Arafah adalah tempat di wilayah Makkah Al-Mukarramah yang menjadi berkumpulnya para jamaah haji dari seluruh dunia. Hadir Arafah merupakan salah satu rukun haji, sehingga tidak sah ibadah haji seseorang jika tidak hadir di Arafah. Abdurrahman bin Ya’mar meriwayatkan bahwasanya sekelompok manusia dari suku Najd mendatangi Rasulullah SAW pada saat beliau di Arafah. Kemudian mereka bertanya kepada beliau, sehingga Rasulullah SAW memerintah mereka seraya menyeru, “Haji adalah (hadir) di Arafah.” (HR. Tirmidzi). Arafah menjadi hari kesembilan di bulan Dzulhijjah. Arafah yang berarti mengetahui, memiliki pengertian bahwa mimpi yang terjadi pada Kholilullah Ibrahim AS adalah benar berasal dari ALLAH SWT. Sebelumnya, nabi Ibrahim mengalami fase keraguan (hari tarwiyah) apakah mimpinya berasal dari ALLAH atau tidak.

Setelah melalui proses verifikasi-kritisisme, Nabi Ibrahim mengetahui dan meyakini kebenaran mimpinya di hari Arafah. Tibalah keesokan harinya Yaum An-Nahr (hari penyembelihan) yang menjadi tonggak pelarangan pengorbanan manusia dalam mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.

Arafah merupakan miniatur Alam Mahsyar, tempat seluruh manusia dibangkitkan dari alam kubur untuk dihitung amal kebaikan dan keburukannya (hisab). Maka pengertian Arafah memberikan kesadaran bagi manusia dalam hubungannya dengan Rabb-nya, sesamanya dan alam semesta, sehingga mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan abadinya di akhirat.

Peristiwa monumental yang terjadi di hari Arafah antara lain turunnya wahyu terakhir kepada Rasulullah SAW, penegasan tidak diperkenankannya kaum musyrikin melakukan ibadah di sekitar Ka’bah, dan penegasan deklarasi hak asasi manusia (HAM) pertama di dunia yang menjadi tonggak sejarah bagi berkembangnya penghormatan prinsip-prinsip HAM pada saat ini.

Latar belakang tersebut menjadikan hari Arafah memiliki keagungan dibandingkan dengan hari-hari lainnya, di antaranya: Pertama, menjadi hari pengampunan dosa dari ALLAH SWT karena banyaknya hamba yang beribadah semata-mata untuk diri-Nya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika hari Arafah tiba, ALLAH SWT turun ke langit dunia dan berfirman kepada para malaikat, ‘Lihatkan kepada para hamba-Ku, mereka datang kepada-Ku dengan bersusah payah, mereka datang dari berbagai penjuru yang jauh. Saksikanlah! Bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka.’

Para Malaikat berkata, ‘Wahai RABB-ku, (diantara manusia itu) ada lelaki yang senantiasa mensucikan-Mu, mengagungkan-Mu dan lain sebagainya.’ ALLAH SWT berfirman, ‘Aku telah ampuni dosa-dosa mereka.’ Rasulullah SAW bersabda, “Maka sungguh tiada hari yang lebih besar pembebasannya dari api neraka dari pada hari Arafah.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Kedua, dilipatgandakannya amal kebajikan yang dilakukan oleh para jamaah haji di Makkah dan disunahkannya bagi yang tidak haji untuk melakukan puasa Arafah. Dari Abu Qatadah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapus dosa-dosa yang telah lalu dan dosa tahun depan.” (HR. Ibnu Huzaimah).

Ketiga, banyaknya rahmat yang dilimpahkan oleh ALLAH kepada manusia, sampai-sampai setan berkecil hati pada hari Arafah tersebut. Dari Talhah bin Abdullah bin Kariz RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setan tidak melihat bahwa suatu hari dirinya merasa kecil, hina, teraniaya dan teremehkan daripada hari Arafah. Hal itu tidak lain karena ia melihat banyaknya rahmat dan ampunan dosa besar yang diberikan Allah kepada manusia, sebagaimana pada saat Perang Badar.”

Demikianlah keagungan hari Arafah, semoga ALLAH SWT memberikan keringanan kepada kita dalam mengagungkan hari mulia-Nya dengan memperbanyak kebajikan dan berpuasa, sehingga kita dijadikannya sebagai hamba agung nan mulia.

(Dari Berbagai sumber)

Rasanya tema ini akan sedikit membuat confused saat mengartikannya, yah betapa tidak mayoritas pola pikir kita sudah ter-setting bahwa kesalahan adalah sesuatu yang akan membuat manusia terperosok, dalam ranah duniawi maupun ukhrowi. Bahwa kesalahan merupakan sebuah dosa yang harus ditebus mahal oleh sebuah amalan baik, bagaimana ketika Nabi Adam As. Saat melakukan kesalahan, ia menjadi sosok yang merasa ‘terhina’ ketika melakukannya. Kesalahan juga membuat khalayak orang cenderung pasif tuk melanjutkan langkah. Sebisa mungkin kesalahan-kesalahan harus selalu dihindari guna mencapai jalan terbaik yang di idamkannya. Masih banyak orang yang menganggap bahwa kesalahan demi kesalahan merupakan mimpi buruk yang sewajibnya dihempaskan dalam setiap proyek kehidupan yang dijalani. Banyak yang terpuruk ketika seseorang terlanjur melakukan kesalahan-kesalahan kecil ataupun besar, ia merasa terporosok pada sebuah hole yang teramat dalam dan sulit tuk kembali bangkit dari rasa sesalnya yang mendalam. Karenanya tema di atas semacam suguhan anti-tesis pada artian banyak manusia dewasa ini. Sikap perfeksionis adalah anti-tesis dari penggambaran Power of Mistakes.

Pengertian detail Power of Mistakes adalah sesuatu energi yang akan merubah kehinaan menjadi sebuah kemuliaan yang tiada tara. Bagaimana dengan NabiyuLLAH Musa AS. Atas sikapnya yang sedikit merasa sombong, diberikan pelajaran berharga oleh manusia sholeh Khidzir AS. Bagaimana pula dengan kelemahan NabiyuLLAH Harun AS saat berhadapan dengan Bani Israel, namun akhirnya dengan kesalahan-kesalahan itu, mereka mengubahnya menjadi sebuah kemuliaan yang dirasakan keindahannya bukan hanya di dunia, bahkan akhirat sekali pun.

Power of Mistakes adalah memaafkan diri sendiri atas sesuatu kesalahan yang kita lakukan. Menyadari suatu kesalahan bahkan mengakui sebuah kekalahan adalah awal kemenangan. Jika segala rasa terpuruk itu dinikmati dan disyukuri, itu –tentunya- adalah bagian dari rasa sayang ILAHI kepada kita. Laiknya sakit jasmani, sakit rohani pun adalah belaian kasih sayang-Nya. Terlebih ALLAH sangat memberikan reward kepada hati yang tersungkur namun tetap bersyukur serta tafakur meski itu karena terdzolimi. Akhirnya kesalahan menjadi suatu kekuatan doa yang sangat luarbiasa. Power of Mistakes akan ada, jika ada rasa mengakui, menyesali dan akhirnya mensyukuri segala yang pernah terjadi.

Saat ini jutaan manusia berada di Tanah Suci-Nya, membawa sejuta rasa salah dengan harap menjadikannya kekuatan tuk mengubah kesalahan itu dengan kemuliaan Mabrur. Mengakui dan menyesali kehinaan-nya dihadapan Dzat Maha Mulia, adalah prosesi menuju Power of Mistakes. Karena tanpa pengakuan dosa, se-sholeh apapun ia, di Sisi ALLAH adalah orang yang paling terhina. So, mari kita temukan kekuatan dibalik setiap salah kita.

Denyut aktivitas sudah sangat terasa mengarah pada sebuah agenda besar, agenda yang tak pernah berujung hingga kehidupan berakhir, gejolak rasa telah berhembus pada jiwa setiap calon tetamu suci-Nya. Hanya 14 hari lagi mereka kan bercengkrama di pusat bumi yang teramat suci. Semua persiapan telah terancang tuk menopang tegaknya kalimat mabrur, bersatu dalam kelembutan jiwa, meraih semua asa yang tercita. Melangkah pada tahapan selanjutnya, Cordova tengah mengutus dutanya tuk mengurus barcode haji (nomor identitas Cordova saat haji) di Tanah Suci. Dari masalah akomodasi, transportasi dan hal lain yang bersangkutan menjadi program kerja sang duta di Tanah Haram. Tentunya banyak fenomena yang terjadi saat proses barcode, karena itu hanya bergantung kepada Allah dan ikhtiar yang maksimal semua harapan kita kan terkabul. Lebih khusus nakhoda Cordova berpesan pada sang duta, tuk selalu memiliki jati diri yang tak pernah angkuh, berlari terantuk-antuk, menangis namun tetap berlari dengan senyum dan penuh keikhlasan. Doa menjadi pengawal niat, Bismillah menjadi panglima kata saat melangkah.

Sejuta doa mengawal langkah sang duta, semoga dalam proses barcode, kemudahan menyelimuti perjalanannya. Setiap individu menjadi bagian tim yang tak terpisahkan, tim Jakarta mempersiapkan perlengkapan ‘juang’ para hujaaj, tim KSA membantu duta dalam meyiapkan segala sesuatunya di Tanah Suci. Mengikat jemari tuk bersama mengawal niatan suci adalah salahsatu bentuk ikhtiar tuk meraih kemuliaan.

Waktu terus bergulir, ia tak pernah menyempatkan tuk kembali melihat dan berhenti menanti sebuah peristiwa. Siap atau tidak, waktu akan melanggeng menapaki trayek yang tak pernah berubah. Semuanya akan ‘pasrah’ mengikuti porosnya. Sebuah peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari, lambat laun akan dihampiri jua oleh sang waktu. Pun demikian masa penantian haji, ia kan menjadi sebuah penantian yang berarti, segala bentuk persiapan baik materi maupun mental menjadi sebuah bekal yang tak terhingga di Tanah suci nanti.

Mengiringi langkah sang duta, biarkan bismillah menjadi panglima kata, tuk meraih segala cita. Bismillahi, Allahumma yassir wala tu’asshir!

Petang itu, hujan lebat baru saja reda. Jalanan ibukota mulai penuh dengan genangan air, kontan saja waktu sibuk-sibuknya orang pulang kantor itu membuat jalanan semakin macet. Mengantri, menghindari lubang dan genangan air. Terlebih waktu itu adalah hari Jum’at, malam weekend. Meski tidak turun hujan, biasanya macetnya selalu panjang. Dengan sedikit cemas, saya meminta kepada supir taksi untuk mencari jalan alternatif menuju Tebet. Saat itu, saya mendadak harus segera ke Bandung, setelah mendapat kabar bahwa orangtua saya sakit keras. Karena satu-satunya transportasi yang available saat itu adalah travel yang lokasinya di daerah Tebet, Jakarta Selatan, itupun tersisa hanya satu seat lagi. Maka tanpa berpikir panjang saya segera melaju kesana menggunakan taksi dari Depok. Jam keberangkatan travel itu pukul 19.30, sedangkan jam 19.00-nya, posisi saya masih di daerah Pasar Minggu, karenanya saya sedikit kurang nyaman duduk dengan selalu melihat jam tangan. “Biasanya kalau arah menuju Pancoran jam segini gak terlalu macet Bang”, gumam sang supir, seolah telah paham keresahan saya takut terlambat mobil travel.

Wal hasil, sesampai di lokasi, saya memang terlambat, dan tertinggal travel yang sudah jalan sejak 10 menit yang lalu. Sedangkan schedule keberangkatan lainnya hanya ada pukul 23.00 malam, itupun seat-nya sudah full. Diantara rasa kecewa, saya teringat dengan transportasi Kereta Api, yang jadwal keberangkatan terakhir menuju Bandung adalah pukul 20.35. Pikir saya masih tersisa sekitar 45 menit, karena hujan telah reda, saya segera meluncur menuju stasiun Jatinegara menggunakan ojek. Syukurlah, tiba di stasiun Jatinegara saya masih berkesempatan mendapatkan tiket dan berangkat tepat pukul 20.35.

Setelah lebih dari sepertiga perjalanan, suasana gerbong yang sejak awal terasa hening dan ‘nikmat’ untuk beristirahat, tiba-tiba terganggu oleh dua anak kecil berumur 4 dan 6 tahun yang berlarian di dalam gerbong. Sesekali pramugari KA menegur ramah untuk tidak berlari-lari di dalam kereta. Sedangkan seorang ibu bercadar yang diduga orangtuanya, hanya diam memandang ke arah jendela KA. Seolah tak peduli anak-nya mengganggu penumpang kereta lainnya. Setelah pramugari meninggalkan gerbong, anak-anak itu kembali berlari-lari, dan kini saling berebutan mainan. Kesana-kemari sambil berteriak, dan “Prang” anak yang berusia 4 tahun menyenggol seorang Bapak yang sedang menyantap mie kuah, hingga tumpah mengenai pakainnya.

Bukannya kaget dan meminta maaf, si ibu yang bercadar itu hanya melirik sekali ke arah suara mangkuk itu jatuh, lalu kembali terdiam. Dan anak-anak itu masih berlari ke arah belakang dengan teriakan yang semakin mengganggu penumpang se isi gerbong. Kontan saja, bapak berusia sekitar 50 tahun, yang tertumpahi itu merasa kesal, dan mendatangi si perempuan bercadar itu, “Bu, tolong anaknya di jaga dong”, ujar si Bapak sembari melihatkan pakaiannya yang terkena air mie, kesal. beberapa penumpang yang bersebelahan dengan saya pun menggerutu atas aksi cuek-nya si ibu bercadar. Si ibu memanggil anak-anaknya dan menyuruhnya duduk, namun tidak lama kemudian si anak kembali keluar dari tempat duduknya dan kembali berlari-lari. Bahkan kini mereka memainkan tombol pintu otomatis, tempat keluar-masuk yang juga bersebelahan dengan toilet gerbong.

Karena begitu kesalnya, banyak dari penumpang yang awalnya merasa khawatir jika si anak terjatuh, atau kenapa-kenapa saat kereta sedang jalan, kini seolah geram kepada si ibu, karena merasa membiarkan anak-anaknya berlarian mengganggu penumpang lainnya. Hampir semua penumpang di gerbong itu merasa kesal.

Setelah berapa lama memainkan tombol otomatis pintu itu, seorang ibu separuh baya baru saja keluar dari toilet, ketika masuk ke gerbong, kakinya sedikit terjepit oleh pintu otomatis, dan hampir terjatuh. Ternyata tombol otomatis itu di pijit oleh anak yang berusia 7 tahun. Si ibu semakin geram, namun ia sadar yang dihadapinya adalah anak-anak, maka ia menghampiri wanita bercadar yang duduknya tepat dua baris di depan saya. “Bu bisa ngurus anak gak sih!” bentaknya keras. “Dari tadi anaknya mengganggu semua penumpang, tapi ibu koq diam saja”. Katanya dengan nada tinggi. Si ibu bangkit dan menghampiri kedua anaknya, menenangkannya dan membawa kembali ke tempat duduk mereka.

Dengan sangat sopan dan hati-hati ia berujar ke para penumpang bahwa ia bukan ibunya, “bapak, ibu semua, saya mohon maaf atas kelakuan anak-anak ini, mereka adalah keponakan saya, saya masih shock dan benar-benar bingung bagaimana menceritakannya kepada mereka, bahwa ayah dan ibu-nya baru saja meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas sore tadi, saya masih belum tega menceritakannya kepada mereka, saya masih menahan untuk bercerita, bahwa kita ke Bandung akan melihat jasad orang-orang yang sangat dicintainya”, sambil tak kuasa dari hentakan suaranya, terdengar si ibu bercadar itu menangis tak kuasa hingga memeluk kedua keponakannya yang ternyata baru tahu bahwa orangtuanya telah tiada.

Hampir seluruh penumpang se gerbong itu terdiam, sikap mereka berubah total, dari memandang kesal karena kenakalannya berubah menjadi iba dan kasihan.

Ending peristiwa ini mengajarkan saya, betapa dengan sebuah informasi yang jelas, maka keadaan akan berubah 180 derajat. Karena dengan informasi, maka segala sesuatunya akan berjalan mulus. Betapa banyak kehancuran di sebuah project, karena lemahnya faktor informasi yang dikomunikasikan dengan sangat jelas.

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula. Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku. Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu. Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku. Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur. Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku. Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi ? Ketika aku tak paham sedikitpun tentang teknologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku. Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu. Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku. Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat. Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas. Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka. Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan. Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku. Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur. Dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.

Ketika aku sudah sulit memandangmu, terkadang –juga- lupa siapa kamu, bukan karena aku tak mencintai dan menyayangimu. Justru kecintaan yang tulus itu telah menutupi rasa dalam penglihatan ini. Maafkan aku, bila tiba-tiba aku menangis dan hati ini hancur, meski menurutmu, kamu tak berkata keras, tapi bagiku teramat keras. Mungkin karena kau lupa, bahwa aku sangat tidak senang jika ada orang yang berkata keras atau kasar kepadamu sewaktu kecil. Jangan heran jika aku nanti memiliki banyak permintaan, janganlah semua kau turuti permintaanku, karena –memang- aku hanya ingin diperhatikan.

Ketika nanti aku telah menguban dan menjadi pikun, jika tidak keberatan, janganlah kau pisahkan jasad ini dengan darah yang mengalir pada dirimu. Jangan pula kau jarakkan aku dengan anak-anakmu, karena mereka lah yang membuatku mampu bertahan sampai sekarang. Kalau boleh aku meminta, jangan pula kau berikan padaku sebuah tempat mewah dengan fasilitas wah di rumah jompo, karena aku ingin disaat terakhir hayatku, mata ini dapat terlebih dulu melihatmu bersama anak-anak tercinta.

Ketika aku tua, maukah kau memanjakan ku (?)

Senja di suatu hari, saya bersama beberapa rekan Cordova, di undang pimpinan kami untuk meeting di sebuah mall di bilangan Kota Mandiri. Seperti biasa jika meeting diadakan di luar headquarter, pastinya akan bernuansa rileks namun penuh khidmah. Sembari menanti kedatangan beberapa team yang belum sampai, kami terlebih dulu memesan tempat dan makanan di sebuah resto bergaya tradisional, betawi. Rasanya tidak salah jika saya memesan terlebih dulu minuman hangat, karena –memang- kondisi saat itu sedang musim hujan. Minuman hangat akan selalu menjadi menu pilihan. Saya panggil waitress yang tertera nama Nanda di bajunya. Dengan penuh senyum, Nanda memberikan daftar menu, gerak tubuhnya menunjukan bahwa dia senior di resto itu. Menyapa, menawarkan dan berujar dengan penuh kharisma. Tidak berjarak, namun penuh santun dengan para tamu yang semakin ramai memadati resto itu. Langkahnya gesit, namun penuh perhitungan.

Nanda, waitress yang berpenampilan cukup apik itu, dibalut dresscode khas daerah Resto, hingga terlihat sangat sopan. Wanita yang berumur sekitar 28 tahun itu juga banyak memikat tamu di restonya, bukan karena ia seorang wanita yang menjadi buruan ‘mata lelaki’, namun karena pesona dan sikapnya sebagai pelayan para tamu-nya dengan penuh rasa. Setiap tamu yang datang, ia tempatkan sebagai ladang rizki untuknya, kawannya dan –tentunya- teruntuk restoran tempat ia bekerja. Dengan demikian, Nanda tampak sangat antusias dalam menyambut ‘rizkinya’ meski mereka hanya membeli segelas teh manis hangat sekalipun. Selain Nanda, ada juga temannya Bella dan Iwan. Hampir sama, mereka semua memperlakukan kami (konsumen) dengan sepenuh hati.

Di resto itu, tampak ada sekitar 6 orang, tiga waitress, dua koki dan seorang kasir. Meski banyak tamu yang harus dilayani, namun penyajiannya cukup cepat. Yang lebih membuat kami salut, mereka bekerja dengan saling mengisi job desk. Lazimnya seorang waitress, mereka hanya melayani dan mengatur lalu lintas hidangan sampai ke meja kunsumen, namun yang kami perhatikan di Resto itu mereka bekerja bukan sekedar pelayan. Mereka terlihat sigap dalam membersihkan property dan lingkungan tempat kerjanya.

Tanpa saling mengandalkan, ketika temannya sedang melayani tamu, maka salahsatu dari mereka membersihkan pintu kaca yang mengembun. Saat itu, hujan sangat besar, sedangkan di dalam ruangan ber-ac. Maka pintu kaca besar itu tampak seperti kena uap. Dengan sigap, Nanda, bella dan Iwan bergiliran mengelap kaca itu, dengan sesekali mengepel lantai yang terciprat air hujan. Begitulah seterusnya, mereka bahu membahu bekerja untuk kenyamanan para pelanggannya.

Tibalah waktu meeting, ternyata cukup lama kami memperhatikan cara mereka bekerja. Belajar dari ke-seriusan, ke-sigapan, ke-antusiasan, kemandirian dengan penuh tanggungjawab. Berjuang untuk tidak berada dalam zona nyaman bekerja, setelah itu maka timbulah rasa penuh amanah. Bekerja total untuk memberikan kepuasan semua pelanggan. Wal akhir, kita semua mendapat pelajaran yang penuh makna petang itu.

Berbuat baik sebelum segalanya berakhir, adalah pertanda manusia visioner yang selalu mengedepankan aksi sebelum sesuatunya hancur tak bermakna. Salah satu hikmah kenapa kematian dirahasiakan adalah memberikan pilihan manusia agar selalu melakukan yang terbaik setiap hal yang dikerjakannya. Karena ia tidak tahu kapan kematian itu menyapa langkahnya. Kapan, dimana dan sedang apa ia menghembuskan nafasnya. Kematian itu adalah gerbang pertama manusia menghadapi masa depan abadinya. Sebab melakukan yang terbaik sebelum ajal tiba adalah satu pilihan tuk men-genggam kunci kenikmatan abadi di kampung akhirat.

Dikisahkan seorang lelaki kaya ingin bunuh diri karena kehidupan dan hartanya gagal membuat ia bahagia. Semua yang ia hasilkan dari jerih-payahnya seolah memusuhi dan menjadi faktor utama dalam merusak segala kebahagian hidup. Hidupnya terasa sesak dengan segala problematika yang ia ciptakan sendiri. Istrinya terasa semakin jauh dan melelahkan berhadapan dengannya, masalah kecil selalu menjadi ‘perang besar’ dengan bumbu teramat pedas tuk diucapkan.

Gagal dalam mendidik buah hati, anak-anaknya semakin terasa durhaka dan tiada hormat kepadanya. Setiap saat selalu muncul masalah dikarenakan ulah sang anak. Perkelahian, tawuran, hingga terjerat kasus narkoba. Semuanya menjadi sangat menyakitkan, terlebih mereka –sesungguhnya- adalah asset yang paling indah dalam kehidupannya. Di lingkungan kantor, ia tidak lagi dihormati, karena –memang- ia jarang pula menghormati atasan maupun bawahannya. Tertekan dengan suasana yang menghimpit dada, ia tak kuasa tuk menjalani kehidupannya lagi. Ia lebih memilih untuk segera mengakhiri hidupnya, namun sebelum waktu eksekusi itu dilaksanakan, ia ingin yang terakhir kalinya mengadu ke salahsatu ustadz terpandang di desanya.

Dengan sedikit tergesa, ia menceritakan keinginan untuk membunuh dirinya kepada sang ustadz. Dengan sangat detail ia juga menceritakan semua alasan untuk sebuah niatan besar dalam hidupnya itu, mengakhiri dirinya. “Bagaimana Ustadz, saya sudah letih, tidak tahan dengan semua kehimpitan ini, bisakah ustadz memberikan cara mengakhiri hidup namun tetap dalam koridor khusnul khotimah” (happy ending).

Dengan bijak sang Ustadz memahami kondisi dia, dan mengganggukan keinginnannya. Setelah itu ia mohon izin ke belakang untuk membawakan obat atau racun untuk diminum oleh si lelaki yang sudah ngebet mengakhiri hidupnya dengan paksa. “Ini saya bawakan racun ter-keras di kota ini, minumlah”, seru Sang Ustadz dengan membawa botol kecil berwarna putih dengan penutupnya. Tanpa menunggu lama-lama, si lelaki langsung menegaknya sampai habis.

“Karena unik dan kerasnya racun ini, maka efeknya akan timbul setelah 24 jam dari sekarang. Maka, jika kau ingin khusnul khotimah, mati dalam keadaan baik, selamat atau happy ending, maka lakukanlah kebaikan sekecil apapun dengan sempurna, lakukan yang terbaik, karena kematian mu akan tiba esok hari tepat jam 8 pagi ini”, seru sang ustadz dengan serius ke lelaki yang akan menghadapi kematian ini. “Baiklah ‘Stadz, terimakasih, saya mohon izin pulang”. Jawabnya dengan sedikit lemas.

Selama diperjalanan menuju rumah, semua yang ada dalam pikirnya menerawang dan mengingat apa yang terjadi sejak ia kecil. Memorinya terus merayap kepada sosok-sosok yang telah mengisi kehidupannya selama ini. Ia menjadi ingat pada kakek-neneknya yang sudah belasan tahun meninggal. Ia juga mendadak ingat ketika kakeknya marah dan memukul kakinya dengan sejadah karena susah dibangunkan untuk sholat subuh. Hingga terus menerawang ingatannya menuju kenyataan yang ia hadapi saat ini.

Setiba di rumah, ia langsung menemui istrinya dan memeluknya erat. Seraya kaget, sang istri terperanjat “Ada apa seh!” Tanya istrinya dengan ketus. Karena memang sudah lama mereka tak pernah bersua dengan mesra. “Mah, maafkan papah. Selama ini papah tak pernah merhatikan mamah, papah gak peduli dengan perasaan yang mamah rasakan. Papah minta maaf sayang, mungkin hari ini adalah hari terakhir papah memeluk dan melihat mamah, maafkan papah sayang”.

Kontan saja dengan ketulusan itu, sang istri yang awalnya merasa heran, kini malah lebih meledak akan tangisannya yang masih dalam pelukan suaminya. “Maafin mamah juga Pah, mamah yang gak bisa buat papah bahagia di rumah, mamah banyak nuntut ke papah, banyak maunya, maafin mamah yang belum bisa jadi istri sholehah pah, maafin mamah”, tangisnya meledak dalam hangatnya cinta suci.

Setelah saling memaafkan, lelaki yang nyawanya kian habis termakan detik waktu itu, segera menghampiri anak-anaknya. Memeluknya dengan sangat erat, airmatanya mengalir dengan deras, seolah enggan tuk melepas dari sentuhan kulit orang yang ia sayangi. Bertubi-tubi ia menciumi kening, wajah dan kepalanya. Semakin erat cengkraman tangannya memeluk, jangankan ditinggalkan, meninggalkannya pun tak kuasa ia hadapi. Sayangnya teramat besar, terlebih ia telah lama menyia-kan anak-anaknya tanpa pendidikan baik dalam rumahtangga. Kesedihan yang mendalam teramat ia rasakan, saat maut kan segera menjemput dengan meninggalkan mereka seperti kondisi sekarang.

Lama ia mendekap anak-anaknya seraya enggan melepaskannya. Persis yang dilakukan ibunya. Si anak, yang awalnya kaget kini tenggelam dengan tangisan airmata, bersatu dengan hangatnya cinta ayah dan anak.

Dalam sisa waktunya ini, ia enggan tuk melepas sesuatu dari mulutnya terkecuali dzikir dan perkataan baik kepada setiap orang yang akan ditemuinya. Meski enggan tuk melangkah dan berangkat kantor yang terakhir kalinya dalam hidup, karena masih kurang cukup waktu perjumpaan terakhirnya dengan keluarga tercinta.

Ia berjalan dengan segala kerendahan, menyapa setiap orang yang dilaluinya, dan memperbanyak sedekah. Semuanya ia kerahkan demi Best for Last yang sudah di depan mati. Melakukan –sekuat tenaga- apa yang terbaik pada detik-detik kehidupannya. Setelah melakukan kebaikan dengan totalitas yang terbangun dari hati, dengan cepatnya ia mendapatkan keindahan hidup yang sesungguhnya. Keluarganya kembali dalam dekapan romantisme hidup, lingkungan kerjanya menjadi orang-orang yang sebaliknya memberikan kebahagiaan kepadanya, tetangganya dan semua orang menjadi sangat bersahabat dengannya.

Hingga tibalah satu jam waktu yang ditentukan, waktu obat itu akan segera bereaksi dan mematikan rasa. Ia terlanjur bergairah dengan kehidupan barunya, ia kembali bergegas menuju rumah ustadz untuk meminta penawar obat yang telah ia tegak kemarin. Ia masih ingin berbuat baik sebelum segalanya berakhir.

Best for Last, demikianlah kisah seorang yang secara yakin hari kematiannya akan segera tiba. Kebaikan demi kebaikanlah yang akan ia perbuat. Meski ia tak sadar bahwa yang ia minum itu –sebenarnya- adalah air putih biasa. Namun ketika hati dan pikirnya telah terbentuk pada suatu keyakinan bahwa kematiannya akan segera tiba, maka semua prilaku dengan sangat cepat merubah apa yang biasanya ia kerjakan.

Best for Last menjadi sebuah keniscayaan akan sebuah pilihan hidup. Now or never, kerjakan kebaikan sebaik mungkin, sekarang atau tidak selamanya.

So’ menghadapi Grand Manasik kali ini, Cordova menyongsong tema “Best For Last” dengan sebuah tujuan bahwa kita jadikan pengabdian dan peribadahan haji ini, seolah yang terakhir dari kehidupan kita.

“Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta” –Cordova Founding Father-

Setiap kita –tentunya- pernah merasakan bagaimana langkah hidup tersendat hanya karena tiada ‘move’ dalam dirinya. Tak ada rasa tuk melanjutkan hamparan medan yang menghadang. Seperti filosopi sepeda yang kan terjatuh kala berhenti dalam putaran jeruji rodanya. Seperti bumi yang kan hancur ketika porosnya tak berfungsi untuk diputar dan memutarinya. Semisal ka’bah yang tak kan pernah berhenti dari putaran thawaf sebelum segalanya musnah. Begitulah ternyata langkah manusia. Fitrahnya terus bergerak dan bergerak, melangkah dan meloncat, menari dan ber-ritme. Terkecuali saat jasad terkujur kakulah ia kan berhenti dari segala pergerakan raga.

Hidup untuk bekerja dan berkarya, melangkah dan bergerak adalah bukti dari kerja dan proses berkarya. Namun terkadang semua itu menemui titik dimana segala komponen berhenti dari jalur alami manusia, sedang ia masih kokoh berdiri hidup dengan kenyataannya.

Suatu saat, saya bercerita pada sosok yang menjadi guru sekaligus orangtua kami di Cordova. “Saya benar-benar stuck dalam berkarya, tidak produktif dalam bekerja”, layaknya gerobak sayur yang mogok ditengah jalan, padahal banyak manusia di Pasar yang sudah menunggu kedatangannya. Atau ibarat pisau yang tumpul, tidak bisa digunakan untuk kepentingan apapun. Saya benar-benar menjadi ‘thing’ yang mudah dan kapan saja di ‘campakkan’ ke sebuah tempat yang teramat rendah.

Merosotnya gairah dan spirit saya menjadi penghambat aliran ‘rizki’ yang kan mengalir pada mulut-mulut mungil penerus estafeta hidup. Bahkan bukan hanya mereka yang berada di rumah, imbasnya –bisa jadi- mengganggu derasnya ‘aliran’ ke puluhan bahkan ratusan jiwa yang menanti hasil proses karya kami. Karena –memang- kami adalah satu yang bersinergi. Satu terhambat, semuanya kan merasakan dampak hambatan tersebut. Itulah sebuah team yang kami pelajari di Cordova.

Mati sebelum ajal. Berhenti ditengah jalan, dan lembut sebelum menjadi bubur. Saat itulah adigium diatas terasa menjadi semacam pelita ditengah gelapnya malam. “Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta”. Kalimat itulah yang –sejatinya- menjadi pengobar jiwa tuk kembali menyuntikan rasa menghadapi kenyataan yang ada.

kita bisa sedikit membedakan apa yang dikatakan dengan bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas. Yah’ bekerja keras selalu berorientasi dengan kerjaan fisik yang mudah melelahkan, begitupun dengan bekerja cerdas, meski positif dan menghasilkan lebih dari apa yang mereka kerjakan total dengan fisik. Namun terkadang akan selalu menghadapi titik lelah dalam berfikir. Tetapi dengan kerja ikhlas yang terlahir dari hati, ia akan selalu menempatkan kerja dan karyanya sebagai bagian dari kewajiban ibadah kepada Rabb-nya. Sehingga menjalaninya dengan penuh tanggungjawab, penuh konsentrasi, dan penuh dengan pengabdian.

Jika dirumuskan, mungkin bisa seperti ini; Bekerja keras itu menghasilkan, bekerja cerdas itu melipatgandakan, dan bekerja ikhlas itu menentramkan.

Karena segala sesuatunya bermula dari hati yang menjadi komandan setiap aksi gerak manusia.

“Jika banyak sasaran besar yang tak tercapai, itu karena kita menghabiskan waktu untuk mengerjakan hal yang kurang penting dulu”
–Cordova Founding Father-

Road to Grand Manasik

Pernahkah Anda merasa stuck (?), daya pikir seolah membeku dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, luput dari schedule pekerjaan, lebih parah terjadi semacam disorientasi akan realita dihadapan kita. Diri merasa hina, rendah dan tak berguna untuk berjuang menebang semua rasa itu. Seolah terdekap oleh balutan kuat yang membungkus jiwa tuk berkreasi, pikir tumpul menembus benteng kokoh kepenatan. Tak mampu berbuat baik dengan karya sekecil apapun, tidak berkontribusi pada sel tubuh team yang saling merangkai. Bak luka yang memutus jaring salahsatu kekuatan team. Roboh tak berdaya. Mati kelaparan ditengah lumbung padi. Tenggelam di kolam kering, dan terluka ditengah pesta. Saat seperti itulah sesungguhnya kita benar-benar membutuhkan semacam miracle, yah keajaiban yang –sejatinya- muncul dan –memang- terdapat pula dalam diri kita. Mengenang, melihat dan nostalgia akan apa yang dulu sempat terjadi. Juga membangun kembali kerangka fikir akan sebuah karya hidup.

Setiap hari hidup, mulai dari membuka mata, bekerja, bercengkrama hingga kembali istirahat, tentu akan mengalami berbagai peristiwa. Namun, dari setiap peristiwa itu, selalu ada ungkapan simple nan jujur yang ‘mengganggu’, “Sudah kita isi dengan apa hari ini (?) Satu hal yang konon katanya, membuat kita hidup bahagia adalah mengisi hari dengan berbuat baik. Sesederhana apapun itu, sekecil apa pun, ketika dilakukan dengan tulus dan ikhlas, maka perbuatan baik itu akan menumbuhkan kebaikan demi kebaikan. Begitu pesan bapak, sekaligus guru kami di Cordova. Mengangkat batu yang menghalang jalan, menghibur orang yang sedih, bahkan sekedar memberi makan burung liar disekitar tempat tinggal kita sekalipun, ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan maka hal itu akan terus memberikan kebahagiaan hidup, termasuk menjadi salahsatu solusi kepenatan ‘berkarya’.

Hal demikian juga menjadi pintu masuk untuk mengatasi sebagian masalah yang menggelayut dalam ‘eksistensi’ karya kita. Karena awal kesuksesan selalu akan menjadi bekal untuk mencapai kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Orang kaya menjadi lebih kaya bukan karena harta yang dimilikinya, namun karena arah yang benar dalam usaha dan kehidupannya, yakni tindakan yang on the track dalam langkahnya, sehingga kesuksesan itu akan muncul berulang-ulang.

Pun demikian jika kita menilik dan memperhatikan disekitar kita, bahkan –mungkin- kita sering mendengar kalimat, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” think, act, change –sejatinya- bisa merubah paradigma yang tertuang dari istilah diatas, jika kita melihat diri sendiri, apakah kita semakin kaya atau semakin miskin (terlepas apakah kaya atau miskin harta maupun kaya dan miskin jiwa). Jika ternyata kita semakin miskin, maka tiada lain kita bersegera berbalik arah, karena pastinya kita melakukan kesalahan baik disadari ataupun kebodohan yang sebenarnya dirasakan. Atau karena salah menyusun konsep, terperosok akan peta kerja yang tak terkonsep.

Orang kaya yang semakin kaya, ternyata bukan karena dia memiliki harta lebih banyak, namun karena dia sudah berada pada langkah dan arah yang benar. Kesuksesan yang dia capai telah membuat efek domino untuk kesuksesan berikutnya.

Jika kita melakukan kebaikan, minimal satu kali setiap hari. Jika setiap kita terbiasa melakukan, bagaimana kita membayangkan terjadinya sebuah keindahan yang bisa terjadi dari jutaan kebaikan yang rutin dikerjakan. Sebuah harmoni yang pasti akan membawa keberkahan dan keberlimpahan pada setiap makhluk.

Do the best, Bismillah

Road to Manasik

Nampaknya pembahasan mudik pra dan paska lebaran selalu menjadi menu utama untuk diperbincangkan, diberitakan dan dikisahkan setiap media di Indonesia. Karena bukan hanya aktivitas massif yang melibatkan jutaan manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, pada rentang waktu yang hampir bersamaan, tetapi juga pergerakan arus ekonomi yang melaju rata ke setiap pelosok desa. Sebagaimana filosopi ‘Mudik’ yang juga berarti hulu sungai, dimana semua aliran air (sumber kehidupan) berawal. Jadi –memang- adakalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan rasa syukur atas tanah lahirnya. Mudik juga bisa dibilang merupakan sebuah gerakan nasional (kendati tidak secara resmi dinamakan gerakan nasional), semua orang urban untuk kembali ke kampung halamannya. Tradisi ini, bak warisan yang telah turun temurun dari generasi ke generasi. Mereka rela berdesak-desakan, berdiri selama perjalanan di kereta bahkan ada juga yang menempati WC kereta untuk duduk dan istirahat. Semua itu adalah hal yang secara nalar –mungkin- tidak pernah dilakukan selama hari-hari biasa (non mudik).

Kisah dan cerita pemudik memang kerap mengundang media untuk dijadikan ‘rasa’ mudik setiap tahunnya berbeda. Memiliki rasa yang nikmat untuk disuguhkan kepada jutaan pemirsa di Tanah Air. Namun kali ini, mari kita sedikit fokus pada hakikat mudik sesungguhnya, bukan hanya mudik biologis yang sudah pasti membuat raga letih, namun juga kita mengambil posisi mudik dari kacamata lain. Kacamata spiritual yang menegaskan makna mudik sesungguhnya.

Siklus mudik menggambarkan tentang kerinduan manusia akan keberadaan asal muasal penciptaan. Manusia menyadari bahwa dirinya memang berasal dari zat yang kekal (Rabbul Izzati), yang pastinya manusia juga akan kembali kepada-Nya. Mudik merupakan gambaran manusia yang merindukan spiritual di sela-sela kehidupan yang cenderung dibuai rayuan modernitas.

Mudik tak ubahnya laku ziarah atas ruang dan waktu, kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran tentang kesejatian diri manusia yang hakikatnya terbebas dari segala ‘kejahatan’ dan ‘kotoran’. Spritualitas mudik mengingatkan kita, bahwa keluhuran manusia dapat tergapai dengan mewujudkan nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari. Mudik ke kampung rohani merupakan perjalanan spiritual agar pemudik kembali menimba semangat religiusitasnya di arena social kultural, seperti kampung halaman kita.

Sejatinya yang harus mudik bukan semata bersifat jasad-biologis, tetapi juga memudikkan ruhani ke asal sifatnya yang segar, jernih dan manusiawi. Sebelum mudik yang sebenarnya tiba menyapa manusia, menuju panggilan-Nya melalui Malakul Maut. Kembali kepada dimana kita mengawali kehidupan.

So, let’s do the best for last!