Saat Bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, tak ada perayaan besar-besaran untuk menyambutnya. Tidak ada hiruk pikuk dan gegap gempita menyambut hari yang sudah dinanti-nantikan itu. satu-satunya ‘perayaan’ yang dilakukan serentak oleh mayoritas Bangsa ini adalah shalat Jum’at. Tidak ada pula acara makan-makan, karena semua punggawa negeri, pejuang, patriot dan rakyat tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. 66 tahun silam, kerongkongan para proklamator yang sudah kering karena hampir tidak tidur pada malam sebelumnya, bertambah kering setelah membacakan beberapa baris kalimat deklarasi. Para pemuda yang ruh perjuangannya terus menggelegar menjaga asa bangsa ini, bahwa pertolongan-Nya pasti datang, terus setia mengawal perjuangan hingga meyakinkan segenap bangsa untuk berani mengambil resiko agar segera menyatakan kemerdekaannya. Meski ancaman Jepang dan sekutu masih berada di tengah-tengah mereka. Bahkan boleh jadi saat akhir naskah proklamasi itu dibacakan, mereka melihat disekelilingnya masih belum berubah. Hanya kebersamaan rasa saja yang mereka tanggung, untuk melahirkan suatu negeri yang bebas dari segala bentuk penjajahan.

Merdeka, suatu kata yang menjulang disaat tekanan menghimpit. Prosa yang menggugah setiap jiwa yang terbelenggu. Bahkan bukan hanya jiwa, tetapi juga raga yang dipertaruhkan demi sebuah cita mulia. Merdeka! Bukan hanya kata penggugah, namun senjata yang mempersatukan bangsa. Tanpa kata itu, jiwa tak berasa, raga tak kuasa. Sebab kemerdekaan adalah sebuah keniscayaan hidup manusia. Oleh sebab itulah, Islam mendobrak segala rantai penjajahan demi sebuah istiqlal (kemerdekaan) manusia. Dengan kemerdekaan batin senantiasa menemani lahir, kata lainnya, jiwa kan selalu dalam dekapan raga.

Merdeka tidak hanya diartikan bebas dari tekanan raga, namun jiwa harus jua menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Dari kemerdekaan dua unsur itu, maka lahirlah sebuah kemenangan yang hakiki. Laiknya seorang yang menjalankan puasa, maka harus diakhiri dengan mengeluarkan zakat sebagai aktualisasi dari pembersihan jiwa. Sehingga kemenangan pun menjadi raihan maksimal dari kemerdekaan lahir dan batin.

Bicara tentang Kemerdekaan Bangsa ini, saya ingin membatasi dengan “Hari-Kemerdekaan” saja. Kita sudah cukup banyak bahan refleksi dari setiap event kemerdekaan setiap tahun. Biarlah orang mengenang jasa para pahlawan bangsa, biarlah para pemimpin sibuk berbicara tentang hikmah hari Kemerdekaan, biarlah anak-anak sekolah disibukkan dengan baris berbaris dan pengibaran bendera. Tetapi apa yang telah pernah, sedang dan akan kita perbuat bagi bangsa dan negeri yang telah ‘menghadiahkan’ sebuah kemerdekaan (?)

Ah, rasanya terlalu idealis –bagi saya- jika berpikir perbuatan apa yang memberikan influence besar yang positif bagi Bangsa ini. Karena pada faktanya perjuangan Bangsa ini, kini sudah mulai terkotak demi perjuangan kelompok-kelompok tertentu. Mungkin tak ada lagi tujuan bersama, kalaupun ada hanyalah serpihan kepentingan bersama, bersama dengan kelompok kecilnya. Sudahlah, tokh, negeri ini tak kan menarik naskah proklamasinya hanya melihat kelompok-kelompok kecil yang masih ‘tertindas’. Konteks merdeka yang kini banyak dimaknai hanyalah terbebas dari jajahan bangsa lain, titik.

Pesimis (?) Oh, tidak tentunya. Karena makna kemerdekaan bagi saya tidak disandarkan pada nasionalisme kebangsaan, jika setiap yang meng-invasi dari luar bangsa kita adalah penjajah, maka kita hanya mengenal satu jenis penjajah, yakni kaum yang berbeda bahasa dan berwarna kulit berbeda dengan kita.

Dalam Islam, makna kemerdekaan melekat secara sempurna dengan kalimat Syahadat. Ketika yang disembah, dipatuhi, ditakuti hanya Allah SWT. Maka itulah kemerdekaan bagi seorang muslim, kemerdekaan lahir dan batin. Namun jika sudah ada tandingan-tandingan baru yang hendak menggantikan ‘posisi’ Allah, maka inilah yang sebenarnya disebut penjajahan.

So, jika kita melihat bagaimana awalnya bangsa ini berani meng-proklamirkan, tiada lain karena mereka yakin bahwa atas Rahmat dan Karunia-Nya lah Bangsa ini berani untuk merdeka, merdeka lahir maupun batin.

Tahukah Anda, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1367 Hijriah (?) Melihat kenyataan ini, bisa kita ketahui bahwa pada bulan puasa pun para pendahulu tetap berjuang, bukan bermalas-malasan. Kemudian Nuzulul Qur’an pun memiliki tanggal yang sama dengan proklamasi kemerdekaan kita, yakni 17 (Ramadhan). Apakah ini hanya kebetulan belaka, sengaja diciptakan, atau ada kekuatan lain yang merencanakannya (?) Wallohu a’lam. Hanya saja, yang pasti terdapat tiga angka 17 (Seventeen) yang menjadi angka sakral bagi bangsa Indonesia, terutama bagi mayoritas penduduknya yang muslim. Yakni 17 Agustus (Proklamasi), 17 Ramadhan (Nuzulul Qur’an), dan 17 Rakaat (shalat). Lantas, apa hubungannya antara 17 Agustus dengan 17 Ramadhan dan 17 Rakaat (?). Di dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Sungguh sebuah pengakuan yang jujur dari para “Founding Father” bangsa kita bahwa Proklamasi 17 Agustus hanya bisa diperoleh dengan berkat dan Rahmat Allah SWT.

Mari kita perhatikan, Jenderal mana yang berani bertaruh, bambu runcing bisa mengalahkan meriam (?) Ahli strategi perang mana yang berani menjamin bahwa tentara dadakan mampu bertempur dan menang melawan tentara musuh (Belanda, Jepang) yang professional (?) Para pejuang kita dahulu, sebagian besar adalah umat Islam, tidak hanya bergerilya keluar masuk hutan membawa bambu runcing dan senjata seadanya, tapi mereka juga menggunakan 17 Rakaat sebagai media untuk memohon kepada Allah SWT agar kemerdekaan ini bisa diraih. Sehingga ketika kemerdekaan dicapai, fakta historis itu dicatat dalam sebuah ungkapan jujur, “Atas berkat rahmat Allah …”.

Demikianlah kita bisa melihat adanya keterkaitan yang jelas antara 17 Rakaat dengan makna 17 Agustus. Lalu apa kaitannya dengan 17 Ramadhan (?) Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan adalah saat diturunkannya Al-quran, yang ayat pertamanya adalah “Iqra” (Bacalah!). Apa yang perlu dibaca (?) Ya benar, Ayat Allah. Baik ayat yang berupa Alam semesta, maupun ayat berupa wahyu Allah, yaitu Al Qur’an.

Dengan firman pertama itu, seolah-olah Allah berkata, “Bacalah alam ini, pelajari, dan budidayakan untuk kemaslahatan kalian semua! Bacalah Al Qur’an sebagai pedoman hidup kalian”. Keduanya harus kita jalankan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hati dan otak. Mengharmoniskan hubungan antara kemajuan intelektual dengan kemantapan akidah. Dari ketiga angka sakral 17 tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa dengan melaksanakan 17 Rakaat kita isi 17 Agustus dengan berpedoman pada petunjuk yang turun di 17 Ramadhan.
(AW)