Menggugah Jiwa, Membangun Rasa

Dalam suatu perusahaan, setiap produk, tentunya akan selalu mencapai titik jenuh. Sehingga hal ini mengharuskan setiap perusahaan melakukan inovasi atas produknya. Paling tidak hanya merubah bentuk, walaupun komposisi dan kontennya tetap. Bisa juga hanya dengan menggalakkan lagi promosi, memperbagus seni pengemasan, bahkan sampai melakukan merger atau joint venture dengan perusahaan lain hanya demi melakukan sebuah inovasi sebuah produk baru. Hal itu tentu saja bertujuan untuk menjaga keberlangsungan ‘hidup’ perusahaan ditengah persaingan yang menggila. Titik jenuh, itulah sebuah awal mula yang terkadang begitu mengerikan. Bisa saja seseorang jenuh, sehingga dengan kejenuhannya dia malah tidak berproduksi sama sekali. Jika tubuh diibaratkan sebagai sebuah perusahaan, dimana dia memproses input atau bahan baku menjadi output yang siap pakai. Maka kelangsungan dari tubuh ini haruslah dipertahankan. Sama seperti contoh perusahaan diatas. Manusia itu sendiri adalah makluk yang paling cepat bosan. Sehingga selalu mencari sensasi. Mulai dari hiburan yang rileks sampai hiburan yang begitu extreme.

Jika tubuh manusia ibarat sebuah perusahaan, maka outputnya adalah sikap. Lalu inputnya apa (?) Inputnya tentu adalah hati. Hati adalah sumber segala input dalam tubuh manusia. Bila ia mahir mengelola hati dengan baik. Maka output yang dihasilkan juga akan baik. Akan tetapi yang jadi masalah sekarang adalah titik jenuh dari produk manusia itu tadi. Bagaimana menyikapinya (?) Jawabannya tentu sama seperti dengan perusahaan dalam menyikapi permintaan konsumen yang terus membutuhkan sesuatu yang baru. Yaitu melakukan perubahan.

Hati biasanya berkaitan erat dengan ibadah. Baik yang bersifat ritual maupun sosial. Ini pun dituntut seimbang sehingga tidak terjadi ‘wanprestasi’. Dimana satu lebih tinggi dari lainnya. Kita harus mengakui, bahwa sering kali kejenuhan itu membuat kita seolah seperti hidup segan mati pun enggan. Ingin bekerja rasanya kenapa harus itu-itu saja. Ingin beribadah rasanya itu-itu saja. Sehingga akhirnya malah membuat hilangnya produktivitas tubuh. Lalu apa yang akan terjadi (?) Maka tubuh pun bisa di ibaratkan menjadi ‘seogok’ barang yang tak berguna. Mengapa (?) Karena sudah tidak menghasilkan apapun. Baik bagi dirinya sendiri maupun bagi sekitarnya.

Hal ini sebenarnya telah disikapi oleh Islam, dimana Allah telah bersumpah demi waktu. Manusia itu akan celaka jika dia tidak berbuat kebajikan dan kebaikan. Pun akan celaka bila mereka tidak mengejarkan ibadah dengan baik. Secara sepintas disini manusia diajarkan untuk bisa ‘memanage’ waktu dengan sebaiknya. Atau dengan kata lain, ada efisiensi dari waktu. Lalu kita harus menciptakan hal yang effektif dari kegunaan tersebut.

Banyak hal sebenarnya yang bisa kita lakukan. Dalam sebuah hal kecil saja bisa saja itu menjadi sebuah inovasi produk yang akan kita jual kepada Allah SWT. Juga kepada diri sendiri. Semakin sering kita berproduksi, maka semakin terasa kegunaan dari tubuh dan hati tersebut. Terkadang kita –sering- pula beranggapan bahwa kita tidak akan bisa menjadi lebih baik. Anggapan ini cenderung menyesatkan dan lebih sering mematikan cahaya dan gelora dalam diri. Allah menciptakan manusia dengan kemampuan yang sama. Tidak ada yang dilebih-lebihkan kecuali mereka yang berilmu. Jika demikian, maka ‘economic of scale’ berlaku juga pada diri kita, yakni memanfaatkan kemampuan sampai ke batas produksi yang inofatif.

Maksudnya, saat kita melakukan thowaf –misalnya-, tubuh ini tetap begitu-begitu saja bukan (?) Saat kita tidak melakukan apapun, tubuh ini masih tetap sama. Tidak ada yang berubah. Lalu mana yang lebih baik (?) Diam atau melakukan sesuatu (?) Nah itulah mungkin yang dimaksud dengan ‘economic of scale’ dimana biaya memproses satu produk dengan memproses seribu produk adalah sama. Jadi lebih baik proses saja sebuah produk dengan kapasitas produksi yang terbanyak. Hingga tidak adalagi ‘idle capacity’ dalam tubuh kita ini.

Berangkat dari sini, maka sesungguhnya kejenuhan dan kebosanan itu adalah sebuah hal yang bisa diatasi. Bahkan –mungkin- seharusnya tidak perlu terjadi. Tak perlu selalu tenggelam dalam segala hal yang terjadi pada diri ini. Semuanya bisa diatasi jika ada keinginan. Keinginan untuk terus hidup dalam keadaan terbaik. Keinginan untuk terus memanfaatkan semua kapasitas dan kemampuan yang ada. Keinginan untuk terus menggapai ridha-NYA. Mungkin saya hanya bisa sebatas menulis teori tanpa praktik, tetapi alangkah indahnya jika kita sudah tahu teori diatas, kita mencoba melakukannya bersama-sama, setahap demi setahap. Dari sini, kita melangkah untuk terus menjadi manusia. Bahkan umat terbaik diantara seluruh umat.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *