Atas nama seni, teman saya membiarkan rambutnya gondrong dan berantakan (baca; acak-acakan), atas nama seni juga teman saya menggambar tubuhnya dengan tato, semua perihal kebebasan selalu di sandarkan dengan aktivitas seni. Seni tak terbatas oleh norma, komentarnya. Namun, tahukah dia bahwa seni memiliki kekuatan yang terbesar dalam mengubah semua pola pikir kita (?) watak dan aktivitas hidupnya kan terpengaruhi oleh kekuatan seni yang mengalir dalam darahnya. Bahkan dengan seni tingkat Tinggi, ALLAH menciptakan bumi ini untuk dinikmati semua makhluk yang juga tak luput dari bentuk seni yang menawan. Para ahli seni, sering dibilang seniman, dan saya meyakini, bahwa setiap manusia, termasuk saya dan Anda bisa dikategorikan sebagai seniman. Sebab kita bisa merasakan suatu keindahan dan merangkainya dalam bentuk sebuah karya di dalam kehidupan. Yang berbeda –tentunya- hanya kadar dari kepiawaian jiwa seninya itu sendiri. Sehingga melahirkan penamaan seniman asli atau aspal. Dalam beberapa waktu lalu, di smartBLOG ini, saya sempat menulis, bagaimana kekuatan seni dalam perkembangan Islam. Bahkan hampir 100 persen, Islam dapat dirasakan di seluruh dunia melalui seni. Baik seni arsitektur, ataupun seni dalam menerapkan strategi dakwah.

Semuanya selalu berawal dari seni, mengkolaborasikan ide dan tindakan sekalipun tetap membutuhkan insting seni yang mendalam. Seni itu indah, keindahan dan sesuatu yang menjadikan orang yang merasanya menjadi indah. Dan naluri manusia itu sangat suka pada sesuatu yang indah dan mengindahkan. Seperti hal-nya ALLAH Ajja wa Zalla, Dzat yang indah dan mencintai orang yang indah. Bukan malah karena mengaku, atau mengatasnamakan seni, ia malah bebas membiarkan rambut atau anggota tubuhnya berantakan.

Contoh sederhana seni yang membuat orang terhanyut adalah sebuah film Perancis, bertajuk Les Choristes. Meski kurang paham dalam bahasanya, tapi sangat jelas adegan setiap scene-nya menggambarkan suatu prilaku ‘seni’ yang teramat dahsyat. Film jadul ini, banyak menggunakan adegannya di sebuah asrama sekolah. Film ini secara tegas menggambarkan bahwa penegakkan disiplin tidak harus melalui hukuman fisik, jewer kuping, memukul meja, dan efek suara lainnya. Namun si guru cukup menggunakan strategi nyanyi –yang tentunya- kental dengan nuansa seni yang berkembang. Setelah menerapkan strategi itu, maka luluh lah ‘kebrutalan’ anak-anak sekolah dasar di sebuah asrama sekolah itu. Strategi itu pun diterima, maka terbentuklah paduan suara satu kelas yang awalnya dikenal sebagai ‘kelas brutal’ menjadi anak-anak yang patuh dan memiliki rasa satu dengan yang lainnya.

Bukan hanya itu, rasanya dalam berbisnis pun diperlukan insting seni yang memadai. Sehingga dalam melakukan suatu karya, kita bisa maksimal dalam mengolahnya. Terlebih jika ingin menciptakan karya-karya inovasi dalam segala aspek dan bidang bisnis. Jelas akan tampak bagaimana kekuatan seni yang terbangun dari karya-karya itu. Seperti halnya kita bisa membedakan mana inovator, mana follower. Disanalah letak perbedaan antara seni yang dijiwai dengan seni plagiat tokh.

Saya sedikit memahami, bahwa bisnis yang mapan adalah bisnis yang mampu mempelajari selak beluk serta turun naiknya volume bisnis. Jika boleh saya mengibaratkan seni bagai sebuah melodi. Dimana tempo yang dimainkan sangat dinamis sekali, terkadang kita harus memainkan tempo dengan sangat cepat, namun terkadang kita harus memperlambat tempo permainan. Jika kita merasakan tempo bisnis berjalan lambat, bagaimana seni kita untuk mempercepat permainan kita, sehingga kita dapat mengatur ritme dan alur sebuah bisnis.

Ahh… khawatir menjadi sotoy yang berlebihan, intinya seni adalah kekuatan yang teramat dahsyat dalam semua aspek kehidupan kita. Orang yang ‘ber-seni’ selalu berhati nurani. Benarkah (?)

Banjir surut, Semangat pantang Surut!

Jantung negeri kembali berduka, sudah hampir sepekan ibukota tergenang. Tiada yang bisa menghalau kala alam menyapa. lirih atas segala yang menimpa. Berlutut sadar akan kuasa Dzat Maha Segala. Mari kita hentikan –sementara- polemik musibah banjir ini sebagai ujian atau Adzab ALLAH SWT. Karena ‘cibiran’ yang menunjukkan kata ‘adzab’ atas banjir yang melanda, adalah sesuatu yang menyakitkan rasa bagi mereka yang menjadi korban. Tidak juga membahas tentang kesalahan siapa bencana ini, rakyat atau pemerintah, bangunan perkotaan atau bangunan di bantaran kali, warga puncak atau ibukota, penduduk yang di hulu atau yang berada di hilir. Semuanya akan menjadi absurd ketika musibah melanda. Tanpa juga berlepas tangan bahwa –mungkin- ada celah andil peran kita dalam musibah ini. Alam tak pernah salah, yang kemungkinan besar salah adalah kita, yah kita semua tanpa pandang bulu. Berintropeksi tanpa menyalahkan orang adalah cerminan kedewasaan dalam menghadapi musibah.

Hal yang teramat penting dilakukan saat ini adalah bagaimana menghadapi segala hal pasca banjir, kebersihan, wabah penyakit dan juga persiapan untuk menghadapi gejala alam yang kemungkinan terjadi kembali. Karena menurut prediksi BMKG, cuaca ekstrem akan terus berlanjut hingga akhir bulan ini. Musibah ini juga merajutkan kembali rasa kebersamaan. Saling mengasihi antara mereka yang menjadi korban dengan masyarakat yang berempati. Tak luput saudara-saudara kita yang berada di luar Ibukota yang turut terlanda musibah, semoga semua dapat kembali berjalan normal. Bangkit dan kembali berjalan menghadapi kehidupan. Jika banjir kan surut, tetapi semangat dan khusnudzon pada Sang Pencipta tiada kata surut.

Karena sesungguhnya, musibah yang menimpa menunjukan kepada manusia akan kekuasan ALLAH dan lemahnya hamba. Musibah menjadikan seseorang kembali kepada ALLAH dan bersimpuh dihadapan-NYA. Musibah juga menjadikan seorang memiliki sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasih pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah serta membantu meringankan bebannya. Melalui musibah pula kita kerap merasakan kenikmatan atas rezeki yang ALLAH berikan selama ini.

So’ jangan pernah berburuk sangka kepada ALLAH akan musibah yang terjadi, mungkin alam menyapa kita untuk segera berbenah atas apa yang telah kita lakukan kepada alam dan keimanan kita. Foto: VIVAnews

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Permata bermakna ‘Batu berharga yang berwarna indah, seperti intan, berlian, atau nilam’. Batu mulia yang dicintai banyak manusia terutama kaum hawa ini memang luar biasa, selain kilauannya sangat tajam, permata berlambang ‘kecantikan’ yang abadi. Tak pernah luntur, terlebih menjadi suram kilauan yang memancarnya. Setiap orang mengenal permata, tapi tidak setiap orang memilikinya. Ada semacam ‘kualifikasi’ orang yang mendapatkannya. Bagi mereka yang tak mengenal lelah dalam meraih cita-cita hidup, mengejar impian dan orang-orang sukses lah yang –sejatinya- akan mendapatkan permata yang berkilau. Sungguh fair tentunya, anugerah bagi orang yang mau bekerja lebih keras. Seperti proses mendapatkan batu mulia itu sendiri, tidak mudah menemukannya. Meski sebenarnya batu mulia ini terbuat dari karbon yang mengkristal.

Yah karbon, yang sering kita pakai untuk barbeque atau memanggang sate. Harganya pun jauh berbeda dengan permata. Perbedaannya satu, bahwa batu mulia ini adalah karbon yang telah mengalami proses kristalisasi melalui panas dan tekanan yang teramat besar di dalam perut bumi. Menjadi mulia setelah melalui tekanan dahsyat. Filosopi pembentukan logam mulia ini persis dengan kehidupan manusia. Manusia menjadi mulia, jika ia mampu bertahan dalam setiap tekanan hidup.

Nama adalah sebuah harapan. Pun demikian dengan Bank Permata, menjadi salah-satu perekat bangsa yang bertujuan menjadikan hidup lebih bernilai. Untuk ke sekian kalinya Cordova menjalin kerjasama dengan Bank nasional terbaik tahun 2010 ini dalam menciptakan perjalanan yang bernilai. Bernilai dan bermanfaat untuk setiap destinasi yang dikunjungi. Perjalanan kali ini Bank Permata membuka tahun dengan ‘Strategy Kick Off Meeting’ di Nusa Dua Bali. Strategi guna menyokong visi mulianya sebagai pelopor dalam memberikan solusi finansial yang inovatif.

Terbukti meeting strategi ini diakhiri dengan program charity yang luarbiasa bermanfaat bagi sebagian yayasan anak asuh yang mendapatkan beragam surprise. Memulai dengan hal baik adalah satu jalan menemukan kebaikan yang hakiki. Membangun sebuah kepastian cinta kepada mereka yang dikasihi. Sebuah target yang dimulai dengan hal mulia, rasanya kan berujung pada kesuksesan yang tak terbatas.

Semoga kebersamaan ini tak usang oleh waktu, bersama dalam memberikan nilai bagi agama, bangsa dan negara. Kami mencoba untuk terus memberikan pelayan yang terbaik bagi setiap keluarga besar Cordova.

Well, tujuh tahun sudah Cordova berada dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Dari segi umur, memang masih tampak ‘hijau’, namun spirit membangun peradaban Andalusia-nya tak pernah hanyut dalam setiap langkah. Tak banyak mengira kalau Cordova tampil bukan hanya di dunia traveling suci haji dan umrah, karena memang sejak awal bangunannya di-setting bukan hanya sebagai jembatan menuju Baitullah, tetapi lebih integral merangkai cita mulia peradaban Islam di Cordoba, Andalusia. Kemajuan sains dan budayanya telah banyak menelurkan inspirasi untuk merubah dan mengembalikan paradigma Islam sebagai agama kuat yang elegan dengan balutan seni Islam yang menawan dan berkarakter. Menyerap kelebihan budaya lain, lalu memodifikasi dan membuat inovasi dengan beragam ide adalah ciri sains yang juga menjadi salahsatu ciri agama Islam. Karena sejak awal Rasulullah SAW telah menegaskan, bahwa Islam bukanlah agama baru, dan Al-Quran bukanlah satu-satunya kitab, tetapi kitab terakhir yang menyempurnakan semua kitab yang telah ada. Ciri khas Islam adalah menjadi penghubung ke masa lalu dan masa depan.

Begitulah Cordova ini dibangun dengan penuh konsep yang menyelaraskan zaman ‘klasik’ dengan kondisi yang akan terus berlaju. Menjaga tradisi tanpa menanggalkan impian masadepan yang terus mengalami perubahan. Karenanya –saya- sering melihat banyak orang yang terheran-heran melihat headquarter Cordova atau setiap both-both yang terpasang baik di ajang expo maupun event-event Cordova. Entahlah, apakah keheranan itu sebagai rasa takjub akan keindahan seni Islam. Atau heran karena sulit mendeteksi profit apa yang didapatkan Cordova dalam merancang semua ini. Merancang sebuah Civilization (Peradaban) yang –mungkin- banyak pihak yang meragukan atau pesimis akan terwujud. Tetapi dengan spirit kuat, komitmen dan kerja smart, minimal akan tumbuh generasi Cordoba melalui celah komunitas smartHAJJ dan smartUMRAH-nya.

Saya dan juga team, sangat menyadari ke arah mana Cordova ini di bentuk. Terpaan mental dan pembelajaran hidup menjadi yang utama dalam membangun misi besar ini. Karenanya serpihan dinding penyangga bangunan ini, terdiri dari kombinasi rasa, jiwa dan raga. Semua terbalut oleh semangat keindahan peradaban Cordova yang menjanjikan kesejahteraan lahir dan batin. Seperti semangat Ibnu Battuta dari Marokko. Seorang petualang terhebat sepanjang sejarah. Perjalanan dan petualangannya naik haji kerap menjadi syiar besar bagi perkembangan Islam di Muka Bumi.

Hanya soal waktu, begitu para ulama menjelaskan tentang kembalinya peradaban Islam ke tangan muslim. Sejarah kan selalu terulang, karena hidup selalu mengalami siklus perputaran. Cordova akan menjadi barometer betapa Islam adalah agama yang tak bisa dilepaskan dengan keindahan apapun. Bismillah…semua tergantung pada niat.

Kesungguhan dan potensi diri adalah master keys dalam menciptakan kesuksesan nyata” –Cordova Founding Father

Kami selalu diajarkan untuk senantiasa stand by dalam menjalankan tugas, memberikan service detail yang excelent. Namun juga kami selalu diberikan kesempatan untuk meng-Upgrade diri serta mengelola potensi yang ada dalam diri setiap kami. Menikmati teknologi serta kosmetik yang membuat kinclong diri. Terkadang semua kemampuan tergadai oleh sikap ‘kasih’ yang teramat jembar. Meski –sedikit- jika tidak dikatakan tanpa kontribusi bagi roda Company, namun semuanya kami nikmati dengan penuh rasa. Dalam kacamata bisnis, -tentunya- semua hal itu membutuhkan konsekwensi yang tidak murah bagi sebuah company. Betapa tidak, di saat company membutuhkan result matang dari setiap skill yang terlahir dari background semua individu –kemampuan akademis-, tetapi ladang menuju pembenahan diri begitu luas. Kesempatan yang merata tuk menata jiwa dikala dunia kerja di depan mata.

Diperlukan sikap tanggungjawab pada setiap episode yang terlakoni. Jika para ahli agama bilang ‘Gusti ALLAH ora sare’ dalam menyikapi keikhlasan kerja, maka cukuplah bagi kita selain keyakinan itu dengan mempatrikan diri bahwa semua yang kita lakoni bermanfaat bagi diri kita sendiri. Permasalahannya, bagaimana menyeimbangi potensi diri dengan tuntutan kewajiban yang terus update, menuntut perkembangan inovasi yang terlahir dari jiwa kreativitas. Merangkak, berjalan atau berlarikah kita tuk menggapainya (?). Disinilah substansi sebenarnya, ketika skill –senantiasa- menjadi komando diri dalam menciptakan kemandirian kerja. Merancang strategi yang membumi dengan kualitas skill yang mumpuni. Tiada lagi menampakkan muka memelas belas kasih untuk diberdayakan, kini eranya skill yang bermain. Meng-upgrade diri atau tergilas zaman.

Itulah yang Rasulullah SAW ajarkan kepada umatnya, bahwa hidup dikasihani tidak lebih mulia dari hidup yang mengkasihani diri sendiri, menyayangkan diri jika tak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi hidup. Sehingga ia tergerak dan melakukan up-grade tuk menghadapi segala tantangan zaman yang digelutinya. Tidak hanya menanti belas kasih tuk meng-survive-kan hidup hanya karena telah melakukan ‘kewajiban’ biasanya. Namun enggan tuk melakukan terobosan ‘kewajiban’ luarbiasa.

Strategi yang membumi adalah sebuah konsep yang terurai dari manusia-manusia cerdas tuk mempetakkan segala permasalahan yang dihadapi. Memberikan solusi atau jalan tuk memuluskan misi kebersamaan. Tentunya dengan menyimak semua aspek riil yang mendukung jalannya misi tersebut. Tanpa mengada-ngada, terlebih terjebak pada sebuah retorika komunikasi yang selalu mentok dengan aksi.

So’ mari bersama-sama tuk menjemput anugerah ALLAH SWT tuk membuka, menggali, mengenali, mengembangkan dan memanfaatkan potensi diri yang –sejatinya- telah lama berada dalam diri setiap kita.

Lebih dari 4000 tahun lalu, tiga anak manusia, dengan bekal secukupnya, berjalan kaki sejauh 2000 km melintasi gurun pasir dari Syam menuju lembah tandus yang tak berpenghuni, Bakkah. Mereka adalah satu keluarga: Ibrahim, sang ayah, Ismail, sang anak yang masih bayi, dan Hajar, sang ibu. Dapatkah kita menghitung bahwa jarak tempuh mereka mungkin -saat ini – sebanding dengan jarak antara Sulawesi – Jakarta. Di lembah Bakkah, mereka memulai kehidupan baru tanpa siapa-siapa. Ya, cuma mereka bertiga. Tidak lama setelah itu, sang ayah mendapat perintah dari Dzat Mahakuasa untuk kembali ke negeri asalnya serta melanjutkan tugas-tugas sucinya di sana. Sungguh, ia tak kuasa memberitahukan perintah itu kepada istrinya. Namun, harus bagaimana (?) Dengan terbata-bata, akhirnya, disampaikannya juga perintah itu.

“Apakah Kakanda akan meninggalkan kami di sini, di gurun gersang tak berpenghuni ini, tanpa siapa-siapa (?)”, tanya istrinya dengan sendu. Nabi Ibrahim hanya terdiam karena sungguh -memang- ia tidak memiliki jawabannya dari sudut pandang manusiawi. “Atas perintah ALLAH-kah ini wahai Kakanda (?)”
“Ya…”, jawab sang suami dengan lirih.

Menurut kita, logika mana yang dapat menerima seorang ayah harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih merah di sana (?) Dapat dibayangkan, jika saja saat itu sudah berdiri Komnas HAM, tentunya NABIYULLAH Ibrahim As sudah diseret ke pengadilan HAM karena dakwaan pelanggaran HAM berat. Namun begitulah, tidak semua hal dan peristiwa di dunia ini dapat dilogikakan oleh manusia. Yang dapat menerima rumus logika hanyalah yang sifatnya “rasional”, sedangkan hal-hal yang suprarasional, bukan menjadi wilayah garapannya

Sebelum meninggalkan mereka di lembah itu, Nabi Ibrahim menengadah ke langit. Dengan tangan terangkat, ia menggumamkan beberapa penggal doa, bukan untuk menunjukkan kegalauan hatinya, melainkan sebaliknya. Untaian munajat itu justru untuk mempertegas keyakinannya akan kepastian jaminan yang diberikan oleh ALLAH SWT, Sang Pembuat Skenario, yang memilih ia dan keluarganya sebagai pemeran utama.

“Ya, RABB”, demikian orang tua suci itu memulai doanya, “Sungguh aku telah menempatkan dzurriyat (istri dan anak)-ku untuk menetap di lembah yang tak tertumbuhi tanaman apa pun, di sisi rumah-MU yang disucikan. Yaa RABBANAA, semua itu kulakukan agar mereka mendirikan salat. Maka penuhilah hati sebagian manusia dengan cinta kepada mereka dan rezekikan kepada mereka buah-buahan agar mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).

Sungguh sebuah doa yang visioner dari seorang visioner! Dan, lihatlah, bagaimana ia menjadikan “rezeki buah-buahan” sebagai prioritas terakhir dalam permohonannya itu.

Dalam bagian munajat-munajatnya yang lain, lelaki suci ini kembali menunjukkan visi futuristiknya yang cemerlang. Saat itu, ia telah meng-install di alam bawah sadarnya bahwa sebentar lagi lembah Bakkah yang gersang, tandus, dan tidak berpenghuni itu akan menjadi kawasan yang makmur, aman, dan sejahtera. Lihatlah, bagaimana visi itu dituangkan dalam doa.

“Wahai RABB, jadikanlah kawasan ini negeri yang aman dan berikanlah rezeki kepada penduduknya berupa buah-buahan yang banyak…” (Q.S. al-Baqarah: 126).

Visi yang dilandasi skill individu dan spirit keagamaan tentunya akan menghasilkan visi yang Mardho TILLAH. Karenanya, jangan pernah bermain-main dengan visi, sebab itulah yang akan menampakkan kehidupan kita selanjutnya, setelah langkah saat ini tertapak.

“Cinta itu laksana pohon dalam jiwa, akarnya adalah ketundukan, dan buahnya adalah ketaatan, tanpa pohon Bumi kian gersang” –Cordova Founding Father

Banyak syair yang menceritakan tentang kekuatan cinta. Tentang sesuatu yang dapat merubah segala hal mustahil menjadi nyata. Tentang rasa yang mendorong raga tuk melakukan segala asa, dan masih banyak hal yang terungkap dari cerita cinta. Namun sering juga cinta menjadi absurd, dari dan untuk siapa rasa cinta tertinggi itu diberikan. “Jangan terlampau besar mencinta, karena dapat terjatuh pada jurang kebencian”, adigium yang sering terdengar dari pujangga cinta itu –tentunya- hanyalah sepenggal cinta sesama makhluk. Namun berbeda ketika rasa cinta itu tertuangkan kepada Dzat Maha Pen-Cinta. Bahkan seorang sufi selalu memposisikan dirinya sebagai ‘Pengemis’ cinta Ilahi, bahwa cinta tertinggi itu hanyalah untuk ALLAH SWT.

Jika dicermati dengan nurani, maka puncak perjalanan hidup manusia –sesungguhnya- adalah mahabbah atau cinta, dan yang berhak untuk menerima cinta tertinggi kita hanyalah ALLAH SWT. DIA lah satu-satunya Mustahiq cinta. DIA hanya berlaku diskriminatif dalam urusan agama dan cinta saja. IA hanya mencintai orang yang mencintai-NYA. Dan IA memberikan kepada siapa saja kasih sayang-NYA, tetapi tidak dengan cinta (hubb)-NYA. Semakin kita mendekat, maka IA akan semakin merapat kepada kita, pun demikian semakin jauh kita pada-NYA, maka kenestapaan yang teramat dahsyat bagi manusia. Sebab DIA tidak akan pernah mendekat kepada kita.

Seorang sufi wanita terkenal dari Bahsrah, Rabi’ah Al- Adawiyah (w. 165H) ketika berziarah ke makam Rasul Saw. pernah mengatakan: “Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu, tapi hatiku telah tertutup untuk cinta yang lain, karena telah penuh cintaku pada ALLAH SWT”. Tentang cinta itu sendiri, Rabiah mengajarkan bahwa cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabiah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis ini mengandung arti bahwa cinta kepada ALLAH adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul. Jadi mencintai Rasulullah Saw. sudah terhitung dalam mencintai ALLAH SWT. Seorang mukmin pecinta ALLAH pastilah mencintai apa-apa yang di cintai-NYA pula. Rasulullah pernah berdoa: “Ya ALLAH karuniakan kepadaku kecintaan kepada-MU, kecintaan kepada orang yang mencintai-MU dan kecintaan apa saja yang mendekatkan diriku pada kecintaan-MU.

Jiwa para pencinta, tak kan pernah mengemis cinta kepada selain kekasihnya. Ia terus memberikan cinta kepada Mustahiq cinta hakiki, tak peduli harus berkorban hidup yang berupa materi. Karena dengan mencintai-NYA, ia kan terjamin oleh kekasihnya yang MAHA segalanya.

Rasanya jika kita tanya ke separuh muslim Indonesia secara random tentang nama-nama bulan hijriyyah, atau menanyakan tanggal berapa hari ini dalam kalender Hijriyyah, pastinya masih banyak yang kurang paham. Kalau pun tahu, -mungkin- akan berpikir sejenak sebelum menjawabnya. Mengapa demikian (?) karena memang kalender Hijriyyah masih terasa asing dalam penentuan tanggal di negeri ini. Selain itu, gebyar dari peralihan tahun Masehi begitu membahana di langit bumi. Kemeriahannya menyulut semua generasi dari generasi mengenang setiap peralihan tahun Masehi. Sebelum mengupas tentang dominasi Masehi atas Hijriyyah, baiknya kita bahas dulu tentang tahun Hijriyyah dan Masehi. Penanggalan Bulan Hijriyyah adalah mengikuti perputaran bulan, bukannya matahari seperti penanggalan Masehi. Oleh karena itu, jumlah harinya pun berbeda. Hijriyyah memiliki 11 hari lebih pendek dari Masehi, karena dalam perhitungan matahari dalam satu tahun terdapat 365 hari, sedangkan pergerakkan bulan hanya terdapat 354 hari.

Ada dua sisi jika kita perhatikan mengenai dua tahun ini, pertama ditelaah secara history, kedua dengan pendekatan adat dan tradisi. Baiklah pertama kita kupas sedikit tentang Masehi. Tahun baru Masehi pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (Sebelum Masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Adapun Bulan Hijriyyah, seperti namanya, ia ditetapkan setelah Rasulullah SAW Hijrah dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan sekedar secara fisik tapi juga hijrah secara drastis dari sisi mental. Seperti yang diungkapkan oleh sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab tentang hijrahnya Nabi Muhammad Saw, bahwa “Hijrah itu membedakan antara yang hak dan bathil”.

Secara tradisi, peringatan Tahun Baru Masehi merupakan budaya asli Eropa yang di impor ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Sebelum masa penjajahan Belanda, rakyat Indonesia mengenal kalender Hijriyyah dan kalender Saka. Budaya peringatan Tahun Baru Masehi tak lepas dari peringatan kelahiran Isa Al Masih as. dalam kepercayaan orang Kristen. Nama Masehi diambil dari kata Al Masih -gelar untuk Nabi Isa AS-. yang dianggap Tuhan oleh Umat Kristen. Secara bahasa, kata Masehi juga sering digunakan untuk menyebut nama lain dari agama Kristen. Tahun Masehi dalam bahasa Latin disebut Anno Domini (Tahun Tuhan), disingkat AD.

Kendati demikian, apapun alasan yang terlontar dengan pendekatan histori atau pun tradisi, kita masih harus mengakui, bahwa tahun Masehi masih sangat melekat dikalangan masyarakat kita. Entahlah, apakah itu konspirasi Yahudi agar umat Islam terhindar dari pengetahuan tentang penanggalan Islam, yang nota bene sebagai acuan dari penjadwalan ibadah, atau memang karena kitanya sendiri (muslim) yang tidak ingin di ribet kan dengan dua penanggalan Hijriyyah maupun Masehi. Syiar tentang pentingnya penanggalan Hijriyyah, masih kalah dengan geliat mereka yang ‘memiliki’ tahun Masehi. So, kita masih sadar, bahwa Masehi (masih) Juara.

“Tanpa mimpi, event sebesar apapun hanya akan berlangsung dengan sangat datar, kosong dari kreativitas dan inovasi” –Cordova Founding Father

Banyak sekali berita atau artikel-artikel motivasi mengenai kekuatan mimpi. Bahkan bukan hanya artikel, mungkin diantara kita selalu hadir mengikuti kelas-kelas motivator Indonesia. Membahas dan mendiskusikan tentang peran ‘mimpi’ dalam aktivitas keseharian. Bagaimana mimpi dapat membangun sebuah kekuatan raga dalam menyusun lego-lego kehidupan. Bagi sebagian orang hidup adalah perjuangan. Tetapi bagi kami, hidup adalah sebuah mimpi, mimpi yang harus di ‘nyata-kan’ dalam segala bentuk kehidupan. Dengan mimpi manusia akan mempunyai keinginan untuk berbuat dan bertindak. Klasik memang ungkapan tersebut, bukan karena sering terdengar dan hadir dalam diskusi keseharian tentang mimpi dan kekuatannya, namun demikian lah nyatanya, bahwa mimpi memiliki peran dalam menentukan kehidupan kita di masa yang akan datang. Manusia tanpa mimpi bak hidup dalam pasungan. Terpasung dan terhalang oleh benteng kokoh yang menghimpitnya. Tiada detak dalam titik.

Bermimpi bukan buah dari kemalasan, namun mimpi adalah rongga menuju kedinamisan hidup. Mimpi adalah suatu kekuatan yang akan mendorong manusia agar hidup tak mudah nyerah, pasrah dengan ‘nasib’ yang diberi, dan legowo ketika asa memutuskan rasa. Berkhayal dan bermimpi adalah dua kosakata yang kerap disandingkan kepada mereka yang –konon- ‘terdakwa’ sebagai manusia irasional. Namun sesungguhnya, peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, muncul dari mereka yang menjiwai setiap pekerjaannya dengan berhayal dan bermimpi.

“Jangan bermimpi di siang bolong” Meski kalimat ini mengajarkan kita untuk realistis dalam menjalani hidup, tetapi makna optimisme-nya perlu ditingkankan menjadi “Gapailah mimpi mu meski hari menjelang siang”. Tiada batasan waktu untuk menciptakan mimpi menjadi nyata. Karena tiada manusia yang tahu kapan waktunya kan berhenti.

Terbang menuju mimpi adalah suatu yang awalnya imposible, tetapi jika dijalani secara konsisten dengan melibatkan jiwa yang sungguh tuk menggapainya, niscaya akan muncul beragam jalan tuk mendapatkannya. Bukankah semua yang ada disekitar kita berawal dari mimpi dan imaginasi belaka (?) berkhayal dengan cukup mengutarakan pertanyaan ‘HOW’, dilanjutkan dengan pencarian jalan menuju mimpi yang menurut banyak orang mustahil tuk di gapai.

Itulah sebabnya, kenapa setiap akan menuju satu event, kami selalu diajarkan untuk berkhayal dan bermimpi terlebih dulu. Meraba dan merangkai khayalan tuk menciptakan sebuah bangunan yang nyaris sempurna. Bangunan kehidupan yang hampir menyamai impian kita di alam fikir.

Panggung politik Timur Tengah dua hari ini –setidaknya- mereda dari gejolak ambisius zionis. Darah dan airmata bangsa Palestina, terutama para syuhada di Jalur Gaza mendapatkan hasil positif dalam mempertahankan tanah lahirnya. Meski hanya berstatus sebagai ‘Anggota Negara Pengawas’ PBB (seperti halnya Vatikan), namun nafas perjuangan perlu dinikmati sejenak untuk kembali menatap, dan meraih sebagai negara utuh yang mendapatkan hak sepenuhnya sebagai negara yang berdaulat penuh. Meski masih lunak dalam posisi hukum internasional, akan tetapi Palestina akan menjadi barometer kekuatan Bangsa Arab di mata dunia internasional. Terlebih peran Turki dan Mesir yang tampak menjadi kekuatan baru dalam pengokohan peradaban Timur.

Amerika, Israel dan Kanada menjadi negara yang teramat getol menentang ‘Kemerdekaan’ Palestina dalam peningkatan status Palestina. Bukan hanya ingin menghindar dari tuntutan hukum atas Israel dengan dakwaan melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Mereka (Zionis dan sekutunya) harus menghadapi pula kekuatan baru dunia Arab yang diprakarsai Mesir dan Turki.

Baiklah kita tinggalkan sejenak percaturan politik Timur Tengah yang –sejatinya- boleh percaya atau tidak, Israel akan lenyap dalam peta dunia karena ulahnya sendiri. Bangsa ‘culas’ yang tidak tahu malu itu, terlalu menganggap remeh perjuangan intifadah yang dikobarkan rakyat Palestina sejak beberapa tahun kebelakang. Kecanggihan alat perangnya, tak mampu menggoyahkan kekuatan jihad bangsa Palestina. Keberaniannya hanya berada dibelakang senjata canggih, yah senjata canggih yang mereka acungkan kepada kaum hawa dan anak-anak.

Kemenangan ini adalah kemenangan umat Islam, kemenangan ini adalah kemenangan rakyat Palestina, suatu kemenangan yang berharap gerakan fatah dan Hamas masuk dan bergandeng tangan dalam gerbang rekonsiliasi nasional. Tentunya menyongsong masadepan Negara Palestina, negara yang berwibawa dan mampu melakukan perlawanan hukum terhadap bangsa yang menjajahnya.

Selamat, BARAKALLAH! Darah dan airmata para syuhada menjadikan bangsa ini mampu berbicara diatas mimbar Majlis Umum PBB, yang dikenal dengan ‘Hak Nurani Dunia”

Tiada yang tersia dalam perjuangan mu, MERDEKA Palestina!