Petang itu, hujan lebat baru saja reda. Jalanan ibukota mulai penuh dengan genangan air, kontan saja waktu sibuk-sibuknya orang pulang kantor itu membuat jalanan semakin macet. Mengantri, menghindari lubang dan genangan air. Terlebih waktu itu adalah hari Jum’at, malam weekend. Meski tidak turun hujan, biasanya macetnya selalu panjang. Dengan sedikit cemas, saya meminta kepada supir taksi untuk mencari jalan alternatif menuju Tebet. Saat itu, saya mendadak harus segera ke Bandung, setelah mendapat kabar bahwa orangtua saya sakit keras. Karena satu-satunya transportasi yang available saat itu adalah travel yang lokasinya di daerah Tebet, Jakarta Selatan, itupun tersisa hanya satu seat lagi. Maka tanpa berpikir panjang saya segera melaju kesana menggunakan taksi dari Depok. Jam keberangkatan travel itu pukul 19.30, sedangkan jam 19.00-nya, posisi saya masih di daerah Pasar Minggu, karenanya saya sedikit kurang nyaman duduk dengan selalu melihat jam tangan. “Biasanya kalau arah menuju Pancoran jam segini gak terlalu macet Bang”, gumam sang supir, seolah telah paham keresahan saya takut terlambat mobil travel.
Wal hasil, sesampai di lokasi, saya memang terlambat, dan tertinggal travel yang sudah jalan sejak 10 menit yang lalu. Sedangkan schedule keberangkatan lainnya hanya ada pukul 23.00 malam, itupun seat-nya sudah full. Diantara rasa kecewa, saya teringat dengan transportasi Kereta Api, yang jadwal keberangkatan terakhir menuju Bandung adalah pukul 20.35. Pikir saya masih tersisa sekitar 45 menit, karena hujan telah reda, saya segera meluncur menuju stasiun Jatinegara menggunakan ojek. Syukurlah, tiba di stasiun Jatinegara saya masih berkesempatan mendapatkan tiket dan berangkat tepat pukul 20.35.
Setelah lebih dari sepertiga perjalanan, suasana gerbong yang sejak awal terasa hening dan ‘nikmat’ untuk beristirahat, tiba-tiba terganggu oleh dua anak kecil berumur 4 dan 6 tahun yang berlarian di dalam gerbong. Sesekali pramugari KA menegur ramah untuk tidak berlari-lari di dalam kereta. Sedangkan seorang ibu bercadar yang diduga orangtuanya, hanya diam memandang ke arah jendela KA. Seolah tak peduli anak-nya mengganggu penumpang kereta lainnya. Setelah pramugari meninggalkan gerbong, anak-anak itu kembali berlari-lari, dan kini saling berebutan mainan. Kesana-kemari sambil berteriak, dan “Prang” anak yang berusia 4 tahun menyenggol seorang Bapak yang sedang menyantap mie kuah, hingga tumpah mengenai pakainnya.
Bukannya kaget dan meminta maaf, si ibu yang bercadar itu hanya melirik sekali ke arah suara mangkuk itu jatuh, lalu kembali terdiam. Dan anak-anak itu masih berlari ke arah belakang dengan teriakan yang semakin mengganggu penumpang se isi gerbong. Kontan saja, bapak berusia sekitar 50 tahun, yang tertumpahi itu merasa kesal, dan mendatangi si perempuan bercadar itu, “Bu, tolong anaknya di jaga dong”, ujar si Bapak sembari melihatkan pakaiannya yang terkena air mie, kesal. beberapa penumpang yang bersebelahan dengan saya pun menggerutu atas aksi cuek-nya si ibu bercadar. Si ibu memanggil anak-anaknya dan menyuruhnya duduk, namun tidak lama kemudian si anak kembali keluar dari tempat duduknya dan kembali berlari-lari. Bahkan kini mereka memainkan tombol pintu otomatis, tempat keluar-masuk yang juga bersebelahan dengan toilet gerbong.
Karena begitu kesalnya, banyak dari penumpang yang awalnya merasa khawatir jika si anak terjatuh, atau kenapa-kenapa saat kereta sedang jalan, kini seolah geram kepada si ibu, karena merasa membiarkan anak-anaknya berlarian mengganggu penumpang lainnya. Hampir semua penumpang di gerbong itu merasa kesal.
Setelah berapa lama memainkan tombol otomatis pintu itu, seorang ibu separuh baya baru saja keluar dari toilet, ketika masuk ke gerbong, kakinya sedikit terjepit oleh pintu otomatis, dan hampir terjatuh. Ternyata tombol otomatis itu di pijit oleh anak yang berusia 7 tahun. Si ibu semakin geram, namun ia sadar yang dihadapinya adalah anak-anak, maka ia menghampiri wanita bercadar yang duduknya tepat dua baris di depan saya. “Bu bisa ngurus anak gak sih!” bentaknya keras. “Dari tadi anaknya mengganggu semua penumpang, tapi ibu koq diam saja”. Katanya dengan nada tinggi. Si ibu bangkit dan menghampiri kedua anaknya, menenangkannya dan membawa kembali ke tempat duduk mereka.
Dengan sangat sopan dan hati-hati ia berujar ke para penumpang bahwa ia bukan ibunya, “bapak, ibu semua, saya mohon maaf atas kelakuan anak-anak ini, mereka adalah keponakan saya, saya masih shock dan benar-benar bingung bagaimana menceritakannya kepada mereka, bahwa ayah dan ibu-nya baru saja meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas sore tadi, saya masih belum tega menceritakannya kepada mereka, saya masih menahan untuk bercerita, bahwa kita ke Bandung akan melihat jasad orang-orang yang sangat dicintainya”, sambil tak kuasa dari hentakan suaranya, terdengar si ibu bercadar itu menangis tak kuasa hingga memeluk kedua keponakannya yang ternyata baru tahu bahwa orangtuanya telah tiada.
Hampir seluruh penumpang se gerbong itu terdiam, sikap mereka berubah total, dari memandang kesal karena kenakalannya berubah menjadi iba dan kasihan.
Ending peristiwa ini mengajarkan saya, betapa dengan sebuah informasi yang jelas, maka keadaan akan berubah 180 derajat. Karena dengan informasi, maka segala sesuatunya akan berjalan mulus. Betapa banyak kehancuran di sebuah project, karena lemahnya faktor informasi yang dikomunikasikan dengan sangat jelas.