“Aku Lebih takut kepada seorang jurnalis daripada ribuan pasukan bersenjata”
-Jenderal Napoleon Bonaparte –
Islam adalah agama syiar. Begitu saya menangkap isi dari diskusi ringan kami di Cordova. Setiap gerak dan nafas kita di dunia tidak akan lepas dari aktivitas syiar, para Nabi dan Rasul adalah peletak dasar syiar di mana mereka di utus. Bagi Islam, syiar adalah wajah agama. Nyawanya adalah akidah dan tauhid, sedang organnya adalah syariah yang kita aktualisasikan dalam beribadah setiap hari. Sebagai wajah, -tentunya- syiar menjadi tampilan sekaligus miniatur keindahan, pesona dan daya tarik orang untuk mengenal lebih dekat tentang agama Islam. Karenanya berbagai kekerasan, kebencian dan keterbelakangan yang kerap dipertontonkan dalam wajah Islam, sesungguhnya adalah pendustaan akan hakikat syiar dalam Islam. Sebelum banyak membahas permasalahan fikih, atau ibadah lainnya, idealnya Islam memiliki komunitas khusus penyebar syiar yang konsisten. Sebab tanpa itu, hentaman demi hentaman akan menghancurkan bangunan Islam yang tersusun rapi, gejolak fitnah kan melanda. Wal akhir, Islam kan terlumat oleh syiar yang justru menyudutkannya. Fenomena yang kita rasakan akhir-akhir ini, sudah jelas menggiring umat manusia untuk mengenal Islam sebagai agama yang kejam, bodoh, terbelakang dan bar-bar. Tampak misi syiar yang dihembuskan setiap saat memiliki tujuan untuk ‘menelanjangi’ Islam di mata dunia. Menghancurkan dengan halus melalui opini publik dan syiar-syiar yang menyesatkan.
Kuncinya satu, media. Syiar konvensional melalui dakwah di Masjid –mustinya- diterapkan pula dengan kondisi zaman sekarang, karena Islam bukan hanya agama masa-lalu yang tidak mentolerir segala aspek keduniaan melalui kecanggihan teknologi dengan penguasaan media. Justru, kini media ibarat senjata super dahsyat dalam membangun peradaban. Secara face to face, kekuatan Islam mustahil dikalahkan, namun dengan hembusan media, kekuatan itu justru larut dalam opini-opini publik yang bergelombang menyeret arus sebagian besar komunitas muslim. Lantas kita tidak mampu membendung dan melawannya, karena kita tidak bisa merebut media dari tangan mereka.
Banyak contoh bagaimana kekuatan media yang mampu mempengaruhi gerakan massal. Dalam arti siapa yang memiliki media, maka ia mampu melakukan propaganda yang maksimal. Meski dalam penyusunan opini, media meliputi para kuli tinta, atau insan pers, yang dipagari oleh kode etik jurnalistik, seperti wartawan yang harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Yah, idealnya seperti itu, namun jangan lupa, dunia media massa kini telah berkembang pesat menjadi institusi industri, yang tentu saja landasan pikirnya tidak bisa lepas dari aspek bisnis agar bisa meraih keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya. Itulah fakta, seorang owner media, –tentunya- dengan sangat mudah menggerakkan massa melalui corong syiarnya.
Kondisi seperti itu, tidak lantas kita melempar anduk pertanda menyerah dengan gelombang syiar yang selalu menyudutkan agama Islam tercinta. Masih banyak celah yang bisa kita raih, terutama di era keterbukaan yang semakin terang benderang. Dunia dapat kita genggam dengan hanya berada dalam bilik kecil, akses internet sudah sangat lumrah dimana-mana, jejaring sosial pun dapat dijadikan senjata untuk ‘white campaign’ umat Muslim dalam menyiarkan keindahan Islam. Kita jadikan penemu jejaring-jejaring sosial itu menyesal, karena ‘senjatanya’ digunakan balik untuk kemaslahatan syiar Islam.