Saat Bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tak ada perayaan besar-besaran untuk menyambutnya. Tidak ada hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut hari yang sudah dinanti-nantikan itu. satu-satunya ‘perayaan’ yang dilakukan serentak oleh mayoritas Bangsa ini adalah shalat Jum’at. Tidak ada pula acara makan-makan, karena semua punggawa negeri, pejuang, patriot dan rakyat tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. 66 tahun silam, kerongkongan para proklamator yang sudah kering karena hampir tidak tidur pada malam sebelumnya, bertambah kering setelah membacakan beberapa baris kalimat deklarasi. Para pemuda yang ruh perjuangannya terus menggelegar menjaga asa bangsa ini, bahwa pertolongan-Nya pasti datang, terus setia mengawal perjuangan hingga meyakinkan segenap bangsa untuk berani mengambil resiko agar segera menyatakan kemerdekaannya. Meski ancaman Jepang dan sekutu masih berada di tengah-tengah mereka. Bahkan boleh jadi saat akhir naskah proklamasi itu dibacakan, mereka melihat disekelilingnya masih belum berubah. Hanya kebersamaan rasa saja yang mereka tanggung, untuk melahirkan suatu negeri yang bebas dari segala bentuk penjajahan.

Merdeka, suatu kata yang menjulang disaat tekanan menghimpit. Prosa yang menggugah setiap jiwa yang terbelenggu. Bahkan bukan hanya jiwa, tetapi juga raga yang dipertaruhkan demi sebuah cita mulia. Merdeka! Bukan hanya kata penggugah, namun senjata yang mempersatukan bangsa. Tanpa kata itu, jiwa tak berasa, raga tak kuasa. Sebab kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan hidup manusia. Oleh sebab itulah, Islam mendobrak segala rantai penjajahan demi sebuah istiqlal (kemerdekaan) manusia. Dengan kemerdekaan batin senantiasa menemani lahir, kata lainnya, jiwa kan selalu dalam dekapan raga.

Merdeka tidak hanya diartikan bebas dari tekanan raga, namun jiwa harus jua menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Dari kemerdekaan dua unsur itu, maka lahirlah sebuah kemenangan yang hakiki. Laiknya seorang yang menjalankan puasa, maka harus diakhiri dengan mengeluarkan zakat sebagai aktualisasi dari pembersihan jiwa. Sehingga kemenangan pun menjadi raihan maksimal dari kemerdekaan lahir dan batin.

Bicara tentang Kemerdekaan Bangsa ini, saya ingin membatasi dengan “Hari-Kemerdekaan” saja. Kita sudah cukup banyak bahan refleksi dari setiap event kemerdekaan setiap tahun. Biarlah orang mengenang jasa para pahlawan bangsa, biarlah para pemimpin sibuk berbicara tentang hikmah hari Kemerdekaan, biarlah anak-anak sekolah disibukkan dengan baris berbaris dan pengibaran bendera. Tetapi apa yang telah pernah, sedang dan akan kita perbuat bagi bangsa dan negeri yang telah ‘menghadiahkan’ sebuah kemerdekaan (?)

Ah, rasanya terlalu idealis –bagi saya- jika berpikir perbuatan apa yang memberikan influence besar yang positif bagi Bangsa ini. Karena pada faktanya perjuangan Bangsa ini, kini sudah mulai terkotak demi perjuangan kelompok-kelompok tertentu. Mungkin tak ada lagi tujuan bersama, kalaupun ada hanyalah serpihan kepentingan bersama, bersama dengan kelompok kecilnya. Sudahlah, tokh, negeri ini tak kan menarik naskah proklamasinya hanya melihat kelompok-kelompok kecil yang masih ‘tertindas’. Konteks merdeka yang kini banyak dimaknai hanyalah terbebas dari jajahan bangsa lain, titik.

Pesimis (?) Oh, tidak tentunya. Karena makna kemerdekaan bagi saya tidak disandarkan pada nasionalisme kebangsaan, jika setiap yang meng-invasi dari luar bangsa kita adalah penjajah, maka kita hanya mengenal satu jenis penjajah, yakni kaum yang berbeda bahasa dan berwarna kulit berbeda dengan kita.

Dalam Islam, makna kemerdekaan melekat secara sempurna dengan kalimat Syahadat. Ketika yang disembah, dipatuhi, ditakuti hanya Allah SWT. Maka itulah kemerdekaan bagi seorang muslim, kemerdekaan lahir dan batin. Namun jika sudah ada tandingan-tandingan baru yang hendak menggantikan ‘posisi’ Allah, maka inilah yang sebenarnya disebut penjajahan.

So, jika kita melihat bagaimana awalnya bangsa ini berani meng-proklamirkan, tiada lain karena mereka yakin bahwa atas Rahmat dan Karunia-Nya lah Bangsa ini berani untuk merdeka, merdeka lahir maupun batin.

Air Hujan

Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan. Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat. Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Alquran berabad-abad yang lalu, memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan. “Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS Ar-Ruum: 48)

Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.

Tahap Ke-1: “Dialah Allah Yang mengirimkan angin…”
Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfer. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut “perangkap air”.

Tahap Ke-2: “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…”
Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.

Tahap Ke-3: “…lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya…”
Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.

Semua tahap pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Alquran. Selain itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Alquranlah yang menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah ayat, informasi tentang proses pembentukan hujan dijelaskan:

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan- gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS An-Nuur: 43)

Para ilmuwan yang mempelajari jenis-jenis awan mendapatkan temuan yang mengejutkan berkenaan dengan proses pembentukan awan hujan. Terbentuknya awan hujan yang mengambil bentuk tertentu, terjadi melalui sistem dan tahapan tertentu pula. Tahap-tahap pembentukan kumulonimbus, sejenis awan hujan, adalah sebagai berikut:

Tahap-1, Pergerakan awan oleh angin: Awan-awan dibawa, dengan kata lain, ditiup oleh angin.

Tahap-2, Pembentukan awan yang lebih besar: Kemudian awan-awan kecil (awan kumulus) yang digerakkan angin, saling bergabung dan membentuk awan yang lebih besar.

Tahap-3, Pembentukan awan yang bertumpang tindih: Ketika awan-awan kecil saling bertemu dan bergabung membentuk awan yang lebih besar, gerakan udara vertikal ke atas terjadi di dalamnya meningkat. Gerakan udara vertikal ini lebih kuat di bagian tengah dibandingkan di bagian tepinya. Gerakan udara ini menyebabkan gumpalan awan tumbuh membesar secara vertikal, sehingga menyebabkan awan saling bertindih-tindih.

Membesarnya awan secara vertikal ini menyebabkan gumpalan besar awan tersebut mencapai wilayah-wilayah atmosfer yang bersuhu lebih dingin, di mana butiran-butiran air dan es mulai terbentuk dan tumbuh semakin membesar. Ketika butiran air dan es ini telah menjadi berat sehingga tak lagi mampu ditopang oleh hembusan angin vertikal, mereka mulai lepas dari awan dan jatuh ke bawah sebagai hujan air, hujan es, dan sebagainya.

Kita harus ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja mengetahui proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk dan fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat terbang, satelit, komputer, dan lainnya. Sungguh jelas bahwa Allah telah memberitahu kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1.400 tahun yang lalu.

(Sumber: Republika Online)

7 Lapisan Langit

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqaqrah: 29)

“Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap…” (QS Fushshilat: 11)

“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya…” (QS Fushshilat: 12)

Kata “langit”, yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Alquran, digunakan untuk mengacu pada “langit” bumi dan juga keseluruhan alam semesta. Dengan makna kata seperti ini, terlihat bahwa langit bumi atau atmosfer terdiri dari tujuh lapisan. Saat ini benar-benar diketahui bahwa atmosfer bumi terdiri atas lapisan-lapisan yang berbeda yang saling bertumpukan. Lebih dari itu, persis sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, atmosfer terdiri atas tujuh lapisan. Dalam sumber ilmiah, hal tersebut diuraikan sebagai berikut: Para ilmuwan menemukan bahwa atmosfer terdiri diri beberapa lapisan. Lapisan-lapisan tersebut berbeda dalam ciri-ciri fisik, seperti tekanan dan jenis gasnya. Lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi disebut troposfer. Ia membentuk sekitar 90 persen dari keseluruhan massa atmosfer.

Lapisan di atas troposfer disebut stratosfer. Lapisan ozon adalah bagian dari stratosfer di mana terjadi penyerapan sinar ultraviolet. Lapisan di atas stratosfer disebut mesosfer. Termosfer berada di atas mesosfer. Gas-gas terionisasi membentuk suatu lapisan dalam termosfer yang disebut ionosfer. Bagian terluar atmosfer bumi membentang dari sekitar 480 kilometer hingga 960 kilometer. Bagian ini dinamakan eksosfer.

Jika kita hitung jumlah lapisan yang dinyatakan dalam sumber ilmiah tersebut, kita ketahui bahwa atmosfer tepat terdiri atas tujuh lapis, seperti dinyatakan dalam ayat tersebut; troposfer, stratosfer, ozonosfer, mesosfer, termosfer, ionosfer, dan eksosfer. Keajaiban penting lain dalam hal ini disebutkan dalam surat Fushshilat ayat ke-12, “… Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.”

Dengan kata lain, Allah dalam ayat ini menyatakan bahwa Dia memberikan kepada setiap langit tugas atau fungsinya masing-masing. Sebagaimana dapat dipahami, tiap-tiap lapisan atmosfer ini memiliki fungsi penting yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan seluruh makhluk hidup lain di Bumi.

Setiap lapisan memiliki fungsi khusus, dari pembentukan hujan hingga perlindungan terhadap radiasi sinar-sinar berbahaya; dari pemantulan gelombang radio hingga perlindungan terhadap dampak meteor yang berbahaya. Adalah sebuah keajaiban besar bahwa fakta-fakta ini, yang tak mungkin ditemukan tanpa teknologi canggih abad ke-20, secara jelas dinyatakan oleh Alquran 1.400 tahun yang lalu.

(Dari berbagai sumber)

Catatan ini diawali dari sebuah tangisan pada icon BBM (BlackBerry Messenger) seorang calon tamu Allah. Tangisan yang mencerminkan pada rasa cinta dan rindu yang melanda di setiap gerak aktivitas hidupnya. Meski hanya berbentuk icon ‘Cry’, namun sangat terasa betapa ia benar-benar merindukan hari Arafah. Setiap kata yang tertulis pada layar kecil itu sangat menyentuh jiwa, sangat tampak gejolak rasa yang diungkapkannya. Begitu lirih, namun penuh pasrah pada apa yang akan terjadi sesuai takdir-Nya. Yah, ‘tangisan’ itu muncul setelah ia melihat no porsi keberangkatan hajinya diatas nomor yang ditentukan Pemerintah pada tahun ini. Saya sangat yakin, tangisan dan jeritan itu didengar dan diperhatikan oleh Para Penghuni langit, sehingga sama-sama berdoa untuk sebuah harap yang tiada mustahil kan terwujud. Terlebih ketika saya dan kita semua meyakini Sabda Rasulullah SAW yang mengatakan “Allah itu Pemalu dan Pemurah. Karena itu pula, Allah juga malu kalau tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang dipanjatkan kepada-Nya. Bahkan dalam Al-Baqarah ayat 186, Allah Berfirman: “Sampaikan olehmu –Muhammad- jika ada hamba-hamba-Ku bertanya tentang seberapa dekat Aku kepada mereka, katakanlah bahwa Aku ini Maha dekat, dan Aku akan mengabulkan doa setiap hamba yang memohon hanya kepada-Ku.”

Doa itu adalah kendaraan kita, yang akan mengantarkan keinginan, permohonan, dan harapan kita kepada Allah yang Maha Memiliki. Agar kita bisa membuat kendaraan kita terbang menemukan Pemiliknya, kita membutuhkan “dua sayap” untuk menggerakkannya. Apa “dua sayap” itu (?) Rasulullah Saw. berpesan “Ridha Allah itu ada pada ridha orangtua, dan murka-Nya ada pada murka orangtua”. Inilah “sayap” doa yang pertama. Jadi, ketika kita ingin lebih memaknai doa itu menjadi senjata yang diridhai Allah maka sejatinya kita meminta ridha orangtua terutama Ibu dengan segala pengharapan kita. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk meminta mereka (orangtua) menyebut harapan dan keinginan kita dalam doa-doa mereka, karena tiada hijab (penutup) antara doanya dengan Dzat Maha Pencipta. Lalu bagaimana jika kita sudah tidak memiliki orangtua (?) Jika demikian, maka sebaliknya kitalah yang patut menyebutkan mereka pada setiap rangkaian doa. Karena salahsatu tanda keshalihan seseorang adalah senantiasa mendoakan orangtuanya yang telah tiada. Itulah ‘sayap’ pertama yang akan menghantarkan ‘kendaraan’ kita pada Rabbul Izzati. Lalu apa “sayap” yang kedua (?)

‘Sayap’ kedua adalah sosok yang selalu ada dibalik Keperkasaan seorang laki-laki. Ya, di balik pria hebat, selalu ada wanita hebat. Begitu juga sebaliknya. Inilah “sayap” doa yang kedua: keluarga—suami bagi istri, dan istri bagi suami. Nasihat Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Apabila seorang suami memandang istrinya dengan kasih dan sayang, dan istrinya juga memandang suaminya dengan kasih dan sayang, maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih dan sayang.”

Jika kita seorang suami, mintalah istri kita untuk mendoakan harapan dan keinginan kita. Sampaikan kepadanya impian kita, dan ajaklah ia untuk sama-sama mendoakan kita agar bisa meraih impian tersebut. Sayangi istri kita, bahagiakan ia, dan biarlah ia tersenyum untuk kita. Kalau kita seorang istri, hormati suami kita, sayangi ia dengan penuh cinta-kasih, dan minta ia untuk selalu mendoakan kebaikan bagi kita.

Demikianlah doa, ia akan menjadi kekuatan yang sangat mendasar. Saya hanya ingin mengutarakan pada salahsatu keluarga besar calon Tamu Allah Cordova yang memberikan icon ‘cry’ itu, untuk terus optimis akan Karunia dan Kasih Sayang-Nya. Sebelum mengakhiri catatan ini, saya ingin mengutip perkataan seorang Jim Morrison, personal The Doors (dalam sebuah artikel). Ia berkata begini, “Some of the worst mistakes of my life have been haircuts— beberapa kesalahan terburuk dalam hidupku mungkin adalah gaya rambutku.” Anda tahu maknanya apa (?) Morrison ingin berpesan kalau sesuatu yang kecil dapat mengubah keadaan semuanya. Jadi, jangan pernah hiraukan hal sekecil apa pun, termasuk doa yang seringkali kita anggap remeh.

Ketika sadar bahwa Ramadhan telah melangkah pada sepertiganya, kebanyakan kita mulai terhentak, betapa kita melepaskannya dengan tiada arti. Biasa saja, bahkan cenderung ingin segera berakhir dan berlanjut pada hari-hari yang tiada shaum di siang bolong. Bulan yang –sejatinya- di damba kedatangannya, kini (ketika telah hadir) menjadi bulan biasa yang luput dari makna. Menjalankan aktivitas harian, sahur, puasa dan berbuka. Titik, tiada koma terlebih spasi untuk menambahkan aktivitas yang lebih konsisten seperti pada awal-awal Ramadhan. Padahal jika kita cermati, dalam setiap gerak aktivitas yang kita lakukan di bulan ini, sarat dengan filosopi kehidupan. Tujuan dari puasa agar kita menjadi manusia takwa. Puasa sebagai formula kesehatan tertinggi yang dipilih Allah untuk sebuah kehidupan. Tapi tak sekedar menyangkut kesehatan tubuh, melainkan lebih luas, kesehatan sejarah. Bukankah rusaknya dunia ini karena orang-orang yang tak mau “berpuasa”. Orang-orang yang terus “makan” meskipun sudah “kenyang”. Bahkan dalam sebuah catatan, teman saya mengatakan bahwa puasa memperlihatkan bagaimana dunia menipu manusia: Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Formula yang di desain Dzat Maha Kuasa tentang arti shaum begitu mulia. Tidak sekedar yang –umumnya- kita ketahui. Semua ornamen ibadah vertikal maupun horizontal dikemas dengan begitu indah dalam Ramadhan. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi, dan itu artinya adalah perang secara jantan terhadap sesuatu yang sehari-hari merupakan tujuan dan kebutuhan hidup manusia.

Masih banyak rasanya faidah dan hikmah shaum, yang –mungkin- telah kita serap disetiap kesempatan tausyiah para ustadz tentang bulan suci. Selama sebulan penuh, kita dihadapi beragam pesan religi, saat sahur, menjelang berbuka, saat khutbah tarawih dan setiap celah program-program televisi penuh dengan pesan keagamaan. Semuanya mengajarkan bahwa puasa sebagai mesin pembersih setiap ‘ampas’ yang menggumpal baik dalam diri maupun jiwa.

Apa yang dikemukakan diatas tentang puasa juga merupakan formula ‘kesehatan sejarah’ tentunya telah menjadi pengetahuan kita. Betapa orang yang ‘berpuasa’ lebih mampu menahan segala gejolak hasrat nafsu yang menggenggamnya. Sabda Rasul “Kuluu walaa tusrifuu” (Makan dan janganlah berlebihan) adalah ‘suguhan’ orang yang berpuasa saat berbuka. Hal itu sama seperti ungkapan “hidup dan nikmatilah kehidupan, tetapi jangan lah berlebihan”. Kalimat itu tentunya ada faktor ‘shaum’ untuk menahan atau tidak berlebihan dalam menikmati kehidupan.

Tahukah Anda, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1367 Hijriah (?) Melihat kenyataan ini, bisa kita ketahui bahwa pada bulan puasa pun para pendahulu tetap berjuang, bukan bermalas-malasan. Kemudian Nuzulul Qur’an pun memiliki tanggal yang sama dengan proklamasi kemerdekaan kita, yakni 17 (Ramadhan). Apakah ini hanya kebetulan belaka, sengaja diciptakan, atau ada kekuatan lain yang merencanakannya (?) Wallohu a’lam. Hanya saja, yang pasti terdapat tiga angka 17 (Seventeen) yang menjadi angka sakral bagi bangsa Indonesia, terutama bagi mayoritas penduduknya yang muslim. Yakni 17 Agustus (Proklamasi), 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an), dan 17 Rakaat (shalat). Lantas, apa hubungannya antara 17 Agustus dengan 17 Ramadhan dan 17 Rakaat (?). Di dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Sungguh sebuah pengakuan yang jujur dari para “Founding Father” bangsa kita bahwa Proklamasi 17 Agustus hanya bisa diperoleh dengan berkat dan Rahmat Allah SWT.

Mari kita perhatikan, Jenderal mana yang berani bertaruh, bambu runcing bisa mengalahkan meriam (?) Ahli strategi perang mana yang berani menjamin bahwa tentara dadakan mampu bertempur dan menang melawan tentara musuh (Belanda, Jepang) yang professional (?) Para pejuang kita dahulu, sebagian besar adalah umat Islam, tidak hanya bergerilya keluar masuk hutan membawa bambu runcing dan senjata seadanya, tapi mereka juga menggunakan 17 Rakaat sebagai media untuk memohon kepada Allah SWT agar kemerdekaan ini bisa diraih. Sehingga ketika kemerdekaan dicapai, fakta historis itu dicatat dalam sebuah ungkapan jujur, “Atas berkat rahmat Allah …”.

Demikianlah kita bisa melihat adanya keterkaitan yang jelas antara 17 Rakaat dengan makna 17 Agustus. Lalu apa kaitannya dengan 17 Ramadhan (?) Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan adalah saat diturunkannya Al-quran, yang ayat pertamanya adalah “Iqra” (Bacalah!). Apa yang perlu dibaca (?) Ya benar, Ayat Allah. Baik ayat yang berupa Alam semesta, maupun ayat berupa wahyu Allah, yaitu Al Qur’an.

Dengan firman pertama itu, seolah-olah Allah berkata, “Bacalah alam ini, pelajari, dan budidayakan untuk kemaslahatan kalian semua! Bacalah Al Qur’an sebagai pedoman hidup kalian”. Keduanya harus kita jalankan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hati dan otak. Mengharmoniskan hubungan antara kemajuan intelektual dengan kemantapan akidah. Dari ketiga angka sakral 17 tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa dengan melaksanakan 17 Rakaat kita isi 17 Agustus dengan berpedoman pada petunjuk yang turun di 17 Ramadhan.
(AW)

Sejak Cordova berdiri, saya banyak belajar tentang arti sebuah kebersamaan. Meski terkadang saya sulit menterjemahkan antara ‘kebersamaan’ dan ‘kekeluargaan’. Apakah terdapat benang merah yang mengikat satu rasa antara dua kata itu, atau masing-masing memiliki makna yang berbeda. Boleh jadi kalimat kekeluargaan tidak selamanya menghasilkan suatu kebersamaan, karena banyak kasus yang memperlihatkan sebuah keluarga bisa hancur hanya karena tidak ada nilai kebersamaan diantara anggotanya. Tetapi sebaliknya, dengan sebuah kebersamaan apapun yang tercita akan terwujud. Boleh jadi rasa kekeluargaan yang terjalin di Cordova saat ini, adalah hasil dari moralitas kebersamaan yang dirancang sedari awal. Efek dari satu rasa kebersamaan itu tidak hanya terikat pada satu simpul sebuah team, tetapi dijalarkan juga kepada jemaah dan keluarga besar Cordova. Sehingga spirit dari pelayanan terhadap tamu Allah selalu bernilai kebersamaan. Tidak ada figuritas jemaah yang lebih menonjol atau spesial untuk dilayani secara berlebih diantara jemaah lainnya. Baik itu tokoh masyarakat, tokoh nasional, politikus, artis bahkan seorang pejabat negara sekali pun. Semua mendapatkan porsi sama dalam pelayanan, coz, they are the same disisi Rabbnya.

Sejak saya mengenal dunia travel, terkhusus haji dan umrah, terkadang saya menyaksikan sendiri bahwa ada sesuatu yang –rasanya- harus dibenahi dalam pelayanan para tamu Allah. Bukan kurang atau tidak maksimal dalam melayani, namun ada porsi-porsi yang dipandang sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai universal Haji. Masih adanya pengkategorian jemaah ‘borju’, berduit atau berkelas lebih mendapatkan pelayanan yang maksimal dibanding jemaah lainnya, maka tentu pelayanan itu sudah menyalahi nilai luhur ibadah haji. Bukankah Allah Sebagai ‘Tuan Rumah’ para Tamu-Nya saja memberikan karunia dan anugerah pada semua tamu-Nya tanpa pandang bulu, lalu mengapa kita musti sibuk untuk ‘mencari muka’ dihadapan ‘segelintir’ makhluknya.

Disinilah saya banyak belajar tentang bagaimana menjadi salahsatu ‘paku’ pelekat atas nama Cordova dalam melayani tamu-tamu suci dengan penuh rasa tulus. Tidak ada kategori jemaah yang harus menjadi idola hanya karena statusnya. Semuanya sama menjadi tujuan pelayanan yang maksimal. Karena nilai kebersamaan yang dibangun itulah setiap hajjguard Cordova terdidik untuk tidak menjadi pelayan yang silau akan status segelintir orang. Terlebih bangga hanya karena bisa berpose dengan tokoh idola.

Untuk menjadi ‘sesuatu’, harus ada yang memberikan contoh secara langsung. Tentunya contoh harus datang dari yang mempunyai kedudukan lebih baik. Memperlakukan sama tanpa harus kehilangan nilai penghormatan. Figur yang menjadi contoh dalam melakukan apapun, sangatlah berperan dalam sebuah kehidupan. Seandainya saja setiap kita sangat mencintai Rasulullah SAW, tentunya kita tidak akan sulit mendapatkan figur untuk di contoh. Tidak melulu mengangkat orang untuk narsis bergaya di depan kamera, kemudian dijadikan contoh dengan berlebihan.

Bismillah, semua rasa terbangun atas dasar kecintaan yang berlapis tulus. Tiada cita yang terluhur kecuali melayani tamu suci-Nya dengan hati. Karena hatilah yang memiliki rasa. Rasa kebersamaan itulah yang menjadi tujuan awal dalam membangun komunitas Mabrur. Tidak malah ‘Lebih’ mengayomi satu dua orang saja, melainkan semua tetamu suci-Nya, coz they are the same.

Tidak terasa, waktu terus berlari tanpa menoleh dan berhenti sedikit pun. Detik-detik keberangkatan jemaah haji sudah semakin mendekat. Bagi kami, tiada agenda besar dalam aktivitas hidup, selain menghadapi hari-hari haji. Menjadi bagian dari helaian ‘rongga’ penyangga tamu suci-Nya adalah komitmen kami. Semua detak aktivitas tertuju pada satu rentetan perjalanan haji, baik di Tanah Air, maupun di Tanah Suci nanti. Dalam penantian menuju moment suci itu, banyak hal –tentunya- pada masa-masa ini. Baik penantian kabar mengenai waktu Pelunasan dari Depag, jumlah akhir no porsi, maupun tentang penambahan kuota haji dari Pemerintah Saudi. Pun demikian beberapa pertanyaan mengenai haji menjadi menu yang asyik untuk diperbincangkan. Suatu hari, ada seorang smartHAJJ bertanya tentang keterkaitan ayat Allah mengenai larangan berbuat Fasik, Rafast dan Jidal saat melaksanakan haji. Dengan hukum atau larangan yang mengakibatkan denda atau dam saat berhaji. Jika disederhanakan, hanya perbuatan Fasik, rafast, dan berbantah-bantahan lah yang tidak memiliki kadar ‘hukuman’, denda maupun dam yang ditentukan sesuai syariat. Berbeda dengan mencukur janggut saat ihram misalnya, atau menggunakan kain berjahit selain ihram bagi jemaah pria. Semua larangan saat ihram itu memiliki kadar hukum yang ditentukan, tetapi yang jelas-jelas termaktub dalam Al-Quran mengenai larangan fasik, rafast dan jidal itu tidak memiliki ketetapan denda (hukuman) jika dilakukannya.

Pelik awalnya mengupas ‘misteri’ yang jarang terungkap dipermukaan. Benar bahwa kenapa saat kita mendapat hukuman menyembelih kambing misalnya, karena memotong tangkai pohon, tetapi tiada ketetapan denda bagi orang yang melakukan perbuatan rafast. Jika dicermati, ternyata ada dua macam pelanggaran yang memiliki tebusan secara cash (material) dan tebusan secara pengakuan atau pertaubatan.

Analoginya sama ketika jemaah haji bisa menerima saat antre panjang di tenda Mina (karena sedang ihram), demikian juga ketika berdesak-desakkan saat melempar jumrah (karena masih pada prosesi haji), pun saat kepanasan di Arafah ketika wukuf. Dengan segala kekurangan yang terjadi pada kondisi terburuk sekalipun. Mereka sangat ikhlas menerima apapun yang terjadi. Tetapi bisakah mereka menerima ketika baru datang di Saudia, hanya mendapatkan bus jelek yang menghantar mereka ke Madinah. Bisakah jemaah haji ikhlas ketika harus menunggu lama di tempat check-point bus yang bisa sampai berjam-jam. Dapatkah dipastikan jemaah rela ketika pesawat yang mereka tumpangi menuju Saudia mengalami delay, hingga mengganggu jadwal hari-hari selanjutnya.

Sebenarnya, sejak niatan suci tertancap untuk melaksanakan haji, maka sejak itulah kaidah sebagai tamu Allah menjadi predikat yang disandangnya. Terlebih ketika bulan-bulan sebelum Dzulhijjah telah mendekat. Karena Allah SWT berfirman bahwa waktu Haji itu pada bulan-bulan yang ditentukan. Syawal dan Dzulqo’dah adalah dua gerbang waktu yang akan memberikan pemaknaan sesungguhnya bagaimana haji kita nanti.

Ada waktu senggang sebelum hari Arafah, itulah waktu yang diharapkan sebagai pembentuk pola manusia (tamu Allah) yang akan secara ‘ekstrim’ menjadi sosok yang kembali suci. Pembentukkan sikap dan karakter itulah yang secara alami membutuhkan beberapa waktu (tidak instan) saat berada di Arafah. Sesungguhnya sikap dan jejak yang kita langkahi sekarang di bulan suci ini adalah jejak menuju pembentukkan manusia sempurna yang dijanjikan Allah pada saat wukuf di Arafah nanti. Kembali seperti bayi yang baru terlahir, semuanya bermula dari nol. Subhanallah…

Dua kasus diatas adalah contoh, betapa mulianya hukum yang Allah turunkan untuk manusia mulia di Tanah Suci-Nya

Dalam kondisi puasa seperti sekarang, terkadang jiwa lebih bertoleran pada aktivitas yang tak biasa. Masuk kerja siang, lemas-lunglai, dan berkurangnya segala semangat yang terpancar seperti pada bulan selain Ramadhan. Namun, lebih menghina-kan lagi, jika semua alasan itu hanya karena sedang mengerjakan puasa. Ketika hal itu terjadi, -sejatinya- kita segera meniru apa yang musuh sejati kita lakukan. Semangat yang setan luangkan pada darah manusia, sulit terbendung dan hanya mampu dikalahkan oleh jiwa yang mukhlis alias ikhlas. Baiklah untuk mengupas kenapa kita harus meniru apa yang menjadi ‘kelebihan’ setan dibanding kekuatan manusia pada umumnya. Setan dan manusia pada dasarnya memang makhluk yang berbeda. Tetapi, setidaknya ada 7 ‘kelebihan’ setan dibandingkan manusia. Umumnya manusia sangat membenci setan, tetapi dibalik niat jahatnya, ternyata setan memiliki sifat yang ‘perlu kita simak dan tiru’.

1. Pantang menyerah
Setan tidak akan pernah menyerah selama keinginannya untuk menggoda manusia belum tercapai. Sedangkan manusia banyak yang mudah menyerah dan malah sering mengeluh.

2. Kreatif
Setan akan mencari cara apapun dan bagaimanapun untuk menggoda manusia agar tujuannya tercapai, selalu kreatif dan penuh ide. Sedangkan manusia –terkadang- hanya ingin yang berbentuk instan.

3. Konsisten
Setan dari mulai diciptakan tetap konsisten pada pekerjaannya, tak pernah mengeluh dan berputus asa. Sedangkan manusia (?) Banyak manusia yang mengeluhkan pekerjaannya, padahal banyak manusia lain yang masih sulit mendapatkan kerja dan membutuhkan pekerjaan.

4. ‘Solider’
Sesama setan tidak pernah saling menyakiti, bahkan selalu bekerjasama untuk menggoda manusia. Sedangkan manusia, jangankan peduli terhadap sesama, kebanyakan malah saling bunuh dan menyakiti.

5. Jenius
Setan itu paling pintar otaknya dalam mencari cara agar manusia tergoda. Sedangkan manusia banyak yang tidak kreatif, bahkan banyak yang puas hanya menjadi follower.

6. Tanpa Pamrih
Setan bekerja 24 Jam tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sedangkan manusia, apapun harus dibayar. Materi –sejatinya- tidak menjadi hal yang teramat penting dalam melakukan sesuatu, telebih menyangkut sebuah kewajiban.

7. Suka berteman dan kompak
Setan adalah mahluk yang selalu ingin berteman, tentunya dengan alasan agar memiliki teman yang banyak di neraka kelak. Sedangkan manusia banyak yang lebih memilih mementingkan diri sendiri. Manusia dalam mengerjakan sesuatu cenderung ingin menonjolkan kemampuannya sendiri dibanding bekerja sama dengan orang lain.

Beberapa waktu lalu, Team CAT mengungkap 99 fakta Ramadhan di belahan bumi, kali ini -kembali- kita intip beberapa fakta sejarah dan kegemilangan Islam pada bulan suci Ramadhan. Hal ini sekaligus pembuktian bahwa Ramadhan bukan sebuah bulan yang me’legal’kan rasa malas dan lemah. Bahkan sebaliknya, Ramadhan dikategorikan sebagai bulan yang membuat kuat, dan menjadikan kemenangan dalam hal apapun. Tetapi, bukan juga pembuktian bahwa Ramadhan identik dengan perang, substansi yang dibangun dalam kegemilangan itu adalah, betapa kekuatan ruhiyah menjadi sangat fenomenal melebihi kekuatan jasmani. Selain itu, sejarah ingin membuktikan bahwa shaum di bulan Ramadhan, bukan halangan untuk ‘berbuat’ sesuatu. Baik yang bersifat fisik maupun hal lain yang membutuhkan tenaga extra. Baiklah, mari kita simak sejarah singkat rentetan peperangan sekaligus kemenangan yang terjadi pada bulan suci Ramadhan.

1. Perang Badar. Terjadi pada Ramadhan, tahun 2 H. Perang ini merupakan kemenangan pertama yang menentukan kedudukan umat Islam dalam menghadapi kekuatan kemusyrikan dan kebatilan. Terjadi pada pagi Jum’at, 17 Ramadhan 2H di Badar. Kemenangan pasukan Islam di bawah pimpinan Rasulullah SAW dengan 300 pasukan mengalahkan 1000 tentara musyrikin Makkah.

2. Perang Khandaq. Terjadi pada Ramadhan, tahun 5H. Persiapan perang yang dilakukan dengan menggali parit (khandaq) sekeliling kota Madinah. Sebuah strategi yang tidak pernah digunakan sebelumnya oleh bangsa Arab. Hal ini diusulkan oleh Salman Al-Farisyi, umat Islam berhasil memecah belah pasukan musuh dan mendapat kemenangan gemilang.

3. Fathul Makkah (Pembukaan Kota Makkah). Terjadi pada Ramadhan, tahun 8H. Rasulullah SAW keluar dari Madinah pada 10 Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Makkah jatuh ke tangan umat Islam tanpa pertumpahan darah. Penaklukan itu menjadi sejarah yang tak pernah dilupakan dalam perjuangan Islam.

4. Perang Tabuk. Terjadi pada Ramadhan, tahun 9H. Pada tahun 629 M Rasulullah SAW memutuskan untuk melakukan aksi preventif, yakni ekspedisi ke wilayah tabuk yang berbatasan dengan Romawi. Setelah sampai di Tabuk, umat Islam tidak menemukan pasukan Bizantium ataupun sekutunya, alias mereka (pasukan Romawi) lempar kain putih atau menyerah.

5. Ekspedisi Yaman. Terjadi pada Ramadhan, tahun 10H. Rasulullah SAW mengutus pasukan dibawah pimpinan Ali bin Abi Thalib ke Yaman dengan membawa surat Nabi. Satu suku yang berpengaruh di Yaman langsung menerima Islam dan masuk Islam pada hari itu juga. Kemudian mereka sholat berjemaah bersama Ali Ra. di hari yang sama.

6. Pembebasan Spanyol. Terjadi pada Ramadhan 92H. Panglima tentara Islam, Tariq bin Ziyad memimpin 12.000 tentara Islam berhadapan dengan tentara Spanyol berjumlah 90.000 yang dipimpin oleh raja Frederick. Pada peperangan ini, untuk menambah semangat pasukannya, Tariq membakar kapal-kapal perang mereka sebelum bertempur dengan tentara Raja Frederick. Beliau berkata: “Sesungguhnya, surga Allah terbentang luas dihadapan kita, dan dibelakang kita terbentangnya laut. Kalian semua hanya ada dua pilihan, apakah mati tenggelam, atau mati syahid!”

7. Pembebasan Palestina. Terjadi pada Ramadhan 584H. Panglima tentara Islam, Salahuddin Al-Ayyubi mendapat kemenangan besar atas tentara Salib. Tentara Islam menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai tentara Salib. Ketika bulan Ramadhan, penasihat-penasihat Salahuddin menyarankan agar dia istirahat karena risau ajalnya tiba. Tetapi Salahuddin menjawab: “Umur itu pendek dan ajal itu senantiasa mengancam”. Kemudian tentara Islam yang dipimpinnya terus berperang dan berjaya merampas benteng Shafad yang kuat. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan.

8. Perang Ain Jalut. Terjadi pada Ramadhan 658H. Saat tentara Tartar memasuki Baghdad, mereka membunuh 1,8 juta kaum Muslimin. Musibah ini disambut oleh Saifudin Qutuz, pemerintah Mesir ketika itu dengan mengumpulkan semua kekuatan kaum Muslim untuk menghancurkan tentara Tartar dan bertemu dengan mereka pada Jum’at, 6 September 1260 M di Ain Jalut. Peperangan ini turut disertai oleh isteri Sultan Saifudin Qutuz, Jullanar yang akhirnya syahid di Medan pertempuran. Perang ini kemudian dimenangkan oleh pasukan Islam dengan gemilang.

9. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1364 H. Hari itu pukul 10.00 WIB di rumah kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat, Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan pengibaran bendera (Sangsaka) Merah Putih yang menandakan merdekanya bangsa Indonesia setelah hampir 350 tahun dijajah oleh bangsa asing.

Masih banyak tentunya kejayaan Islam di bulan Ramadhan. Bulan yang mengajarkan umat Islam tentang hakikat sebuah kemenangan. Laiknya suatu kemenangan yang dinanti bagi umat Islam yang berpuasa, berjuang dan menanti suatu kemenangan di hari-hari terakhir Ramadhan. Akankah perjuangan ini berdarah-darah, atau selamat dengan panji kemenangan yang luar biasa.