Jika jiwa ini besar, maka raga tak kan pernah lelah mengikuti kehendaknya. Namun jika jiwa ini kerdil, maka tak ada raga yang mampu melewati batas-batas dirinya.
Masih terekam dalam benak saya, ketika awal saya berada di sebuah komunitas yang penuh harap. Di tempat kerja sekaligus “Lab Intelektual” yang penuh dengan mimpi. Berjuta rasa terbang menyelinap pada sel-sel darah yang menghembus pada sebuah harap dan mimpi besar. Menerjang meleburkan pikiran yang kaku, menggebrak tindakan yang layu, dan mengepung jiwa tuk berpikir besar dengan tindakan yang detail. Salah satu yang terus terngiang dalam langkah ini, adalah ‘desakan’ untuk terus memiliki sebuah HARAP dan MIMPI. Yah, tentunya semua harap itu harus terbungkus oleh suatu tindakan riil yang menghasilkan karya, karena kerja tanpa karya sulit tuk menembus suatu harap dan mimpi besar. Yang perlu saya tegaskan lagi, adalah ketika jiwa tak memiliki harap, atau sebuah mimpi yang besar, maka perjalanan ini akan penuh dengan rasa lelah, bosan dan berakhir putus akan asa. Yah, point itulah yang kerap menggerakkan ritme langkah ini. Ketika saya dan keluarga memiliki sebuah keinginan atau mimpi memiliki sebuah rumah asri, yang terdapat paviliun segar, dan halaman teduh dibelakangnya, tempat bermain serta berkumpul keluarga. Tempat merangkai cita dan bersenda gurau sembari menikmati teh hangat di pagi hari, di garasi depan sudah terparkir kendaraan yang siap menghantar anak dan istri berlibur, dan semua keindahan yang terlukis dalam cita dan mimpi. Namun, tentunya saya harus mengubur jauh-jauh mimpi itu, ketika daya pikir dan kerja saya masih terus seperti biasa tanpa daya jangkau yang lebih ‘meledak’. Masih terus merangkak dan berjalan apa adanya tanpa sebuah Harap.
Rasulullah SAW sekali pun kerap memberikan semangat pada umatnya untuk selalu punya harap dan mimpi tuk meraih kehidupan dunia yang layak. Seperti sabdanya, “Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kau hidup selama-lamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kau akan mati besok”. Dua dimensi yang dikatakan Rasul adalah kehidupan dunia yang juga menunjang untuk perbekalan perjalanan selanjutnya. Keseimbangan antara kebahagian dunia dan akhirat menjadi prioritas dalam setiap langkah manusia muslim yang berakal.
Rasanya untuk menggapai semua impian besar itu, yang perlu dilakukan sedini mungkin adalah identifikasi diri akan kemampuan dan kepercayaan diri, percaya pada diri bahwa semuanya akan bisa dilakukan. Percaya dalam diri sendiri adalah sebuah perasaan hati. karena, biasanya orang yang memiliki rasa percaya diri tidak akan langsung putus asa begitu saja. Ia tidak secara sporadis anjlok berubah menjadi sangat sedih, ketika keadaan hidupnya berjalan kurang lancar. Karena yang mempengaruhi semangat kita bukanlah faktor-faktor dari luar, melainkan hati dan jiwa kita sendiri. Jika sebelum berusaha sudah dikalahkan oleh diri kita sendiri, biarpun ada banyak bantuan yang tertuju, tetap tidak akan pernah membantu.
Tidak salah rasanya, jika saya mengutip sebuah kisah tentang bagaimana keadaan jiwa itu sebenarnya dapat terlukis dalam pikiran kita. Di sebuah perusahaan rel kereta api ada seorang pegawai, namanya Nick. Dia sangat rajin bekerja, dan sangat bertanggung jawab, tetapi dia mempunyai satu kekurangan, yaitu dia tidak mempunyai harapan apapun terhadap hidupnya, dia melihat dunia ini dengan pandangan tanpa harapan sama sekali.
Pada suatu hari semua karyawan bergegas untuk merayakan sebuah perayaan di rumah bos mereka, semuanya pulang lebih awal dengan cepat. Yang tidak sengaja terjadi adalah, Nick terkunci di sebuah mobil pengangkut es yang belum sempat dibetulkan. Nick berteriak, memukul pintu dengan keras, semua orang di kantor sudah pergi ke rumah bosnya, maka tidak ada satu pun yang mendengar teriakan Nick.
Tangannya sudah merah kebengkak-bengkakan memukul pintu mobil itu, suaranya sudah serak akibat berteriak terus, tetapi tetap tidak ada orang yang mempedulikannya, akhirnya dia duduk di dalam sambil menghelakan nafas yang panjang. Semakin dia berpikir semakin dia merasa takut, dalam hatinya dia berpikir, Dalam mobil pengangkut es, suhunya pasti di bawah 0 derajat, kalau dia tidak segera keluar dari situ, pasti akan mati kedinginan. Dia terpaksa dengan tangan yang gemetar, mencari secarik kertas dan sebuah bolpen, menuliskan surat wasiatnya.
Keesokkan harinya, semua karyawan pun datang bekerja. Mereka membuka pintu mobil pengangkut es tersebut, dan sangat terkejut menemukan Nick yang terbaring di dalam. Mereka segera mengantarkan Nick untuk ditolong, tetapi dia sudah tidak bernyawa lagi.
Tetapi yang paling mereka kagetkan adalah, listrik mobil untuk menghidupkan mesin itu tidak dihubungkan, dalam mobil yang besar itu juga ada cukup oksigen untuknya, yang paling mereka herankan adalah suhu dalam mobil itu hanya 28 derajat saja, tetapi Nick malah mati “kedinginan” !!
Nick bukanlah mati karena suhu dalam mobil terlalu rendah, dia mati dalam titik es di dalam hatinya. Dia sudah menghakimi dirinya dengan sebuah hukuman mati yang terdapat dalam jiwa dan pikirnya, juga karena ia tidak memiliki sebuah harap dalam hidupnya, sehingga mudah untuk tunduk dan menyerah.