh empu (penjaga) Makam Baqi itu dengan ungkapan Wallahu ‘alam.

Saya tidak akan memperpanjang tentang dimana letak makam sahabat Rasulullah SAW itu berada, saya hanya ingin mengkorelasikan makna pahlawan hakiki dengan pemahaman pahlawan yang banyak diperdebatkan di negara kita. Tentang bagaimana para pahlawan diberlakukan oleh kita sebagai penerima tongkat estafeta kehidupan beragama dan berbangsa. Siapa –sebenarnya- yang layak menerima gelar pahlawan (?)

Bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawan-nya. Tetapi apa cukup mereka hanya menjadi sebuah simbol yang akan ramai dikunjungi saat ritual penghormatan setiap 10 November (esok hari) di atas batu nisan (?) Hemat saya –justru- Bangsa ini akan besar ketika attitude dan action para pahlawan dapat menyemangati segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak lantas dengan segala ‘kepentingan’ berebut tuk mendapatkan empati sebagai pengusung ‘Sang Pahlawan’, tetapi sikap dan jasa sosok yang di usung melebur usai upacara ‘Penghormatan’ itu.

Menurut pandangan saya, siapapun memiliki kans sebagai Pahlawan, tidak terkecuali mereka yang melakukan perjalanan haji menuju Baitullah. Selain menyempurnakan bangunan keislamannya, rangkaian doa mustajabnya kerap memberikan sentuhan Ilahiyyah guna kemakmuran bangsa. Karena tanpa elemen itu, Indonesia tak kan pernah mampu bertahan menuju suatu kenikmatan berbangsa dan bernegara. Terlebih bagi mereka yang gugur dalam kesucian di tanah-Nya. Mereka bukan hanya sebagai haji yang mabrur, tetapi pahlawan dan duta Bangsa yang mengharumkan Bangsa di atas nisan yang penuh dengan keberkahan.

Saya kembali pada gambaran dihadapan saya pada makam Baqi, dihadapan nisan yang tak bertuan, makam yang penuh berkah, makam pahlawan sesungguhnya, pahlawan yang tak ingin namanya terukir diatas ukiran apapun, pahlawan sejati yang membela kebenaran seutuhnya. Mereka terpuruk, terluka dan terkoyak hanya demi kemuliaan anak-cucu dan bangsanya. Pun demikian, semoga para Pahlawan bangsa ini selalu diberikan tempat yang terindah di sisi-NYA. Juga memberikan semangat kepahlawanan bagi kita semua, seperti kata Cordova Founding Father di atas; Mereka adalah manusia misterius, berkarya tanpa nama.

Denyut aktivitas sudah sangat terasa mengarah pada sebuah agenda besar, agenda yang tak pernah berujung hingga kehidupan berakhir, gejolak rasa telah berhembus pada jiwa setiap calon tetamu suci-Nya. Hanya 14 hari lagi mereka kan bercengkrama di pusat bumi yang teramat suci. Semua persiapan telah terancang tuk menopang tegaknya kalimat mabrur, bersatu dalam kelembutan jiwa, meraih semua asa yang tercita. Melangkah pada tahapan selanjutnya, Cordova tengah mengutus dutanya tuk mengurus barcode haji (nomor identitas Cordova saat haji) di Tanah Suci. Dari masalah akomodasi, transportasi dan hal lain yang bersangkutan menjadi program kerja sang duta di Tanah Haram. Tentunya banyak fenomena yang terjadi saat proses barcode, karena itu hanya bergantung kepada Allah dan ikhtiar yang maksimal semua harapan kita kan terkabul. Lebih khusus nakhoda Cordova berpesan pada sang duta, tuk selalu memiliki jati diri yang tak pernah angkuh, berlari terantuk-antuk, menangis namun tetap berlari dengan senyum dan penuh keikhlasan. Doa menjadi pengawal niat, Bismillah menjadi panglima kata saat melangkah.

Sejuta doa mengawal langkah sang duta, semoga dalam proses barcode, kemudahan menyelimuti perjalanannya. Setiap individu menjadi bagian tim yang tak terpisahkan, tim Jakarta mempersiapkan perlengkapan ‘juang’ para hujaaj, tim KSA membantu duta dalam meyiapkan segala sesuatunya di Tanah Suci. Mengikat jemari tuk bersama mengawal niatan suci adalah salahsatu bentuk ikhtiar tuk meraih kemuliaan.

Waktu terus bergulir, ia tak pernah menyempatkan tuk kembali melihat dan berhenti menanti sebuah peristiwa. Siap atau tidak, waktu akan melanggeng menapaki trayek yang tak pernah berubah. Semuanya akan ‘pasrah’ mengikuti porosnya. Sebuah peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari, lambat laun akan dihampiri jua oleh sang waktu. Pun demikian masa penantian haji, ia kan menjadi sebuah penantian yang berarti, segala bentuk persiapan baik materi maupun mental menjadi sebuah bekal yang tak terhingga di Tanah suci nanti.

Mengiringi langkah sang duta, biarkan bismillah menjadi panglima kata, tuk meraih segala cita. Bismillahi, Allahumma yassir wala tu’asshir!

Petang itu, hujan lebat baru saja reda. Jalanan ibukota mulai penuh dengan genangan air, kontan saja waktu sibuk-sibuknya orang pulang kantor itu membuat jalanan semakin macet. Mengantri, menghindari lubang dan genangan air. Terlebih waktu itu adalah hari Jum’at, malam weekend. Meski tidak turun hujan, biasanya macetnya selalu panjang. Dengan sedikit cemas, saya meminta kepada supir taksi untuk mencari jalan alternatif menuju Tebet. Saat itu, saya mendadak harus segera ke Bandung, setelah mendapat kabar bahwa orangtua saya sakit keras. Karena satu-satunya transportasi yang available saat itu adalah travel yang lokasinya di daerah Tebet, Jakarta Selatan, itupun tersisa hanya satu seat lagi. Maka tanpa berpikir panjang saya segera melaju kesana menggunakan taksi dari Depok. Jam keberangkatan travel itu pukul 19.30, sedangkan jam 19.00-nya, posisi saya masih di daerah Pasar Minggu, karenanya saya sedikit kurang nyaman duduk dengan selalu melihat jam tangan. “Biasanya kalau arah menuju Pancoran jam segini gak terlalu macet Bang”, gumam sang supir, seolah telah paham keresahan saya takut terlambat mobil travel.

Wal hasil, sesampai di lokasi, saya memang terlambat, dan tertinggal travel yang sudah jalan sejak 10 menit yang lalu. Sedangkan schedule keberangkatan lainnya hanya ada pukul 23.00 malam, itupun seat-nya sudah full. Diantara rasa kecewa, saya teringat dengan transportasi Kereta Api, yang jadwal keberangkatan terakhir menuju Bandung adalah pukul 20.35. Pikir saya masih tersisa sekitar 45 menit, karena hujan telah reda, saya segera meluncur menuju stasiun Jatinegara menggunakan ojek. Syukurlah, tiba di stasiun Jatinegara saya masih berkesempatan mendapatkan tiket dan berangkat tepat pukul 20.35.

Setelah lebih dari sepertiga perjalanan, suasana gerbong yang sejak awal terasa hening dan ‘nikmat’ untuk beristirahat, tiba-tiba terganggu oleh dua anak kecil berumur 4 dan 6 tahun yang berlarian di dalam gerbong. Sesekali pramugari KA menegur ramah untuk tidak berlari-lari di dalam kereta. Sedangkan seorang ibu bercadar yang diduga orangtuanya, hanya diam memandang ke arah jendela KA. Seolah tak peduli anak-nya mengganggu penumpang kereta lainnya. Setelah pramugari meninggalkan gerbong, anak-anak itu kembali berlari-lari, dan kini saling berebutan mainan. Kesana-kemari sambil berteriak, dan “Prang” anak yang berusia 4 tahun menyenggol seorang Bapak yang sedang menyantap mie kuah, hingga tumpah mengenai pakainnya.

Bukannya kaget dan meminta maaf, si ibu yang bercadar itu hanya melirik sekali ke arah suara mangkuk itu jatuh, lalu kembali terdiam. Dan anak-anak itu masih berlari ke arah belakang dengan teriakan yang semakin mengganggu penumpang se isi gerbong. Kontan saja, bapak berusia sekitar 50 tahun, yang tertumpahi itu merasa kesal, dan mendatangi si perempuan bercadar itu, “Bu, tolong anaknya di jaga dong”, ujar si Bapak sembari melihatkan pakaiannya yang terkena air mie, kesal. beberapa penumpang yang bersebelahan dengan saya pun menggerutu atas aksi cuek-nya si ibu bercadar. Si ibu memanggil anak-anaknya dan menyuruhnya duduk, namun tidak lama kemudian si anak kembali keluar dari tempat duduknya dan kembali berlari-lari. Bahkan kini mereka memainkan tombol pintu otomatis, tempat keluar-masuk yang juga bersebelahan dengan toilet gerbong.

Karena begitu kesalnya, banyak dari penumpang yang awalnya merasa khawatir jika si anak terjatuh, atau kenapa-kenapa saat kereta sedang jalan, kini seolah geram kepada si ibu, karena merasa membiarkan anak-anaknya berlarian mengganggu penumpang lainnya. Hampir semua penumpang di gerbong itu merasa kesal.

Setelah berapa lama memainkan tombol otomatis pintu itu, seorang ibu separuh baya baru saja keluar dari toilet, ketika masuk ke gerbong, kakinya sedikit terjepit oleh pintu otomatis, dan hampir terjatuh. Ternyata tombol otomatis itu di pijit oleh anak yang berusia 7 tahun. Si ibu semakin geram, namun ia sadar yang dihadapinya adalah anak-anak, maka ia menghampiri wanita bercadar yang duduknya tepat dua baris di depan saya. “Bu bisa ngurus anak gak sih!” bentaknya keras. “Dari tadi anaknya mengganggu semua penumpang, tapi ibu koq diam saja”. Katanya dengan nada tinggi. Si ibu bangkit dan menghampiri kedua anaknya, menenangkannya dan membawa kembali ke tempat duduk mereka.

Dengan sangat sopan dan hati-hati ia berujar ke para penumpang bahwa ia bukan ibunya, “bapak, ibu semua, saya mohon maaf atas kelakuan anak-anak ini, mereka adalah keponakan saya, saya masih shock dan benar-benar bingung bagaimana menceritakannya kepada mereka, bahwa ayah dan ibu-nya baru saja meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas sore tadi, saya masih belum tega menceritakannya kepada mereka, saya masih menahan untuk bercerita, bahwa kita ke Bandung akan melihat jasad orang-orang yang sangat dicintainya”, sambil tak kuasa dari hentakan suaranya, terdengar si ibu bercadar itu menangis tak kuasa hingga memeluk kedua keponakannya yang ternyata baru tahu bahwa orangtuanya telah tiada.

Hampir seluruh penumpang se gerbong itu terdiam, sikap mereka berubah total, dari memandang kesal karena kenakalannya berubah menjadi iba dan kasihan.

Ending peristiwa ini mengajarkan saya, betapa dengan sebuah informasi yang jelas, maka keadaan akan berubah 180 derajat. Karena dengan informasi, maka segala sesuatunya akan berjalan mulus. Betapa banyak kehancuran di sebuah project, karena lemahnya faktor informasi yang dikomunikasikan dengan sangat jelas.

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku. Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu. Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku. Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur. Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku. Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi ? Ketika aku tak paham sedikitpun tentang teknologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu. Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku. Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas. Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan. Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku. Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur. Dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.

Ketika aku sudah sulit memandangmu, terkadang –juga- lupa siapa kamu, bukan karena aku tak mencintai dan menyayangimu. Justru kecintaan yang tulus itu telah menutupi rasa dalam penglihatan ini. Maafkan aku, bila tiba-tiba aku menangis dan hati ini hancur, meski menurutmu, kamu tak berkata keras, tapi bagiku teramat keras. Mungkin karena kau lupa, bahwa aku sangat tidak senang jika ada orang yang berkata keras atau kasar kepadamu sewaktu kecil. Jangan heran jika aku nanti memiliki banyak permintaan, janganlah semua kau turuti permintaanku, karena –memang- aku hanya ingin diperhatikan.

Ketika nanti aku telah menguban dan menjadi pikun, jika tidak keberatan, janganlah kau pisahkan jasad ini dengan darah yang mengalir pada dirimu. Jangan pula kau jarakkan aku dengan anak-anakmu, karena mereka lah yang membuatku mampu bertahan sampai sekarang. Kalau boleh aku meminta, jangan pula kau berikan padaku sebuah tempat mewah dengan fasilitas wah di rumah jompo, karena aku ingin disaat terakhir hayatku, mata ini dapat terlebih dulu melihatmu bersama anak-anak tercinta.

Ketika aku tua, maukah kau memanjakan ku (?)