Umat Islam dimana pun berada, tentunya pernah dan –mungkin- sering mendengar ayat-ayat Al-Qur’an mengenai kematian, kehancuran dan kefana-an bumi yang kita pijak. Banyak buku dan artikel tentang kematian telah kita baca, banyak pula gambaran serta fenomena manusia yang berakhir ajalnya secara tiba-tiba. Namun, semua itu terkadang hanya sebatas intermezzo yang melintasi benak kita, jarang terpikir dan mudah terlupakan. Karena memang kita tak pernah merasakan sebuah kematian. Ketika nyawa dan jiwa telah tiada, maka manusia hanya sesosok jasad yang tak berarti. Manusia yang meninggal hanya dapat dikatakan jenazah atau –maaf- bangkai, dan tidak lagi disebut manusia seutuhnya. Jasad memang tidak memiliki kinerja, jasad akan berhenti ketika nyawa telah tiada di badan. Andai saja ada teori yang bisa menjelaskan semua tentang bagaimana cara kita mati, bagaimana rasanya mati, dan apa yang terjadi ketika kita mati. Tapi sampai saat ini tak ada satu logika dan pemikiran manusia yang dapat memastikan jawaban itu.
Sebagai manusia, kita kadang sering menghindari pikiran tentang kematian. Terlebih dunia saat ini telah menuntun kita pada budaya “This is Me!”, narsis akut dan ragam pengagungan pada kehidupan. Tanpa terasa, kita telah menjadi budak yang terlalu mengagungkan semua yang kita miliki di dunia, kekayaan, jabatan, kecantikan, dan semua berpikir itu akan berlangsung selamanya. Kita selalu yakin dengan hari esok, seakan esok pagi kita masih bernyawa. Siapa yang menjamin besok kita masih dapat melihat keindahan dunia, kita masih merasakan sentuhan indah sang buah hati, kita masih berjumpa dalam kehangatan keluarga. Jawabannya tak ada yang bisa menjamin nyawa kita masih bersatu dengan tubuh saat kita bangun esok hari.
Ketika nafas terakhir di hembuskan maka manusia hanya menjadi mayat, kemudian dikuburkan, setelah itu tak ada lagi kita, yang ada hanya nama yang terukir di batu nisan, dan jejak atau nama baik serta buruk kita yang dikenang oleh masyarakat. Saat jasad telah mati, maka yang terjadi adalah proses pembusukan yang cepat. Setelah dimakamkan, bakteri-bakteri dan serangga dengan cepat berkembang biak pada jasad kita. Tubuh menggembung, mulai dari perut yang berimbas pada perubahan bentuk dan rupanya. Buih-buih darah meletup dari mulut dan hidung karena tekanan gas yang terjadi di sekitar diafragma. Rambut, kuku, tapak kaki dan tangan terlepas, seiring dengan terjadinya perubahan di luar tubuh, organ tubuh bagian dalam seperti paru-paru, jantung dan hati juga membusuk.
Sementara itu, pemandangan yang paling mengerikan terjadi di sekitar perut, ketika kulit tidak dapat lagi menahan tekanan gas dan tiba-tiba pecah, menyebarkan bau menjijikkan yang tak tertahankan. Mulai dari tengkorak, otot-otot akan terlepas dari tempatnya. Kulit dan jaringan lembut lainnya akan tercerai berai. Otak juga akan membusuk dan tampak seperti tanah liat. Semua proses ini berlangsung sehingga seluruh tubuh menjadi kerangka.
Yaa Ilahi Rabbi! Wa in’lam taghfirlana lanaku nanna minal khosirin’ (Yaa Allah! Jika Kau tidak mengampuni kami, maka kami akan menjadi orang yang sangat-sangat merugi). Mengingat kematian bagi orang berfikir, sungguh membuat jiwa bergetar. Semua ini menyadarkan kita, bahwa kita bukanlah siapa-siapa. Meski di dunia batasan sosial membedakan, tetapi saat menghadapi kematian, kita bukanlah apa-apa, kita hanya tulang belulang yang menjijikkan.
Tanpa bermaksud mengajarkan pada ‘burung’ untuk terbang, pada ‘ikan’ tuk berenang, sebaiknya kita sisihkan waktu sejenak tuk “Berwukuf” diantara deretan aktivitas yang terkadang melelahkan jiwa. Apa yang sudah kita persiapkan untuk bekal kelak (?) Mari kita coba pilah, apakah yang kita bawa secarik check, sertifikat rumah, predikat status sosial kah (?) Apakah kita tahu mata uang apa yang berlaku di keheningan kavling yang tak lebih luas dari pembaringan kita (?) Bisakah segala kesempurnaan jasad kita merayu penguasa kubur (?) Bila nanti kita mati…Entah apa yang bisa kita banggakan!
Di penghujung ‘catatan pinggir’ ini, saya mengutip sebuah sajak kematian dari pesan mail beberapa hari lalu.
Perlahan, tubuhku ditutup tanah.
Perlahan, semua pergi meninggalkanku.
Masih terdengar jelas langkah-langkah terakhir mereka.
Aku sendirian ditempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri, menunggu keputusan…
Istri, sang belahan hati, belahan jiwa pun pergi,
Anak, yang di tubuhnya mengalir darahku, tak juga tinggal,
Apalagi sekedar tangan kanan, kawan dekat, rekan bisnis, atau orang lain,
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka.
Istriku menangis, sangat pedih, aku pun demikian,
Anakku menangis, tak kalah sedih, dan aku juga,
Tangan kananku menghibur mereka, kawan dekatku berkirim bunga dan ucapan,
Tetapi aku tetap sendiri, disini, menunggu perhitungan…