Setiap orang memiliki potensi berbuat dosa, namun juga memiliki jalan keluar dari belenggu dosa tersebut. Tiada manusia yang suci dari dosa. Semuanya pernah melakukannya, tetapi sebaik-baiknya pendosa adalah yang bertobat. Terlebih pada kondisi saat ini, ketika hitam dan putih sudah sulit lagi untuk dibedakan, warnanya menjadi bias, sulit kembali memberi warna yang jelas. Seringkali kebenaran harus dipecundangi oleh setumpuk materi, sehingga sulit atau bahkan tidak mungkin kita menemukan orang yang tidak pernah sedikitpun melakukan dosa walau hanya satu hari, bahkan ketika kita merasa tidak pernah berbuat dosa seharian pun, justru itulah dosa kita. Merasa suci dari sebutir dosa. Jika kelak manusia berlabuh di Surga-Nya Allah, bukan semata-mata karena nilai pahala-nya lebih besar dari tumpukan dosa, tetapi sungguh itu adalah Karunia Terbesar-Nya. Sebab jika saja diperhitungkan antara kenikmatan yang diraih dengan kebaikan yang kita kerjakan, rasanya tidak akan pernah bisa menyamai keduanya. Tetap, manusialah industri dosa terbesar setelah iblis. Ibarat gelas berisi air bening, sedikit demi sedikit dosa akan memberikan noktah hitam dalam gelas itu. Maka jiwa manusia pun akan terus berada dalam kekeruhan. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka dalam hatinya akan ada noda hitam, apabila ia berhenti dari dosa itu lalu beristigfar dan bertobat, maka hatinya akan bersih kembali.” (HR. Tirmidzi).

Sebelum kita bicara mengenai escape dari dosa, rasanya kita harus tahu bibit dosa yang membuat gumpalan yang menjaring dosa-dosa selanjutnya. Karenanya jika kita telusuri sejarah Islam dan keterangan lainnya, ternyata ada tiga metafor dari bibit-bibit dosa. Karena dari hal itu, ia akan berubah menjadi penghancur manusia secara massal, dunia dan akhirat. Dosa pertama yang akan menjadi metafor, atau cikal bakal berkembangnya dosa adalah rasialisme atau sombong. Yakni, ketika iblis membangkang dan tidak mau menjalankan perintah Allah untuk mengakui ‘Superioritas’ Nabi Adam dengan cara simbolik, bersujud kepadanya. Alasannya, iblis merasa lebih tinggi karena diciptakan dari api, enggan bersujud kepada Adam yang hanya diciptakan dari tanah. Itulah yang merupakan dosa pertama makhluk. Kesombongan karena rasialis adalah perasaan secara apriori lebih tinggi dari orang lain hanya karena asal-usul.

Kedua, dosa yang dicerminkan dalam pelanggaran nabi Adam terhadap larangan Allah untuk mendekati sebuah pohon dan memakan buahnya. Hal itulah yang membuat Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari surga. Yah, itulah dosa ketamakan. dosa keinginan memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya. Dosa yang akan menjadi bibit penumbuh dosa lainnya. Sebuah aktivitas yang juga sering terjadi dalam sebuah perebutan kepentingan. Jika bukan karena perut dan nafsu yang tamak, maka tidak akan terjadi lingkaran dosa yang terus bertambah. Namun –sejatinya- bukan berarti kita menyalahkan Adam As. kita berada di muka Bumi, tetapi karena Adam manusia lah yang menjadikan menandakan bukan makhluk kebal dosa. Juga –boleh jadi- mulainya ‘skenario’ Allah SWT dalam memberikan peranan setiap makhluk untuk melakoni perjalanan hidup.

Ketiga adalah dosa hasad atau dengki. Yakni dosa yang pertama dilakukan oleh anak Adam As (Kabil terhadap Habil). Betapa besarnya peranan dengki dalam perkembangan dosa, maka Allah SWT memberikan porsi pokok dalam pembahasan masalah dengki ini dalam dua ayat terakhir pada surat Al-Falaq. Di dalamnya ada permohonan berlindung dari kepada Allah dari kejahatan orang yang iri dan dengki. Berbahayanya kejahatan dengki karena dengki adalah kejahatan sepihak, yang sulit terdeteksi siapa yang melakukannya. Kedengkian adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus hindari dengki, sebab dengki itu memakan seluruh kebaikan kita sebagaimana api memakan kayu bakar yang kering.

Setelah kita tahu 3 bibit dosa yang akan melebar menjadi ‘pemusnah’ massal, maka “Escape” dari lingkaran dosa itu adalah mengaku akan dosa dan mengecilkan jiwa serta meng-Agungkan Allah SWT (Taubatan Nashuha), seperti yang dilakukan Nabiyullah Adam As bersama istrinya, Siti Hawa. Inti dari escape-nya adalah mengakui dan meninggalkan kesalahan yang dilakukan.

Yaa Allah Sungguh kami telah mendzolimi diri kami sendiri, Jika Engkau tidak mengampuni kami, Sungguh pastilah kami termasuk golongan orang yang merugi”.

Tahukah Anda, hari ini 24 Agustus, tepat 50 tahun yang silam adalah momen diawalinya pendirian Masjid Istiqlal yang kini menjadi kebanggan Jakarta dan Indonesia. Ide awal pendirian Masjid Istiqlal bermula pada tahun 1953 dari beberapa tokoh antara lain KH. Wahid Hasyim (Menag RI pertama), H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan serta beberapa ulama lainnya yang ingin mendirikan sebuah masjid megah yang akan menjadi kebanggan warga Jakarta khususnya sebagai Ibukota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Maka kemudian dibentuklah Yayasan Masjid Istiqlal pada 7 Desember 1954. Nama Istiqlal sendiri diambil dari bahasa Arab yang artinya Merdeka, dipilih sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SWT. Presiden Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya Yayasan Masjid Istiqlal dan selanjutnya membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal.

Saat penentuan lokasi masjid, sempat timbul perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno mengusulkan lokasi di atas bekas benteng Belanda Frederick Hendrik dengan Taman Wilhelmina yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1834 yang terletak di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral dan Jalan Veteran. Sementara Bung Hatta mengusulkan lokasi pembangunan masjid terletak di tengah-tengah umatnya yaitu di Jalan Thamrin yang pada saat itu disekitarnya banyak dikelilingi kampung, selain itu ia juga menganggap pembongkaran benteng Belanda tersebut akan memakan dana yang tidak sedikit. Namun akhirnya Bung Karno memutuskan untuk membangun masjid di lahan bekas benteng Belanda, karena di seberangnya telah berdiri gereja Kathedral dengan tujuan untuk memperlihatkan kerukunan dan keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar arsitektur masjid Istiqlal. Dewan Juri diketuai oleh Presiden Soekarno. Bagi pemenang disediakan hadiah berupa uang sebesar Rp. 75.000; serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara mengirimkan rancangannya, namun akhirnya dipilih 5 peserta yang memenuhi syarat : 1. F. Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan”, 2. R. Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar”, 3. Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam”, 4. Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5”, 5. Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa”.

Setelah proses penjurian yang panjang dengan mempelajari rancangan arsitektur beserta makna yang terkandung didalamnya berdasarkan gagasan para peserta maka pada 5 Juli 1955, Dewan Juri memutuskan desain rancangan dengan judul “Ketuhanan” karya Frederich Silaban dipilih sebagai pemenang model dari Masjid Istiqlal. Frederich Silaban adalah seorang arsitek beragama Kristen kelahiran Bonandolok Sumatera, 16 Desember 1912, anak dari pasangan suami istri Jonas Silaban Nariaboru. Ia adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950. Selain membuat desain masjid Istiqlal ia juga merancang kompleks Gelanggang Olahraga Senayan. Untuk menyempurnakan rancangan Masjid Istiqlal, F. Silaban mempelajari tata cara dan aturan kaum muslim melaksanakan shalat dan berdoa selama kurang lebih 3 bulan. Selain itu ia juga mempelajari banyak pustaka mengenai masjid-masjid di dunia.

Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng saat itu dikenal sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik dipenuhi lumut dan rumput ilalang dimana-mana. Pada tahun 1960, dikerahkanlah ribuan orang yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat, pegawai negeri, swasta, alim ulama dan ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng itu.

Dan tepat dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw, pada 24 Agustus 1961 dan masih dalam suasana perayaan kemerdekaan RI, dilaksanakanlah pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal oleh Presiden Soekarno.

Proses Panjang Pembangunan Masjid Istiqlal

Seiring dengan iklim politik dalam negeri yang cukup memanas pada waktu itu, proyek ambisius ini tersendat-sendat pembangunannya, karena berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monumen Nasional, dan berbagai proyek mercusuar lainnya. Hingga pertengahan tahun ’60-an proyek Masjid Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun ’65-’66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.

Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingati miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Semula pembangunan masjid direncanakan memakan waktu selama 45 tahun namun dalam pelaksanaannya ternyata jauh lebih cepat. Bangunan utama dapat selesai dalam waktu 6 tahun tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1967 sudah dapat digunakan yang ditandai dengan berkumandangnya adzan Maghrib yang pertama.

Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978. Kurun waktu pembangunannya telah melewati dua periode masa kepemimpinan yaitu Orde Lama dan Orde Baru

Semoga Masjid Istiqlal terus menjadi kebanggaan umat, seiring dengan semakin semaraknya kegiatan ke-Islam-an di dalamya. Amiin.

(Dari Berbagai Sumber)

Setiap tahun di akhir bulan suci, selalu ada cerita tentang sebuah rasa. Rasa sedih karena harus ditinggal Ramadhan, juga rasa lain yang selalu ada dalam jiwa peraih kemenangan fitri. Begitu cepat waktu bergulir, rasanya baru kemarin cerita tentang mudik barokah 1431 di posting pada smartBLOG ini, kini kembali ‘pesta’ tahunan itu menjadi pembahasan yang yang tak akan pernah basi hingga dua pekan ke-depan. Entah sejak kapan aktivitas ‘mudik’ lebaran ini berlangsung, yang jelas setiap orang memiliki catatan rasa dalam perjalanan mudik. Terlebih bagi mereka yang menjadikan mudik sebagai jalan silaturahmi bersama keluarga di kampungnya. Pulang kampung menjadi sesuatu yang ‘sakral’ bagi mereka yang jarang bertemu dengan sanak keluarga. Tak peduli harus berjubel memesan tiket, berdesak dengan ribuan pemudik lainnya, dan bercengkrama dengan kondisi macet yang membosankan. Semuanya menjadi aroma perjalanan yang penuh cita demi menghirup udara tanah leluhurnya. Bukan hanya itu, semua perbekalan dikumpulkan untuk berbagi saat tiba di kampungnya nanti. Bagi orang desa yang mencari nafkah di ibukota, banyak cerita yang terekam dalam benaknya untuk diceritakan pada handai taulan tentang kehidupan kota yang penuh dengan dinamika.

Bagi sebagian orang, semangat mudik menjadi salahsatu ‘pendistribusian’ rezeki untuk saling berbagi. Jauh-jauh hari, dengan niatan tulus, sebagian pendapatannya ia tukarkan dengan lembaran uang untuk dibagikan. Tidak hanya lembaran uang sepuluh ribu rupiah, lima ribu hingga seribuan menjadi suatu nilai yang sempurna di hari yang fitri. Merasakan ‘keringat’ kota, meski semua tahu bahwa uang itu diperoleh dari tunjangan hari raya yang ia dapatkan. Ada semacam perputaran ‘rezeki’ yang berdampak berkah pada setiap lini. Baik orang ‘kota’ maupun orang ‘desa’ mendapatkan keberkahan aktivitas mudik.

Dalam kegiatan mudik, -terlepas- dari aspek negatifnya berupa kemacetan yang luarbiasa. Terdapat keberkahan yang tampak pada rona setiap perangkat mudik. Dari mulai pengguna jasa perjalanan, angkutan jasa perjalanan, penjual BBM, pegawai Jasa Rahardja, penjual asongan, Bapak polisi, bengkel-bengkel kendaraan, rumah makan di Rest Area, bahkan –mungkin- juga para pengamen jalanan yang ikut merasakan berkahnya kegiatan mudik. Bak air bah yang mengalir pada tempat yang lebih rendah, rezeki ‘orang kota’ saat itu mengalir deras pada ‘orang desa’. Pada saat itu juga, sesungguhnya tiada perbedaan lagi antara orang kota dan desa. Karena tidak ada penamaan orang kota atau orang desa, jika salah-satunya tidak ada.

Menjelang keberangkatan Mudik lebaran, biasanya kami (Cordova team) mendapat pesan untuk selalu memberikan report tentang kegiatan selama berada di kampung halaman. Saling posting photo aktivitas mudik dengan ragam ceritanya. Selain itu, kami diajarkan untuk tidak banyak menawar jika membeli sesuatu pada saat hari yang fitri. Tentunya menjaga keberkahan yang dirasakan semua orang. Biarlah pada hari fitri itu, para penjual mendapatkan pula keberkahan yang mereka raih melebihi harga pada hari biasanya.

Bagi sahabat dan saudara kami yang besok dan hari-hari berikutnya akan berangkat mudik, hati-hati dijalan, sampaikan salam pada keluarga di kampung halaman. Sampai jumpa kembali di Headquarter dengan semangat baru. Ma’assalamah Ilal Liqo…Mudik Barokah!

Rasanya, di era internet ini semua orang tahu dan mengenal apa itu chatting. Tua-muda, pria-wanita, semua sudah sangat paham dan –mungkin- juga sering melakukan aktivitas chatting. Baik melalui komputer, atau perangkat komunikasi mobile lainnya. Lazimnya orang yang sedang chatting, ia akan sangat fokus terhadap lawan chat-nya. Tidak terpengaruh dengan kondisi disekitarnya, bahkan bila materi yang dichattingkan-nya menarik, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Yah, chatting bisa membuat imaginasi kita berputar diantara realitas yang terjadi. Ada harap, ada cemas dan bahkan curahan hati. Tiada jarak yang memisah, meski jarak terpisah lautan, seolah ia berada sangat dekat dihadapannya. Uniknya ‘obrolan’ chatting hanya banyak dilakukan oleh kegiatan jemari yang menekan keyboard dengan mata memandang layar monitor. Suaranya hanya berbunyi ketika ada sentilan emosi yang membuat tertawa, marah dan menangis. Pada kondisi asyik berchatting ria itulah sesungguhnya terdapat kekuatan fokus manusia dalam berinteraksi dengan lawan chat-nya. Dimana dan kapanpun ia melakukan aktivitas itu, biasanya semua yang berada di sekitarnya menjadi ‘tiada’.

Dalam artikel ini, akan coba dikemukakan garis merah diantara kisah chatting itu dengan tema diatas. Korelasinya terdapat pada ‘objek’ chatting kita dengan siapa. ‘Chatting’ yang dimaksud disini adalah ‘berdoa’. Namun sikap berdoa itu lebih difokuskan seperti orang yang melakukan chat dengan pemahaman yang luas. Sederhananya, berdoa yang khusyuk dan fokus selalu dikeluarkan dalam hati, tanpa harus mengeluarkan suara keras, terlebih harus terdengar oleh sekeliling kita. Seperti kita melakukan chat, mulut tak ikut mengeluarkan suara, cukup tangan yang mewakili perasaan yang ingin diungkapkan. Bedanya dengan doa, hati yang fokus lah yang menjadi wakil dari doa yang kita panjatkan.

Suatu saat di sebuah surau, terdengar seorang pria paruh baya memanjatkan doa dengan suara keras. Meminta dan memohon Allah mengabulkan setiap hajat yang ia pinta. Kontan, bukan hanya mengganggu jemaah surau lainnya, bahkan ia telah ‘menghina’ dengan ‘tidak percaya’ bahwa Allah Maha Mendengar dan Dzat yang Maha dekat, lebih dekat dengan urat nadi sekalipun. Logikanya, ketika kita memanggil seseorang dengan sangat keras, padahal orang yang kita panggil berada di samping kita dengan kondisi pendengarannya yang sehat, apa yang terjadi (?) Boleh jadi ia akan tersinggung, tidak respect bahkan marah.

Berbeda tentunya dengan seorang ustadz yang memimpin doa bersama jemaahnya, berdoa bersama, terdengar oleh mustami’ (audiens) dan diaminkan bersama. Jika itu yang terjadi, maka analogi dalam dunia chatting-nya, ia sedang melakukan ‘teleconference’ yang tidak ‘membutuhkan’ jari untuk mewakili obrolannya.

Artinya, saat kita bermunajat bersama Allah, contohlah bagaimana fokus dan ketawadluan-nya seorang yang sedang berchatting. Ia nyaris tidak mengeluarkan suara, bahkan tidak ingin orang tahu bahwa kita sedang berada pada tingkat khusyuk yang paling tinggi. Seperti halnya saat tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu.

Saat Bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tak ada perayaan besar-besaran untuk menyambutnya. Tidak ada hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut hari yang sudah dinanti-nantikan itu. satu-satunya ‘perayaan’ yang dilakukan serentak oleh mayoritas Bangsa ini adalah shalat Jum’at. Tidak ada pula acara makan-makan, karena semua punggawa negeri, pejuang, patriot dan rakyat tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. 66 tahun silam, kerongkongan para proklamator yang sudah kering karena hampir tidak tidur pada malam sebelumnya, bertambah kering setelah membacakan beberapa baris kalimat deklarasi. Para pemuda yang ruh perjuangannya terus menggelegar menjaga asa bangsa ini, bahwa pertolongan-Nya pasti datang, terus setia mengawal perjuangan hingga meyakinkan segenap bangsa untuk berani mengambil resiko agar segera menyatakan kemerdekaannya. Meski ancaman Jepang dan sekutu masih berada di tengah-tengah mereka. Bahkan boleh jadi saat akhir naskah proklamasi itu dibacakan, mereka melihat disekelilingnya masih belum berubah. Hanya kebersamaan rasa saja yang mereka tanggung, untuk melahirkan suatu negeri yang bebas dari segala bentuk penjajahan.

Merdeka, suatu kata yang menjulang disaat tekanan menghimpit. Prosa yang menggugah setiap jiwa yang terbelenggu. Bahkan bukan hanya jiwa, tetapi juga raga yang dipertaruhkan demi sebuah cita mulia. Merdeka! Bukan hanya kata penggugah, namun senjata yang mempersatukan bangsa. Tanpa kata itu, jiwa tak berasa, raga tak kuasa. Sebab kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan hidup manusia. Oleh sebab itulah, Islam mendobrak segala rantai penjajahan demi sebuah istiqlal (kemerdekaan) manusia. Dengan kemerdekaan batin senantiasa menemani lahir, kata lainnya, jiwa kan selalu dalam dekapan raga.

Merdeka tidak hanya diartikan bebas dari tekanan raga, namun jiwa harus jua menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Dari kemerdekaan dua unsur itu, maka lahirlah sebuah kemenangan yang hakiki. Laiknya seorang yang menjalankan puasa, maka harus diakhiri dengan mengeluarkan zakat sebagai aktualisasi dari pembersihan jiwa. Sehingga kemenangan pun menjadi raihan maksimal dari kemerdekaan lahir dan batin.

Bicara tentang Kemerdekaan Bangsa ini, saya ingin membatasi dengan “Hari-Kemerdekaan” saja. Kita sudah cukup banyak bahan refleksi dari setiap event kemerdekaan setiap tahun. Biarlah orang mengenang jasa para pahlawan bangsa, biarlah para pemimpin sibuk berbicara tentang hikmah hari Kemerdekaan, biarlah anak-anak sekolah disibukkan dengan baris berbaris dan pengibaran bendera. Tetapi apa yang telah pernah, sedang dan akan kita perbuat bagi bangsa dan negeri yang telah ‘menghadiahkan’ sebuah kemerdekaan (?)

Ah, rasanya terlalu idealis –bagi saya- jika berpikir perbuatan apa yang memberikan influence besar yang positif bagi Bangsa ini. Karena pada faktanya perjuangan Bangsa ini, kini sudah mulai terkotak demi perjuangan kelompok-kelompok tertentu. Mungkin tak ada lagi tujuan bersama, kalaupun ada hanyalah serpihan kepentingan bersama, bersama dengan kelompok kecilnya. Sudahlah, tokh, negeri ini tak kan menarik naskah proklamasinya hanya melihat kelompok-kelompok kecil yang masih ‘tertindas’. Konteks merdeka yang kini banyak dimaknai hanyalah terbebas dari jajahan bangsa lain, titik.

Pesimis (?) Oh, tidak tentunya. Karena makna kemerdekaan bagi saya tidak disandarkan pada nasionalisme kebangsaan, jika setiap yang meng-invasi dari luar bangsa kita adalah penjajah, maka kita hanya mengenal satu jenis penjajah, yakni kaum yang berbeda bahasa dan berwarna kulit berbeda dengan kita.

Dalam Islam, makna kemerdekaan melekat secara sempurna dengan kalimat Syahadat. Ketika yang disembah, dipatuhi, ditakuti hanya Allah SWT. Maka itulah kemerdekaan bagi seorang muslim, kemerdekaan lahir dan batin. Namun jika sudah ada tandingan-tandingan baru yang hendak menggantikan ‘posisi’ Allah, maka inilah yang sebenarnya disebut penjajahan.

So, jika kita melihat bagaimana awalnya bangsa ini berani meng-proklamirkan, tiada lain karena mereka yakin bahwa atas Rahmat dan Karunia-Nya lah Bangsa ini berani untuk merdeka, merdeka lahir maupun batin.

Air Hujan

Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan. Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat. Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Alquran berabad-abad yang lalu, memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan. “Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS Ar-Ruum: 48)

Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.

Tahap Ke-1: “Dialah Allah Yang mengirimkan angin…”
Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfer. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut “perangkap air”.

Tahap Ke-2: “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…”
Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.

Tahap Ke-3: “…lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya…”
Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.

Semua tahap pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Alquran. Selain itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Alquranlah yang menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah ayat, informasi tentang proses pembentukan hujan dijelaskan:

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan- gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS An-Nuur: 43)

Para ilmuwan yang mempelajari jenis-jenis awan mendapatkan temuan yang mengejutkan berkenaan dengan proses pembentukan awan hujan. Terbentuknya awan hujan yang mengambil bentuk tertentu, terjadi melalui sistem dan tahapan tertentu pula. Tahap-tahap pembentukan kumulonimbus, sejenis awan hujan, adalah sebagai berikut:

Tahap-1, Pergerakan awan oleh angin: Awan-awan dibawa, dengan kata lain, ditiup oleh angin.

Tahap-2, Pembentukan awan yang lebih besar: Kemudian awan-awan kecil (awan kumulus) yang digerakkan angin, saling bergabung dan membentuk awan yang lebih besar.

Tahap-3, Pembentukan awan yang bertumpang tindih: Ketika awan-awan kecil saling bertemu dan bergabung membentuk awan yang lebih besar, gerakan udara vertikal ke atas terjadi di dalamnya meningkat. Gerakan udara vertikal ini lebih kuat di bagian tengah dibandingkan di bagian tepinya. Gerakan udara ini menyebabkan gumpalan awan tumbuh membesar secara vertikal, sehingga menyebabkan awan saling bertindih-tindih.

Membesarnya awan secara vertikal ini menyebabkan gumpalan besar awan tersebut mencapai wilayah-wilayah atmosfer yang bersuhu lebih dingin, di mana butiran-butiran air dan es mulai terbentuk dan tumbuh semakin membesar. Ketika butiran air dan es ini telah menjadi berat sehingga tak lagi mampu ditopang oleh hembusan angin vertikal, mereka mulai lepas dari awan dan jatuh ke bawah sebagai hujan air, hujan es, dan sebagainya.

Kita harus ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja mengetahui proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk dan fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat terbang, satelit, komputer, dan lainnya. Sungguh jelas bahwa Allah telah memberitahu kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1.400 tahun yang lalu.

(Sumber: Republika Online)

7 Lapisan Langit

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqaqrah: 29)

“Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap…” (QS Fushshilat: 11)

“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya…” (QS Fushshilat: 12)

Kata “langit”, yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Alquran, digunakan untuk mengacu pada “langit” bumi dan juga keseluruhan alam semesta. Dengan makna kata seperti ini, terlihat bahwa langit bumi atau atmosfer terdiri dari tujuh lapisan. Saat ini benar-benar diketahui bahwa atmosfer bumi terdiri atas lapisan-lapisan yang berbeda yang saling bertumpukan. Lebih dari itu, persis sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, atmosfer terdiri atas tujuh lapisan. Dalam sumber ilmiah, hal tersebut diuraikan sebagai berikut: Para ilmuwan menemukan bahwa atmosfer terdiri diri beberapa lapisan. Lapisan-lapisan tersebut berbeda dalam ciri-ciri fisik, seperti tekanan dan jenis gasnya. Lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi disebut troposfer. Ia membentuk sekitar 90 persen dari keseluruhan massa atmosfer.

Lapisan di atas troposfer disebut stratosfer. Lapisan ozon adalah bagian dari stratosfer di mana terjadi penyerapan sinar ultraviolet. Lapisan di atas stratosfer disebut mesosfer. Termosfer berada di atas mesosfer. Gas-gas terionisasi membentuk suatu lapisan dalam termosfer yang disebut ionosfer. Bagian terluar atmosfer bumi membentang dari sekitar 480 kilometer hingga 960 kilometer. Bagian ini dinamakan eksosfer.

Jika kita hitung jumlah lapisan yang dinyatakan dalam sumber ilmiah tersebut, kita ketahui bahwa atmosfer tepat terdiri atas tujuh lapis, seperti dinyatakan dalam ayat tersebut; troposfer, stratosfer, ozonosfer, mesosfer, termosfer, ionosfer, dan eksosfer. Keajaiban penting lain dalam hal ini disebutkan dalam surat Fushshilat ayat ke-12, “… Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.”

Dengan kata lain, Allah dalam ayat ini menyatakan bahwa Dia memberikan kepada setiap langit tugas atau fungsinya masing-masing. Sebagaimana dapat dipahami, tiap-tiap lapisan atmosfer ini memiliki fungsi penting yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan seluruh makhluk hidup lain di Bumi.

Setiap lapisan memiliki fungsi khusus, dari pembentukan hujan hingga perlindungan terhadap radiasi sinar-sinar berbahaya; dari pemantulan gelombang radio hingga perlindungan terhadap dampak meteor yang berbahaya. Adalah sebuah keajaiban besar bahwa fakta-fakta ini, yang tak mungkin ditemukan tanpa teknologi canggih abad ke-20, secara jelas dinyatakan oleh Alquran 1.400 tahun yang lalu.

(Dari berbagai sumber)

Catatan ini diawali dari sebuah tangisan pada icon BBM (BlackBerry Messenger) seorang calon tamu Allah. Tangisan yang mencerminkan pada rasa cinta dan rindu yang melanda di setiap gerak aktivitas hidupnya. Meski hanya berbentuk icon ‘Cry’, namun sangat terasa betapa ia benar-benar merindukan hari Arafah. Setiap kata yang tertulis pada layar kecil itu sangat menyentuh jiwa, sangat tampak gejolak rasa yang diungkapkannya. Begitu lirih, namun penuh pasrah pada apa yang akan terjadi sesuai takdir-Nya. Yah, ‘tangisan’ itu muncul setelah ia melihat no porsi keberangkatan hajinya diatas nomor yang ditentukan Pemerintah pada tahun ini. Saya sangat yakin, tangisan dan jeritan itu didengar dan diperhatikan oleh Para Penghuni langit, sehingga sama-sama berdoa untuk sebuah harap yang tiada mustahil kan terwujud. Terlebih ketika saya dan kita semua meyakini Sabda Rasulullah SAW yang mengatakan “Allah itu Pemalu dan Pemurah. Karena itu pula, Allah juga malu kalau tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang dipanjatkan kepada-Nya. Bahkan dalam Al-Baqarah ayat 186, Allah Berfirman: “Sampaikan olehmu –Muhammad- jika ada hamba-hamba-Ku bertanya tentang seberapa dekat Aku kepada mereka, katakanlah bahwa Aku ini Maha dekat, dan Aku akan mengabulkan doa setiap hamba yang memohon hanya kepada-Ku.”

Doa itu adalah kendaraan kita, yang akan mengantarkan keinginan, permohonan, dan harapan kita kepada Allah yang Maha Memiliki. Agar kita bisa membuat kendaraan kita terbang menemukan Pemiliknya, kita membutuhkan “dua sayap” untuk menggerakkannya. Apa “dua sayap” itu (?) Rasulullah Saw. berpesan “Ridha Allah itu ada pada ridha orangtua, dan murka-Nya ada pada murka orangtua”. Inilah “sayap” doa yang pertama. Jadi, ketika kita ingin lebih memaknai doa itu menjadi senjata yang diridhai Allah maka sejatinya kita meminta ridha orangtua terutama Ibu dengan segala pengharapan kita. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk meminta mereka (orangtua) menyebut harapan dan keinginan kita dalam doa-doa mereka, karena tiada hijab (penutup) antara doanya dengan Dzat Maha Pencipta. Lalu bagaimana jika kita sudah tidak memiliki orangtua (?) Jika demikian, maka sebaliknya kitalah yang patut menyebutkan mereka pada setiap rangkaian doa. Karena salahsatu tanda keshalihan seseorang adalah senantiasa mendoakan orangtuanya yang telah tiada. Itulah ‘sayap’ pertama yang akan menghantarkan ‘kendaraan’ kita pada Rabbul Izzati. Lalu apa “sayap” yang kedua (?)

‘Sayap’ kedua adalah sosok yang selalu ada dibalik Keperkasaan seorang laki-laki. Ya, di balik pria hebat, selalu ada wanita hebat. Begitu juga sebaliknya. Inilah “sayap” doa yang kedua: keluarga—suami bagi istri, dan istri bagi suami. Nasihat Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Apabila seorang suami memandang istrinya dengan kasih dan sayang, dan istrinya juga memandang suaminya dengan kasih dan sayang, maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih dan sayang.”

Jika kita seorang suami, mintalah istri kita untuk mendoakan harapan dan keinginan kita. Sampaikan kepadanya impian kita, dan ajaklah ia untuk sama-sama mendoakan kita agar bisa meraih impian tersebut. Sayangi istri kita, bahagiakan ia, dan biarlah ia tersenyum untuk kita. Kalau kita seorang istri, hormati suami kita, sayangi ia dengan penuh cinta-kasih, dan minta ia untuk selalu mendoakan kebaikan bagi kita.

Demikianlah doa, ia akan menjadi kekuatan yang sangat mendasar. Saya hanya ingin mengutarakan pada salahsatu keluarga besar calon Tamu Allah Cordova yang memberikan icon ‘cry’ itu, untuk terus optimis akan Karunia dan Kasih Sayang-Nya. Sebelum mengakhiri catatan ini, saya ingin mengutip perkataan seorang Jim Morrison, personal The Doors (dalam sebuah artikel). Ia berkata begini, “Some of the worst mistakes of my life have been haircuts— beberapa kesalahan terburuk dalam hidupku mungkin adalah gaya rambutku.” Anda tahu maknanya apa (?) Morrison ingin berpesan kalau sesuatu yang kecil dapat mengubah keadaan semuanya. Jadi, jangan pernah hiraukan hal sekecil apa pun, termasuk doa yang seringkali kita anggap remeh.

Ketika sadar bahwa Ramadhan telah melangkah pada sepertiganya, kebanyakan kita mulai terhentak, betapa kita melepaskannya dengan tiada arti. Biasa saja, bahkan cenderung ingin segera berakhir dan berlanjut pada hari-hari yang tiada shaum di siang bolong. Bulan yang –sejatinya- di damba kedatangannya, kini (ketika telah hadir) menjadi bulan biasa yang luput dari makna. Menjalankan aktivitas harian, sahur, puasa dan berbuka. Titik, tiada koma terlebih spasi untuk menambahkan aktivitas yang lebih konsisten seperti pada awal-awal Ramadhan. Padahal jika kita cermati, dalam setiap gerak aktivitas yang kita lakukan di bulan ini, sarat dengan filosopi kehidupan. Tujuan dari puasa agar kita menjadi manusia takwa. Puasa sebagai formula kesehatan tertinggi yang dipilih Allah untuk sebuah kehidupan. Tapi tak sekedar menyangkut kesehatan tubuh, melainkan lebih luas, kesehatan sejarah. Bukankah rusaknya dunia ini karena orang-orang yang tak mau “berpuasa”. Orang-orang yang terus “makan” meskipun sudah “kenyang”. Bahkan dalam sebuah catatan, teman saya mengatakan bahwa puasa memperlihatkan bagaimana dunia menipu manusia: Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Formula yang di desain Dzat Maha Kuasa tentang arti shaum begitu mulia. Tidak sekedar yang –umumnya- kita ketahui. Semua ornamen ibadah vertikal maupun horizontal dikemas dengan begitu indah dalam Ramadhan. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi, dan itu artinya adalah perang secara jantan terhadap sesuatu yang sehari-hari merupakan tujuan dan kebutuhan hidup manusia.

Masih banyak rasanya faidah dan hikmah shaum, yang –mungkin- telah kita serap disetiap kesempatan tausyiah para ustadz tentang bulan suci. Selama sebulan penuh, kita dihadapi beragam pesan religi, saat sahur, menjelang berbuka, saat khutbah tarawih dan setiap celah program-program televisi penuh dengan pesan keagamaan. Semuanya mengajarkan bahwa puasa sebagai mesin pembersih setiap ‘ampas’ yang menggumpal baik dalam diri maupun jiwa.

Apa yang dikemukakan diatas tentang puasa juga merupakan formula ‘kesehatan sejarah’ tentunya telah menjadi pengetahuan kita. Betapa orang yang ‘berpuasa’ lebih mampu menahan segala gejolak hasrat nafsu yang menggenggamnya. Sabda Rasul “Kuluu walaa tusrifuu” (Makan dan janganlah berlebihan) adalah ‘suguhan’ orang yang berpuasa saat berbuka. Hal itu sama seperti ungkapan “hidup dan nikmatilah kehidupan, tetapi jangan lah berlebihan”. Kalimat itu tentunya ada faktor ‘shaum’ untuk menahan atau tidak berlebihan dalam menikmati kehidupan.

Tahukah Anda, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1367 Hijriah (?) Melihat kenyataan ini, bisa kita ketahui bahwa pada bulan puasa pun para pendahulu tetap berjuang, bukan bermalas-malasan. Kemudian Nuzulul Qur’an pun memiliki tanggal yang sama dengan proklamasi kemerdekaan kita, yakni 17 (Ramadhan). Apakah ini hanya kebetulan belaka, sengaja diciptakan, atau ada kekuatan lain yang merencanakannya (?) Wallohu a’lam. Hanya saja, yang pasti terdapat tiga angka 17 (Seventeen) yang menjadi angka sakral bagi bangsa Indonesia, terutama bagi mayoritas penduduknya yang muslim. Yakni 17 Agustus (Proklamasi), 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an), dan 17 Rakaat (shalat). Lantas, apa hubungannya antara 17 Agustus dengan 17 Ramadhan dan 17 Rakaat (?). Di dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Sungguh sebuah pengakuan yang jujur dari para “Founding Father” bangsa kita bahwa Proklamasi 17 Agustus hanya bisa diperoleh dengan berkat dan Rahmat Allah SWT.

Mari kita perhatikan, Jenderal mana yang berani bertaruh, bambu runcing bisa mengalahkan meriam (?) Ahli strategi perang mana yang berani menjamin bahwa tentara dadakan mampu bertempur dan menang melawan tentara musuh (Belanda, Jepang) yang professional (?) Para pejuang kita dahulu, sebagian besar adalah umat Islam, tidak hanya bergerilya keluar masuk hutan membawa bambu runcing dan senjata seadanya, tapi mereka juga menggunakan 17 Rakaat sebagai media untuk memohon kepada Allah SWT agar kemerdekaan ini bisa diraih. Sehingga ketika kemerdekaan dicapai, fakta historis itu dicatat dalam sebuah ungkapan jujur, “Atas berkat rahmat Allah …”.

Demikianlah kita bisa melihat adanya keterkaitan yang jelas antara 17 Rakaat dengan makna 17 Agustus. Lalu apa kaitannya dengan 17 Ramadhan (?) Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan adalah saat diturunkannya Al-quran, yang ayat pertamanya adalah “Iqra” (Bacalah!). Apa yang perlu dibaca (?) Ya benar, Ayat Allah. Baik ayat yang berupa Alam semesta, maupun ayat berupa wahyu Allah, yaitu Al Qur’an.

Dengan firman pertama itu, seolah-olah Allah berkata, “Bacalah alam ini, pelajari, dan budidayakan untuk kemaslahatan kalian semua! Bacalah Al Qur’an sebagai pedoman hidup kalian”. Keduanya harus kita jalankan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hati dan otak. Mengharmoniskan hubungan antara kemajuan intelektual dengan kemantapan akidah. Dari ketiga angka sakral 17 tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa dengan melaksanakan 17 Rakaat kita isi 17 Agustus dengan berpedoman pada petunjuk yang turun di 17 Ramadhan.
(AW)