Rindu suara adzan

Saat saya menulis artikel tentang Ramadhan di Yunani ini, saya hanya bisa membandingkan saat bulan puasa di Tanah Air. Luarbiasa secara tidak sadar imajinasi saya malah menyeruak terbang ke kampung halaman, alih-alih akan bercerita mengenai fenomena puasa ramadhan di Athena, saya malah tergerus oleh gelayut pikir yang mengawang-ngawang menghantarkan jasad berpuasa di desa yang penuh kedamaian. Bagaimana setiap menjelang adzan Maghrib, semua orang, dari anak-anak, muda-mudi, serta orangtua bersama keluar rumah, menanti beduk maghrib yang dinanti. Bermain sore di halaman, dengan ragam aktivitas yang tak pernah bosan dilakukan oleh anak-anak kampung. Belum lagi menu makanan untuk berbuka yang semuanya membuat puasa semakin bersemangat. Ada kolak, es buah, goreng-gorengan, dan makanan tradisional lainnya. Tapi, gubrak! Kenapa saya malah bercerita ramadhan di Tanah Air, yang tidak perlu diceritakan. Karena setiap kita yakin, bahwa dimanapun kita berada, Tanah Air adalah tempat dibawah kolong langit yang sangat cocok bagi kita dalam melaksanakan puasa ramadhan.

Baiklah, saya akan bercerita bagaimana seorang muslim bisa bertahan dan istiqomah dalam melaksanakan puasa ramadhan di negeri ini. Negeri para dewa, negeri berlambang Acropolis yang dua tahun terakhir ini selalu mendiskriminasi warga muslim. Bahkan seolah mereka enggan mengakui keberadaan muslim di negaranya yang mayoritas agamanya adalah Gereja Ortodoks Timur. Bertahannya seorang muslim untuk terus berpuasa di sini, benar-benar tergantung pada keimanannya. Berpuasa dimana masyarakat sekitar tidak, suhu yang kini pada puncaknya musim panas, bayangkan suhu udara tahun ini mencapai 43-49 derajat celcius, dan puasa berlangsung sampai 16 jam. Subuh pukul 4 pagi, dan adzan Maghrib pukul 21.00 malam. jika harus di deskripsikan secara detail maka kita harus bangun sekitar pukul 3 pagi, untuk masak dan makan sahur. Dan usai sholat terawih bisa sampai pukul 24.00. Istirahat bisa kita gunakan diantara tengah malam sampai jam 3 pagi menjelang sahur. Bagaimana dengan siang hari, jangan harap kita punya dispensasi pekerjaan atau aktivitas lainnya, karena mereka tidak mau tahu, saat itu kita berpuasa atau tidak.

Begitulah, jika kadar iman kita kokoh, dihadapkan dengan kondisi yang menghimpit keleluasaan puasa seperti diatas sekalipun, insya Allah tidak bernilai sedikit pun. Karena itu, selain WNI yang beragama Islam, ada pula komunitas muslim dari Mesir, Arab Saudi, Bangladesh, dan Pakistan yang sama-sama berpuasa di ramadhan ini. Mereka sama-sama lebih menyatukan rasa di bulan ini, terkadang saling mengundang makan untuk berbuka puasa.

Untuk masalah makanan di bulan ramadhan, favorit saya –dan juga mungkin- sebagian orang Indonesia lainnya saat berbuka adalah dengan Bahlava, semacam manisan roti bercampur kacang dan madu khas yunani, kadang sering ditemukan juga di toko makanan Turki atau makanan Arab. Adapun menu makan ‘besar’nya kami selalu memilih Souvlaki, semacam sate khas Greek, dengan tambahan jeruk mipis, bawang dan tomat, jika Souvlaki itu tidak dimakan bersamaan roti atau kentang, kita –orang Indonesia- selalu saja harus dengan nasi.

Di Athena, suasana Ramadhan biasa saja. Tidak ada perbedaan dengan bulan-bulan lainnya. Kalaupun ada, itu tercipta dari inisiatif komunitas muslim di sini. Me’ramadhan’kan situasi dan kondisi yang ada, mereka juga menjadikan basement yang disewa secara ‘urunan’ sebagai tempat sholat tarawih dan homebase kegiatan ramadhan.

Pun demikian dengan KBRI kita di Athena, untuk menyemarakkan Ramadhan dan menjalin silaturahmi dengan warganya, selalu mengadakan buka bersama setiap hari minggu. Di waktu inilah menjadi semacam aji mumpung, menyantap masakan Indonesia yang penuh cita rasa. Dan berkumpul mengobati rasa rindu kebersamaan keluarga di tanah air.


*Anggota MUTIA, Perwakilan Cordova – Yunani

Sinkronisasi ruh & jasad

Setiap tahun dalam satu bulan, sesungguhnya ada sebuah peristiwa besar yang luput menjadi perhatian manusia di Alam raya. Disebut perhatian manusia, karena –manusia- memiliki ruh dan jasad. Jika tidak memiliki salah-satunya, maka makhluk itu tidak bisa dikatakan sebagai manusia. Tanpa ruh, jasad itu hanya berupa mayat yang tak berdaya. Pun sebaliknya, tanpa jasad, ruh hanya bagian abstrak yang hidup diluar dunia materi. Peristiwa besar yang terus berulang, memutar dan bersinergi dari satu tempat menuju tempat lainnya di Bumi ini. Selama satu bulan itu, letupan dahsyat sesungguhnya telah terjadi ditengah-tengah kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Ketika ruh dan jasad melakukan balutan rasa yang mencengkram satu sama lain, bersatu padu bak gelombang yang sulit dipisahkan. Menyatu erat selama satu bulan di waktu yang terus menerus berputar. Hari ini di Jakarta, peristiwa itu akan kembali terjadi pada pukul 17.57. dan akan terus diikuti dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu individu manusia, ke individu manusia lainnya. Yah, ketika dua tujuan antara ruh dan jasad itu bersatu untuk melepaskan dahaga usai puasa seharian. Jasad membutuhkan makan, secara otomatis ruh mengamini apa yang digerakkan jasad.

Hampir dipastikan menjelang waktu berbuka, setiap muslim yang berpuasa menanti dengan penuh kesenangan, dengan segenap rasa, sehingga dimana dan bagaimana pun, preparing penyambutan beduk maghrib menjadi yang paling dinanti oleh umat Islam di manapun berada. Yang dijalan, segera mencari gelombang radio didalam kendaraan, jika bisa ingin segera me-request tembang hits lagunya diganti adzan maghrib, atau yang di rumah, segera mencari chanel televisi yang mengumandangkan adzan, -untuk didaerah- terpaksa harus mencari saluran televisi lokal yang –tentunya- tidak sama waktu kumandang adzannya. Bahkan di berbagai desa, peristiwa besar itu ditandai dengan dentuman bom bamboo atau meriam pertanda telah tiba waktunya berbuka puasa, telah sinkron-nya needed ruh dan jasad.

Seperti jasad, ruh pun memerlukan makanan. Setiap yang hidup perlu makan, dan makanan ruh yang baik adalah cahaya-cahaya Ilahiyah dan ilmu-ilmu Rabbaniyah yang tercermin dalam setiap kemuliaan syariat. Termasuk cahaya Ilahiyah dalam bentuk doa, dzikir, shalat, puasa, zakat, haji dll. Di bulan Ramadhan ini, manusia muslim berusaha menerangi ruh dengan beragam makanan ruhani. Memandikannya dengan proses pencucian batin, seperti istigfar, mengendalikan hawa nafsu dan semua aktifitas mulia di bulan yang juga penuh dengan kemuliaan.

Seperti tubuh, ruh pun memiliki rupa yang bermacam-macam; buruk atau indah, juga mempunyai bau yang berbeda; busuk atau harum. Rupa ruh lebih beragam dari rupa tubuh yang tampak secara kasat mata. Berkenaan dengan rupa atau wajah secara jasadiyah (atau lahiriah), kita dapat saja menyebut wajahnya mirip binatang, tapi –pastinya- ia bukan seekor binatang. Namun ruh, dapat benar-benar berupa binatang jika ia memiliki sifat binatang. (QS: Al-Maidah: 60). Lalu dapatkah kita bayangkan bagaimana indahnya rupa ruh kita saat berada dalam dekapan jasad yang bersamaan di saat berbuka nanti (?) Subhanallah, mungkin saja lebih indah dari rupa jasad sesungguhnya.

So, 17.57 waktu Jakarta sore ini adalah waktu dimana rasul memberikan salahsatu janji kesenangan bagi mereka yang berpuasa, yakni indahnya berbuka. Dan –tentunya- waktu dimana merekahnya keindahan rupa ruh dalam jasad manusia.

“Ketika batin tulus tuk memberi, kala itulah ALLAH akan bantu membuka jalan terbaik-Nya tuk memberi”

–Cordova Founding Father-

Semakin kita banyak memberi, semakin berlimpah nikmat yang teraih. Karena memberi adalah salahsatu cara manusia bersyukur. Dengan bersyukur ALLAH berjanji akan terus menambah nikmatnya yang tiada henti. Memberi sesungguhnya merupakan pangkal kebahagian. Sebaliknya, meminta atau menuntut merupakan sumber keresahan. Jika memberi, tanpa rasa yang dipaksa, kita akan merasa lega dan gembira. Sedangkan jika kita menuntut, terlebih jika tuntutannya besar dan tak terpenuhi, hasil akhirnya kita kan merasa jengkel dan kecewa. Demikianlah sebabnya, Islam mengajarkan kita agar memberi bukan meminta. Karena -memberi juga- merupakan sunatullah dan watak dari alam semesta. Perhatikan; Matahari, bumi, tumbuh-tumbuhan, sungai dan lautan mereka semuanya hanya memberi dan memberi, tak pernah meminta apa pun dari kita sebagai manusia dan sesama makhluk. Bagaimana kita –manusia- yang hina dan teramat kecil bisa kikir dengan apa yang kita dapatkan, sedangkan Pencipta kita, ALLAH SWT adalah Dzat Maha Pemberi. (QS. Ali Imran: 8).

Narayanan Krishnan, seorang chef terkenal di India yang hampir menggenggam puncak karirnya, memutuskan untuk berhenti sebagai chef dan memilih menjadi pelayan bagi orang-orang miskin. Saat ditanya tentang alas an keputusannya itu, jawabannya sangat singkat. “Ada ribuan manusia yang menderita di sekitar kita. Apakah makna hidup sesungguhnya jika bukan untuk memberi (?) Mulailah memberi dan rasakan kebahagiaannya…”

Hukum memberi (the law of giving) ini mengajarkan kepada kita paling tidak ada tiga hal. Pertama, apa yang kita tanam, itu pulalah yang kita tuai. Kata pepatah Arab “Man Zara’a Hashada,”. Adagium lama yang menyatakan, “Siapa menabur angina, ia akan menuai badai”, ini merupakan ketetapan ALLAH (Sunatullah) yang tidak akan pernah berubah. Kedua, kalau kita memberi, pasti kita akan mendapat. Diakui, manusia sering berpikir pendek dan terjebak pada logika materialism sempit, yang seolah-olah jika kita memberi, ada sesuatu yang hilang dari sisi kita. Padahal sebenarnya tidak demikian, apa yang diberikan tidak pernah hilang, ada semacam kekekalan energi di situ. Ketiga, rasanya tidak salah jika kita mulai membudayakan kebiasaan memberi bukan meminta. Memberi dahulu, baru kemudian mendapat. Ungkapan take and give (mendapat dan lalu memberi) yang popular dalam masyarakat kita, mungkin bisa diganti dengan ungkapan “give and receive” (memberi dan lalu mendapat).

Apa yang kita berikan –tentu- tidak selamanya berarti harta dan kekayaan kita (fisik-material). Kita bisa memberikan hal-hal lain yang dimiliki. Semisal tenaga, pikiran, ide, kasih saying, cinta, perhatian serta doa. Pemberian yang seperti inilah yang sejatinya menjadi pemberian yang besar dan penuh makna. Tidak selamanya, memberi dilakukan karena pertimbangan kebaikan, atau mencari solusi menang-menang (win-win solution), melainkan jalan keluar menuju kebesaran dan kebahagiaan abadi di dunia dan akhirat.

Pun demikian, Cordova ada dan berdiri karena memiliki konsep memberi yang menjadi basic atas segala langkah yang tertapak. Semoga ‘ketulusan-nya’ senantiasa terus mengalirkan limpahan berkah bagi kita semua.

Buka Puasa dengan Pide

Secara umum, Ramadhan di negeri 2 benua ini hampir mirip dengan puasa di Negara-negara Timur Tengah. Namun geliat dan antusias menghadapi ramadhan, tentunya masih kalah di banding Negara Middle East, semacam Mesir, Maroko dan lainnya. Mungkin karena pengaruh budaya Eropa yang sulit di bendung, karena –memang- kita berdiri diantara dua budaya. Namun tetap atmosphere Ramadhan masih kental terasa, meski banyak kalangan muda muslim disini yang berpaham sekuler, tetapi mereka tetap bersama mengagungkan bulan penuh suci diatas aktivitas harinya. Negara yang dikenal sebutan Eurasia (atau Negara yang terletak di dua benua, Eropa dan Asia) ini berpenduduk mayoritas muslim, dari 70 juta jiwa, 98 persennya adalah muslim. Sayangnya, Negara Islam di Turki ini masih berpaham sekuler, sehingga penyambutan kedatangan bulan Ramadhan masih tidak semeriah apa yang terjadi di Tanah Air.

Seperti yang terjadi di Tanah Air, di jalanan –terutama- di kota Istanbul, banyak dijumpai spanduk dan baliho-baliho besar berisikan ucapan selamat berpuasa atau ungkapan marhaban, ahlan wa sahlan dan juga Ramadhan kareem. Begitu juga program acara di televisi, selalu ada program khusus religi menemani santap sahur dan saat berbuka, baik berupa ceramah keagamaan, kisah sejarah rasul, maupun hiburan yang berkaitan dengan puasa.

Di negeri yang mayoritas muslim dan bermazhab Hanafi ini, adzan Shubuh di luar bulan ramadhan sengaja dikumandangkan agak terlambat sekitar empat puluh sampai empat puluh lima menit, namun pada bulan Ramadhan adzan lima waktu dikumandangkan tepat sesuai jadwal.

Setiap ramadhan tiba, -saya dan kebanyakan teman mahasiswa lainnya- hampir dipastikan jarang buka puasa di rumah masing-masing. Karena setiap datang Ramadhan, kebiasan yang telah menjadi adat di turki adalah kebiasaan mengundang buka puasa, baik antar kerabat, teman bahkan sesama warga asing. Tidak sepenuhnya kami menghadiri undangan buka puasa di tempat warga local tentunya, kami juga menyempatkan beberapa kali mengundang mereka makan bersama di rumah mahasiswa. Biasanya mereka sangat senang, dan selalu menanyakan kue Pide, jika kita tidak menyediakan kue Pide, maka mereka sendiri lah yang akan membawanya. Pide adalah roti yang lebar seukuran nampan, namun sedikit lonjong.

Selain kebiasaan mengundang makan berbuka, Pemerintah Kota di Turki juga memiliki program buka puasa yang dikelola oleh pemerintah lokal untuk siapa saja yang ingin berbuka secara gratis. Biasanya selalu disediakan di halaman-halaman masjid, taman atau jalanan yang sering di lalulalang oleh masyarakat. Biasanya program ini keliling dari satu ke tempat lainnya, dengan menu yang super mewah. Ada juga NGO, petugas yang keliling Turki menyediakan makanan buka puasa, dengan fasilitas mobil kontener besar yang di setting menjadi dapur umum, keliling dari satu profinsi ke profinsi lainnya.

Pesona Ramadhan pun semakin hidup ketika jelang sholat tarawih dengan temaram lampu masjid dan taman yang indah. Hal yang sering mengundang decak kagum adalah di beberapa masjid besar, seperti Blue Mosque, Sulaymaniye, dan Masjid Ayyub Al-Anshari. Ribuan jamaah memadati masjid-masjid indah itu. Suara imam yang merdu menambah suasana malam di Turki semakin mempesona.

Ada satu kultur unik lainnya yang membuat saya kaget bercampur senyum, adalah anak-anak kecil di sini bebas memijit bel apartemen siapa saja, sekedar untuk memberikan ucapan selamat lebaran, lalu biasanya yang punya rumah memberikan coklat atau uang. Begitu pun jika ada anak-anak mengucapkan selamat lebaran, maksud lainnya mereka ingin coklat, uang atau hadiah lebaran. Makanya hal ini pernah menjadi becandaan kami para mahasiswa, jika uang dan coklat sudah mulai habis, maka untuk pergi kejalan kami pura-pura menggunakan Walkman, atau menghindar kelompok anak-anak, malu tidak bisa memberikan hadiah bagi mereka.

Baiklah, salam kompak dari Turkey, sampai jumpa di episode Ramadhan lainnya!

*Perwakilan Cordova-Turkey

Ramadhan di negeri orang*

Negeri Seribu Menara, demikian salah-satu julukan tempat saya merantau. Negeri ini tidak terlalu indah jika dipandang siang hari. Gersang, berdebu dan padat oleh gedung berbentuk kardus. Namun, sangat mempesona bila dilihat malam hari. Flamboyan yang memerah, lampu-lampu kota yang gemerlap dan pohon-pohon kurma yang berjajar rapi membatasi taman kota. Suasana malam yang melankolis itu, membuat separuh penduduk Mesir menjadikan kehidupannya pada malam hari. Termasuk di bulan suci Ramadhan, detak nafas kehidupannya bergeliat menjelang Maghrib tiba. Terlebih Ramadhan kali ini jatuh tepat di puncak musim panas, membuat semua roda aktivitas berputar menjelang dan setelah berbuka puasa.

Fenomena yang tidak pernah berubah sejak dulu adalah maraknya lampu-lampu Fanous di semua pelosok negeri. Bukan hanya di Kairo, di pelosok desa pun lampu ini menjadi semakin benderang. Fanous berasal dari kata Yunani, yang bermakna lilin. Saat ini, kata fanous digunakan di dunia Arab yang menunjukkan jenis lentera yang terbuat dari timah dan kaca berwarna-warni, bentuknya ada sedikit kemirip-miripan dengan lampu yang sering muncul di lagenda Arab Aladdin. Sedangkan makna fanous menurut bahasa Arab adalah titik putih pada warna hitam. Nama ini merujuk pada pembawa lampu yang terlihat terang saat berada ditengah-tengah kegelapan. Fanous ini dahulunya pun digunakan sebagai tanda waktu pengingat waktu imsak. Jika cahaya lampu atau lilin di dalam fanous sudah meredup padam, maka itu tanda waktu imsak, segera menghentikan aktifitas makan minum.

Selain fanous, fenomena unik lainnya adalah hidangan ta’jil dan makan gratis di hampir setiap masjid di pelosok negeri. Hidangan yang sering disebut sebagai Maidatur Rahman atau hidangan kasih sayang ini adalah program resmi pemerintah Mesir, dari dulu sampai sekarang masih tersaji dengan aneka ragam menu yang mewah, terlebih di beberapa masjid besar, hidangannya hampir menyerupai restoran berbintang 5. Bagi kami –mahasiswa- tentunya Maidatur Rahman ini menjadi sangat special, selain bisa mengirit pengeluaran bulanan, juga sebagai ‘perbaikan gizi’. Kedermawanan orang Mesir memang sangat tampak sekali setiap Ramadhan tiba, karena selain Maidatur Rahman, di beberapa masjid selalu memberikan semacam ‘Musa’adah’ bantuan keuangan bagi ribuan warga asing yang sedang menuntut ilmu. Meski –sesungguhnya- kehidupan ekonomi masyarakat Mesir terbilang rendah, tetapi setiap Ramadhan mereka berlomba untuk menyisihkan sebagian hartanya hingga menjelang hari raya.

Sebenarnya, dimana pun kita berada, ketika Ramadhan tiba, ada rasa yang hilang dalam melakukan aktifitas ramadhan. Seindahnya ramadhan di negeri orang, tetap bahwa kebersamaan dengan sanak keluarga adalah ganjalan rasa yang sulit di pungkiri. Rasa rindu berkumpul dengan keluarga menyeruak di setiap santap sahur dan terlebih menjelang hari raya. Jika ada ruang waktu atau lorong yang bisa memindahkan jasad –sebentar saja- menuju dekapan sang ibu dan ayah di kampung sana, rasanya ingin melangkah mencium tangan dan keningnya hanya untuk mengatakan “Aku sangat rindu padamu ayah, ibu”.

Wal’ akhir saya ingin bertanya bagaimana Ramadhan di belahan negeri lainnya (?)
Salam kompak selalu!

*Perwakilan Cordova-Kairo

Arafah sebuah makna kata yang teramat indah. Arafah juga suatu tempat yang paling dirindu umat muslim dibelahan bumi. Pesonanya tak terbendung oleh pelukan bukit yang melingkar, tak tertahan oleh jarak yang membentang, sinar keindahannya menyeruak menelusuri jutaan hati manusia. Mengusik khusyuk raga yang tak berdaya, menggerakkan ratusan juta bibir tuk bergetar saat hari itu tiba. Takbir, Tahmid, Tasbih, Tahlil dan kalimat cinta lainnya bergemuruh memutar, melingkar dan menembus tujuh langit serta jutaan benda langit hingga menggetarkan Arsy Rabbul Izzati. Jutaan miliyar malaikat merengkuh, mendamba dan mendoa hamba-hamba suci di Arafah. Berdoa tuk mengguliti dosa yang menggunung. Mensucikan noda yang bersimbuh, dan memuliakan manusia dari kehinaannya. Arafah… tempat manusia mengenal jati dirinya, ruang manusia mengenal Rabbi-nya, dan kala manusia sadar akan kehinaannya. Bukan hanya jiwa manusia yang wukuf saat Arafah, bukan hanya bibir manusia pula yang bergetar bersenandung doa dan cinta, gunung-gunung batu menirukan tasbih, pasir dan pepohonan meringkih syahdu dibawah langit biru tuk bertahmid, dan jutaan makhluk lainnya yang bersama wirid atas ke-agungan-Nya.

Di Arafah, setiap orang berpotensi mengenggam kunci surga. Karena banyak cara mendapatkan kunci kebahagian itu, terlebih bagi mereka yang merasakan bagaimana gugurnya semua dosa saat di Arafah. Jalan menuju surga telah dihadapannya, akankah mampu digenggam selamanya, atau dibiarkan berkarat begitu saja, hingga sulit tuk membuka pintu surga yang telah di pelupuk mata. Semua terletak pada kesungguhan manusia dalam meraihnya. Surga bukan milik penguasa, surge tidak dipatenkan hanya untuk orang kaya, juga bukan persembahan untuk mereka yang menderita karena miskin harta. Surga milik Sang Maha Kuasa yang diberikan khusus pada semua makhluk atas rahmat-Nya. Semua manusia berpeluang mendapatkan surga, tetapi tidak semua manusia meraih kebahagian surga. Hanya manusia yang kosong dari rasa angkuh lah yang berpotensi hidup dalam keabadian surga. Seperti Iblis yang terusir dari surga, karena angkuh merasa lebih mulia dari manusia.

Semua dosa kan terampuni di Arafah. Hanya satu dosa yang sulit lebur oleh kemulian Arafah, dosa yang –mungkin- hanya sebuah rasa biasa akan kehinaan manusia yang serba ‘tak enak’ jika diberikan kenikmatan yang luar-biasa. Namun karena hal demikian lah, ternyata kesakralan Arafah tiada terbekas, alias gugur dan malah berbalik menjadi dosa yang teramat besar di sisi Allah. Apakah itu, dialah RASA RAGU akan ampunan ALLAH yang kan diraih. Bertanya pada batinnya, “Apakah dosa ku diampuni Gusti Allah” adalah sebuah keraguan jiwa akan kebesaran ALLAH dan Ke-Maha Pengampunannya ALLAH SWT.

So’ The Day of Arafah adalah suatu hari yang tak pernah ada menyamai keindahan dan kesakralannya. Hari Agung umat manusia di muka bumi, karena di sana jua lah gambaran manusia kan terbentang laiknya Masyhar tempat persaksian abadi.

1. Ka’bah mengeluarkan sinar radiasi ?

Planet bumi mengeluarkan semacam radiasi, yang kemudian diketahui sebagai medan magnet. Penemuan ini sempat mengguncang National Aeronautics and Space Administration (NASA), badan antariksa Amerika Serikat, dan temuan ini sempat dipublikasikan melalui internet. Namun entah mengapa, setelah 21 hari tayang, website yang mempublikasikan temuan itu hilang dari dunia maya.??Namun demikian, keberadaan radiasi itu tetap diteliti, dan akhirnya diketahui kalau radiasi tersebut berpusat di kota Makkah, tempat di mana Ka’bah berada. Yang lebih mengejutkan, radiasi tersebut ternyata bersifat infinite (tidak berujung). Hal ini terbuktikan ketika para astronot mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih tetap terlihat. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka’bah di planet bumi dengan Ka’bah di alam akhirat.

2. Zero Magnetism Area ?

Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama ‘Zero Magnetism Area’, artinya adalah apabila seseorang mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.??Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Makkah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu, ketika mengelilingi Ka’ah, maka seakan-akan fisik para jamaah haji seperti di-charge ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.

3. Tekanan Gravitasi Tinggi?

Ka’bah dan sekitarnya merupakan sebuah area dengan gaya gravitasi yang tinggi. Ini menyebabkan satelit, frekuensi radio ataupun peralatan teknologi lainnya tidak dapat mengetahui isi di dalam Ka’bah. Selain itu, tekanan gravitasi tinggi juga menyebabkan kadar garam dan aliran sungai bawah tanah tinggi. Inilah yang menyebabkan salat di Masjidil Haram tidak akan terasa panas meskipun tanpa atap di atasnya.??Tekanan gravitasi yang tinggi memberikan kesan langsung kepada sistem imun tubuh untuk bertindak sebagai pertahanan dari segala macam penyakit.

4. Tempat ibadah tertua ?

Pembangunan Ka’bah telah dilakukan sejak zaman Nabi Adam AS. Ada pula sumber yang menyebutkan, Ka’bah telah dibangun semenjak 2000 tahun sebelum Nabi Adam diturunkan. Pembangunannya pun memerlukan waktu yang lama karena dilakukan dari masa ke masa. ??Menurut sebagian riwayat, Ka’bah sudah ada sebelum Nabi Adam AS diturunkan ke bumi, karena sudah dipergunakan oleh para malaikat untuk tawwaf dan ibadah. Ketika Adam dan Hawa terusir dari Taman Surga, mereka diturunkan ke muka bumi, diantar oleh malaikat Jibril. Peristiwa ini jatuh pada tanggal 10 Muharam.

5. Ka’bah memancarkan energi positif?

Ka’bah dijadikan sebagai kiblat oleh orang yang salat di seluruh dunia, karena orang salat di seluruh dunia memancarkan energi positif apalagi semua berkiblat kepada Ka’bah. Jadi dapat Anda bayangkan energi positif yang terpusat di Ka’bah, dan juga menjadi pusat gerakan salat sepanjang waktu karena diketahui waktu salat mengikuti pergerakan matahari. Itu artinya, setiap waktu sesuai gerakan matahari selalu ada orang yang sedang salat. Jika sekarang seseorang di sini melakukan salat Dhuhur, demikian pula wilayah yang lebih barat akan memasuki waktu Dhuhur dan seterusnya atau dalam waktu yang bersamaan orang Indonesia salat Dhuhur orang yang lebih timur melakukan salat Ashar demikian seterusnya.??Memandang Ka’bah dengan ikhlas akan mendatangkan ketenangan jiwa. Aturan untuk tidak mengenakan topi atau kepala saat beribadah haji juga memiliki banyak manfaat. Rambut yang ada di tubuh manusia dapat berfungsi sebagai antena untuk menerima energi postif yang dipancarkan Ka’bah.

(Sumber: ramadan.detik.com)

Istilah “Galau” dewasa ini sering muncul di kalangan anak muda, bukan hanya anak ‘gaul’ tetapi semua kalangan muda dimanapun pasti telah dan sering menggunakan istilah galau. Baik di pinggiran kota, maupun di pelosok desa, kerap mengungkapkan istilah galau. Namun perasaan galau sesungguhnya tidak hanya menyerang anak muda, melainkan hampir semua usia bisa merasakannya. Dari yang putus cinta, cemburu buta, ke-‘gap’ narkotika, hingga terdakwa korupsi, anak sulit makan nasi, serta ketahuan selingkuh sama istri. Dalam kondisi seperti itu, kata ‘galau’ adalah primadona untuk mengungkapkan rasa, baik secara verbal maupun tulisan dalam status-status jejaring sosial. “I am Galau”, “Sorry sob, gw gak bisa ikut, lagi galau neh”, “pliss deh, gitu aja galau, gak asyik ah!”. Masih banyak tentunya kalimat-kalimat ekspresi yang menggunakan kata galau. Sedangkan kata galau itu sendiri memiliki banyak versi dan pengertian yang berbeda-beda. Namun intinya, kalimat galau yang sering disebut itu adalah sebuah perasaan tidak enak yang ada pada pikiran hingga bingung dan membuat emosi menjadi labil.

Jika demikian, lalu bagaimana dengan tema diatas “Ramadhan GALAU”, bukankah ‘Galau’ selalu identik dengan kalimat negatif (?) Apakah hal demikian menjadi kemulian Ramadhan terkotori dengan kata GALAU tersebut (?) Atau dengan makna lain, apakah saat Ramadhan tiba, akan banyak menimbulkan orang-orang yang semakin galau (?) Tentu jawabannya tidak, karena makna Ramadhan GALAU diatas berbeda dengan apa yang kini menjadi ‘primadona’. GALAU ini pun sama menyentuh semua lapisan orang kota maupun desa. Bahkan semua orang tidak luput dari GALAU yang dimaksud. Terlebih saat Ramadhan, rasanya keyakinan akan GALAU menjadi pengukuh ibadah shaum. Karena GALAU yang dimaksud adalah “God Always Looking At U”.

ALLAH selalu melihat mu kapan dan dimanapun. Ramadhan memberikan edukasi kejujuran manusia muslim dalam menjalankan ibadah shaum. Sejatinya keyakinan GALAU itu tidak harus selalu dirasakan saat ramadhan tiba. Namun demi sebuah pembelajaran, momentum ramadhan sangat tepat untuk mengusung GALAU menjadi keyakinan setiap langkah yang terpijak.

Meyakini ALLAH sedang melihat kita, disebut juga dengan kesadaran Muraqabah, pengertian muraqabah adalah menerapkan kesadaran bahwa ALLAH selalu melihat dan mengawasi kita dalam segala keadaan. Bahwa ALLAH selalu mengetahui apa yang kita rasakan, ucapan dan perbuatan.

So’ Ramadhan GALAU should be Cool then 4L41’s

Tidak terasa Ramadhan tiba. Rasanya Ramadhan tahun lalu baru saja berlalu. Masih segar ingatan kala berbuka puasa bersama anak dan istri, menggendong si kecil yang tertidur saat tarawih, atau hiruk pikuk mudik di penghujung Ramadhan.

Mari sejenak palingkan ingatan ke masa kecil. Saat adzan Maghrib bersahutan menandai akhir dari puasa selama Ramadhan, sejenak jalan-jalan sunyi senyap. Orang-orang menyantap hidangan berbuka sekedarnya, kemudian pergi ke surau untuk shalat berjamaah.

Dahulu belumlah banyak masjid. Tempat shalat berjamaah terdekat hanyalah sebuah surau tua. Kala ramadhan tiba, ramai orang kampung berduyun-duyun ke surau. Jamaah Shalat tarawih meluber hinge ke halamannya. Surau penuh sesak dengan laki-laki berbaju koko dan sarung. Sekejap udara terasa harum semerbak dengan ragam minyak wangi. Cahaya temaram dari lampu minyak menambah suasana khusuknya shalat.

Tahun berganti. Banyak hal berubah sejalan dengan usia kita yang semakin dekat dengan kesudahannya. Ramadhan tiba kembali. Menyapa insan metropolitan yang super sibuk. Saat menjelang adzan Maghrib, jalan-jalan di ibukota macet luar biasa. Banyak orang sudah membayangkan keluarga yang sudah menunggunya di rumah. Tidak sedikit yang tak kuasa terlalaikan shalat berjemaah di masjid saat maghrib, isya hingga tarawih tiba.

Ramadhan momen tepat untuk mempererat silaturahmi. Undangan demi undangan datang untuk berbuka puasa bersama, Kadang tak disadari hidangan berbuka yang berlimpah, menggiurkan kita untuk mencicipi semua yang semula hanya ingin melepas lapar dan dahaga secukupnya. Berawal dari rasa “gak enak” bila menghidangkan makanan tanpa kolak dan es buah kemudian terus di tambah hingga berlimpahlah makanan di meja saji. Sehingga bagi sebagian kita, turun berat badan di bulan suci adalah perkara yang sulit. Demikian juga menghindari kemubadziran dari banyaknya makanan sisa yang terbuang, lagi-lagi menjadi perkara sulit.

Ramadhan diwarnai juga dengan tayangan bertemakan religi di seluruh stasiun TV. Gegap gempita kegembiraan menyambut Ramadhan sudah tampak bahkan jauh sebelum bulan suci ini tiba. Sinetron Ramadhan sudah tayang beberapa minggu sebelumnya. Meski sebagian tayangan berhasil mengemas dakwah Islam dalam format yang digemari masyarakat, sebagian lainnya masih mengusung adegan klasik miskin hikmah terlebih akhlak mulia. Entah sampai kapan masyarakat masih nyaman dibuai acara-acara TV yang melalaikan dan senda gurau belaka. Heran. Mengapa banyak stasiun TV begitu kompak menayangkan komedi di saat yang bersamaan. Dibandingkan dengan kajian islam sarat hikmah, tentulah jauh lebih banyak sinetron dan komedi.

Di setiap penghujung Ramadhan , masih segar ingatan betapa sulitnya untuk konsentrasi ibadah. Bagaimana mengkhatamkan tilawah apalagi menyempurnakan qiyamul lail dan itikaf, bila terus dihujani beragam godaan belanja yang menggiurkan. Berbekal uang dan ragam alasan, orang berdesakan di pasar dan mall. Imbasnya, shaf-shaf di masjid semakin maju ke depan.

Namun, di penghujung Ramadhan pula kita menyaksikan dahsyatnya tali silaturahmi masyarakat muslim Indonesia. Mereka rela menghabiskan tabungan mereka setahun untuk sekadar mengunjungi orang tua dan sanak family di berbagai pelosok negeri ini.

Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada kita dan menjadikan Ramadhan kali ini yang terbaik yang pernah kita lalui.

Dalam meng-analisa peristiwa-peristiwa yang dikisahkan di dalam Al Qur’an, terkadang kita dipengaruhi oleh dinamika perkembangan teknologi. Analisis dari seorang executive muda –misalnya-, yang memahami teknologi 3G, mungkin akan sangat berbeda dengan analisa eyang-nya, yang hanya mengerti kentongan, sebagai alat komunikasi.
Hal tersebut, dapat dilihat ketika kita meng-analisa, peristiwa yang diceritakan di dalam QS. Al A’raaf (7) ayat 44 :

“Dan para penghuni surga menyeru penghuni-penghuni neraka, ‘Sungguh, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepada kami itu benar. Apakah kamu telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepadamu itu benar?’ Mereka menjawab, ‘Benar.’ Kemudian penyeru (malaikat) mengumumkan di antara mereka, ‘Laknat Allah bagi orang-orang yang dzalim.’.”

Dalam ayat tersebut dikisahkan adanya percakapan antara penduduk surga dan neraka dengan diawasi malaikat.

Dahulu, para muffasir (penafsir Al Qur’an) menafsirkan penduduk surga datang ke tepi neraka dan saling sahut-sahutan berbicara dengan penghuni neraka. Memang pada masa itu, begitulah cara berkomunikasi. Kita mesti datang langsung menemui yang bersangkutan.

Namun, seiring dengan berkembangnya teknologi, untuk berkomunikasi, seseorang tidak harus bertemu muka dengan lawan bicaranya. Dengan bantuan telephone, seseorang yang berada di OSLO, bisa dengan mudah berbicara dengan temannya, yang ada di SOLO. Bahkan biarpun berjarak mencapai ribuan kilometer, dengan bantuan teknologi 3G, raut muka teman kita, bisa terlihat dengan jelas.

Bagaimana kita membayangkan, peristiwa percakapan penduduk surga dan neraka (?) Jika teknologi komunikasi buatan manusia saja, sudah sedemikian canggihnya, apalagi kalau yang kita membayangkan teknologi surga, tentu kecanggihan-nya jauh di atasnya.

Boleh jadi percakapan yang terjadi antara penduduk surga dan neraka itu, merupakan suatu tele-conference dengan menggunakan teknologi hologram, yang super canggih. Penduduk surga tetap berada di surga, begitu juga dengan penduduk neraka, mereka tetap di neraka.

Mereka berbicara, seolah-olah seperti saling berhadap-hadapan dan tanpa dibatasi layar kaca, dimana penduduk surga, tiada merasakan kepanasan, sebagaimana yang dirasakan penduduk neraka. Mereka bisa saling menyapa dari dua dimensi ruang yang berbeda.

Dari kisah percakapan ini, telah memberikan informasi kepada kita, bahwa kelak di hari akhir, manusia akan berkomunikasi dalam satu bahasa, dan tentunya berbeda dengan di dunia, yang terdapat ribuan bahasa, dalam berkomunikasi.

Dan jika kita pikir, teknologi komunikasi sekarang yang begitu canggihnya, ternyata dalam Al Qur’an sudah dipaparkan sejak ribuan tahun lampau. Mungkin saja nantinya kemajuan teknologi komunikasi akan menemukan hal-hal baru lagi yang dikembangkan dari inspirasi Al Qur’an.