Ramadhan & Mimpi Masuk Surga
Ramadhan kian dekat. Semoga Allah memberi kesempatan usia kita untuk sampai kepadanya. Alhamdulillah, setiap kali bulan suci datang, gairah keimanan umat Islam umumnya mengalami kenaikan. Masjid ramai didatangi. Perlengkapan ibadah laris terjual. Toko buku kebanjiran pengunjung. Banyak diantara Umat Islam mendadak jadi kutu buku. Sebuah gejala positif yang semestinya terjadi sepanjang tahun. Perintah Allah SWT kepada kita untuk menimba ilmu sedemikian jelasnya melalui firman-Nya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq :1-5). Banyak diantara kita telah berkali kali mendengar atau membacanya dalam shalat, ceramah, atau berbagai tulisan. Namun pada kenyataannya minat baca kita masih tertinggal jauh dibanding masyarakat di negara-negara maju. Kiranya perlu gerakan yang dahsyat untuk mengejar keterbelakangan itu. Salah satunya dengan memanfaatkan momen Ramadhan untuk meningkatkan iman, ilmu dan keshalehan sosial. Keterbelakangan kita dalam minat baca sebenarnya lebih tepat disebut kemunduran. Karena pada era sahabat, para salafus shaleh dan zaman keemasan kita di Cordova dan Baghdad, umat Islam sedemikian gandrungnya dengan ilmu pengetahuan.
Dalam buku Gila Baca ala Ulama karya Ali bin Muhammad Al-Imran (terbitan Pustaka Arafah), Ibnul Qayyim Al Jauziah menuturkan, seorang alim, Abul Barakat yang saking mesranya dengan buku, ia memintakan dibacakan buku dengan bacaan yang keras agar dia bisa mendengar apabila ia hendak masuk toilet untuk buang hajat. Ibnul Qayyim Al Jauziah sendiri telah membaca lebih dari 200.000 jilid buku semasa hidupnya. Gurunya, Ibnu Taimiyyah bersikukuh untuk tetap membaca buku meski sedang sakit. Bahkan membaca buku dianggap sebagai penawar sakitnya. Beliau tidak pernah berhenti mengkaji dan menyusun kitab sepanjang hidupnya.
Di era informasi, tidaklah istimewa bila orang bepergian membawa buku untuk dibaca selama perjalanan. Dengan format digital, buku yang beribu-ribu lembar cukup dikemas dalam sebuah tablet pc. Bayangkan di zaman para ulama terdahulu, dimana seorang ulama membawa serta buku-bukunya hingga satu tenda. Ada juga yang memanggul sendiri buku-bukunya setiap kali safar.
Minat baca kita bisa diukur salah satunya dengan seberapa besar uang yang kita habiskan untuk belanja buku. Abul Alla’ Al Hamadzani sampai harus menjual rumahnya untuk memenuhi hasrat memburu buku. Rumah senilai 500 dinar bila dikonversikan di masa kini sekitar Rp 726 juta lebih. Wajarlah bila ia bermimpi masuk surga bersama bukunya. Bagaimana dengan kita (?)
Sebagaimana seorang pemain bola yang saking terobsesinya dengan bola, sampai tidurpun dengan bola, Hasan Al lu’luani tak pernah menghabiskan waktu tidurnya tanpa sebuah buku yang tergeletak di atas dadanya. Kegemaran terhadap buku-buku terus berlanjut hingga masa kejayaan Islam di Baghdad dimana perpustakaannya menampung 400 hingga 500 ribu jilid buku. Dunia menangis saat perpustakaan tersebut dihancurkan oleh tentara Mongol. Buku-bukunya di bakar dan dibuang ke Sungai Tigris. Kemudian di era berikutnya, penghapusan bahasa arab di beberapa negara muslim, membuat umat Ini semakin jauh dari ketinggian peradaban nenek moyang mereka dan Islam tentunya. Justru negara-negara barat yang bukan dimotivasi oleh cahaya Tauhid, kian melesat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penyebaran buku-bukunya.
Jadi kapan kita merubah dunia (?) Rubah dulu diri dan keluarga kita dan mulailah kampanyekan gerakan baca buku dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Momen Ramadhan ini adalah kesempatan emas kita.