Ketika sadar bahwa Ramadhan telah melangkah pada sepertiganya, kebanyakan kita mulai terhentak, betapa kita melepaskannya dengan tiada arti. Biasa saja, bahkan cenderung ingin segera berakhir dan berlanjut pada hari-hari yang tiada shaum di siang bolong. Bulan yang –sejatinya- di damba kedatangannya, kini (ketika telah hadir) menjadi bulan biasa yang luput dari makna. Menjalankan aktivitas harian, sahur, puasa dan berbuka. Titik, tiada koma terlebih spasi untuk menambahkan aktivitas yang lebih konsisten seperti pada awal-awal Ramadhan. Padahal jika kita cermati, dalam setiap gerak aktivitas yang kita lakukan di bulan ini, sarat dengan filosopi kehidupan. Tujuan dari puasa agar kita menjadi manusia takwa. Puasa sebagai formula kesehatan tertinggi yang dipilih Allah untuk sebuah kehidupan. Tapi tak sekedar menyangkut kesehatan tubuh, melainkan lebih luas, kesehatan sejarah. Bukankah rusaknya dunia ini karena orang-orang yang tak mau “berpuasa”. Orang-orang yang terus “makan” meskipun sudah “kenyang”. Bahkan dalam sebuah catatan, teman saya mengatakan bahwa puasa memperlihatkan bagaimana dunia menipu manusia: Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Formula yang di desain Dzat Maha Kuasa tentang arti shaum begitu mulia. Tidak sekedar yang –umumnya- kita ketahui. Semua ornamen ibadah vertikal maupun horizontal dikemas dengan begitu indah dalam Ramadhan. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi, dan itu artinya adalah perang secara jantan terhadap sesuatu yang sehari-hari merupakan tujuan dan kebutuhan hidup manusia.

Masih banyak rasanya faidah dan hikmah shaum, yang –mungkin- telah kita serap disetiap kesempatan tausyiah para ustadz tentang bulan suci. Selama sebulan penuh, kita dihadapi beragam pesan religi, saat sahur, menjelang berbuka, saat khutbah tarawih dan setiap celah program-program televisi penuh dengan pesan keagamaan. Semuanya mengajarkan bahwa puasa sebagai mesin pembersih setiap ‘ampas’ yang menggumpal baik dalam diri maupun jiwa.

Apa yang dikemukakan diatas tentang puasa juga merupakan formula ‘kesehatan sejarah’ tentunya telah menjadi pengetahuan kita. Betapa orang yang ‘berpuasa’ lebih mampu menahan segala gejolak hasrat nafsu yang menggenggamnya. Sabda Rasul “Kuluu walaa tusrifuu” (Makan dan janganlah berlebihan) adalah ‘suguhan’ orang yang berpuasa saat berbuka. Hal itu sama seperti ungkapan “hidup dan nikmatilah kehidupan, tetapi jangan lah berlebihan”. Kalimat itu tentunya ada faktor ‘shaum’ untuk menahan atau tidak berlebihan dalam menikmati kehidupan.

Tahukah Anda, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1367 Hijriah (?) Melihat kenyataan ini, bisa kita ketahui bahwa pada bulan puasa pun para pendahulu tetap berjuang, bukan bermalas-malasan. Kemudian Nuzulul Qur’an pun memiliki tanggal yang sama dengan proklamasi kemerdekaan kita, yakni 17 (Ramadhan). Apakah ini hanya kebetulan belaka, sengaja diciptakan, atau ada kekuatan lain yang merencanakannya (?) Wallohu a’lam. Hanya saja, yang pasti terdapat tiga angka 17 (Seventeen) yang menjadi angka sakral bagi bangsa Indonesia, terutama bagi mayoritas penduduknya yang muslim. Yakni 17 Agustus (Proklamasi), 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an), dan 17 Rakaat (shalat). Lantas, apa hubungannya antara 17 Agustus dengan 17 Ramadhan dan 17 Rakaat (?). Di dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Sungguh sebuah pengakuan yang jujur dari para “Founding Father” bangsa kita bahwa Proklamasi 17 Agustus hanya bisa diperoleh dengan berkat dan Rahmat Allah SWT.

Mari kita perhatikan, Jenderal mana yang berani bertaruh, bambu runcing bisa mengalahkan meriam (?) Ahli strategi perang mana yang berani menjamin bahwa tentara dadakan mampu bertempur dan menang melawan tentara musuh (Belanda, Jepang) yang professional (?) Para pejuang kita dahulu, sebagian besar adalah umat Islam, tidak hanya bergerilya keluar masuk hutan membawa bambu runcing dan senjata seadanya, tapi mereka juga menggunakan 17 Rakaat sebagai media untuk memohon kepada Allah SWT agar kemerdekaan ini bisa diraih. Sehingga ketika kemerdekaan dicapai, fakta historis itu dicatat dalam sebuah ungkapan jujur, “Atas berkat rahmat Allah …”.

Demikianlah kita bisa melihat adanya keterkaitan yang jelas antara 17 Rakaat dengan makna 17 Agustus. Lalu apa kaitannya dengan 17 Ramadhan (?) Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan adalah saat diturunkannya Al-quran, yang ayat pertamanya adalah “Iqra” (Bacalah!). Apa yang perlu dibaca (?) Ya benar, Ayat Allah. Baik ayat yang berupa Alam semesta, maupun ayat berupa wahyu Allah, yaitu Al Qur’an.

Dengan firman pertama itu, seolah-olah Allah berkata, “Bacalah alam ini, pelajari, dan budidayakan untuk kemaslahatan kalian semua! Bacalah Al Qur’an sebagai pedoman hidup kalian”. Keduanya harus kita jalankan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hati dan otak. Mengharmoniskan hubungan antara kemajuan intelektual dengan kemantapan akidah. Dari ketiga angka sakral 17 tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa dengan melaksanakan 17 Rakaat kita isi 17 Agustus dengan berpedoman pada petunjuk yang turun di 17 Ramadhan.
(AW)

Beberapa waktu lalu, Team CAT mengungkap 99 fakta Ramadhan di belahan bumi, kali ini -kembali- kita intip beberapa fakta sejarah dan kegemilangan Islam pada bulan suci Ramadhan. Hal ini sekaligus pembuktian bahwa Ramadhan bukan sebuah bulan yang me’legal’kan rasa malas dan lemah. Bahkan sebaliknya, Ramadhan dikategorikan sebagai bulan yang membuat kuat, dan menjadikan kemenangan dalam hal apapun. Tetapi, bukan juga pembuktian bahwa Ramadhan identik dengan perang, substansi yang dibangun dalam kegemilangan itu adalah, betapa kekuatan ruhiyah menjadi sangat fenomenal melebihi kekuatan jasmani. Selain itu, sejarah ingin membuktikan bahwa shaum di bulan Ramadhan, bukan halangan untuk ‘berbuat’ sesuatu. Baik yang bersifat fisik maupun hal lain yang membutuhkan tenaga extra. Baiklah, mari kita simak sejarah singkat rentetan peperangan sekaligus kemenangan yang terjadi pada bulan suci Ramadhan.

1. Perang Badar. Terjadi pada Ramadhan, tahun 2 H. Perang ini merupakan kemenangan pertama yang menentukan kedudukan umat Islam dalam menghadapi kekuatan kemusyrikan dan kebatilan. Terjadi pada pagi Jum’at, 17 Ramadhan 2H di Badar. Kemenangan pasukan Islam di bawah pimpinan Rasulullah SAW dengan 300 pasukan mengalahkan 1000 tentara musyrikin Makkah.

2. Perang Khandaq. Terjadi pada Ramadhan, tahun 5H. Persiapan perang yang dilakukan dengan menggali parit (khandaq) sekeliling kota Madinah. Sebuah strategi yang tidak pernah digunakan sebelumnya oleh bangsa Arab. Hal ini diusulkan oleh Salman Al-Farisyi, umat Islam berhasil memecah belah pasukan musuh dan mendapat kemenangan gemilang.

3. Fathul Makkah (Pembukaan Kota Makkah). Terjadi pada Ramadhan, tahun 8H. Rasulullah SAW keluar dari Madinah pada 10 Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Makkah jatuh ke tangan umat Islam tanpa pertumpahan darah. Penaklukan itu menjadi sejarah yang tak pernah dilupakan dalam perjuangan Islam.

4. Perang Tabuk. Terjadi pada Ramadhan, tahun 9H. Pada tahun 629 M Rasulullah SAW memutuskan untuk melakukan aksi preventif, yakni ekspedisi ke wilayah tabuk yang berbatasan dengan Romawi. Setelah sampai di Tabuk, umat Islam tidak menemukan pasukan Bizantium ataupun sekutunya, alias mereka (pasukan Romawi) lempar kain putih atau menyerah.

5. Ekspedisi Yaman. Terjadi pada Ramadhan, tahun 10H. Rasulullah SAW mengutus pasukan dibawah pimpinan Ali bin Abi Thalib ke Yaman dengan membawa surat Nabi. Satu suku yang berpengaruh di Yaman langsung menerima Islam dan masuk Islam pada hari itu juga. Kemudian mereka sholat berjemaah bersama Ali Ra. di hari yang sama.

6. Pembebasan Spanyol. Terjadi pada Ramadhan 92H. Panglima tentara Islam, Tariq bin Ziyad memimpin 12.000 tentara Islam berhadapan dengan tentara Spanyol berjumlah 90.000 yang dipimpin oleh raja Frederick. Pada peperangan ini, untuk menambah semangat pasukannya, Tariq membakar kapal-kapal perang mereka sebelum bertempur dengan tentara Raja Frederick. Beliau berkata: “Sesungguhnya, surga Allah terbentang luas dihadapan kita, dan dibelakang kita terbentangnya laut. Kalian semua hanya ada dua pilihan, apakah mati tenggelam, atau mati syahid!”

7. Pembebasan Palestina. Terjadi pada Ramadhan 584H. Panglima tentara Islam, Salahuddin Al-Ayyubi mendapat kemenangan besar atas tentara Salib. Tentara Islam menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai tentara Salib. Ketika bulan Ramadhan, penasihat-penasihat Salahuddin menyarankan agar dia istirahat karena risau ajalnya tiba. Tetapi Salahuddin menjawab: “Umur itu pendek dan ajal itu senantiasa mengancam”. Kemudian tentara Islam yang dipimpinnya terus berperang dan berjaya merampas benteng Shafad yang kuat. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan.

8. Perang Ain Jalut. Terjadi pada Ramadhan 658H. Saat tentara Tartar memasuki Baghdad, mereka membunuh 1,8 juta kaum Muslimin. Musibah ini disambut oleh Saifudin Qutuz, pemerintah Mesir ketika itu dengan mengumpulkan semua kekuatan kaum Muslim untuk menghancurkan tentara Tartar dan bertemu dengan mereka pada Jum’at, 6 September 1260 M di Ain Jalut. Peperangan ini turut disertai oleh isteri Sultan Saifudin Qutuz, Jullanar yang akhirnya syahid di Medan pertempuran. Perang ini kemudian dimenangkan oleh pasukan Islam dengan gemilang.

9. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan 1364 H. Hari itu pukul 10.00 WIB di rumah kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat, Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan pengibaran bendera (Sangsaka) Merah Putih yang menandakan merdekanya bangsa Indonesia setelah hampir 350 tahun dijajah oleh bangsa asing.

Masih banyak tentunya kejayaan Islam di bulan Ramadhan. Bulan yang mengajarkan umat Islam tentang hakikat sebuah kemenangan. Laiknya suatu kemenangan yang dinanti bagi umat Islam yang berpuasa, berjuang dan menanti suatu kemenangan di hari-hari terakhir Ramadhan. Akankah perjuangan ini berdarah-darah, atau selamat dengan panji kemenangan yang luar biasa.

Ramadhan kian dekat. Semoga Allah memberi kesempatan usia kita untuk sampai kepadanya. Alhamdulillah, setiap kali bulan suci datang, gairah keimanan umat Islam umumnya mengalami kenaikan. Masjid ramai didatangi. Perlengkapan ibadah laris terjual. Toko buku kebanjiran pengunjung. Banyak diantara Umat Islam mendadak jadi kutu buku. Sebuah gejala positif yang semestinya terjadi sepanjang tahun. Perintah Allah SWT kepada kita untuk menimba ilmu sedemikian jelasnya melalui firman-Nya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq :1-5). Banyak diantara kita telah berkali kali mendengar atau membacanya dalam shalat, ceramah, atau berbagai tulisan. Namun pada kenyataannya minat baca kita masih tertinggal jauh dibanding masyarakat di negara-negara maju. Kiranya perlu gerakan yang dahsyat untuk mengejar keterbelakangan itu. Salah satunya dengan memanfaatkan momen Ramadhan untuk meningkatkan iman, ilmu dan keshalehan sosial. Keterbelakangan kita dalam minat baca sebenarnya lebih tepat disebut kemunduran. Karena pada era sahabat, para salafus shaleh dan zaman keemasan kita di Cordova dan Baghdad, umat Islam sedemikian gandrungnya dengan ilmu pengetahuan.

Dalam buku Gila Baca ala Ulama karya Ali bin Muhammad Al-Imran (terbitan Pustaka Arafah), Ibnul Qayyim Al Jauziah menuturkan, seorang alim, Abul Barakat yang saking mesranya dengan buku, ia memintakan dibacakan buku dengan bacaan yang keras agar dia bisa mendengar apabila ia hendak masuk toilet untuk buang hajat. Ibnul Qayyim Al Jauziah sendiri telah membaca lebih dari 200.000 jilid buku semasa hidupnya. Gurunya, Ibnu Taimiyyah bersikukuh untuk tetap membaca buku meski sedang sakit. Bahkan membaca buku dianggap sebagai penawar sakitnya. Beliau tidak pernah berhenti mengkaji dan menyusun kitab sepanjang hidupnya.

Di era informasi, tidaklah istimewa bila orang bepergian membawa buku untuk dibaca selama perjalanan. Dengan format digital, buku yang beribu-ribu lembar cukup dikemas dalam sebuah tablet pc. Bayangkan di zaman para ulama terdahulu, dimana seorang ulama membawa serta buku-bukunya hingga satu tenda. Ada juga yang memanggul sendiri buku-bukunya setiap kali safar.

Minat baca kita bisa diukur salah satunya dengan seberapa besar uang yang kita habiskan untuk belanja buku. Abul Alla’ Al Hamadzani sampai harus menjual rumahnya untuk memenuhi hasrat memburu buku. Rumah senilai 500 dinar bila dikonversikan di masa kini sekitar Rp 726 juta lebih. Wajarlah bila ia bermimpi masuk surga bersama bukunya. Bagaimana dengan kita (?)

Sebagaimana seorang pemain bola yang saking terobsesinya dengan bola, sampai tidurpun dengan bola, Hasan Al lu’luani tak pernah menghabiskan waktu tidurnya tanpa sebuah buku yang tergeletak di atas dadanya. Kegemaran terhadap buku-buku terus berlanjut hingga masa kejayaan Islam di Baghdad dimana perpustakaannya menampung 400 hingga 500 ribu jilid buku. Dunia menangis saat perpustakaan tersebut dihancurkan oleh tentara Mongol. Buku-bukunya di bakar dan dibuang ke Sungai Tigris. Kemudian di era berikutnya, penghapusan bahasa arab di beberapa negara muslim, membuat umat Ini semakin jauh dari ketinggian peradaban nenek moyang mereka dan Islam tentunya. Justru negara-negara barat yang bukan dimotivasi oleh cahaya Tauhid, kian melesat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penyebaran buku-bukunya.

Jadi kapan kita merubah dunia (?) Rubah dulu diri dan keluarga kita dan mulailah kampanyekan gerakan baca buku dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Momen Ramadhan ini adalah kesempatan emas kita.

Ramadhan adalah sebuah bulan yang sangat erat dengan telinga setiap muslim, bahkan semenjak kecil kita telah dikenalkan dengan Ramadhan, kita semua tahu bahwa Ramadhan adalah bulan puasa, namun –rasanya- jarang kita mengerti apa arti Ramadhan dan makna yang terkandung dari kata “Ramadhan” itu sendiri. Ramadhan secara bahasa berarti: Membakar, amat panas. Penyebutan bulan Ramadhan -bulan ke-9 pada kalender Hijriah- sesuai dengan kondisi pada bulan tersebut.” yakni panas membara. Kita patut bangga menyaksikan semangat beribadah yang timbul saat bulan Ramadhan tiba, namun dalam kebanggaan itu, ada celah yang membuat kita bersedih. Karena jika ditelusuri, fenomena yang ada adalah seakan-akan masyarakat kita ‘menyembah’ Ramadhan, dan bukan menyembah Tuhannya Ramadhan, kalau memang kita menyembah Tuhannya Ramadhan, maka tentu nilai ramadhan selalu tampak dalam ke-sebelas bulan lainnya. Efek dan kestabilan nilai itulah yang sejatinya para sahabat selalu ingin setiap bulan itu bernilai Ramadhan. Whatever (karena kita berada di masyarakat majemuk ini) -paling tidak- kita masih bangga bahwa di bulan ini banyak yang menjadikan sebagai bulan tobat massal. Terlepas apa selanjutnya yang akan mereka lakukan setelah itu, karena tokh yang bisa merubah keteguhan hati itu hanya Allah SWT. Hanya pada saat Ramadhan itulah sebagai harapan besar untuk merubah segala tingkah di bulan-bulan lainnya.

Para ulama mengartikan ‘Ramadhan’ sebagai sebuah kata yang terbentuk dari lima huruf, dan setiap hurufnya memiliki makna tertentu yaitu : “Ra”: Rahmat (rahmat Allah), Mim: Maghfirah (ampunan Allah), Dhod: Dhommanun li al jannah (jaminan untuk menggapai surga), Alif: Amaanun min an nar (terhindar dari neraka) Nun: Nurullahi al Azizi al Hakim al Ghofuuri ar Rahiim (cahaya dari Allah SWT yang maha kuasa dan bijaksana, maha pengampun dan pengasih).

Saat kita telaah makna yang terkandung dalam kata ramadhan tersebut kita akan semakin meyakini bahwa datangnya bulan Ramadhan adalah membawa sebuah keberkahan dari Allah SWT untuk kita sebagai hamba-Nya. Hal ini sesuai sabda Nabi “Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, pada bulan tersebut engkau diwajibkan berpuasa dan dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka dan syaithan-syaithan di belenggu, dalam bulan tersebut ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barang siapa yang tidak mampu mendapatkan kebaikan bulan Ramadhan tersebut maka haramlah baginya surga. (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan Baihaqi).

Dari hadits di atas terdapat kaitan yang sangat erat dengan bulan Ramadhan itu sendiri, Rahmat dan Magfirah adalah dua sisi yang sangat erat bagaikan dua sisi pada uang logam yang tak terpisahkan, disaat Allah SWT menurunkan rahmat-Nya maka Maghfirah-Nya pun turun mengiringi, demikian juga sebaliknya. Ketika rahmat Allah SWT yang diiringi oleh maghfirah-Nya ini telah mengalir, maka jaminan mendapatkan surga dan terhindar dari neraka telah menanti.

Sejatinya menyambut Ramadhan tidak hanya ditampakkan dengan material saja, tetapi semua hati, raga dan apapun yang meliputinya bersatu menanti kehangatan Ramadhan. berseri dari hati, bersuka dari jiwa. Semuanya bersatu menyambut bulan suci-Nya. Ahlan wa Sahlan Yaa Sayyidus Suhur! We Love Ramadhan

Baitul Maqdis

Baitul Maqdis merupakan kebanggaan dan kota suci umat Islam. Allah SWT Memberkahi tempat ini dan lingkungan sekelilingnya untuk seluruh alam sebagai negeri para Nabi sekaligus tempat turunnya malaikat suci. Keberadaan Baitul Maqdis senantiasa menyatu dengan sejarah dunia Islam. Di tempat inilah berdiri Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat muslim dan masjid kedua yang didirikan di bumi setelah Masjidil Haram. Peristiwa Mi’raj Rasulullah SAW dari Baitul Maqdis ke Sidratul Muntaha hingga ke langit ke tujuh sekaligus menjadi bukti kesempurnaan Kuasa dan Kesucian-Nya. Dahulu orang mengenal kota ini dengan nama Al-Quds, namun sejak pertama kali Islam berkuasa dinamakan Baitul Maqdis. Kota ini terletak di Palestina, dan negeri-negeri di sekitarnya adalah negeri Syam, yakni Suriah, Yordania, Lebanon termasuk Palestina. Di negeri yang aman dan mulia ini, Allah SWT mengutus begitu banyak nabi dan rasul. Ke negeri ini pula Allah SWT menyelamatkan banyak nabi dan rasul dari azab pedih yang ditimpakan kepada kaumnya, termasuk kaum Nabi Luth As.

Beberapa bangunan dan benda bersejarah yang terdapat di dalamnya menjadikan tempat ini diakui umat lain. Sebut saja Al-Shakhra, batu tambatan Buraq dan tempat berpijaknya Rasulullah SAW ketika akan naik ke langit (Sidratul Muntaha), Masjid Kubah Batu (Dome of the Rock), masjid kuning yang dibangun oleh Khalifah Umar bin Khattab, serta peninggalan bangunan istana Nabi Sulaiman As. Ayat Al-Qur’an tentang Baitul Maqdis dan keberkahan negeri-negeri sekelilingnya terdapat pada Surat Al-Isra. “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. 17 ayat 1).

Ashabul Kahfi

Gua Ashabul Kahfi

Ashabul Kahfi adalah kisah sejumlah pemuda yang beriman kepada Allah SWT. Bersama mereka, ikut pula seekor anjing. Tertidur dalam gua selama ratusan tahun, para pemuda Ashabul Kahfi pun selamat dari kekejaman Diqyanus, Raja Romawi pemuja berhala. Demi menyelamatkan akidahnya, para pemuda Kahfi meninggalkan negerinya. Dengan rahmat dan perlindungan Allah SWT mereka tertidur selama 309 tahun dalam gua. Tanpa mereka sadari, badan mereka dibolak-balikkan ke kanan dan ke kiri, serta telinga ditutup sampai tidak terbangun oleh suara apapun, sedangkan anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua. Ketika terbangun, wajah kota telah berubah dan uang perak mereka sudah tidak berlaku. Sehingga membuat mereka sadar bahwa mereka tertidur bukan sehari atau setengah hari, melainkan ratusan tahun.

Hingga kini jumlah mereka masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan tiga orang dan yang ke-empatnya adalah anjingnya, ada juga yang mengatakan tujuh orang, dan yang ke-delapan adalah anjingnya. Sesungguhnya hanya Allah SWT yang mengetahui jumlah mereka secara pasti.

Kisah Ashabul Kahfi memberikan inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam teori hibernasi, yaitu kondisi ketidakaktifan dan penurunan metabolisme pada tubuh, serupa dengan kondisi tidur. Para pemuda Kahfi yang tertidur selama ratusan tahun tetap bertahan hidup tanpa makan dan minum serta tidak mengalami kerusakan pada tulang dan otot. Padahal kerusakan dan hancurnya otot tidak terhindarkan pada orang-orang yang kelaparan sehingga dapat menyebabkan kematian. Kini teori hibernasi lebih dikembangkan bagi para astronot dan para penderita kerusakan sel tulang.

Dunia Islam

LOS ANGELES – Jangan bayangkan dia mengenakan gamis, memelihara cambang panjang, dan berkopiah. Alih-alih berpidato dengan suara lantang mengkritik mereka yang tak berperilaku Islami, imam tinggi berambut pirang ini memulai khotbahnya dengan menceritakan kemenangan klub basket Los Angeles Lakers malam sebelumnya, disambung keterlibatan gengnya saat remaja, sebuah opera sabun TV, baru diakhiri dengan cerita tentang Hari Kiamat. Suhaib Webb, nama imam itu, juga tak canggung menggunakan bahasa gaul anak muda Amerika. Saat ia memergoki seorang jamaahnya mengantuk di belakang, secara berkelakar dia berbisik di mikrofon, “Tenang…tidak ada lembur malam ini, Bro.” Beginilah khotbah khas gaya Webb, ulama muda karismatik kelahiran Oklahoma yang masuk Islam beberapa tahun lalu. Jamaahnya berkembang di kalangan Muslim Amerika, terutama kaum muda. Ceramahnya bertabur referensi budaya pop, sebanyak dia menyitir ayat Alquran atau Hadis. Untuk gayanya ini, ia punya alasan. “Jamaah saya umumnya adalah mualaf atau generasi muda yang lahir dan besar di AS. Apakah kita akan mencapai mereka dengan pesan Arab atau dengan pesan Pakistan (?) Bukankah akan lebih mudah menjangkau mereka dengan pesan gaya Amerika bukan (?)” katanya balik bertanya.

Webb, 38 tahun, berasal dari Santa Clara, California. Dia adalah seorang sarjana dan pendidik. Aktif di LSM nirlaba American Muslim Society, ia kini juga menjangkau jamaah yang lebih luas melalui dakwah online di situs pribadinya, Masjid Virtual. Webb disebut Los Angeles Times sebagai salah satu tokoh muda yang berada di garis depan gerakan untuk menciptakan ‘Islam gaya Amerika’; sejalan dengan Alquran dan sunah tapi juga mencerminkan adat dan budaya Amerika. Dikenal dengan gaya santai, ia telah membantu mempromosikan ide bahwa Islam terbuka untuk sebuah interpretasi Amerika modern. Kadang-kadang, pendekatannya dianggap kalangan garis keras sebagai ‘tampaknya hampir asusila’.

Dalam konferensi Muslim di Long Beach, California, tahun lalu, ia menyarankan bahwa masjid juga merangkul kalangan gay. Setelah itu, ia didatangi oleh seorang imam lokal yang menuduh dia “racun”. “Saya katakan kepadanya, ‘Terus terang, Anda akan menjadi tidak relevan dalam 10 tahun,'” kata Webb. Dia fasih dalam bahasa Arab, Quran, dan belajar selama enam tahun di salah satu lembaga terkemuka di dunia Islam, Al-Azhar University di Mesir. Di sanalah ia menyadari, tak semua gaya pendekatan ala Timur Tengah cocok diterapkan di masyarakatnya. “Contohnya saja, berkhotbah dengan lebih banyak menggunakan bahasa Arab, tidak mampu berkomunikasi dengan jemaat non-Arab, dan tidak terhubung dengan mudah dengan anak muda,” katanya.

Muslim AS, katanya, berharap para pemimpin agama mereka memainkan peran yang lebih luas, lebih pastoral, kata Hossam Aljabri, direktur eksekutif Masyarakat Muslim Amerika, sebuah kelompok keagamaan dan pendidikan nasional. “Masyarakat menginginkan imam yang bisa datang dan pergi di luar memimpin doa dan membaca Quran. Mereka ingin para imam mengisi peranan sosial konseling dan berurusan dengan tetangga.” Webb mengamini. Prinsip dasar iman tidak akan berubah, katanya, tapi banyak hukum yang dapat ditafsirkan secara berbeda dalam berbagai komunitas. Tidak seperti beberapa imam, ia tidak keberatan dengan musik dan berkeyakinan Muslim juga boleh merayakan hari libur nasional seperti Hari Ibu dan Thanksgiving.

Namun, mengingat keragaman etnis Muslim AS, menemukan sebuah konsensus untuk Islam Amerika tunggal sangat sulit. Beberapa mendukung reformasi, lainnya menentang perubahan. Lepas dari itu semua, Webb diterima banyak kalangan, baik dalam Islam maupun di luar Islam. “Dia imam yang paling gampang didekati di AS,” kata Nour Mattar, pendiri stasiun radio Muslim pertama di AS. “Dan dia tidak membosankan untuk didengarkan ceramahnya.”

(Sumber: republika.co.id)

Seri Nubuwah: 04

Khadijah pergi menjumpai saudara sepupunya, Waraqah bin Naufal. Waraqah adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Injil dan sudah pula menerjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Khadijah menuturkan apa yang dilihat dan didengar Muhammad. Waraqah menekur sebentar, kemudian berkata, “Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Khadijah, percayalah! Dia telah menerima Namus Besar seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah!” Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terlihat sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya: “Hai orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmu pun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu.” (QS Al-Muddatstsir: 17).

Seri Nubuwah: 03

Dari pernikahannya dengan Khadijah, ia memperoleh beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan. Kematian kedua anaknya, Al-Qasim dan Abdullah menimbulkan kedukaan yang begitu dalam. Anak-anaknya yang masih hidup semua perempuan. Muhammad yang telah mendapat karunia Allah SWT dalam perkawinannya dengan Khadijah, berada dalam kedudukan tinggi dan harta yang cukup. Seluruh penduduk Makkah memandangnya dengan rasa kagum dan hormat. Bicaranya sedikit, ia lebih banyak mendengarkan. Bila bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguh pun demikian, ia tidak melupakan ikut membuat humor dan bersenda-gurau. Tapi yang dikatakannya itu selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah sampai tampak kemarahannya, hanya antara kedua keningnya tampak sedikit berkeringat. Ia bijaksana, murah hati dan mudah bergaul. Tapi ia juga berkemauan keras, tegas dan tak pernah ragu-ragu dalam mencapai tujuannya.

Sejak kapan Israel Merdeka (?) Kapan ia terjajah di Bumi Palestina (?)

Sub judul diatas sengaja saya tempatkan diawal artikel ini, selain untuk memberikan stimulus, juga agar mindset kita tidak terjebak dengan apa yang dirayakan oleh mereka tentang hari kemerdekaan Israel Raya. Tulisan ini juga bukan untuk mengingatkan ‘HUT’ Israel yang ke-63, tetapi sedikit urun rembuk agar semua mata ‘melek’ bahwa siapa yang menjajah dan terjajah lebih jelas terdeskripsikan. Sehingga penilaian dan pemahaman tentang klaim negara Israel Raya tidak ahistory. Hari Kemerdekaan atau Independence Day selalu dimaknai setelah meraih kemenangan dari jajahan atau ketakberdayaan. Lalu bagaimana bisa dikatakan merdeka, jika yang terjadi justru merekalah yang mencaplok, menjajah, membunuh dan mengusir jutaan pribumi dengan dalil Al-kitab bahwa bangsa Yahudi lah yang pantas hidup di bumi Palestina. Baiklah, untuk lebih jelas mari kita telusuri sejarah singkat kenapa tanah Palestina ini menjadi sengketa sepanjang masa. Tafsir Al-Quran menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim As. atau yang mereka sebut Abraham, diperkirakan tinggal di daerah Palestina yang dikenal saat ini sebagai Al-Khalil (Hebron), tinggal di sana bersama Nabi Luth (QS. 21:69-71). Putra nabi Ibrahim adalah nabi Ismail dan nabi Ishak, kemudian putra nabi Ishak adalah nabi Yakub As. keturunan nabi Yakub dari 12 putranya inilah yang kemudian dikenal sebagai suku Israel.