Ora Bakal Misah…!

Ada satu moment yang sangat special bagi keluarga besar Cordova akhir pekan lalu. Terlebih untuk dua staf Cordova yang akan mengakhiri masa lajangnya. Yah, siapa yang tidak mengenal Brahma alias Bram dan Febiyanti Erly alias Erly di kalangan keluarga besar Cordova. Kiprahnya dalam berkarya menjadikan Cordova semakin berwarna. Bangunan kokoh yang dikaitkan oleh pilar-pilar Cordova itu menjadi ikatan yang sulit dipisahkan dari persaudaraan yang telah menyatu. Persaudaraan adalah segalanya dalam berbagai hal, ia tak terkukung oleh waktu dan tempat. Begitulah Islam mengajarkan umatnya untuk saling memberi sesama muslim, laiknya seperti kesatuan anggota tubuh yang memiliki rasa sama ketika sakit dan senang. Pun demikian bagi Cordova, atmosfir persaudaraan dalam kesatuan team sangat kental terasa. Meski –tentunya- kadang rasa marah, sebel, bete, senang, bangga, haru, sedih kerap bercampur dalam wadah persaudaraan.

Terkesan emosional memang membaca tema diatas, seolah ingin menjelaskan bahwa Devide et Impera atau teori pecah belah, adalah sebuah teori licik yang dibangun atas dasar kelabilan seseorang dalam menggapai kepuasan diri. Meski teori ini dikenalkan oleh seorang orientalis Belanda, Christian Snouck Hurgronje, saat menjajah Indonesia, namun juga kerap ditiru oleh orang-orang yang dengki akan sebuah persatuan pada satu komunitas dimanapun berada, termasuk di Tanah Air tercinta. Secara definitif teori pecah belah ini adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi. Tujuannya ingin mendapat dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang mudah ditaklukan. Dewasa ini, teori pengecut itu selalu menjadi primadona tuk menggapai sebuah tujuan. Dan tentunya tidak hanya dilakukan para orientalis, tetapi juga kerap dilakukan oleh oknum intelektual ber-identitas muslim.

Besok sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan sebuah hari fenomenal bagi kebangkitan kaum Hawa. Sebuah hari yang bertepatan dengan lahirnya sosok wanita pahlawan bangsa ini begitu layak dijadikan sebuah momen untuk re-definisi makna emansipasi wanita di era global ini. Bumi Jepara, Jawa Tengah, tempat kelahiran Raden Ajeng Kartini seolah menjadi pertiwi mulia pencetak asset bangsa. Dengan semangat revolusioner saat itu, Kartini menggagas untuk menerobos dari lorong-lorong diskriminatif penjajah terhadap kaum hawa. Mereka hanya mengeksploitasi tenaga dan sari ayu kecantikan wanita Indonesia. Kala itu, wanita negeri ini tidak layak untuk mendapatkan kebebasan dalam berbagai hal. Terlebih dunia pendidikan yang tercanang hanya untuk mereka kaum pria dan berdarah biru.

Sungguh saya dan –mungkin- Anda yang pernah menyaksikan bangunan Ka’bah secara langsung, akan sangat takjub pada kekuatan Ka’bah, laiknya magnet raksasa yang menarik kekuatan positif pada gelombang manusia yang memutarinya. Saya banyak belajar dari “kebisuan” ka’bah. Yah, meski secara kasat mata saya memandang ka’bah sebuah bangunan ‘Bisu’ yang tak pernah berkata, namun jauh dalam jiwa manusia, bangunan kubus itu memiliki kekuatan super tuk menghempaskan sisi gelap manusia. Jauh sebelum Rasulullah membersihkan ka’bah dari praktik Jahiliyyah, mereka tetap menganggap Ka’bah adalah bangunan suci yang memiliki nilai historis yang dibangun leluhur mereka. Sesungguhnya, jika kita memandang Ka’bah dari sudut pandang bentuk, maka kita hanya melihat kubus sebagai kotak biasa yang terbalut kain hitam, titik. Tetapi jika kita melihat dari dimensi lain, kita akan melihat ka’bah yang berbentuk kubus sebagai bangunan ruang yang spesial.