Mengabadikan Sebuah Karya

Zaid bin Haritsah adalah seorang sekretaris Rasulullah SAW yang handal. Ia menulis segala aktifitas dan ucapan Rasulullah SAW. Hampir semua yang dicatatnya menjadi lembaran hadits shahih yang abadi tercatat di kitab-kitab hadist. Bukan hanya Zaid, banyak para sahabat Rasul yang ‘mengabdikan’ dirinya menjadi penyambung ‘lidah’ Rasulullah dengan tulisannya. Bukan hanya ucapan Beliau saja, Rasulullah SAW juga menyuruh para sekretarisnya mencatat ayat-ayat Al-Qur’an dan surat-surat perjanjian. Pada saat itu, sesungguhnya Rasulullah SAW tengah menjelaskan betapa pentingnya sebuah dokumentasi. Wal-hasil apa yang terjadi dan terucap saat itu, kita bisa ‘menikmatinya’ dengan sangat mudah. Ketika para Khalifah Islam membangun perpustakaan, menyimpan dan menerjemahkan karya-karya dari bahasa non Arab, mereka juga tengah menekankan betapa pentingnya sebuah dokumentasi. Mengapa kaum Muslim berjaya pada masa lalu (?) itu karena, mereka memiliki dokumentasi yang lengkap tentang catatan-catatan peradaban, baik pada masa Islam maupun sebelumnya, baik dari negeri Islam maupun negeri-negeri di luarnya. Menurut seorang Kolumnus, Asep Sofyan, keruntuhan Islam dimulai persis ketika pusat-pusat dokumentasi itu hancur akibat serbuan tentara mongol.

Buku-buku dan koleksi lain yang disimpan di dalamnya hilang, terbakar atau di buang ke sungai, sehingga –konon- air sungai di Bagdad hitam pekat oleh tinta. Meski kemudian tentara Mongol dapat terusir kembali, umat Islam sulit bangkit dari kejatuhannya, karena catatan-catatan pengetahuan mereka telah dilenyapkan.

Yah, strategi Rasulullah SAW dengan memerintahkan para staff-nya untuk mendokumentasikan adalah langkah jitu dalam membangun sebuah peradaban yang tak-kan pernah usang. Namun –tentunya- perintah itu bukan hanya sebatas membangun sebuah pusat dokumentasi atau kembali menyimpan dan melestarikan dokumen-dokumen tanpa sentuhan yang riil. Maknanya, perintah Rasul itu mencangkup juga dengan perintah untuk ‘Membaca’, ‘Menelaah’, ‘Memaknai’ dan menciptakan karya baru. Sehingga acuan membangun pusat dokumentasi sejalan dengan hasil-nya.

Alih-alih dokumen kurang, masyarakat kita cenderung malas untuk mengapresiasi dokumentasi. Semangat membaca kurang, kosong dari analisis sejarah dan lebih khawatir lagi, manuskrip-manuskrip penting hanya menjadi lembaran tak bermakna, sehingga menjadi museum yang benar-benar ‘terisolasi’ oleh semangat kita. Alasannya satu, kini zaman telah berubah, semua dapat ditemukan dalam sebuah layar internet yang membuka jendela dunia peradaban. Benarkah demikian (?) Bisa benar, bisa juga salah, karena jika kita telusuri umat Islam Indonesia saja, apakah semua pengguna internet, memiliki semangat membaca dan menelaah dalam setiap dokumentasi (?) atau lebih memilih sebagai sarana hiburan, baik berbentuk infotainment maupun prosa dan gambar-gambar pornografi.

Mungkin saat ini, pentingnya dokumentasi nyaris tak berasa, seperti halnya Rasulullah dan para sahabat mendokumentasikan Islam saat itu, namun ternyata, dokumentasi menempati titik sentral bagi majunya sebuah peradaban.

Tidak salah jika ‘Guru’ saya senantiasa mengingatkan semua yang terjadi untuk selalu di abadikan dan didokumentasikan melalui media internet. Baik gambar-gambar Islam, artikel maupun peristiwa yang terjadi saat ini. Karena semua itu akan menjadi bekal perjalanan generasi-generasi selanjutnya.

Related Post

One Comment

  • Asww. Saya terkesan dgn pelayanan tim Cordova selama kami (K-link Indonesia) melaksanakan Umroh 02-10 April 2011, semoga hubungan kerjasama tetap terjalin dengan baik.

    Saya ucapkan terima kasih atas pelayanan mulai brgkt sampai tiba di tanah air.

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *