Sang waktu terus berlalu. Tak terasa musim haji kembali tiba. Tiga juta muslim dari segala penjuru kini tumpah-ruah di bumi bersejarah Makkah. Mereka bersimpuh di hadapan Ka’bah, kiblat seluruh muslim dunia. Nabi Ibrahim AS telah tiada, namun kedalaman tauhid Khalilullah beserta keluarganya selalu dikenang hingga kini. Pengabdian yang tulus kepada Rabb-nya, tidak pernah membuat mereka menawar perintah Allah Ta’ala. Meski kadang perintah itu tak masuk nalar manusia. Kini, mata seluruh muslim dunia tertuju ke sana. Mereka yang beragam suku dan budaya disatukan dengan satu syi’ar: “Labbaik, Allahumma labbaik… Labbaik laa syarikalaka labbaik…” Ka’bah yang menjadi sentral, selalu memunculkan kedengkian dari dulu kala. Raja Abrahah, pernah membangun tempat ibadah begitu besar dan indah di Yaman untuk menandingi keagungannya. Tapi, seorang Arab badui justru membuang hajat di sana. Abrahah marah dibuatnya. Dengan tentara gajah, ia menuju ke Makkah untuk menghancurkan Ka’bah. Niat itu tidak terwujud, karena seperti kata Abdul Muthallib, “Ka’bah itu milik Allah, Dia yang akan menjaganya.” Burung Ababil pun berpesta pora.

Ka’bah juga memunculkan kecemburuan bangsa Yahudi. Saat di Madinah, mereka berdebat soal rumah ibadah pertama di dunia. Yahudi bersikeras bahwa di Baitul Maqdis rumah ibadah pertama dibangun. Sampailah hal ini ke telinga Nabi Saw. Allah kemudian menjawab melalui firman-Nya, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi …” (QS 3: 96).

Saat ditegaskan bahwa agama selain Islam tertolak, orang Yahudi berkata, ‘kalau begitu kami Islam’. Saat ditandaskan, ‘kalau kalian Islam, Allah mewajibkan haji untuk kaum muslimin ke Mekkah.’ Namun, gengsi yang begitu tinggi membuat mereka berujar, ‘yang demikian tidak pernah diwajibkan atas kami.’ Itu sebabnya, dalam ayat selanjutnya disebutkan, “Katakanlah, Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha menyaksikan apa yang kamu kerjakan?”. Demikian asbabun-nuzul menyebutkan.

Apa yang melatarbelakangi sikap Yahudi (?) Tak lain adalah klaim mereka sebagai ‘bangsa pilihan’ yang akan mendapat ‘tanah yang dijanjikan’. Meski pensifatan dalam kitab suci mereka mengarah bahwa hal itu sudah muncul; bahwa umat yang dipilih adalah Muhammad Saw; dan tanah yang dipilih adalah Makkah, namun mereka tak menerima kenyataan ini. Kedengkian membutakan mereka hingga selalu mencari dan mencari. Dan itu berlangsung hingga kini. Zionisme kemudian dibentuk untuk menyambut ilusi ‘jadwal Tuhan’.

Erzt Israel (negara Israel) kemudian menjadi missi yang ditetapkan. Yahudi bermimpi mendatangkan masa keemasan kerajaan Israel di era Nabi Daud dan Sulaiman dulu. Tiba-tiba, bangsa yang gemar membunuh Nabi utusan Allah ini, merasa sebagai ahli waris. Padahal sejarah mencatat, bagaimana ideologi paganisme Mesir kuno begitu mengakar dalam
bangsa ini dan bukan tauhid; ajaran para Nabi. Bukankah mereka pernah meminta dibuatkan patung sapi sesaat setelah diselamatkan Nabi Musa dari Fir’aun (?) Secara biologis mungkin mereka bisa mengklaim sebagai anak turun Nabi Israel, namun secara ideologis, terlalu jauh untuk menyebut mereka sebagai pewaris.

Negara Israel impian dideskripsikan lokasinya ‘dari sungai Nil sampai sungai Eufrat Tigris’. Dalam Konperensi Perdamaian di Versailles pada 1919, batas wilayah negara Israel selanjutnya ditetapkan: di Utara meliputi Shaida (Lebanon) dan Damsyiq (Suriah), di Timur mencakup Amman (Yordania) dan Aqaba, sedang di Barat sampai di El-Arish Mesir. Luas Erzt Israel dengan demikian sama dengan dua kali lipat luas wilyah Israel sekarang. Demikianlah, ekspansi perluasan wilayah Israel nampaknya tinggal soal waktu. Dan konflik di Timur Tengah, belum ada tanda-tanda akan padam.

Dan inilah sumber banyak konflik di dunia hari ini. Ambisi Israel yang didukung negara Barat memparadekan kedzhaliman secara kasat mata. Bangsa Barat seolah menafikan lolongan dan protes bangsa lain. Lembaga Internasional semacam PBB juga mandul, karena sejatinya merekalah yang menerbitkan akte notaris berdirinya Israel di Palestina. Dan inilah pemicu yang menggerakkan banyak pemuda untuk membela saudaranya… dengan segenap cara dan keyakinannya. Tak terkecuali, Usamah bin Laden. Ia harus meninggalkan kasur empuk, berpindah ke goa-goa Afghanistan demi membuat perhitungan.

Popularitas Israel sebagai bangsa cerdas, tidaklah diragukan. Ragam kekuatan yang mereka miliki dari ekonomi, militer dan lobi membuat seolah mereka bisa berbuat apa saja. Yahudi sadar, bahwa potensi ancaman atas missi Israel Raya adalah Islam. Karena selain lokasinya di negeri muslim, Islam juga memiliki ideologi jihad. Dan ideologi jihad disemai di pesantren-pesantren juga di komunitas-komunitas pengajian. Terbitlah sandi ‘war on terror’ yang membidik pusat persemaian ideologi jihad. Dan penguasa-penguasa negeri muslim, turut menari dalam gendangan itu. Banyak program digelar dan direncanakan, dari yang soft hingga yang hard. Dolar Amrik mengalir ke kantong-kantong para Kyai juga Polisi.

Coba kita perhatikan diskusi-diskusi akhir-akhir ini. Orang muslim sendiri sibuk mencari akar persoalan terorisme. Dan akar itu, selalu diarahkan ke Islam dan jihad tanpa berusaha kritis terhadap kedzhaliman Yahudi di Timur Tengah. Juga tanpa ada sedikit ‘empati’ bahwa perlawanan pemuda muslim hari ini di dunia, hanyalah reaksi dari sebuah aksi. Para pemuda itu hanyalah terpanggil secara aqidah, meski kadang ada sikap ghuluw (berlebihan) dari mereka yang memiliki semangat over dosis. Begitulah, tak ada yang memiliki kemauan politik serius dalam menangani akar terorisme.

Tapi itulah dinamika hidup; sunnatullah yang terus berjalan. Front-front begitu jelas. Kubu-kubu juga begitu tegas. Banyak pihak berharap konflik bisa diredam. Dan itu adalah kemauan siapapun yang memiliki akal sehat. Hanya, seiring tidak ada kemauan positif dari Yahudi dan Barat, nampaknya konflik belum akan berhenti. Disini kita melatakkan nubuat Rasulullah, bahwa pernah beliau meramalkan akan eksistensi thaifah manshurah (kelompok yang mendapat kemenangan). Kelompok yang menjadikan jihad sebagai jalan perjuangannya. Kelompok yang selalu melawan kedzhaliman. Secara khusus, hadits-hadits yang memuat thaifah manshurah bahkan ada yang menyebut daerah Syam sebagai maqor (benteng). Penyebutan ini menunjukkan betapa penting daerah Syam sebagai pusat wilayah konflik. Dan Syam dalam peta lama, adalah Palestina, Yordania, Libanon, Suriah; dalam peta sekarang.

Dalam nubuat juga, kelak peperangan akan dimenangkan oleh kaum muslimin. Bukhari dan Muslim meriwayatkan, “Tidak akan terjadi kiamat hingga kaum muslimin memerangi kaum Yahudi, lalu membunuh mereka, sehingga seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon berkata: Hai Muslim! Hai hamba Allah! Ini Yahudi di belakangku, kemarilah, bunuhlah dia! Kecuali pohon ghorqod, maka itu adalah dari pohon-pohonnya orang Yahudi. ”

Begitulah babak akhir itu nantinya. Yahudi sendiri mengimani hasil akhir dari perseteruan ini. Sampai-sampai Jewish National Fund (www.jnf.org) melakukan gerakan penanaman pohon ghorqod. Melalui situs, kaum Zionis ini melakukan penjualan ghorqod secara online dengan US $ 18. Barangsiapa membeli 3 batang bonus 1 batang. Pohon tersebut akan disumbangkan untuk Israel dan ditanam disana. Disebutkan, bahwa sebanyak 220 juta batang ghorqod kini telah ditanam di Palestina. Begitulah mereka meyakini. Tapi sayang seribu sayang, tidak sedikit umat Islam yang kurang meyakini babak akhir ini. Hingga mereka lebih memilih bersekutu dengan Yahudi dalam amal ketimbang berpihak kepada muslim sendiri.

Momentum haji seharusnya menyadarkan umat Islam akan banyak hal. Tentang tauhid, tentang kedengkian Yahudi, dan tentang keharusan persatuan ummat. Selamat menunaikan ibadah haji. Get Mabrur for Indonesia Makmur!

(Sumber; eramuslim.com)

Menjadi haji mabrur adalah idaman setiap insan yang pergi ke tanah suci. Puluhan hingga ratusan juta rupiah, rela dihabiskan untuk ongkos haji. Berpisah dengan sanak saudara, tak menyurutkan semangat untuk menjadi tamu-Nya. Tak akan ada yang dapat menghentikan langkah calon jemaah haji kecuali atas kehendak Allah SWT. Meski raga rapuh, sakit tak kunjung sembuh, hingga usia yang tak lagi muda, tak kan memadamkan semangat untuk menyempurnakan rukun Islam. Jutaan do’a dan harapan dipanjatkan di tanah suci. Terukir janji untuk menjadi muslim sejati disertai Itikad agar dosa tak terulangi. Kala kaki tersandung, atau badan terjatuh bahkan roboh karena tersenggol orang, hanya istighfar yang terucap dari lisan sang jemaah. Sebuah sikap yang sulit ditemukan di luar tanah Haram.

Sang Direktur yang selama ini dikenal otoriter, Sang majikan yang dahulu dikenal judes, sekejap berubah menjadi sosok penuh senyum, penebar salam kepada siapa saja dan dimana saja. Kiranya sapaan “Assalamualaikum, how are you, brother !” dari seorang berkulit hitam legam yang ramah menjadi sebabnya yang tak terlupakan.

Semua terbawa atmosfer peradaban yang telah dibina Rasulullah SAW sebagaimana sabdanya,

“(Hendaklah) orang yang muda memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak”. (HR. Bukhari)

“(Hendaklah) orang yang naik kendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, (sedangkan) orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, dan kelompok yang sedikit memberi salam kepada yang banyak”. [HR. Bukhari)

Seandainya suasana ini terbawa hingga tanah air. Jemaah haji yang menjadi layaknya cahaya yang menyinari sekitarnya. Di rumah, di masyarakat, dan di kantor. Menyinari masyarakat yang sudah kental dengan anarkisme. Masyarakat yang marak dengan perkelahian antar kampung, antar pelajar, dan antar mahasiswa. Sedemikian parah hingga membunuh manusia bahkan saudaranya sesama muslim. Padahal nyawa manusia terlebih seorang muslim sangatlah dilindungi dalam Islam.

Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim (HR. An-Nasa’i)

Jika terjadi saling membunuh antara dua orang muslim maka yang membunuh dan yang terbunuh keduanya masuk neraka. Para sahabat bertanya, “Itu untuk si pembunuh, lalu bagaimana tentang yang terbunuh?” Nabi Saw menjawab, “Yang terbunuh juga berusaha membunuh kawannya.” (HR. Bukhari)

Tanpa bermaksud membuat jemaah haji menjadi sulit tidur karena memikirkan sedemikan berat beban yang dipikul, tapi selayaknya ada aksi yang bisa dilakukan. Memulai dari diri sendiri (ibda binafsika), memulainya sekarang. Serta mendo’akan kedamaian dan kesejahteraan bagi Bangsa Indonesia dalam kekhusyu’an ibadah haji kita.

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku. Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu. Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku. Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur. Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku. Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi ? Ketika aku tak paham sedikitpun tentang teknologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu. Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku. Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas. Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan. Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku. Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur. Dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.

Ketika aku sudah sulit memandangmu, terkadang –juga- lupa siapa kamu, bukan karena aku tak mencintai dan menyayangimu. Justru kecintaan yang tulus itu telah menutupi rasa dalam penglihatan ini. Maafkan aku, bila tiba-tiba aku menangis dan hati ini hancur, meski menurutmu, kamu tak berkata keras, tapi bagiku teramat keras. Mungkin karena kau lupa, bahwa aku sangat tidak senang jika ada orang yang berkata keras atau kasar kepadamu sewaktu kecil. Jangan heran jika aku nanti memiliki banyak permintaan, janganlah semua kau turuti permintaanku, karena –memang- aku hanya ingin diperhatikan.

Ketika nanti aku telah menguban dan menjadi pikun, jika tidak keberatan, janganlah kau pisahkan jasad ini dengan darah yang mengalir pada dirimu. Jangan pula kau jarakkan aku dengan anak-anakmu, karena mereka lah yang membuatku mampu bertahan sampai sekarang. Kalau boleh aku meminta, jangan pula kau berikan padaku sebuah tempat mewah dengan fasilitas wah di rumah jompo, karena aku ingin disaat terakhir hayatku, mata ini dapat terlebih dulu melihatmu bersama anak-anak tercinta.

Ketika aku tua, maukah kau memanjakan ku (?)

Senja di suatu hari, saya bersama beberapa rekan Cordova, di undang pimpinan kami untuk meeting di sebuah mall di bilangan Kota Mandiri. Seperti biasa jika meeting diadakan di luar headquarter, pastinya akan bernuansa rileks namun penuh khidmah. Sembari menanti kedatangan beberapa team yang belum sampai, kami terlebih dulu memesan tempat dan makanan di sebuah resto bergaya tradisional, betawi. Rasanya tidak salah jika saya memesan terlebih dulu minuman hangat, karena –memang- kondisi saat itu sedang musim hujan. Minuman hangat akan selalu menjadi menu pilihan. Saya panggil waitress yang tertera nama Nanda di bajunya. Dengan penuh senyum, Nanda memberikan daftar menu, gerak tubuhnya menunjukan bahwa dia senior di resto itu. Menyapa, menawarkan dan berujar dengan penuh kharisma. Tidak berjarak, namun penuh santun dengan para tamu yang semakin ramai memadati resto itu. Langkahnya gesit, namun penuh perhitungan.

Nanda, waitress yang berpenampilan cukup apik itu, dibalut dresscode khas daerah Resto, hingga terlihat sangat sopan. Wanita yang berumur sekitar 28 tahun itu juga banyak memikat tamu di restonya, bukan karena ia seorang wanita yang menjadi buruan ‘mata lelaki’, namun karena pesona dan sikapnya sebagai pelayan para tamu-nya dengan penuh rasa. Setiap tamu yang datang, ia tempatkan sebagai ladang rizki untuknya, kawannya dan –tentunya- teruntuk restoran tempat ia bekerja. Dengan demikian, Nanda tampak sangat antusias dalam menyambut ‘rizkinya’ meski mereka hanya membeli segelas teh manis hangat sekalipun. Selain Nanda, ada juga temannya Bella dan Iwan. Hampir sama, mereka semua memperlakukan kami (konsumen) dengan sepenuh hati.

Di resto itu, tampak ada sekitar 6 orang, tiga waitress, dua koki dan seorang kasir. Meski banyak tamu yang harus dilayani, namun penyajiannya cukup cepat. Yang lebih membuat kami salut, mereka bekerja dengan saling mengisi job desk. Lazimnya seorang waitress, mereka hanya melayani dan mengatur lalu lintas hidangan sampai ke meja kunsumen, namun yang kami perhatikan di Resto itu mereka bekerja bukan sekedar pelayan. Mereka terlihat sigap dalam membersihkan property dan lingkungan tempat kerjanya.

Tanpa saling mengandalkan, ketika temannya sedang melayani tamu, maka salahsatu dari mereka membersihkan pintu kaca yang mengembun. Saat itu, hujan sangat besar, sedangkan di dalam ruangan ber-ac. Maka pintu kaca besar itu tampak seperti kena uap. Dengan sigap, Nanda, bella dan Iwan bergiliran mengelap kaca itu, dengan sesekali mengepel lantai yang terciprat air hujan. Begitulah seterusnya, mereka bahu membahu bekerja untuk kenyamanan para pelanggannya.

Tibalah waktu meeting, ternyata cukup lama kami memperhatikan cara mereka bekerja. Belajar dari ke-seriusan, ke-sigapan, ke-antusiasan, kemandirian dengan penuh tanggungjawab. Berjuang untuk tidak berada dalam zona nyaman bekerja, setelah itu maka timbulah rasa penuh amanah. Bekerja total untuk memberikan kepuasan semua pelanggan. Wal akhir, kita semua mendapat pelajaran yang penuh makna petang itu.

Estafeta perjuangan dalam menaburi kemabruran haji sedang dilakoni serius oleh team Cordova. Bahu-membahu antara trisula pucuk pimpinan bersama staff dan hajjguard Cordova dalam memberikan pelayanan yang tidak setengah-setengah bagi para jemaahnya. Jemaah yang sudah dirindukan oleh ka’bah dan makhluk suci lainnya itu, menjadi motivasi yang sangat ampuh tuk melakukan segala explorasi guna meraih impian terbesarnya sebagai haji yang mabrur. Untuk itu, segala perangkat menuju common holy purpose adalah suatu bentuk ikhtiar dalam mewujudkan pelayanan suci. Grand Manasik yang diselenggarakan di sebuah manasik park, Sabtu dan Ahad kemarin menyisakkan kerinduan yang sangat pada Baitullah. smartHAJJ Cordova melakoni setiap etape dengan penuh antusias, mereka melakukan dengan penuh khusyuk laiknya sedang melakukan ibadah haji dengan beragam kondisi seperti di tanah suci. Bagaimana setiap bangunan suci terpampang di setiap sudut arena manasik. Begitu juga figuran-figuran askar (polisi) di tanah Suci, orang-orang Arab, infrastruktur, berikut perlengkapan dan peralatan yang nyaris sama dengan kondisi riil disana.

Tema ‘Best for Last’ dari Grand Manasik ini juga membawa relung jiwa setiap orang yang berada di arena itu, terbawa dengan goal setting yang terbangun. Melakukan ibadah sebaik mungkin, sebelum kematian tiba menghadang. Atau kita jadikan peribadahan haji ini dengan sangat baik, seolah inilah persembahan terakhir kita dalam mengarungi samudra hidup. Terlebih kehadiran Pepeng, Ferrasta Soebardi bersama keluarga. Menceritakan bagaimana penderitaannya selama mengalami sakit Multiple Sclerosis (MS), salah satu penyakit langka di dunia yang menyerang sistem daya tahan tubuh Pepeng. Penyakit ini dapat menimbulkan kelumpuhan di beberapa bagian tubuh penderita. Pepeng sendiri pertama kali mengetahui ia menderita penyakit MS pada tahun 2005, ketika terjatuh dan tidak bisa bangun dari jatuhnya.

Ia menceritakan semua peristiwa yang menimpa dirinya dan keluarga, namun dengan keyakinan yang kuat dan khusnudzon akan karunia ALLAH SWT, maka ia bersama, istri dan keluarganya tegar menjalani semua yang terjadi. Menjadikan segalanya menjadi ladang amal yang harus dikerjakan sebaik mungkin, melakukan yang terbaik sebelum ajal tiba.

The Grand Manasik kemarin, bukan hanya sebagai pengetahuan yang wajib di ketahui jemaah haji, manasik itu juga sebagai momentum ‘pendeklarasian’ ratusan hati yang terikat dalam satu rasa. Yah, satu rasa tuk perjalanan cinta.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Cordova selalu menjadikan manasik sebagai gambaran riil dalam menyesuaikan semua aspek yang terjadi di tanah suci. Meski –tentunya- tidak akan sama persis, namun pendekatan dalam beragam sektor menjadi gambaran smartHAJJ dengan sangat detail. Sebagaimana gaya Cordova, penyampaian materi pun bukan hanya melalui metode tradisional yang acap menegangkan otot, dan mengkatupkan mata, kondisi menyenangkan dalam manasik itu menjadi bekal dalam perjalanan riil-nya nanti.

Selangkah lagi jemaah haji akan menginjakkan kakinya ke Tanah suci. Islam kan kembali melihatkan keindahannya. Bersatu dalam satu ritme di lembah suci. Tiada rafast, fusuk terlebih jidal, bersatu dalam kebersamaan rasa, tunduk pada titah Maha Kuasa. Melangkah bersama menggapai surga, mencipta kemabruran jiwa. Semua manusia muslim –tentunya- mendamba perjalanan itu, karena haji adalah muara peribadatan manusia di muka bumi.

Namun apa daya jika perjalanan haji itu, kini menjadi sangat rumit, kompleks, dan serba tidak pasti untuk berangkat atau tidak, bahkan bagi mereka yang termasuk golongan masyarakat ‘super mampu’ pun harus sama mengantre di nomor waitinglist hingga beberapa tahun kebelakang. Mungkin, hanya sebagian kecil penguasa atau yang ‘dekat’ dengan penguasa, atau yang memiliki akses ke penguasa lah yang mudah untuk merealisasikan niatannya menjadi kenyataan. Malam ini merilis nama Jemaah haji, besoknya sudah mendapat kuota haji tahun ini juga. Ajaib, demikianlah yang terjadi, haji sudah menjadi industri yang sangat menggiurkan, bahkan bisa menjadi alat kepentingan segelintir orang dalam mengokohkan legitimasi sebagai orang ‘penting’ di republik ini.

Dalam industri haji, kawan bisa menjadi lawan. Kamuflase menjadi identitas keseharian yang sulit terprediksi, sekalipun oleh psikolog ternama. Yang ada adalah kepentingan dan kenyamanan parsial, semuanya telah menjadi air yang mengalir, demikianlah permainan ini, “biasalah seperti bukan pemain lama saja kau”, demikian ucap sahabat dengan logat khas daerahnya yang menyinggung tentang ‘kuota jatah’ bagi segelintir orang.

Terlepas dari semua itu, yang jelas kondisi ketidakpastian -jika tidak dikatakan kesemrawutan- bisnis plan haji tahun-tahun selanjutnya akan terus menggurita dan mengguliti industri travel haji. Semuanya akan serba tidak pasti. Karena –memang- ini terjadi bukan hanya di negeri kita. Di semua Negara, kuota dan kepastian berangkat haji menjadi serba tak terprediksi. Terlebih dengan adanya perluasan Masjidil haram yang konon ‘memangkas’ lebih dari 1000 hotel di sekitar area haram menjadi alasan lain tentang keterbatasan akomodasi.

Kreativitas dan inovasi dalam menjaring konsumen haji lah yang –sejatinya- akan membantu mengisi seat program haji setiap tahunnya, karena –memang- sudah dapat terpetakan dari sekarang.

Jika pesan Rasul untuk tidak rafast, fusuq dan Jidal saat berhaji, -tentunya- tidak melegitimasi untuk bisa berbuat semua larangan haji itu saat mengelola calon Jemaah haji. Semua pihak menjadi perekat untuk bersama meraih cita-cita tertinggi dalam pelaksanaan haji. Bukan hanya menciptakan kemabruran pribadi seorang Jemaah, namun lebih luas berharap kemakmuran negeri tercinta dari sekian banyak para hujaj Indonesia.

So’ let’s get Mabrur for Indonesia Makmur!

Cordova Travel Haji Jakarta

Road to Manasik

Nampaknya pembahasan mudik pra dan paska lebaran selalu menjadi menu utama untuk diperbincangkan, diberitakan dan dikisahkan setiap media di Indonesia. Karena bukan hanya aktivitas massif yang melibatkan jutaan manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, tetapi juga pergerakan arus ekonomi yang melaju rata ke setiap pelosok desa. Sebagaimana filosopi ‘Mudik’ yang juga berarti hulu sungai, dimana semua aliran air (sumber kehidupan) berawal. Jadi –memang- adakalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan rasa syukur atas tanah lahirnya. Mudik juga bisa dibilang merupakan sebuah gerakan nasional (kendati tidak secara resmi dinamakan gerakan nasional), semua orang urban untuk kembali ke kampung halamannya. Tradisi ini, bak warisan yang telah turun temurun dari generasi ke generasi. Mereka rela berdesak-desakan, berdiri selama perjalanan di kereta bahkan ada juga yang menempati WC kereta untuk duduk dan istirahat. Semua itu adalah hal yang secara nalar –mungkin- tidak pernah dilakukan selama hari-hari biasa (non mudik).

Kisah dan cerita pemudik memang kerap mengundang media untuk dijadikan ‘rasa’ mudik setiap tahunnya berbeda. Memiliki rasa yang nikmat untuk disuguhkan kepada jutaan pemirsa di Tanah Air. Namun kali ini, mari kita sedikit fokus pada hakikat mudik sesungguhnya, bukan hanya mudik biologis yang sudah pasti membuat raga letih, namun juga kita mengambil posisi mudik dari kacamata lain. Kacamata spiritual yang menegaskan makna mudik sesungguhnya.

Siklus mudik menggambarkan tentang kerinduan manusia akan keberadaan asal muasal penciptaan. Manusia menyadari bahwa dirinya memang berasal dari zat yang kekal (Rabbul Izzati), yang pastinya manusia juga akan kembali kepada-Nya. Mudik merupakan gambaran manusia yang merindukan spiritual di sela-sela kehidupan yang cenderung dibuai rayuan modernitas.

Mudik tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kesejatian diri manusia yang hakikatnya terbebas dari segala ‘kejahatan’ dan ‘kotoran’. Spritualitas mudik mengingatkan kita, bahwa keluhuran manusia dapat tergapai dengan mewujudkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Mudik ke kampung rohani merupakan perjalanan spiritual agar pemudik kembali menimba semangat religiusitasnya di arena social kultural, seperti kampung halaman kita.

Sejatinya yang harus mudik bukan semata bersifat jasad-biologis, tetapi juga memudikkan ruhani ke asal sifatnya yang segar, jernih dan manusiawi. Sebelum mudik yang sebenarnya tiba menyapa manusia, menuju panggilan-Nya melalui Malakul Maut. Kembali kepada dimana kita mengawali kehidupan.

So, let’s do the best for last!

Dalam tataran teori, makna ikhlas sangat mudah untuk dipresentasikan, terlebih dijadikan semacam buah bibir. Lalu apa dalam konteks praktis, rasa ikhlas mudah pula diaplikasikan (?) Hanya kita tentunya yang mampu menjawab semua itu. karena ikhlas adalah sesuatu yang hanya bisa dikerjakan oleh kekuatan hati. Sehebat apapun nilai postif dari pekerjaan, jika pesona ikhlas tak bersemi dalam jiwa, maka yakinlah segala sesuatunya akan terasa berat. Jangankan untuk melakukan hal-hal besar, untuk tersenyum saja, jika keikhlasan tak pernah ada, maka mulut ini akan sulit digerakkan. Padahal tersenyum adalah hal yang paling ringan dalam beribadah.

Terlebih jika konsep ikhlas ini kita tarik ke ruang lingkup pelaksanaan haji yang benar-benar membutuhkan keikhlasan super hebat. Bayangkan saja, mulai dari niatan haji, pengeluaran biaya yang tak sedikit, menghadapi prihal crowded di tanah suci, meninggalkan keluarga, dan 1001 masalah teknis maupun non-teknis lainnya. Ikhlas adalah satu-satunya kunci yang akan menjadikan setiap perjalanan haji menjadi lebih mudah dan bermakna. Sahabat dekat ikhlas adalah sabar, berbeda dengan sabar, terkadang tidak selamanya orang sabar akan mengikhlaskan segala sesuatu, namun dengan keikhlasan, ia akan meliputi rasa sabar yang tak terhingga.

Ikhlas adalah sesuatu yang sangat berharga menjadi bekal perjalanan haji. Tanpa jiwa ikhlas, semuanya benar-benar akan menjadi ancaman pelebur pahala mabrur. Setiap orang meyakini bahwa pelaksanaan haji selalu saja memberikan cerita yang tidak selamanya indah tuk dirasa. Seorang teman yang juga pakar bahasa Arab, memberikan plesetan mengenai kata ikhlas. Ikhlas hampir sama dengan makna kholas, yakni “sudahlah”. Menyudahi segala perkara yang terjadi dengan perasaan ikhlas terhadap segala sesuatu yang telah terjadi. Selain itu penyerahan diri yang total menjadikan jiwa semakin mantap adalah bagian makna ikhlas.

Menjelang bulan-bulan haji, rasa ikhlas harus benar-benar diolah kembali. Menjadi sesuatu yang berharga laiknya sebuah senjata kala maju ke medan perang. Tanpa senjata di laga pertempuran, kita akan sulit menembus panji kemenangan, tidak mustahil tanpa senjata kita juga akan mati konyol di medan laga. Ikhlas adalah senjata dan bekal perang di medan haji yang sangat “buas”. Ia akan meng-cover segala kemungkinan serangan hati saat berada di tanah suci. Karena dari sanalah, segala point haji kita ditentukan. Ikhlas memang segalanya.

Ikhlas tak perlu belajar namun perlu dibiasakan. Ikhlas adalah komandan hati dalam merangkai ibadah lainnya. Dengan ikhlas pula manusia akan mudah mendapatkan apa yang diinginkan. Karena klunya satu, Allah SWT hanya menerima peribadatan hamba-Nya atas dasar keikhlasan jiwa.

Sebuah kontemplasi

Menjelang senja di hari libur, biasanya kami menghabiskan waktu di depan rumah yang ditumbuhi beragam tanaman di teras yang tak terlalu luas. Terlebih saat ramadhan, ritual ini menjadi semacam ngabuburit menunggu adzan maghrib. Selepas mencuci sepeda motor, selang air yang saya pegang, diminta anak sulung saya untuk menyiram beberapa tanaman yang sudah tumbuh beberapa bunganya. –Memang- anak kecil paling senang jika harus bermain air, apalagi jika mendapatkan ‘restu’ dari ibunya, sungguh akan semakin menjadi ia bermain dengan air. Sewaktu menyiram tanaman sansevieria, atau nama terkenalnya “Lidah mertua” setinggi kurang lebih setengah meter, dikiranya akan kuat, ternyata begitu di semprot 3-4 kali, tanaman ini tumbang. Padahal beberapa kawan-nya masih tampak kokoh, ternyata bukan hanya “Lidah mertua” yang melilit disamping pagar tadi saja yang tumbang, kembang Telang, tanaman yang secara khusus dirawat istri saya pun sangat mudah tumbang, bahkan hanya dengan satu kali semprot. Anak saya begitu bangga, karena seolah telah mudah menumbangkan tanaman-tanaman mungil orangtuanya. Namun –justru- ibunya heran kenapa tanaman-tanaman itu begitu mudah jatuh hanya karena semprotan air selang. Ternyata ohh ternyata masalahnya terletak pada akar, kenapa akar (?)

Baik, kita lupakan cerita senja diatas. Kini kita masuk pada inti permasalahan besar di setiap kita, di setiap rumah yang kita hidupi, di setiap tempat mencari nafkah kita. Sesungguhnya peristiwa kecil diatas bisa menjadi besar ketika hal itu terwujud dalam kehidupan kita yang lebih besar, terlebih ketika cita dan impian-impian kita mudah sekali tumbang, jatuh dan mati justru ketika bangunan cita dan impian itu tampak kokoh.

Awalnya, ketika kita sering melihat peristiwa pohon besar rubuh dan menghantam kendaraan bahkan banyak pula yang menjadi korban jiwa, kita tidak menyangka pohon sebesar itu bisa tumbang, padahal tampak sebelum diterpa angin, pohon itu sangat kokoh. Penyebabnya ada beberapa kemungkinan, bisa saja karena anginnya memang besar, atau karena akar dari pohon itu sudah tidak bisa menyambat dan mencengkram bumi dengan kuat lagi. Seperti layaknya pohon, ketika sebatang pohon sebelum tumbuh dan menjadi tunas, maka pohon itu akan menancapkan akarnya sedalam-dalamnya di bawah tanah. Akar itu tiada lain adalah untuk mencari dan mendapatkan air, vitamin, mineral dan zat-zat lain yang digunakan untuk mewujudkan sebatang pohon yang akan menghasilkan dahan dan daun, pun demikian, dahan yang dihasilkan batang itu akan menghasilkan bunga atau buah yang dapat dinikmati.

Begitupun dengan manusia, -dan- atau bangunan masadepan yang tercipta dari kebersamaan mimpi mewujudkannya. Masadepan bersama berupa tempat mencari nafkah pun bisa diibaratkan sebagai batang yang kokoh. –Meski- kesuksesan batang itu bisa tampak gemerlap dari luar dan dari kejauhan sudah tampak menjulangnya, namun jika kekokohan pohon itu tidak dikuatkan pula oleh akarnya, maka tidak mustahil kemewahan pohon itu tidak menunggu lama untuk jatuh, tumbang, dan mati. Padahal orang tak menyangka, pohon kuat itu bisa tumbang dan luput dari tanda-tanda ketumbangannya. Hanya cerita saja yang akan menjadi sejarah, bahwa pohon istimewa itu tumbang tiba-tiba, semuanya kaget tidak mengira, yang tahu hanyalah jalaran akar yang saling mengikat bumi itu.

Kitalah akar yang menguatkan bangunan kokoh itu, kitalah yang akan mengairi air, vitamin dan mineral terhadap pertumbuhan dan keberlangsungan pohon tersebut. Semakin kita lebih dalam menggali bumi, semakin menjalar dan semakin kuat menancap pada bumi dengan cengkraman-cengkraman baru, maka semakin istimewa pohon masadepan kita.

So, mari bersama mengokohkan cengkraman akar kita, demi masadepan yang lebih bermakna.

Sambel dadakan seh enak, kalo ustadz dadakan (?)

Rasanya tema diatas akan sedikit mengundang kontroversi bahkan polemik, jika saja pemahaman tentang makna ‘ustadz’ itu sendiri tidak kita kupas secara detail, ditambah jika kita saksikan bagaimana gamblangnya peran ustadz ini di ‘panggung’ dakwah, maka kita akan semakin yakin bahwa ustadz dadakan yang kini berjamur di negeri kita, bisa masuk dalam ‘Penghancur agama’ atau jika tidak ingin kita sebut sebagai ulama su’u (ulama jahat). Seperti atsar ulama yang menyebutkan “Tidak ada yang merusak agama ini, kecuali raja, dan para ulama su’u serta para rahibnya”. Oleh karenanya, mari kita perjelas apa sebenarnya makna ‘ustadz’ itu sesungguhnya, sehingga tidak terjadi penggelinciran makna sesungguhnya. Tetapi jika awalnya kita sudah apriori, karena mengganggap bahwa panggilan ustadz itu sudah menjadi kebiasaan dan budaya Indonesia, maka yakinlah akan banyak bermunculan ustadz-ustadz ‘dadakan’, yang –ekstrimnya- hanya menggunakan kopiah saja, sudah bisa menjadi sosok seorang ustadz. Lincah dan lihai dalam panggung dakwah yang tentunya bertarif mahal jika ingin mengundangnya. “biaya sebesar itu bukan untuk saya, itu untuk yayasan sosial dan orang-orang yang mencari nafkah didalamnya,” alasannya terkesan logis.

Asal kata dari ustadz adalah ustad (tanpa huruf “Z” atau tanpa huruf “Dzal”). Dalam kamus Arab, Al-Mu’jamul Wasith, kata ustadz memiliki beberapa makna sebagai berikut: Pengajar, Orang yang ahli dalam suatu bidang industry dan mengajarkan pada yang lain, serta julukan akademis level tinggi di universitas. Kata jamaknya adalah Asatiidz dan Asatidzah. Demikian menurut pengertian bahasa. Sedangkan pengertian pokok ustadz adalah “seorang pakar spesialis tingkat tinggi”, atau orang yang sangat ahli dalam suatu bidang. Menurut pengertian ini, maka seseorang tidak pantas disebut ustadz kecuali, jika ia memiliki keahlian dari 18 atau 12 ilmu (bidang studi) dalam sastra Arab, seperti ilmu nahwu, Shorof, bayan, badi’ ma’ani, adab, mantiq, kalam, perilaku, ushul fikih, tafsir, hadist.

Sedang di Indonesia, (entah sejak kapan, dan siapa yang memulai) seolah pemanggilan atau penamaan ustadz begitu lumrah dan mudah, seakan tiada beban, yang penting orang tersebut memiliki kemampuan agama (meski hanya sekadar bisa baca Al-qur’an) dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim, maka dengan mudah ia sudah ‘lulus’ mendapat julukan Ustadz. Walaupun kemampuan riil yang dimilikinya sangat minim dan jauh dari definisi Ustadz sesungguhnya. Sehingga dengan demikian (mudahnya mendapat gelar ustadz), ia memiliki potensi besar dalam menguasai ‘panggung’ dakwah yang sarat dengan kenyamanan duniawi (materialistik).

Wajar jika output yang instant dalam penggodokan ustadz itu menghasilkan sosok-sosok ustadz yang lebih ‘nyaman’ bersenda gurau di depan layar kaca, terlebih jika masuk infotainment, merasa figur ustadz seperti predikat yang dikenakan dalam berdakwah. Ada juga yang mengatasnamakan metode dakwah, atau apalah sebutannya, memproklamirkan ceramah di bulan ramadhan di sebuah Resto Wine, yang jelas-jelas (setelah usai ceramah) Restoran itu tidak akan berubah menjadi Resto Zam-zam misalnya. Apalagi hal demikian itu, jika tidak disebut dengan penghinaan metode dakwah. Dimana kehormatan dan harga diri seorang ustadz yang ‘manut’ saja dipanggil hanya karena bayarannya kencang (?)

Dimanakah sosok ulama yang benar-benar menjadi Pewaris para nabi itu (?)