Peace Become Pieces

Menyaksikan tragedi berdarah dibeberapa sudut negeri belum lama ini, membuat setiap orang tersayat hatinya. Bagaimana dan kenapa peristiwa yang melanda Negeri ini seakan tak pernah usai. Ragam kepentingan membalut setiap insan yang penuh dengan ambisi. Meremukkan harmoni yang dibangun oleh pejuang negeri, meski harus tertatih mengembalikan jati diri. Tapi semuanya harus terberai dengan sangat keji. Karena memang pengendalian diri tak pernah terusik oleh nurani. Saya dan setiap orang tentu sangat menyayangkan setiap peristiwa berdarah itu terjadi. Entahlah kemana perginya sisi lembut manusia, kedamaian yang terasa kerap menjadi puing-puing kebencian. Tak ada lagi pandangan kasih yang terpancar, sebaliknya hanyalah sorot kecurigaan yang terus menerka. Damai telah terkeping menjadi suatu barang yang teramat mahal, sulit tuk dicari dan mudah tuk disulut.

Dibalik kekerasan, saling bunuh, saling melukai dan saling bantai antara manusia, terlebih sesama muslim adalah awal dari sebuah kenestapaan yang tiada akhir. Karena dibalik semua itu komando sesungguhnya adalah iblis durjana yang begitu riang menyaksikan tumpahan darah di muka bumi. Seperti halnya awal sejarah pembunuhan manusia di muka Bumi oleh Qabil terhadap saudaranya Habil. Iblis begitu piawai menyulut emosi manusia dengan halus dan detail, sehingga cara tuk menghilangkan jasad Habil pun dicontohkan oleh seekor gagak hitam yang menguburkan gagak lainnya dengan mengubur ke dalam tanah setelah membunuhnya.

Sejarah selalu memberikan pelajaran hidup bagi manusia, jika emosi telah tersulut dan mematikan hati, maka bencanalah yang kan terjadi. Manusia dibekali satu keping yang memiliki dua sudut ganda dalam jiwa. Keduanya kan membuat sisi gelap dan terang manusia, namun jika dikelola dengan baik dan penuh tanggungjawab sebagai pemegang amanah Allah SWT, maka semua yang ada dalam diri manusia terkendali oleh sifat-sifat Dzat Maha Kasih dan Penyayang.

Ketika seorang sahabat bertanya pada Rasulullah, Yaa Rasulallah, berikanlah padaku sebuah nasihat. Maka beliau bersabda “Jangan marah…Jangan Marah…” hingga tiga kali diucapkan. Tentu apa yang dipesankan Rasul Agung itu bukan sebuah nasihat yang tak bermakna, karena memang sebuah kehancuran dan matinya hati berawal dari marah berkepanjangan. Di lain sisi, tentu amarah tidak selamanya bernilai negatif. Jika dilakukan dengan proporsional maka amarah itu kan menjadi perekat tiang-tiang yang nyaris hancur. Karena Rasul sendiri memiliki rasa marah jika melihat kebajikan ternoda oleh suatu kemungkaran.

Tak ada kenikmatan dalam pertikaian, tak ada kebahagiaan dalam perceraian, tak ada senyum dalam kebencian. Kalaupun ada hanyalah ruang gelap yang sesak dan menghalangi segala keindahan pandang. Islam lahir dan berkembang membawa rasa dan panji perdamaian tuk semesta alam. Semoga bukan hanya sebuah lirik-lirik senandung perdamaian, mari kita jadikan setiap ‘pieces’ yang tercecer menjadi bangunan utuh rasa damai bagi bangsa dan agama.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *