Ramadhan Series; # 3 Yunani
Rindu suara adzan
Saat saya menulis artikel tentang Ramadhan di Yunani ini, saya hanya bisa membandingkan saat bulan puasa di Tanah Air. Luarbiasa secara tidak sadar imajinasi saya malah menyeruak terbang ke kampung halaman, alih-alih akan bercerita mengenai fenomena puasa ramadhan di Athena, saya malah tergerus oleh gelayut pikir yang mengawang-ngawang menghantarkan jasad berpuasa di desa yang penuh kedamaian. Bagaimana setiap menjelang adzan Maghrib, semua orang, dari anak-anak, muda-mudi, serta orangtua bersama keluar rumah, menanti beduk maghrib yang dinanti. Bermain sore di halaman, dengan ragam aktivitas yang tak pernah bosan dilakukan oleh anak-anak kampung. Belum lagi menu makanan untuk berbuka yang semuanya membuat puasa semakin bersemangat. Ada kolak, es buah, goreng-gorengan, dan makanan tradisional lainnya. Tapi, gubrak! Kenapa saya malah bercerita ramadhan di Tanah Air, yang tidak perlu diceritakan. Karena setiap kita yakin, bahwa dimanapun kita berada, Tanah Air adalah tempat dibawah kolong langit yang sangat cocok bagi kita dalam melaksanakan puasa ramadhan.
Baiklah, saya akan bercerita bagaimana seorang muslim bisa bertahan dan istiqomah dalam melaksanakan puasa ramadhan di negeri ini. Negeri para dewa, negeri berlambang Acropolis yang dua tahun terakhir ini selalu mendiskriminasi warga muslim. Bahkan seolah mereka enggan mengakui keberadaan muslim di negaranya yang mayoritas agamanya adalah Gereja Ortodoks Timur. Bertahannya seorang muslim untuk terus berpuasa di sini, benar-benar tergantung pada keimanannya. Berpuasa dimana masyarakat sekitar tidak, suhu yang kini pada puncaknya musim panas, bayangkan suhu udara tahun ini mencapai 43-49 derajat celcius, dan puasa berlangsung sampai 16 jam. Subuh pukul 4 pagi, dan adzan Maghrib pukul 21.00 malam. jika harus di deskripsikan secara detail maka kita harus bangun sekitar pukul 3 pagi, untuk masak dan makan sahur. Dan usai sholat terawih bisa sampai pukul 24.00. Istirahat bisa kita gunakan diantara tengah malam sampai jam 3 pagi menjelang sahur. Bagaimana dengan siang hari, jangan harap kita punya dispensasi pekerjaan atau aktivitas lainnya, karena mereka tidak mau tahu, saat itu kita berpuasa atau tidak.
Begitulah, jika kadar iman kita kokoh, dihadapkan dengan kondisi yang menghimpit keleluasaan puasa seperti diatas sekalipun, insya Allah tidak bernilai sedikit pun. Karena itu, selain WNI yang beragama Islam, ada pula komunitas muslim dari Mesir, Arab Saudi, Bangladesh, dan Pakistan yang sama-sama berpuasa di ramadhan ini. Mereka sama-sama lebih menyatukan rasa di bulan ini, terkadang saling mengundang makan untuk berbuka puasa.
Untuk masalah makanan di bulan ramadhan, favorit saya –dan juga mungkin- sebagian orang Indonesia lainnya saat berbuka adalah dengan Bahlava, semacam manisan roti bercampur kacang dan madu khas yunani, kadang sering ditemukan juga di toko makanan Turki atau makanan Arab. Adapun menu makan ‘besar’nya kami selalu memilih Souvlaki, semacam sate khas Greek, dengan tambahan jeruk mipis, bawang dan tomat, jika Souvlaki itu tidak dimakan bersamaan roti atau kentang, kita –orang Indonesia- selalu saja harus dengan nasi.
Di Athena, suasana Ramadhan biasa saja. Tidak ada perbedaan dengan bulan-bulan lainnya. Kalaupun ada, itu tercipta dari inisiatif komunitas muslim di sini. Me’ramadhan’kan situasi dan kondisi yang ada, mereka juga menjadikan basement yang disewa secara ‘urunan’ sebagai tempat sholat tarawih dan homebase kegiatan ramadhan.
Pun demikian dengan KBRI kita di Athena, untuk menyemarakkan Ramadhan dan menjalin silaturahmi dengan warganya, selalu mengadakan buka bersama setiap hari minggu. Di waktu inilah menjadi semacam aji mumpung, menyantap masakan Indonesia yang penuh cita rasa. Dan berkumpul mengobati rasa rindu kebersamaan keluarga di tanah air.
*Anggota MUTIA, Perwakilan Cordova – Yunani