Kemana kita setelah berhaji (?) Sebagai seorang “Pak Haji” atau orang biasa yang pernah berhaji -bila tak ingin disebut “Pak Haji”-, gerak kita seolah dibatasi oleh tembok-tembok norma. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Harus bisa ini, harus bisa itu. Citra Pak Haji sebagai “orang suci” masih erat melekat di mata masyarakat. Di pelosok-pelosok daerah, Pak Haji sepertinya kurang pas kalau kemana-mana tidak memakai kopiah dan berdiri di shaf pertama saat shalat berjamaah. Meski tidak sekuat di daerah, di perkotaan citra Pak Haji tetap masih bertahan di benak masyarakat. Namun lebih ke arah substansinya seperti bagaimana akhlak dan ibadah sepulang haji menjadi sorotan. Bila yang melakukan maksiat adalah orang awam, sepertinya masyarakat sudah menganggap biasa. Tapi kalau Pak Haji pelakunya, bakal jadi berita heboh bak kejahatan luar biasa.
Oleh karena itu rasanya kita patut lebih berhati dalam melangkah. Mabrur diraih bukan tanpa perjuangan. Dari pada merasa terkungkung dengan batasan norma lebih baik nikmati saja karena menjaga norma Islam adalah wujud ketaatan kepada sang Khalik. Fokus pada kebebasan berlimpah pasca haji. Kita bebas berperan lebih banyak bagi umat karena takkan khawatir dibilang sok alim seperti kala belum ke tanah suci. Wajar jika ‘bu haji’ melarang karyawannya memakai pakaian ketat padahal dahulu bisa jadi beliau salah satu penggiatnya. Pak haji tidak akan ditertawakan bila menggagas majlis taklim karyawan klub malam, meski sudah tidak lagi clubbing. Atau mungkin menjadi pendiri gerakan wakaf Al Qur’an se Asia Tenggara.
Kemanakah kaki kita melangkah (?) Karena ia akan menjadi saksi di akhirat kelak. Pergi belanja ke Mall menjadi ladang tarbiyah saat si kecil diminta mencari permen berlabel halal. Pergi dinas ke Macau, jadi ladang amal, kala kita malah berhasil membuat direktori restoran halal di Macau.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mempertahankan kemabruran kita. Air mata yang senantiasa deras mengalir saat shalat tahajud di depan Ka’bah, apakah akan tetap mengalir setelah 4 bulan kembali berjibaku dengan padatnya pekerjaan kantor. Ketawadhu’an, keikhlasan, kesabaran, keramahan, dan semangat menebar salam kala berinteraksi dengan jutaan jemaah haji, janganlah sirna ditelan waktu. Bergabung dengan komunitas orang-orang sholeh. Bagi setan, kita laksana banteng yang sendirian padahal singa takkan berani memangsa banteng yang berkerumun. Lagian sederhana saja rumusnya. Bergaul dengan tukang minyak, maka kita akan ikut wangi.
Kemanakah Pak Haji melangkah (?) Mari sesekali kita singgah ke bantaran kali ciliwung, sekedar mengantar sebungkus fried Chicken atau gado-gado untuk sang dhuafa yang menahan lapar. Atau rutin bertamasya ke pusara untuk mengingat maut yang pasti datang meski bekal belumlah cukup. Bisa juga Cicipi mahalnya kesehatan lewat jendela ruang ICCU.
Mari kita simak, kemana kaki kita melangkah (?).
inspiring….tp bagi yang belum berhaji, pertanyaannya adalah when will I go Hajj? ….