Saat lebaran kemarin, -tentunya- banyak cerita dari setiap kita. Kisah yang menggambarkan bagaimana ritual kemenangan itu berlaku pada setiap orang yang merayakannya. Bahkan dikampung saya, non-muslim pun ikut merayakan dengan mengunjungi setiap rumah untuk sekedar ‘salaman’ dan membagi-bagi parcel. Pada hari itu, semua saudara dan kerabat saling berbagi rasa, saling membawa makanan, tidak jarang juga diantara kita saling membagi amplop untuk anak-anak kecil yang ceria menanti pembagian ‘ampau’ atau sering diistilahkan dengan uang ‘THR’. Berapa lembaran uang baru kerap diburu mereka, dikumpulkan dan dijajakan untuk membeli mainan ala lebaran. Tidak jarang juga yang di-stor-kan pada orang tuanya, sehingga setiap ada yang membagi, si anak langsung memberikan uang itu pada ibunya. Kontan dengan perasaan sedikit malu, si ibu ‘menampung’ uang ‘THR’ anak. Semakin banyak anak, semakin banyak ‘ampau’ gurau ku melihat sekelumit fenomena lebaran setiap tahunnya. Dunia anak memang tidak bisa disamakan dengan kita, terlebih dipaksakan untuk memahami makna Iedul Fitri, sebagai momentum pensucian diri, yang mereka tahu, setiap lebaran banyak makanan, banyak saudara, dan juga banyak uang. Pengertian mereka terhadap lebaran iedul fitri, lambat laun akan berubah setelah mereka beranjak dewasa.

Melihat ‘ritual’ pembagian uang lembaran baru di setiap hari raya, membuat saya ingin mencoba melakukan simulasi ringan mengenai pengenalan diri tepat pada momentum hari suci. Sengaja saya mendatangi anak-anak yang sedang berkumpul usai pembagian ‘amplop’ dari saudara-saudaranya. “Siapa diantara kalian yang mau uang Rp. 100.000!” ujarku sedikit berteriak, kontan semua anak berhenti dari aktifitasnya, yang mayoritasnya sedang menghitung uang pecahan mulai dari Rp. 1000, Rp. 5000, Rp. 10.000 dan Rp. 20.000. dan memasukkannya ke dompet mungil yang sengaja dibelikan ibunya menjelang hari raya. Mendengar tawaran saya, serempak mereka mengacungkan tangan sambil bergaya manis penuh senyum dan harap. Sebelum saya kasihkan uang itu kepada yang beruntung diantara mereka, uang seratus ribu berwarna merah dengan masih baru dan rapi itu saya remas-remas hingga lusuh, sekian detik saya meremasnya hingga benar-benar tak tampak uang baru dari Bank. Kemudian saya kembali bertanya, siapa yang masih mau dengan uang lusuh ini (?) Anak-anak itu tetap bersemangat mengacungkan tangan.

Setelah itu, saya tidak langsung memberikan uang itu. Saya kembali menawarkan siapa yang mau uang ‘merah’ lusuh itu setelah saya injak dan masukkan kedalam tanah yang berlumpur hingga kotor. Namun tetap saja, anak-anak itu mengacungkan jari mereka. Seakan tidak perduli dengan uang yang sudah kotor, berlumpur dan ‘berubah’ warna. Berebut ingin mendapatkan uang yang sudah kotor itu.

Rasanya, dari simulasi ringan itu, kita memiliki pelajaran berharga tentang bagaimana kita mengenal diri kita. Bagaimana sesuatu yang bernilai itu tidak bisa mudah terkurangi hanya karena bentuk fisiknya yang lusuh dan kotor. Uang merah yang kotor itu tetap berharga Rp. 100.000. pun demikian dalam aktivitas hidup kita sehari-hari, sering kita merasa lusuh, kotor, tertekan, terinjak, tidak berarti dan merasa rapuh ketika dihadapi masalah. Kita seringkali merasa tak berguna, tak berharga di mata orang lain, diacuhkan dan kadang tak dipedulikan. Namun sesungguhnya yang terjadi adalah bahwa kita tak akan pernah kehilangan nilai di mata Allah SWT. Bagi-Nya, lusuh, kotor, tertekan, ternoda, selalu ada saat untuk ampunan dan maaf. Kita tetap tak ternilai di mata Allah SWT.

Nilai dari diri kita, tidak timbul dari apa yang kita sandang, atau dari apa yang kita dapat. Semuanya berada dalam jiwa, jika nilai jiwa kita sangat berharga, meski raga dalam kondisi lusuh dan kotor, kita tetap sebagai manusia yang tak bernilai, yang diperebutkan oleh manusia lainnya.

Laiknya stasiun suci, Allah SWT memberikan ruang waktu agar hamba-Nya senantiasa menjaga keteguhan jiwa dalam merangkai nurani yang suci. Tetap dalam dekapan ilahi, dan selalu terjangkau oleh sentuhan ukhrawi. Setelah melewati sebuah kemenangan hakiki yang terlahir kembali dengan kemulian hari Idul Fitri, kita melaju pada gerbang yang juga menghadapi ‘stasiun suci’ selanjutnya. Anugrah yang Allah berikan berupa ‘spase’ waktu untuk ‘bersuci’ antara Ramadhan dengan hari Arafah adalah ketetapan yang teramat indah sebagai umat Khatamul Anbiya Muhammad SAW. Keep The Faith, menjaga iman kita agar senantiasa bersemi hingga ‘panggilan’ terakhir (kematian) adalah goal setting Islam dalam mengatur kehidupan manusia muslim. Terlebih bagi semua calon tamu Allah, memasuki bulan Syawal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah adalah gerbang menuju pelataran suci yang akan meraih kemabruran hakiki. Seperti yang sering tertuang dalam artikel-artikel islami, bahwa untuk mendapatkan haji yang mabrur dibutuhkan proses ‘pensucian’ diri semenjak dini, tidak instan dan mudah diraih hanya membaca buku dan keterangan tentang pelaksanaan manasik haji. Momentum ‘Kemenangan’ Iedul Fitri lah yang rasanya sangat dominan dalam menjaga keimanan agar terus bersemi.

Bagi muslim yang belum berkesempatan menuju Baitullah, maka Islam memberikan juga kesempatan yang teramat indah untuk mendapatkan kemulian di Sisi-Nya, yakni berupa shaum Arafah disaat jemaah haji berada di Arafah untuk wukuf (9 Dzulhijjah). Di bulan haji terdapat amalan, doa dan munajat yang bila diamalkan akan memperoleh keutamaan yang sangat agung. Amalan-amalan tersebut tidak hanya dikhususkan bagi mereka yang sedang melakukan haji di tanah suci. Tetapi juga bagi kita yang tidak sedang melakukan haji.

Jika kita belum melaksanakan ibadah haji, maka mendawamkan dalam setiap doa untuk selalu berharap bisa melakukan haji. Karena dengannya, harapan kita kepada Allah agar diberi kesempatan, keluasan rizki dan kemudahan untuk melaksanakan haji semakin terlatih dalam setiap pengharapan.

Kembali pada tema diatas, benar bahwa menjaga lebih sulit dari memulai. Pun demikian dengan menjaga sebuah ‘Faith’, rintangan dan halangannya kerap membatasi setiap langkah kita. Bagaimana mengendalikan nafsu, menjadi kepiawaian yang sulit saat sendi dan rongga darah kita selalu dimasuki setan sang penjegal keimanan. Bagaimana menjaga konsistensi iman yang terus berkobar adalah perjuangan niat yang harus konsisten dalam setiap langkah. Namun, atas Kerahiman-Nya, Allah SWT memberikan peluang waktu sebagai ‘stasiun suci’ untuk melakukan pembenahan diri, stasiun suci itu terletak pada dua hari raya umat Islam selain hari Jum’at.

Tujuan akhir kita adalah panggilan terakhir. Karena panggilan terakhir itu tidak bisa di prediksi waktunya, maka hanya dengan ‘Keep the Faith’ lah kebahagian abadi kan diraih. Sejatinya, hari kemenangan Iedul Fitri dan menjelang yaumul Arafah menjadi momentum yang sangat berharga untuk ‘mengkampanyekan’ Keep The Faith dalam perjalanan hidup kita.

Setiap orang memiliki potensi berbuat dosa, namun juga memiliki jalan keluar dari belenggu dosa tersebut. Tiada manusia yang suci dari dosa. Semuanya pernah melakukannya, tetapi sebaik-baiknya pendosa adalah yang bertobat. Terlebih pada kondisi saat ini, ketika hitam dan putih sudah sulit lagi untuk dibedakan, warnanya menjadi bias, sulit kembali memberi warna yang jelas. Seringkali kebenaran harus dipecundangi oleh setumpuk materi, sehingga sulit atau bahkan tidak mungkin kita menemukan orang yang tidak pernah sedikitpun melakukan dosa walau hanya satu hari, bahkan ketika kita merasa tidak pernah berbuat dosa seharian pun, justru itulah dosa kita. Merasa suci dari sebutir dosa. Jika kelak manusia berlabuh di Surga-Nya Allah, bukan semata-mata karena nilai pahala-nya lebih besar dari tumpukan dosa, tetapi sungguh itu adalah Karunia Terbesar-Nya. Sebab jika saja diperhitungkan antara kenikmatan yang diraih dengan kebaikan yang kita kerjakan, rasanya tidak akan pernah bisa menyamai keduanya. Tetap, manusialah industri dosa terbesar setelah iblis. Ibarat gelas berisi air bening, sedikit demi sedikit dosa akan memberikan noktah hitam dalam gelas itu. Maka jiwa manusia pun akan terus berada dalam kekeruhan. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya apabila seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka dalam hatinya akan ada noda hitam, apabila ia berhenti dari dosa itu lalu beristigfar dan bertobat, maka hatinya akan bersih kembali.” (HR. Tirmidzi).

Sebelum kita bicara mengenai escape dari dosa, rasanya kita harus tahu bibit dosa yang membuat gumpalan yang menjaring dosa-dosa selanjutnya. Karenanya jika kita telusuri sejarah Islam dan keterangan lainnya, ternyata ada tiga metafor dari bibit-bibit dosa. Karena dari hal itu, ia akan berubah menjadi penghancur manusia secara massal, dunia dan akhirat. Dosa pertama yang akan menjadi metafor, atau cikal bakal berkembangnya dosa adalah rasialisme atau sombong. Yakni, ketika iblis membangkang dan tidak mau menjalankan perintah Allah untuk mengakui ‘Superioritas’ Nabi Adam dengan cara simbolik, bersujud kepadanya. Alasannya, iblis merasa lebih tinggi karena diciptakan dari api, enggan bersujud kepada Adam yang hanya diciptakan dari tanah. Itulah yang merupakan dosa pertama makhluk. Kesombongan karena rasialis adalah perasaan secara apriori lebih tinggi dari orang lain hanya karena asal-usul.

Kedua, dosa yang dicerminkan dalam pelanggaran nabi Adam terhadap larangan Allah untuk mendekati sebuah pohon dan memakan buahnya. Hal itulah yang membuat Nabi Adam dan Siti Hawa terusir dari surga. Yah, itulah dosa ketamakan. dosa keinginan memiliki sesuatu yang bukan menjadi haknya. Dosa yang akan menjadi bibit penumbuh dosa lainnya. Sebuah aktivitas yang juga sering terjadi dalam sebuah perebutan kepentingan. Jika bukan karena perut dan nafsu yang tamak, maka tidak akan terjadi lingkaran dosa yang terus bertambah. Namun –sejatinya- bukan berarti kita menyalahkan Adam As. kita berada di muka Bumi, tetapi karena Adam manusia lah yang menjadikan menandakan bukan makhluk kebal dosa. Juga –boleh jadi- mulainya ‘skenario’ Allah SWT dalam memberikan peranan setiap makhluk untuk melakoni perjalanan hidup.

Ketiga adalah dosa hasad atau dengki. Yakni dosa yang pertama dilakukan oleh anak Adam As (Kabil terhadap Habil). Betapa besarnya peranan dengki dalam perkembangan dosa, maka Allah SWT memberikan porsi pokok dalam pembahasan masalah dengki ini dalam dua ayat terakhir pada surat Al-Falaq. Di dalamnya ada permohonan berlindung dari kepada Allah dari kejahatan orang yang iri dan dengki. Berbahayanya kejahatan dengki karena dengki adalah kejahatan sepihak, yang sulit terdeteksi siapa yang melakukannya. Kedengkian adalah kejahatan yang luar biasa, sehingga Rasulullah SAW bersabda, “Kamu harus hindari dengki, sebab dengki itu memakan seluruh kebaikan kita sebagaimana api memakan kayu bakar yang kering.

Setelah kita tahu 3 bibit dosa yang akan melebar menjadi ‘pemusnah’ massal, maka “Escape” dari lingkaran dosa itu adalah mengaku akan dosa dan mengecilkan jiwa serta meng-Agungkan Allah SWT (Taubatan Nashuha), seperti yang dilakukan Nabiyullah Adam As bersama istrinya, Siti Hawa. Inti dari escape-nya adalah mengakui dan meninggalkan kesalahan yang dilakukan.

Yaa Allah Sungguh kami telah mendzolimi diri kami sendiri, Jika Engkau tidak mengampuni kami, Sungguh pastilah kami termasuk golongan orang yang merugi”.

Rasanya, di era internet ini semua orang tahu dan mengenal apa itu chatting. Tua-muda, pria-wanita, semua sudah sangat paham dan –mungkin- juga sering melakukan aktivitas chatting. Baik melalui komputer, atau perangkat komunikasi mobile lainnya. Lazimnya orang yang sedang chatting, ia akan sangat fokus terhadap lawan chat-nya. Tidak terpengaruh dengan kondisi disekitarnya, bahkan bila materi yang dichattingkan-nya menarik, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Yah, chatting bisa membuat imaginasi kita berputar diantara realitas yang terjadi. Ada harap, ada cemas dan bahkan curahan hati. Tiada jarak yang memisah, meski jarak terpisah lautan, seolah ia berada sangat dekat dihadapannya. Uniknya ‘obrolan’ chatting hanya banyak dilakukan oleh kegiatan jemari yang menekan keyboard dengan mata memandang layar monitor. Suaranya hanya berbunyi ketika ada sentilan emosi yang membuat tertawa, marah dan menangis. Pada kondisi asyik berchatting ria itulah sesungguhnya terdapat kekuatan fokus manusia dalam berinteraksi dengan lawan chat-nya. Dimana dan kapanpun ia melakukan aktivitas itu, biasanya semua yang berada di sekitarnya menjadi ‘tiada’.

Dalam artikel ini, akan coba dikemukakan garis merah diantara kisah chatting itu dengan tema diatas. Korelasinya terdapat pada ‘objek’ chatting kita dengan siapa. ‘Chatting’ yang dimaksud disini adalah ‘berdoa’. Namun sikap berdoa itu lebih difokuskan seperti orang yang melakukan chat dengan pemahaman yang luas. Sederhananya, berdoa yang khusyuk dan fokus selalu dikeluarkan dalam hati, tanpa harus mengeluarkan suara keras, terlebih harus terdengar oleh sekeliling kita. Seperti kita melakukan chat, mulut tak ikut mengeluarkan suara, cukup tangan yang mewakili perasaan yang ingin diungkapkan. Bedanya dengan doa, hati yang fokus lah yang menjadi wakil dari doa yang kita panjatkan.

Suatu saat di sebuah surau, terdengar seorang pria paruh baya memanjatkan doa dengan suara keras. Meminta dan memohon Allah mengabulkan setiap hajat yang ia pinta. Kontan, bukan hanya mengganggu jemaah surau lainnya, bahkan ia telah ‘menghina’ dengan ‘tidak percaya’ bahwa Allah Maha Mendengar dan Dzat yang Maha dekat, lebih dekat dengan urat nadi sekalipun. Logikanya, ketika kita memanggil seseorang dengan sangat keras, padahal orang yang kita panggil berada di samping kita dengan kondisi pendengarannya yang sehat, apa yang terjadi (?) Boleh jadi ia akan tersinggung, tidak respect bahkan marah.

Berbeda tentunya dengan seorang ustadz yang memimpin doa bersama jemaahnya, berdoa bersama, terdengar oleh mustami’ (audiens) dan diaminkan bersama. Jika itu yang terjadi, maka analogi dalam dunia chatting-nya, ia sedang melakukan ‘teleconference’ yang tidak ‘membutuhkan’ jari untuk mewakili obrolannya.

Artinya, saat kita bermunajat bersama Allah, contohlah bagaimana fokus dan ketawadluan-nya seorang yang sedang berchatting. Ia nyaris tidak mengeluarkan suara, bahkan tidak ingin orang tahu bahwa kita sedang berada pada tingkat khusyuk yang paling tinggi. Seperti halnya saat tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu.

Saat Bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tak ada perayaan besar-besaran untuk menyambutnya. Tidak ada hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut hari yang sudah dinanti-nantikan itu. satu-satunya ‘perayaan’ yang dilakukan serentak oleh mayoritas Bangsa ini adalah shalat Jum’at. Tidak ada pula acara makan-makan, karena semua punggawa negeri, pejuang, patriot dan rakyat tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. 66 tahun silam, kerongkongan para proklamator yang sudah kering karena hampir tidak tidur pada malam sebelumnya, bertambah kering setelah membacakan beberapa baris kalimat deklarasi. Para pemuda yang ruh perjuangannya terus menggelegar menjaga asa bangsa ini, bahwa pertolongan-Nya pasti datang, terus setia mengawal perjuangan hingga meyakinkan segenap bangsa untuk berani mengambil resiko agar segera menyatakan kemerdekaannya. Meski ancaman Jepang dan sekutu masih berada di tengah-tengah mereka. Bahkan boleh jadi saat akhir naskah proklamasi itu dibacakan, mereka melihat disekelilingnya masih belum berubah. Hanya kebersamaan rasa saja yang mereka tanggung, untuk melahirkan suatu negeri yang bebas dari segala bentuk penjajahan.

Merdeka, suatu kata yang menjulang disaat tekanan menghimpit. Prosa yang menggugah setiap jiwa yang terbelenggu. Bahkan bukan hanya jiwa, tetapi juga raga yang dipertaruhkan demi sebuah cita mulia. Merdeka! Bukan hanya kata penggugah, namun senjata yang mempersatukan bangsa. Tanpa kata itu, jiwa tak berasa, raga tak kuasa. Sebab kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan hidup manusia. Oleh sebab itulah, Islam mendobrak segala rantai penjajahan demi sebuah istiqlal (kemerdekaan) manusia. Dengan kemerdekaan batin senantiasa menemani lahir, kata lainnya, jiwa kan selalu dalam dekapan raga.

Merdeka tidak hanya diartikan bebas dari tekanan raga, namun jiwa harus jua menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Dari kemerdekaan dua unsur itu, maka lahirlah sebuah kemenangan yang hakiki. Laiknya seorang yang menjalankan puasa, maka harus diakhiri dengan mengeluarkan zakat sebagai aktualisasi dari pembersihan jiwa. Sehingga kemenangan pun menjadi raihan maksimal dari kemerdekaan lahir dan batin.

Bicara tentang Kemerdekaan Bangsa ini, saya ingin membatasi dengan “Hari-Kemerdekaan” saja. Kita sudah cukup banyak bahan refleksi dari setiap event kemerdekaan setiap tahun. Biarlah orang mengenang jasa para pahlawan bangsa, biarlah para pemimpin sibuk berbicara tentang hikmah hari Kemerdekaan, biarlah anak-anak sekolah disibukkan dengan baris berbaris dan pengibaran bendera. Tetapi apa yang telah pernah, sedang dan akan kita perbuat bagi bangsa dan negeri yang telah ‘menghadiahkan’ sebuah kemerdekaan (?)

Ah, rasanya terlalu idealis –bagi saya- jika berpikir perbuatan apa yang memberikan influence besar yang positif bagi Bangsa ini. Karena pada faktanya perjuangan Bangsa ini, kini sudah mulai terkotak demi perjuangan kelompok-kelompok tertentu. Mungkin tak ada lagi tujuan bersama, kalaupun ada hanyalah serpihan kepentingan bersama, bersama dengan kelompok kecilnya. Sudahlah, tokh, negeri ini tak kan menarik naskah proklamasinya hanya melihat kelompok-kelompok kecil yang masih ‘tertindas’. Konteks merdeka yang kini banyak dimaknai hanyalah terbebas dari jajahan bangsa lain, titik.

Pesimis (?) Oh, tidak tentunya. Karena makna kemerdekaan bagi saya tidak disandarkan pada nasionalisme kebangsaan, jika setiap yang meng-invasi dari luar bangsa kita adalah penjajah, maka kita hanya mengenal satu jenis penjajah, yakni kaum yang berbeda bahasa dan berwarna kulit berbeda dengan kita.

Dalam Islam, makna kemerdekaan melekat secara sempurna dengan kalimat Syahadat. Ketika yang disembah, dipatuhi, ditakuti hanya Allah SWT. Maka itulah kemerdekaan bagi seorang muslim, kemerdekaan lahir dan batin. Namun jika sudah ada tandingan-tandingan baru yang hendak menggantikan ‘posisi’ Allah, maka inilah yang sebenarnya disebut penjajahan.

So, jika kita melihat bagaimana awalnya bangsa ini berani meng-proklamirkan, tiada lain karena mereka yakin bahwa atas Rahmat dan Karunia-Nya lah Bangsa ini berani untuk merdeka, merdeka lahir maupun batin.

Air Hujan

Proses terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan tahap-tahap pembentukan hujan. Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat. Tahap-tahap ini ditetapkan dengan jelas dalam Alquran berabad-abad yang lalu, memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan. “Dialah Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.” (QS Ar-Ruum: 48)

Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.

Tahap Ke-1: “Dialah Allah Yang mengirimkan angin…”
Gelembung-gelembung udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam, lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfer. Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut “perangkap air”.

Tahap Ke-2: “…lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal…”
Awan-awan terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi dengan awan-awan.

Tahap Ke-3: “…lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya…”
Partikel-partikel air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.

Semua tahap pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Alquran. Selain itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Alquranlah yang menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.

Dalam sebuah ayat, informasi tentang proses pembentukan hujan dijelaskan:

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan- gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.” (QS An-Nuur: 43)

Para ilmuwan yang mempelajari jenis-jenis awan mendapatkan temuan yang mengejutkan berkenaan dengan proses pembentukan awan hujan. Terbentuknya awan hujan yang mengambil bentuk tertentu, terjadi melalui sistem dan tahapan tertentu pula. Tahap-tahap pembentukan kumulonimbus, sejenis awan hujan, adalah sebagai berikut:

Tahap-1, Pergerakan awan oleh angin: Awan-awan dibawa, dengan kata lain, ditiup oleh angin.

Tahap-2, Pembentukan awan yang lebih besar: Kemudian awan-awan kecil (awan kumulus) yang digerakkan angin, saling bergabung dan membentuk awan yang lebih besar.

Tahap-3, Pembentukan awan yang bertumpang tindih: Ketika awan-awan kecil saling bertemu dan bergabung membentuk awan yang lebih besar, gerakan udara vertikal ke atas terjadi di dalamnya meningkat. Gerakan udara vertikal ini lebih kuat di bagian tengah dibandingkan di bagian tepinya. Gerakan udara ini menyebabkan gumpalan awan tumbuh membesar secara vertikal, sehingga menyebabkan awan saling bertindih-tindih.

Membesarnya awan secara vertikal ini menyebabkan gumpalan besar awan tersebut mencapai wilayah-wilayah atmosfer yang bersuhu lebih dingin, di mana butiran-butiran air dan es mulai terbentuk dan tumbuh semakin membesar. Ketika butiran air dan es ini telah menjadi berat sehingga tak lagi mampu ditopang oleh hembusan angin vertikal, mereka mulai lepas dari awan dan jatuh ke bawah sebagai hujan air, hujan es, dan sebagainya.

Kita harus ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja mengetahui proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk dan fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat terbang, satelit, komputer, dan lainnya. Sungguh jelas bahwa Allah telah memberitahu kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1.400 tahun yang lalu.

(Sumber: Republika Online)

7 Lapisan Langit

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqaqrah: 29)

“Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap…” (QS Fushshilat: 11)

“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya…” (QS Fushshilat: 12)

Kata “langit”, yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Alquran, digunakan untuk mengacu pada “langit” bumi dan juga keseluruhan alam semesta. Dengan makna kata seperti ini, terlihat bahwa langit bumi atau atmosfer terdiri dari tujuh lapisan. Saat ini benar-benar diketahui bahwa atmosfer bumi terdiri atas lapisan-lapisan yang berbeda yang saling bertumpukan. Lebih dari itu, persis sebagaimana dinyatakan dalam Alquran, atmosfer terdiri atas tujuh lapisan. Dalam sumber ilmiah, hal tersebut diuraikan sebagai berikut: Para ilmuwan menemukan bahwa atmosfer terdiri diri beberapa lapisan. Lapisan-lapisan tersebut berbeda dalam ciri-ciri fisik, seperti tekanan dan jenis gasnya. Lapisan atmosfer yang terdekat dengan bumi disebut troposfer. Ia membentuk sekitar 90 persen dari keseluruhan massa atmosfer.

Lapisan di atas troposfer disebut stratosfer. Lapisan ozon adalah bagian dari stratosfer di mana terjadi penyerapan sinar ultraviolet. Lapisan di atas stratosfer disebut mesosfer. Termosfer berada di atas mesosfer. Gas-gas terionisasi membentuk suatu lapisan dalam termosfer yang disebut ionosfer. Bagian terluar atmosfer bumi membentang dari sekitar 480 kilometer hingga 960 kilometer. Bagian ini dinamakan eksosfer.

Jika kita hitung jumlah lapisan yang dinyatakan dalam sumber ilmiah tersebut, kita ketahui bahwa atmosfer tepat terdiri atas tujuh lapis, seperti dinyatakan dalam ayat tersebut; troposfer, stratosfer, ozonosfer, mesosfer, termosfer, ionosfer, dan eksosfer. Keajaiban penting lain dalam hal ini disebutkan dalam surat Fushshilat ayat ke-12, “… Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.”

Dengan kata lain, Allah dalam ayat ini menyatakan bahwa Dia memberikan kepada setiap langit tugas atau fungsinya masing-masing. Sebagaimana dapat dipahami, tiap-tiap lapisan atmosfer ini memiliki fungsi penting yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan seluruh makhluk hidup lain di Bumi.

Setiap lapisan memiliki fungsi khusus, dari pembentukan hujan hingga perlindungan terhadap radiasi sinar-sinar berbahaya; dari pemantulan gelombang radio hingga perlindungan terhadap dampak meteor yang berbahaya. Adalah sebuah keajaiban besar bahwa fakta-fakta ini, yang tak mungkin ditemukan tanpa teknologi canggih abad ke-20, secara jelas dinyatakan oleh Alquran 1.400 tahun yang lalu.

(Dari berbagai sumber)

Catatan ini diawali dari sebuah tangisan pada icon BBM (BlackBerry Messenger) seorang calon tamu Allah. Tangisan yang mencerminkan pada rasa cinta dan rindu yang melanda di setiap gerak aktivitas hidupnya. Meski hanya berbentuk icon ‘Cry’, namun sangat terasa betapa ia benar-benar merindukan hari Arafah. Setiap kata yang tertulis pada layar kecil itu sangat menyentuh jiwa, sangat tampak gejolak rasa yang diungkapkannya. Begitu lirih, namun penuh pasrah pada apa yang akan terjadi sesuai takdir-Nya. Yah, ‘tangisan’ itu muncul setelah ia melihat no porsi keberangkatan hajinya diatas nomor yang ditentukan Pemerintah pada tahun ini. Saya sangat yakin, tangisan dan jeritan itu didengar dan diperhatikan oleh Para Penghuni langit, sehingga sama-sama berdoa untuk sebuah harap yang tiada mustahil kan terwujud. Terlebih ketika saya dan kita semua meyakini Sabda Rasulullah SAW yang mengatakan “Allah itu Pemalu dan Pemurah. Karena itu pula, Allah juga malu kalau tidak mengabulkan doa hamba-Nya yang dipanjatkan kepada-Nya. Bahkan dalam Al-Baqarah ayat 186, Allah Berfirman: “Sampaikan olehmu –Muhammad- jika ada hamba-hamba-Ku bertanya tentang seberapa dekat Aku kepada mereka, katakanlah bahwa Aku ini Maha dekat, dan Aku akan mengabulkan doa setiap hamba yang memohon hanya kepada-Ku.”

Doa itu adalah kendaraan kita, yang akan mengantarkan keinginan, permohonan, dan harapan kita kepada Allah yang Maha Memiliki. Agar kita bisa membuat kendaraan kita terbang menemukan Pemiliknya, kita membutuhkan “dua sayap” untuk menggerakkannya. Apa “dua sayap” itu (?) Rasulullah Saw. berpesan “Ridha Allah itu ada pada ridha orangtua, dan murka-Nya ada pada murka orangtua”. Inilah “sayap” doa yang pertama. Jadi, ketika kita ingin lebih memaknai doa itu menjadi senjata yang diridhai Allah maka sejatinya kita meminta ridha orangtua terutama Ibu dengan segala pengharapan kita. Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk meminta mereka (orangtua) menyebut harapan dan keinginan kita dalam doa-doa mereka, karena tiada hijab (penutup) antara doanya dengan Dzat Maha Pencipta. Lalu bagaimana jika kita sudah tidak memiliki orangtua (?) Jika demikian, maka sebaliknya kitalah yang patut menyebutkan mereka pada setiap rangkaian doa. Karena salahsatu tanda keshalihan seseorang adalah senantiasa mendoakan orangtuanya yang telah tiada. Itulah ‘sayap’ pertama yang akan menghantarkan ‘kendaraan’ kita pada Rabbul Izzati. Lalu apa “sayap” yang kedua (?)

‘Sayap’ kedua adalah sosok yang selalu ada dibalik Keperkasaan seorang laki-laki. Ya, di balik pria hebat, selalu ada wanita hebat. Begitu juga sebaliknya. Inilah “sayap” doa yang kedua: keluarga—suami bagi istri, dan istri bagi suami. Nasihat Rasulullah Saw. dalam hadisnya, “Apabila seorang suami memandang istrinya dengan kasih dan sayang, dan istrinya juga memandang suaminya dengan kasih dan sayang, maka Allah akan memandang keduanya dengan pandangan kasih dan sayang.”

Jika kita seorang suami, mintalah istri kita untuk mendoakan harapan dan keinginan kita. Sampaikan kepadanya impian kita, dan ajaklah ia untuk sama-sama mendoakan kita agar bisa meraih impian tersebut. Sayangi istri kita, bahagiakan ia, dan biarlah ia tersenyum untuk kita. Kalau kita seorang istri, hormati suami kita, sayangi ia dengan penuh cinta-kasih, dan minta ia untuk selalu mendoakan kebaikan bagi kita.

Demikianlah doa, ia akan menjadi kekuatan yang sangat mendasar. Saya hanya ingin mengutarakan pada salahsatu keluarga besar calon Tamu Allah Cordova yang memberikan icon ‘cry’ itu, untuk terus optimis akan Karunia dan Kasih Sayang-Nya. Sebelum mengakhiri catatan ini, saya ingin mengutip perkataan seorang Jim Morrison, personal The Doors (dalam sebuah artikel). Ia berkata begini, “Some of the worst mistakes of my life have been haircuts— beberapa kesalahan terburuk dalam hidupku mungkin adalah gaya rambutku.” Anda tahu maknanya apa (?) Morrison ingin berpesan kalau sesuatu yang kecil dapat mengubah keadaan semuanya. Jadi, jangan pernah hiraukan hal sekecil apa pun, termasuk doa yang seringkali kita anggap remeh.

Ketika sadar bahwa Ramadhan telah melangkah pada sepertiganya, kebanyakan kita mulai terhentak, betapa kita melepaskannya dengan tiada arti. Biasa saja, bahkan cenderung ingin segera berakhir dan berlanjut pada hari-hari yang tiada shaum di siang bolong. Bulan yang –sejatinya- di damba kedatangannya, kini (ketika telah hadir) menjadi bulan biasa yang luput dari makna. Menjalankan aktivitas harian, sahur, puasa dan berbuka. Titik, tiada koma terlebih spasi untuk menambahkan aktivitas yang lebih konsisten seperti pada awal-awal Ramadhan. Padahal jika kita cermati, dalam setiap gerak aktivitas yang kita lakukan di bulan ini, sarat dengan filosopi kehidupan. Tujuan dari puasa agar kita menjadi manusia takwa. Puasa sebagai formula kesehatan tertinggi yang dipilih Allah untuk sebuah kehidupan. Tapi tak sekedar menyangkut kesehatan tubuh, melainkan lebih luas, kesehatan sejarah. Bukankah rusaknya dunia ini karena orang-orang yang tak mau “berpuasa”. Orang-orang yang terus “makan” meskipun sudah “kenyang”. Bahkan dalam sebuah catatan, teman saya mengatakan bahwa puasa memperlihatkan bagaimana dunia menipu manusia: Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.

Formula yang di desain Dzat Maha Kuasa tentang arti shaum begitu mulia. Tidak sekedar yang –umumnya- kita ketahui. Semua ornamen ibadah vertikal maupun horizontal dikemas dengan begitu indah dalam Ramadhan. Orang berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan sesuatu yang disenangi, dan itu artinya adalah perang secara jantan terhadap sesuatu yang sehari-hari merupakan tujuan dan kebutuhan hidup manusia.

Masih banyak rasanya faidah dan hikmah shaum, yang –mungkin- telah kita serap disetiap kesempatan tausyiah para ustadz tentang bulan suci. Selama sebulan penuh, kita dihadapi beragam pesan religi, saat sahur, menjelang berbuka, saat khutbah tarawih dan setiap celah program-program televisi penuh dengan pesan keagamaan. Semuanya mengajarkan bahwa puasa sebagai mesin pembersih setiap ‘ampas’ yang menggumpal baik dalam diri maupun jiwa.

Apa yang dikemukakan diatas tentang puasa juga merupakan formula ‘kesehatan sejarah’ tentunya telah menjadi pengetahuan kita. Betapa orang yang ‘berpuasa’ lebih mampu menahan segala gejolak hasrat nafsu yang menggenggamnya. Sabda Rasul “Kuluu walaa tusrifuu” (Makan dan janganlah berlebihan) adalah ‘suguhan’ orang yang berpuasa saat berbuka. Hal itu sama seperti ungkapan “hidup dan nikmatilah kehidupan, tetapi jangan lah berlebihan”. Kalimat itu tentunya ada faktor ‘shaum’ untuk menahan atau tidak berlebihan dalam menikmati kehidupan.

Sejak Cordova berdiri, saya banyak belajar tentang arti sebuah kebersamaan. Meski terkadang saya sulit menterjemahkan antara ‘kebersamaan’ dan ‘kekeluargaan’. Apakah terdapat benang merah yang mengikat satu rasa antara dua kata itu, atau masing-masing memiliki makna yang berbeda. Boleh jadi kalimat kekeluargaan tidak selamanya menghasilkan suatu kebersamaan, karena banyak kasus yang memperlihatkan sebuah keluarga bisa hancur hanya karena tidak ada nilai kebersamaan diantara anggotanya. Tetapi sebaliknya, dengan sebuah kebersamaan apapun yang tercita akan terwujud. Boleh jadi rasa kekeluargaan yang terjalin di Cordova saat ini, adalah hasil dari moralitas kebersamaan yang dirancang sedari awal. Efek dari satu rasa kebersamaan itu tidak hanya terikat pada satu simpul sebuah team, tetapi dijalarkan juga kepada jemaah dan keluarga besar Cordova. Sehingga spirit dari pelayanan terhadap tamu Allah selalu bernilai kebersamaan. Tidak ada figuritas jemaah yang lebih menonjol atau spesial untuk dilayani secara berlebih diantara jemaah lainnya. Baik itu tokoh masyarakat, tokoh nasional, politikus, artis bahkan seorang pejabat negara sekali pun. Semua mendapatkan porsi sama dalam pelayanan, coz, they are the same disisi Rabbnya.

Sejak saya mengenal dunia travel, terkhusus haji dan umrah, terkadang saya menyaksikan sendiri bahwa ada sesuatu yang –rasanya- harus dibenahi dalam pelayanan para tamu Allah. Bukan kurang atau tidak maksimal dalam melayani, namun ada porsi-porsi yang dipandang sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai universal Haji. Masih adanya pengkategorian jemaah ‘borju’, berduit atau berkelas lebih mendapatkan pelayanan yang maksimal dibanding jemaah lainnya, maka tentu pelayanan itu sudah menyalahi nilai luhur ibadah haji. Bukankah Allah Sebagai ‘Tuan Rumah’ para Tamu-Nya saja memberikan karunia dan anugerah pada semua tamu-Nya tanpa pandang bulu, lalu mengapa kita musti sibuk untuk ‘mencari muka’ dihadapan ‘segelintir’ makhluknya.

Disinilah saya banyak belajar tentang bagaimana menjadi salahsatu ‘paku’ pelekat atas nama Cordova dalam melayani tamu-tamu suci dengan penuh rasa tulus. Tidak ada kategori jemaah yang harus menjadi idola hanya karena statusnya. Semuanya sama menjadi tujuan pelayanan yang maksimal. Karena nilai kebersamaan yang dibangun itulah setiap hajjguard Cordova terdidik untuk tidak menjadi pelayan yang silau akan status segelintir orang. Terlebih bangga hanya karena bisa berpose dengan tokoh idola.

Untuk menjadi ‘sesuatu’, harus ada yang memberikan contoh secara langsung. Tentunya contoh harus datang dari yang mempunyai kedudukan lebih baik. Memperlakukan sama tanpa harus kehilangan nilai penghormatan. Figur yang menjadi contoh dalam melakukan apapun, sangatlah berperan dalam sebuah kehidupan. Seandainya saja setiap kita sangat mencintai Rasulullah SAW, tentunya kita tidak akan sulit mendapatkan figur untuk di contoh. Tidak melulu mengangkat orang untuk narsis bergaya di depan kamera, kemudian dijadikan contoh dengan berlebihan.

Bismillah, semua rasa terbangun atas dasar kecintaan yang berlapis tulus. Tiada cita yang terluhur kecuali melayani tamu suci-Nya dengan hati. Karena hatilah yang memiliki rasa. Rasa kebersamaan itulah yang menjadi tujuan awal dalam membangun komunitas Mabrur. Tidak malah ‘Lebih’ mengayomi satu dua orang saja, melainkan semua tetamu suci-Nya, coz they are the same.