Biasanya setelah libur lebaran, hari pertama kerja menjadi sedikit lebih longgar, entahlah apa karena merasa baru saja bermaaf-maafan, hingga berpikir tidak mungkin diberi punishment jika mangkir pada awal-awal hari kerja pasca lebaran. Atau bisa saja, itu adalah kemurahan para pimpinan perusahaan yang memberikan ruang fresh bagi karyawannya untuk berbenah menghadapi kerja yang normal. Namun yang perlu diwaspadai, jika kondisi seperti itu terlahir dari mentalitas kita dalam mengenyam amanah suatu kewajiban usai mendapat hak maksimal dari perusahaan. Whatever, lebaran telah lewat, liburan telah usai. Kita kembali pada aktivitas sehari-hari. Demikian pula dengan tim Cordova, kembali mengepak ‘sayap’ bersiap melayani para smartHAJJ yang tidak lebih dari dua bulan akan berjuang di Tanah Suci. Sadar bahwa jalannya waktu tak terasa, maka tiada pilihan dalam setiap dentingan jarum jam menjadi sesuatu yang bernilai untuk merangkai impian semua smartHAJJ, yakni haji mabrur. Kembali pada realitas, -bukan berarti selama libur bersama keluarga kita berada di luar kehidupan riil-, tetapi menghadapi kenyataan bahwa didepan kita terdapat medan juang untuk segera menyingsingkan lengan baju agar sigap melayani para tamu-Nya.

Khusus dalam pelayanan smartHAJJ, Cordova memiliki ciri khas dengan HajjGuard-nya (HG). Sebagian team yang menjadi HG menjadi pelayan tamunya salama 24 jam, baik selama persiapan di Tanah Air, maupun ketika perjuangan sedang berlangsung (di tanah suci). HG ini lah yang senantiasa mendampingi para Hujaj Cordova (smartHAJJ) dalam melakukan persiapan meraih predikat haji mabrur. Segala persiapan baik mental, wawasan dan hal lainnya menjadi fokus para HG. Jika diistilahkan HG inilah yang akan memonitoring ‘hidup matinya’ tujuan utama berhaji. Laiknya para guard dalam menjaga sosok very very important person (VVIP), ia akan menjadi tonggak utama dalam merealisasikan tujuan mulia para tamu Allah.

Pun demikian dengan sejarah penamaan smartHAJJ bagi setiap jemaah haji Cordova, tiada lain sebagai goresan sejarah dalam perjalanan haji Indonesia, yakni memberikan pencerdasan jemaah haji dalam berhaji. Mereka tidak hanya dilayani oleh para HG, tetapi jua melayani jemaah haji lainnya di Tanah Suci. Logikanya, ketika para haji telah mampu melayani jemaah lainnya, automatically mereka telah benar-benar paham bagaimana berhaji yang smart untuk dirinya sendiri. Subhanallah…selain sebagai tamu-Nya mereka juga memposisikan sebagai ‘khodim’ atau pelayan para tamu-Nya di Tanah Suci. Dengan demikian, satu-satunya jalan menuju cita mulia itu adalah menciptakan keseriusan yang saling bahu membahu antara HG dan smartHAJJ.

Agenda yang paling terdekat adalah Manasik Integral, Manasik ini akan berlangsung selama dua hari, dan menetap di tenda akan menjadi bagian dari ikhtiar kita tuk menggapai kemabruran haji. Selain dinilai sangat penting, manasik nanti akan menjadi pembuktian bahwa para calon tamu Allah mengikuti sunah tuk belajar dan menggapai manasik yang sesungguhnya. Bukan hanya teori yang kita dapatkan, insya Allah semua gambaran sedetail mungkin mengenai perjalanan haji akan kita dapatkan pada manasik nanti.

Melalui doa-doa dari calon “makhluk suci” (Para tamu Allah), atas izin Allah, Cordova senantiasa menjaga pelayanan yang bonafit, berusaha tuk terus memberikan pelayanan yang smart, guna membantu kesyahduan dan kekhusyuan ibadah. Yaa Rabb…

Saat lebaran kemarin, -tentunya- banyak cerita dari setiap kita. Kisah yang menggambarkan bagaimana ritual kemenangan itu berlaku pada setiap orang yang merayakannya. Bahkan dikampung saya, non-muslim pun ikut merayakan dengan mengunjungi setiap rumah untuk sekedar ‘salaman’ dan membagi-bagi parcel. Pada hari itu, semua saudara dan kerabat saling berbagi rasa, saling membawa makanan, tidak jarang juga diantara kita saling membagi amplop untuk anak-anak kecil yang ceria menanti pembagian ‘ampau’ atau sering diistilahkan dengan uang ‘THR’. Berapa lembaran uang baru kerap diburu mereka, dikumpulkan dan dijajakan untuk membeli mainan ala lebaran. Tidak jarang juga yang di-stor-kan pada orang tuanya, sehingga setiap ada yang membagi, si anak langsung memberikan uang itu pada ibunya. Kontan dengan perasaan sedikit malu, si ibu ‘menampung’ uang ‘THR’ anak. Semakin banyak anak, semakin banyak ‘ampau’ gurau ku melihat sekelumit fenomena lebaran setiap tahunnya. Dunia anak memang tidak bisa disamakan dengan kita, terlebih dipaksakan untuk memahami makna Iedul Fitri, sebagai momentum pensucian diri, yang mereka tahu, setiap lebaran banyak makanan, banyak saudara, dan juga banyak uang. Pengertian mereka terhadap lebaran iedul fitri, lambat laun akan berubah setelah mereka beranjak dewasa.

Melihat ‘ritual’ pembagian uang lembaran baru di setiap hari raya, membuat saya ingin mencoba melakukan simulasi ringan mengenai pengenalan diri tepat pada momentum hari suci. Sengaja saya mendatangi anak-anak yang sedang berkumpul usai pembagian ‘amplop’ dari saudara-saudaranya. “Siapa diantara kalian yang mau uang Rp. 100.000!” ujarku sedikit berteriak, kontan semua anak berhenti dari aktifitasnya, yang mayoritasnya sedang menghitung uang pecahan mulai dari Rp. 1000, Rp. 5000, Rp. 10.000 dan Rp. 20.000. dan memasukkannya ke dompet mungil yang sengaja dibelikan ibunya menjelang hari raya. Mendengar tawaran saya, serempak mereka mengacungkan tangan sambil bergaya manis penuh senyum dan harap. Sebelum saya kasihkan uang itu kepada yang beruntung diantara mereka, uang seratus ribu berwarna merah dengan masih baru dan rapi itu saya remas-remas hingga lusuh, sekian detik saya meremasnya hingga benar-benar tak tampak uang baru dari Bank. Kemudian saya kembali bertanya, siapa yang masih mau dengan uang lusuh ini (?) Anak-anak itu tetap bersemangat mengacungkan tangan.

Setelah itu, saya tidak langsung memberikan uang itu. Saya kembali menawarkan siapa yang mau uang ‘merah’ lusuh itu setelah saya injak dan masukkan kedalam tanah yang berlumpur hingga kotor. Namun tetap saja, anak-anak itu mengacungkan jari mereka. Seakan tidak perduli dengan uang yang sudah kotor, berlumpur dan ‘berubah’ warna. Berebut ingin mendapatkan uang yang sudah kotor itu.

Rasanya, dari simulasi ringan itu, kita memiliki pelajaran berharga tentang bagaimana kita mengenal diri kita. Bagaimana sesuatu yang bernilai itu tidak bisa mudah terkurangi hanya karena bentuk fisiknya yang lusuh dan kotor. Uang merah yang kotor itu tetap berharga Rp. 100.000. pun demikian dalam aktivitas hidup kita sehari-hari, sering kita merasa lusuh, kotor, tertekan, terinjak, tidak berarti dan merasa rapuh ketika dihadapi masalah. Kita seringkali merasa tak berguna, tak berharga di mata orang lain, diacuhkan dan kadang tak dipedulikan. Namun sesungguhnya yang terjadi adalah bahwa kita tak akan pernah kehilangan nilai di mata Allah SWT. Bagi-Nya, lusuh, kotor, tertekan, ternoda, selalu ada saat untuk ampunan dan maaf. Kita tetap tak ternilai di mata Allah SWT.

Nilai dari diri kita, tidak timbul dari apa yang kita sandang, atau dari apa yang kita dapat. Semuanya berada dalam jiwa, jika nilai jiwa kita sangat berharga, meski raga dalam kondisi lusuh dan kotor, kita tetap sebagai manusia yang tak bernilai, yang diperebutkan oleh manusia lainnya.

Laiknya stasiun suci, Allah SWT memberikan ruang waktu agar hamba-Nya senantiasa menjaga keteguhan jiwa dalam merangkai nurani yang suci. Tetap dalam dekapan ilahi, dan selalu terjangkau oleh sentuhan ukhrawi. Setelah melewati sebuah kemenangan hakiki yang terlahir kembali dengan kemulian hari Idul Fitri, kita melaju pada gerbang yang juga menghadapi ‘stasiun suci’ selanjutnya. Anugrah yang Allah berikan berupa ‘spase’ waktu untuk ‘bersuci’ antara Ramadhan dengan hari Arafah adalah ketetapan yang teramat indah sebagai umat Khatamul Anbiya Muhammad SAW. Keep The Faith, menjaga iman kita agar senantiasa bersemi hingga ‘panggilan’ terakhir (kematian) adalah goal setting Islam dalam mengatur kehidupan manusia muslim. Terlebih bagi semua calon tamu Allah, memasuki bulan Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah adalah gerbang menuju pelataran suci yang akan meraih kemabruran hakiki. Seperti yang sering tertuang dalam artikel-artikel islami, bahwa untuk mendapatkan haji yang mabrur dibutuhkan proses ‘pensucian’ diri semenjak dini, tidak instan dan mudah diraih hanya membaca buku dan keterangan tentang pelaksanaan manasik haji. Momentum ‘Kemenangan’ Iedul Fitri lah yang rasanya sangat dominan dalam menjaga keimanan agar terus bersemi.

Bagi muslim yang belum berkesempatan menuju Baitullah, maka Islam memberikan juga kesempatan yang teramat indah untuk mendapatkan kemulian di Sisi-Nya, yakni berupa shaum Arafah disaat jemaah haji berada di Arafah untuk wukuf (9 Dzulhijjah). Di bulan haji terdapat amalan, doa dan munajat yang bila diamalkan akan memperoleh keutamaan yang sangat agung. Amalan-amalan tersebut tidak hanya dikhususkan bagi mereka yang sedang melakukan haji di tanah suci. Tetapi juga bagi kita yang tidak sedang melakukan haji.

Jika kita belum melaksanakan ibadah haji, maka mendawamkan dalam setiap doa untuk selalu berharap bisa melakukan haji. Karena dengannya, harapan kita kepada Allah agar diberi kesempatan, keluasan rizki dan kemudahan untuk melaksanakan haji semakin terlatih dalam setiap pengharapan.

Kembali pada tema diatas, benar bahwa menjaga lebih sulit dari memulai. Pun demikian dengan menjaga sebuah ‘Faith’, rintangan dan halangannya kerap membatasi setiap langkah kita. Bagaimana mengendalikan nafsu, menjadi kepiawaian yang sulit saat sendi dan rongga darah kita selalu dimasuki setan sang penjegal keimanan. Bagaimana menjaga konsistensi iman yang terus berkobar adalah perjuangan niat yang harus konsisten dalam setiap langkah. Namun, atas Kerahiman-Nya, Allah SWT memberikan peluang waktu sebagai ‘stasiun suci’ untuk melakukan pembenahan diri, stasiun suci itu terletak pada dua hari raya umat Islam selain hari Jum’at.

Tujuan akhir kita adalah panggilan terakhir. Karena panggilan terakhir itu tidak bisa di prediksi waktunya, maka hanya dengan ‘Keep the Faith’ lah kebahagian abadi kan diraih. Sejatinya, hari kemenangan Iedul Fitri dan menjelang yaumul Arafah menjadi momentum yang sangat berharga untuk ‘mengkampanyekan’ Keep The Faith dalam perjalanan hidup kita.

Pada suatu kesempatan seorang teman pernah bercerita, bahwa dalam segala hal dirinya tidak bisa menjadi orang nomor dua di komunitasnya. Maksudnya, ia selalu harus menjadi pemenang dalam setiap bidang. Baik dalam kejuaraan olahraga, struktur organisasi, terlebih dalam peringkat akademis di kelasnya. Bertarung mendapatkan kursi teratas adalah sebuah kelaziman yang harus ia peroleh dimana dan kapan pun. Dalam kehidupannya, ia sangat memerlukan rasa ‘menaklukkan’, suatu rasa superior dan rasa menang terus berputar dalam langkah hidupnya. Ia merasa bahwa suatu ‘kemenangan’ selalu dimulai dari bagaimana ia menghargai pencapaiannya setiap hari. Ia merasa, tanpa rasa menang, sepertinya ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Karena itu, konsekwensi dari pencapaiannya itu harus ia lakukan dengan gigih dan penuh juang. Sekilas, kita memandang karakter seperti itu mencerminkan sosok ambisius yang tak ingin kalah. Negatif dan sulit diterima di masyarakat majemuk. Tetapi, jika kita telaah secara objektif, ternyata sifat dan kegigihan dalam meraih citanya untuk selalu menjadi ‘juara’ adalah hal yang sangat positif dan sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Sang Maha Kuasa. Kenapa demikian (?) Cobalah tengok bagaimana ia harus menjadi ‘Sang’ champion setelah melalui proses yang tidak mudah. Pantang menyerah, gigih dengan ledakan semangat yang jauh dari mental kerupuk yang mudah hancur hanya dengan remasan tangan.

Kemenangan adalah hasil akhir dari apa yang diinginkan Allah SWT pada setiap hamba-Nya. Menjadi juara dari setiap etape kewajiban yang telah dilaluinya. Untuk meraih hasil akhir yang positif, tentunya setiap hamba harus melakukan pencapaian yang maksimal. Gigih, tiada keluh maupun kesah, totalitas, serta siap menerima segala apa yang terjadi dari proses pencapaiannya itu. Setelah melalui proses demikian, maka di mata Allah ia telah menjadi sosok juara yang memenangi etape kewajibannya. Logika sederhananya, bagaimana seseorang menjadi peringkat pertama di kelasnya, jika tidak melalui proses belajar yang maksimal. Atau bagaimana ia menjadi seorang yang memiliki kekayaan berlimpah secara alami, tanpa bekerja keras yang smart. Begitu seterusnya. Karena sesuatu kemenangan tidak bisa diraih secara instan dan kebetulan.

Pun demikian, dalam kehidupan fana ini, Allah SWT selalu menginginkan kita menjadi juara disetiap momentum. Bagaimana Allah akan membuka keberkahan rizkinya, tanpa melalui proses kita mendistribusikan kembali rizki yang kita miliki. Dan bagaimana mendapatkan rizki yang kita peroleh tanpa bekerja dan berkarya dengan maksimal. Bagaimana pula Allah menjadikan ‘pemenang’ setiap muslim pada hari raya, tanpa melalui proses ‘kesholehan’ di bulan suci ramadhan.

Pada kenyataannya, kehidupan ini setiap hari memberikan kesempatan untuk menaklukan dan memenangi setiap proses perjuangan. Tetapi penghargaan dan perayaan kemenangan itu harus dimulai oleh diri sendiri. Kongkritnya, setiap kita bisa mencapai target pada hari tersebut, itu adalah sebuah kemenangan.

Rasanya, pada momentum ramadhan ini, kita harus belajar bersama untuk menjalani setiap detik kehidupan sebagai seorang pemenang. Karena itu adalah jati diri kita sesungguhnya. Karena sudah jelas, Allah Azza wa Jalla pun menginginkan kita menjadi sang juara yang memenangi setiap perjuangan hidup.

Setiap orang memiliki potensi berbuat dosa, namun juga memiliki jalan keluar dari belenggu dosa tersebut. Tiada manusia yang suci dari dosa. Semuanya pernah melakukannya, tetapi sebaik-baiknya pendosa adalah yang bertobat. Terlebih pada kondisi saat ini, ketika hitam dan putih sudah sulit lagi untuk dibedakan, warnanya menjadi bias, sulit kembali memberi warna yang jelas. Seringkali kebenaran harus dipecundangi oleh setumpuk materi, sehingga sulit atau bahkan tidak mungkin kita menemukan orang yang tidak pernah sedikitpun melakukan dosa walau hanya satu hari, bahkan ketika kita merasa tidak pernah berbuat dosa seharian pun, justru itulah dosa kita. Merasa suci dari sebutir dosa. Jika kelak manusia berlabuh di Surga-Nya Allah, bukan semata-mata karena nilai pahala-nya lebih besar dari tumpukan dosa, tetapi sungguh itu adalah Karunia Terbesar-Nya. Sebab jika saja diperhitungkan antara kenikmatan yang diraih dengan kebaikan yang kita kerjakan, rasanya tidak akan pernah bisa menyamai keduanya. Tetap, manusialah industri dosa terbesar setelah iblis. Ibarat gelas berisi air bening, sedikit demi sedikit dosa akan memberikan noktah hitam dalam gelas itu. Maka jiwa manusia pun akan terus berada dalam kekeruhan. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka dalam hatinya akan ada noda hitam, apabila ia berhenti dari dosa itu lalu beristigfar dan bertobat, maka hatinya akan bersih kembali.” (HR. Tirmidzi).

Sebelum kita bicara mengenai escape dari dosa, rasanya kita harus tahu bibit dosa yang membuat gumpalan yang menjaring dosa-dosa selanjutnya. Karenanya jika kita telusuri sejarah Islam dan keterangan lainnya, ternyata ada tiga metafor dari bibit-bibit dosa. Karena dari hal itu, ia akan berubah menjadi penghancur manusia secara massal, dunia dan akhirat. Dosa pertama yang akan menjadi metafor, atau cikal bakal berkembangnya dosa adalah rasialisme atau sombong. Yakni, ketika iblis membangkang dan tidak mau menjalankan perintah Allah untuk mengakui ‘Superioritas’ Nabi Adam dengan cara simbolik, bersujud kepadanya. Alasannya, iblis merasa lebih tinggi karena diciptakan dari api, enggan bersujud kepada Adam yang hanya diciptakan dari tanah. Itulah yang merupakan dosa pertama makhluk. Kesombongan karena rasialis adalah perasaan secara apriori lebih tinggi dari orang lain hanya karena asal-usul.

Kedua, dosa yang dicerminkan dalam pelanggaran nabi Adam terhadap larangan Allah untuk mendekati sebuah pohon dan memakan buahnya. Hal itulah yang membuat Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari surga. Yah, itulah dosa ketamakan. dosa keinginan memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya. Dosa yang akan menjadi bibit penumbuh dosa lainnya. Sebuah aktivitas yang juga sering terjadi dalam sebuah perebutan kepentingan. Jika bukan karena perut dan nafsu yang tamak, maka tidak akan terjadi lingkaran dosa yang terus bertambah. Namun –sejatinya- bukan berarti kita menyalahkan Adam As. kita berada di muka Bumi, tetapi karena Adam manusia lah yang menjadikan menandakan bukan makhluk kebal dosa. Juga –boleh jadi- mulainya ‘skenario’ Allah SWT dalam memberikan peranan setiap makhluk untuk melakoni perjalanan hidup.

Ketiga adalah dosa hasad atau dengki. Yakni dosa yang pertama dilakukan oleh anak Adam As (Kabil terhadap Habil). Betapa besarnya peranan dengki dalam perkembangan dosa, maka Allah SWT memberikan porsi pokok dalam pembahasan masalah dengki ini dalam dua ayat terakhir pada surat Al-Falaq. Di dalamnya ada permohonan berlindung dari kepada Allah dari kejahatan orang yang iri dan dengki. Berbahayanya kejahatan dengki karena dengki adalah kejahatan sepihak, yang sulit terdeteksi siapa yang melakukannya. Kedengkian adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus hindari dengki, sebab dengki itu memakan seluruh kebaikan kita sebagaimana api memakan kayu bakar yang kering.

Setelah kita tahu 3 bibit dosa yang akan melebar menjadi ‘pemusnah’ massal, maka “Escape” dari lingkaran dosa itu adalah mengaku akan dosa dan mengecilkan jiwa serta meng-Agungkan Allah SWT (Taubatan Nashuha), seperti yang dilakukan Nabiyullah Adam As bersama istrinya, Siti Hawa. Inti dari escape-nya adalah mengakui dan meninggalkan kesalahan yang dilakukan.

Yaa Allah Sungguh kami telah mendzolimi diri kami sendiri, Jika Engkau tidak mengampuni kami, Sungguh pastilah kami termasuk golongan orang yang merugi”.

Tahukah Anda, hari ini 24 Agustus, tepat 50 tahun yang silam adalah momen diawalinya pendirian Masjid Istiqlal yang kini menjadi kebanggan Jakarta dan Indonesia. Ide awal pendirian Masjid Istiqlal bermula pada tahun 1953 dari beberapa tokoh antara lain KH. Wahid Hasyim (Menag RI pertama), H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan serta beberapa ulama lainnya yang ingin mendirikan sebuah masjid megah yang akan menjadi kebanggan warga Jakarta khususnya sebagai Ibukota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Maka kemudian dibentuklah Yayasan Masjid Istiqlal pada 7 Desember 1954. Nama Istiqlal sendiri diambil dari bahasa Arab yang artinya Merdeka, dipilih sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SWT. Presiden Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal dan selanjutnya membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal.

Saat penentuan lokasi masjid, sempat timbul perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran. Sementara Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya yaitu di Jalan Thamrin yang pada saat itu disekitarnya banyak dikelilingi kampung, selain itu ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit. Namun akhirnya Bung Karno memutuskan untuk membangun masjid di lahan bekas benteng Belanda, karena di seberangnya telah berdiri gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar arsitektur masjid Istiqlal. Dewan Juri diketuai oleh Presiden Soekarno. Bagi pemenang disediakan hadiah berupa uang sebesar Rp. 75.000; serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara mengirimkan rancangannya, namun akhirnya dipilih 5 peserta yang memenuhi syarat : 1. F. Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan”, 2. R. Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar”, 3. Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam”, 4. Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5”, 5. Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa”.

Setelah proses penjurian yang panjang dengan mempelajari rancangan arsitektur beserta makna yang terkandung didalamnya berdasarkan gagasan para peserta maka pada 5 Juli 1955, Dewan Juri memutuskan desain rancangan dengan judul “Ketuhanan” karya Frederich Silaban dipilih sebagai pemenang model dari Masjid Istiqlal. Frederich Silaban adalah seorang arsitek beragama Kristen kelahiran Bonandolok Sumatera, 16 Desember 1912, anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru. Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Untuk menyempurnakan rancangan Masjid Istiqlal, F. Silaban mempelajari tata cara dan aturan kaum muslim melaksanakan shalat dan berdoa selama kurang lebih 3 bulan. Selain itu ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia.

Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng saat itu dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik dipenuhi lumut dan rumput ilalang dimana-mana. Pada tahun 1960, dikerahkanlah ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng itu.

Dan tepat dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, pada 24 Agustus 1961 dan masih dalam suasana perayaan kemerdekaan RI, dilaksanakanlah pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal oleh Presiden Soekarno.

Proses Panjang Pembangunan Masjid Istiqlal

Seiring dengan iklim politik dalam negeri yang cukup memanas pada waktu itu, proyek ambisius ini tersendat-sendat pembangunannya, karena berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monumen Nasional, dan berbagai proyek mercusuar lainnya. Hingga pertengahan tahun ’60-an proyek Masjid Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun ’65-’66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.

Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingati miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Semula pembangunan masjid direncanakan memakan waktu selama 45 tahun namun dalam pelaksanaannya ternyata jauh lebih cepat. Bangunan utama dapat selesai dalam waktu 6 tahun tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1967 sudah dapat digunakan yang ditandai dengan berkumandangnya adzan Maghrib yang pertama.

Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978. Kurun waktu pembangunannya telah melewati dua periode masa kepemimpinan yaitu Orde Lama dan Orde Baru

Semoga Masjid Istiqlal terus menjadi kebanggaan umat, seiring dengan semakin semaraknya kegiatan ke-Islam-an di dalamya. Amiin.

(Dari Berbagai Sumber)

Rasanya, di era internet ini semua orang tahu dan mengenal apa itu chatting. Tua-muda, pria-wanita, semua sudah sangat paham dan –mungkin- juga sering melakukan aktivitas chatting. Baik melalui komputer, atau perangkat komunikasi mobile lainnya. Lazimnya orang yang sedang chatting, ia akan sangat fokus terhadap lawan chat-nya. Tidak terpengaruh dengan kondisi disekitarnya, bahkan bila materi yang dichattingkan-nya menarik, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Yah, chatting bisa membuat imaginasi kita berputar diantara realitas yang terjadi. Ada harap, ada cemas dan bahkan curahan hati. Tiada jarak yang memisah, meski jarak terpisah lautan, seolah ia berada sangat dekat dihadapannya. Uniknya ‘obrolan’ chatting hanya banyak dilakukan oleh kegiatan jemari yang menekan keyboard dengan mata memandang layar monitor. Suaranya hanya berbunyi ketika ada sentilan emosi yang membuat tertawa, marah dan menangis. Pada kondisi asyik berchatting ria itulah sesungguhnya terdapat kekuatan fokus manusia dalam berinteraksi dengan lawan chat-nya. Dimana dan kapanpun ia melakukan aktivitas itu, biasanya semua yang berada di sekitarnya menjadi ‘tiada’.

Dalam artikel ini, akan coba dikemukakan garis merah diantara kisah chatting itu dengan tema diatas. Korelasinya terdapat pada ‘objek’ chatting kita dengan siapa. ‘Chatting’ yang dimaksud disini adalah ‘berdoa’. Namun sikap berdoa itu lebih difokuskan seperti orang yang melakukan chat dengan pemahaman yang luas. Sederhananya, berdoa yang khusyuk dan fokus selalu dikeluarkan dalam hati, tanpa harus mengeluarkan suara keras, terlebih harus terdengar oleh sekeliling kita. Seperti kita melakukan chat, mulut tak ikut mengeluarkan suara, cukup tangan yang mewakili perasaan yang ingin diungkapkan. Bedanya dengan doa, hati yang fokus lah yang menjadi wakil dari doa yang kita panjatkan.

Suatu saat di sebuah surau, terdengar seorang pria paruh baya memanjatkan doa dengan suara keras. Meminta dan memohon Allah mengabulkan setiap hajat yang ia pinta. Kontan, bukan hanya mengganggu jemaah surau lainnya, bahkan ia telah ‘menghina’ dengan ‘tidak percaya’ bahwa Allah Maha Mendengar dan Dzat yang Maha dekat, lebih dekat dengan urat nadi sekalipun. Logikanya, ketika kita memanggil seseorang dengan sangat keras, padahal orang yang kita panggil berada di samping kita dengan kondisi pendengarannya yang sehat, apa yang terjadi (?) Boleh jadi ia akan tersinggung, tidak respect bahkan marah.

Berbeda tentunya dengan seorang ustadz yang memimpin doa bersama jemaahnya, berdoa bersama, terdengar oleh mustami’ (audiens) dan diaminkan bersama. Jika itu yang terjadi, maka analogi dalam dunia chatting-nya, ia sedang melakukan ‘teleconference’ yang tidak ‘membutuhkan’ jari untuk mewakili obrolannya.

Artinya, saat kita bermunajat bersama Allah, contohlah bagaimana fokus dan ketawadluan-nya seorang yang sedang berchatting. Ia nyaris tidak mengeluarkan suara, bahkan tidak ingin orang tahu bahwa kita sedang berada pada tingkat khusyuk yang paling tinggi. Seperti halnya saat tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu.

Air Hujan

Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan. Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat. Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Alquran berabad-abad yang lalu, memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan. “Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS Ar-Ruum: 48)

Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.

Tahap Ke-1: “Dialah Allah Yang mengirimkan angin…”
Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfer. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut “perangkap air”.

Tahap Ke-2: “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…”
Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.

Tahap Ke-3: “…lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya…”
Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.

Semua tahap pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Alquran. Selain itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Alquranlah yang menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah ayat, informasi tentang proses pembentukan hujan dijelaskan:

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan- gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS An-Nuur: 43)

Para ilmuwan yang mempelajari jenis-jenis awan mendapatkan temuan yang mengejutkan berkenaan dengan proses pembentukan awan hujan. Terbentuknya awan hujan yang mengambil bentuk tertentu, terjadi melalui sistem dan tahapan tertentu pula. Tahap-tahap pembentukan kumulonimbus, sejenis awan hujan, adalah sebagai berikut:

Tahap-1, Pergerakan awan oleh angin: Awan-awan dibawa, dengan kata lain, ditiup oleh angin.

Tahap-2, Pembentukan awan yang lebih besar: Kemudian awan-awan kecil (awan kumulus) yang digerakkan angin, saling bergabung dan membentuk awan yang lebih besar.

Tahap-3, Pembentukan awan yang bertumpang tindih: Ketika awan-awan kecil saling bertemu dan bergabung membentuk awan yang lebih besar, gerakan udara vertikal ke atas terjadi di dalamnya meningkat. Gerakan udara vertikal ini lebih kuat di bagian tengah dibandingkan di bagian tepinya. Gerakan udara ini menyebabkan gumpalan awan tumbuh membesar secara vertikal, sehingga menyebabkan awan saling bertindih-tindih.

Membesarnya awan secara vertikal ini menyebabkan gumpalan besar awan tersebut mencapai wilayah-wilayah atmosfer yang bersuhu lebih dingin, di mana butiran-butiran air dan es mulai terbentuk dan tumbuh semakin membesar. Ketika butiran air dan es ini telah menjadi berat sehingga tak lagi mampu ditopang oleh hembusan angin vertikal, mereka mulai lepas dari awan dan jatuh ke bawah sebagai hujan air, hujan es, dan sebagainya.

Kita harus ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja mengetahui proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk dan fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat terbang, satelit, komputer, dan lainnya. Sungguh jelas bahwa Allah telah memberitahu kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1.400 tahun yang lalu.

(Sumber: Republika Online)

7 Lapisan Langit

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqaqrah: 29)

“Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap…” (QS Fushshilat: 11)

“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya…” (QS Fushshilat: 12)

Kata “langit”, yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Alquran, digunakan untuk mengacu pada “langit” bumi dan juga keseluruhan alam semesta. Dengan makna kata seperti ini, terlihat bahwa langit bumi atau atmosfer terdiri dari tujuh lapisan. Saat ini benar-benar diketahui bahwa atmosfer bumi terdiri atas lapisan-lapisan yang berbeda yang saling bertumpukan. Lebih dari itu, persis sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, atmosfer terdiri atas tujuh lapisan. Dalam sumber ilmiah, hal tersebut diuraikan sebagai berikut: Para ilmuwan menemukan bahwa atmosfer terdiri diri beberapa lapisan. Lapisan-lapisan tersebut berbeda dalam ciri-ciri fisik, seperti tekanan dan jenis gasnya. Lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi disebut troposfer. Ia membentuk sekitar 90 persen dari keseluruhan massa atmosfer.

Lapisan di atas troposfer disebut stratosfer. Lapisan ozon adalah bagian dari stratosfer di mana terjadi penyerapan sinar ultraviolet. Lapisan di atas stratosfer disebut mesosfer. Termosfer berada di atas mesosfer. Gas-gas terionisasi membentuk suatu lapisan dalam termosfer yang disebut ionosfer. Bagian terluar atmosfer bumi membentang dari sekitar 480 kilometer hingga 960 kilometer. Bagian ini dinamakan eksosfer.

Jika kita hitung jumlah lapisan yang dinyatakan dalam sumber ilmiah tersebut, kita ketahui bahwa atmosfer tepat terdiri atas tujuh lapis, seperti dinyatakan dalam ayat tersebut; troposfer, stratosfer, ozonosfer, mesosfer, termosfer, ionosfer, dan eksosfer. Keajaiban penting lain dalam hal ini disebutkan dalam surat Fushshilat ayat ke-12, “… Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.”

Dengan kata lain, Allah dalam ayat ini menyatakan bahwa Dia memberikan kepada setiap langit tugas atau fungsinya masing-masing. Sebagaimana dapat dipahami, tiap-tiap lapisan atmosfer ini memiliki fungsi penting yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan seluruh makhluk hidup lain di Bumi.

Setiap lapisan memiliki fungsi khusus, dari pembentukan hujan hingga perlindungan terhadap radiasi sinar-sinar berbahaya; dari pemantulan gelombang radio hingga perlindungan terhadap dampak meteor yang berbahaya. Adalah sebuah keajaiban besar bahwa fakta-fakta ini, yang tak mungkin ditemukan tanpa teknologi canggih abad ke-20, secara jelas dinyatakan oleh Alquran 1.400 tahun yang lalu.

(Dari berbagai sumber)

Catatan ini diawali dari sebuah tangisan pada icon BBM (BlackBerry Messenger) seorang calon tamu Allah. Tangisan yang mencerminkan pada rasa cinta dan rindu yang melanda di setiap gerak aktivitas hidupnya. Meski hanya berbentuk icon ‘Cry’, namun sangat terasa betapa ia benar-benar merindukan hari Arafah. Setiap kata yang tertulis pada layar kecil itu sangat menyentuh jiwa, sangat tampak gejolak rasa yang diungkapkannya. Begitu lirih, namun penuh pasrah pada apa yang akan terjadi sesuai takdir-Nya. Yah, ‘tangisan’ itu muncul setelah ia melihat no porsi keberangkatan hajinya diatas nomor yang ditentukan Pemerintah pada tahun ini. Saya sangat yakin, tangisan dan jeritan itu didengar dan diperhatikan oleh Para Penghuni langit, sehingga sama-sama berdoa untuk sebuah harap yang tiada mustahil kan terwujud. Terlebih ketika saya dan kita semua meyakini Sabda Rasulullah SAW yang mengatakan “Allah itu Pemalu dan Pemurah. Karena itu pula, Allah juga malu kalau tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang dipanjatkan kepada-Nya. Bahkan dalam Al-Baqarah ayat 186, Allah Berfirman: “Sampaikan olehmu –Muhammad- jika ada hamba-hamba-Ku bertanya tentang seberapa dekat Aku kepada mereka, katakanlah bahwa Aku ini Maha dekat, dan Aku akan mengabulkan doa setiap hamba yang memohon hanya kepada-Ku.”

Doa itu adalah kendaraan kita, yang akan mengantarkan keinginan, permohonan, dan harapan kita kepada Allah yang Maha Memiliki. Agar kita bisa membuat kendaraan kita terbang menemukan Pemiliknya, kita membutuhkan “dua sayap” untuk menggerakkannya. Apa “dua sayap” itu (?) Rasulullah Saw. berpesan “Ridha Allah itu ada pada ridha orangtua, dan murka-Nya ada pada murka orangtua”. Inilah “sayap” doa yang pertama. Jadi, ketika kita ingin lebih memaknai doa itu menjadi senjata yang diridhai Allah maka sejatinya kita meminta ridha orangtua terutama Ibu dengan segala pengharapan kita. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk meminta mereka (orangtua) menyebut harapan dan keinginan kita dalam doa-doa mereka, karena tiada hijab (penutup) antara doanya dengan Dzat Maha Pencipta. Lalu bagaimana jika kita sudah tidak memiliki orangtua (?) Jika demikian, maka sebaliknya kitalah yang patut menyebutkan mereka pada setiap rangkaian doa. Karena salahsatu tanda keshalihan seseorang adalah senantiasa mendoakan orangtuanya yang telah tiada. Itulah ‘sayap’ pertama yang akan menghantarkan ‘kendaraan’ kita pada Rabbul Izzati. Lalu apa “sayap” yang kedua (?)

‘Sayap’ kedua adalah sosok yang selalu ada dibalik Keperkasaan seorang laki-laki. Ya, di balik pria hebat, selalu ada wanita hebat. Begitu juga sebaliknya. Inilah “sayap” doa yang kedua: keluarga—suami bagi istri, dan istri bagi suami. Nasihat Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Apabila seorang suami memandang istrinya dengan kasih dan sayang, dan istrinya juga memandang suaminya dengan kasih dan sayang, maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih dan sayang.”

Jika kita seorang suami, mintalah istri kita untuk mendoakan harapan dan keinginan kita. Sampaikan kepadanya impian kita, dan ajaklah ia untuk sama-sama mendoakan kita agar bisa meraih impian tersebut. Sayangi istri kita, bahagiakan ia, dan biarlah ia tersenyum untuk kita. Kalau kita seorang istri, hormati suami kita, sayangi ia dengan penuh cinta-kasih, dan minta ia untuk selalu mendoakan kebaikan bagi kita.

Demikianlah doa, ia akan menjadi kekuatan yang sangat mendasar. Saya hanya ingin mengutarakan pada salahsatu keluarga besar calon Tamu Allah Cordova yang memberikan icon ‘cry’ itu, untuk terus optimis akan Karunia dan Kasih Sayang-Nya. Sebelum mengakhiri catatan ini, saya ingin mengutip perkataan seorang Jim Morrison, personal The Doors (dalam sebuah artikel). Ia berkata begini, “Some of the worst mistakes of my life have been haircuts— beberapa kesalahan terburuk dalam hidupku mungkin adalah gaya rambutku.” Anda tahu maknanya apa (?) Morrison ingin berpesan kalau sesuatu yang kecil dapat mengubah keadaan semuanya. Jadi, jangan pernah hiraukan hal sekecil apa pun, termasuk doa yang seringkali kita anggap remeh.