Kehidupan dan kematian adalah bagian dari fase perjalanan manusia menuju pertanggungjawabannya di akhirat. Kehidupan dan kematian ibarat dua sisi dari satu mata uang, keduanya tidak mungkin bisa dipisahkan, dimana ada kehidupan di situ pasti ada kematian. Kematian hanyalah pintu gerbang kehidupan berikutnya, kematian adalah titik tolak proses perjalanan selanjutnya, kematian adalah suatu perjalanan tanpa batas, menembus waktu dan masa untuk akhirnya berhenti di antara dua kemungkinan, yakni kemungkinan berhenti di terminal kebahagian selamanya, atau berada di stasiun kesengsaraan yang abadi. Perjalanan hidup dan mati sesungguhnya adalah suatu anugerah terdahsyat, dalam (QS. 2 : 28) Allah bertanya dengan sebuah pertanyaan yang mengarah pada keyakinan akan sebuah anugerah hidup dan mati. “Bagaimana kalian akan kufur kepada-Ku, sedang kalian saat mati Aku hidupkan, kemudian Aku matikan, kemudian Aku hidupkan, kemudian kepada-Ku kalian kembali†(QS. 2:28). Perjalanan untuk perjalanan selanjutnya –sejatinya- menjadi sebagai arena grand final kehidupan. Semua orang tertuju pada garis finish, namun tidak semua orang yang berakhir happy ending dalam menggapainya. Karenanya, khusus untuk sebuah “Journey†sebelum journey selanjutnya dimulai, ada “Simulasi†journey yang patut menjadi bahan perenungan dan aksi saat kembali beraktivitas pada kehidupan dunia. Semua “Simulasi†itu meliputi pada sebuah perjalanan suci, yakni haji dan umrah.
Sebelum menjawab, kenapa perjalanan haji dan umrah sebagai “Simulasi†kongkrit dalam menghadapi rimba kehidupan, sebaiknya kita uraikan terlebih dulu sebuah Hadist Rasulullah SAW.
Diriwayatkan pada suatu hari sahabat Mu’adz bin Jabal bertanya kepada Rasulullah SAW: Yaa Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang ayat “…dan ditiuplah terompet, maka mereka datang berbondong-bondongâ€. Mendengar pertanyaan ini, menangislah Nabi Muhammad SAW. Hingga basah pakaiannya, kemudian beliau bersabda: “Wahai Mu’adz engkau menanyakan sesuatu yang teramat dahsyat. Umatku akan digiring dari kubur, mereka menuju Masyhar menjadi dua belas barisan.
Diantara barisan tersebut, beragam penderitaan tampak pada iring-iringan mereka. –tentu- semuanya adalah buah dari perjalanan sebelum mereka dimatikan (perjalanan dunia). Semua keburukan yang tampak tak ubah dari efek yang mereka kerjakan di dunia. Akumulasi kehinaan tercermin dari buruknya ikatan mengenal Allah (Hablu Minallah) atau hubungan garis vertikal antara makhluk dan Khalik, dan hancurnya ikatan sosial (Hablu Minannas) atau hubungan garis Horizontal antara makhluk dan makhluk.
Semua yang terjadi itu –sesungguhnya- terbingkai dalam proses “Pensucian†paripurna dalam perjalanan “Simulasi†hidup pada rangkaian haji dan umrah. Semua dimensi itu bermuara pada setiap langkah proses perjalanan suci tersebut. Dimensi vertikal tercermin pada niat awal dari ihram, meniadakan sekutu bagi Allah Ta’Ala, mengosongkan kekuatan manusia, dan membalutkan diri pada kain putih tanpa helai-pun dalam tubuh.
Pada dimensi Horizontal, “Simulasi†ini sangat kokoh mengedepankan perdamaian sesama manusia. Laa Fusuqa, Laa Jidaala, Laa Rafasa mencerminkan suatu ikatan damai sesama makhluk. Tidak merusak, tidak membunuh (berburu), dan seribu macam kesholehan terkandung padanya.
Tentu secara detail, aktivitas “Simulasi†kehidupan ini merangkai semua yang terjadi pada perjalanan hidup di dunia. Sehingga pembelajaran itu kan melekat pada setiap aktivitas hidup menjelang perjalanan selanjutnya.
So, Seruan Khalilullah Ibrahim As. Ratusan abad lalu tuk menunaikan haji dan umrah adalah modal penting untuk bekal mengarungi rimba kehidupan. Let’s go to hajj!