Dalam setiap pengambilan sikap, kita dianjurkan untuk menyatakannya dengan tegas dan lugas. Hitam atau putih, maju atau mundur. Pun demikian dalam sebuah komando, sikap prajurit harus menyatakan kesiapannya menyambut tugas dengan sangat respek. Begitupula dalam Islam, Rasulullah SAW mengajarkan untuk selalu tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Terlebih antara haram dan halal. Terbebas dari sebuah ketidak jelasan. Menghindar dari posisi abu-abu, antara iya dan tidak, tampak siap namun ragu. Hal demikianlah yang kerap menjadikan peran musuh mudah melakukan apa yang mereka inginkan. Hal demikian pula dapat menggelincirkan sikap serta watak manusia pada suatu sikap yang patut dihindari, yakni kemunafikan. Atau terlampau nyaman dengan zona ‘nyaman’ sehingga sikap yang ‘tampak’ respek terlihat seolah-olah bereaksi, namun pada kenyataannya tiada aksi yang tereksekusi. Kalaupun terjalani atau tereksekusi, itupun hanya berjalan beberapa saat saja, setelah suasana kembali normal, maka ‘perintah’ itu akan kembali terabaikan. Kontinyuitas dan komitmen itulah yang kini menjadi harga mahal bagi kebanyakan masyarakat kita.
Yah dewasa ini, kita kerap dihadapkan dengan kondisi yang kurang jelas, abal-abal atau selalu berhadapan dengan sikap yang tidak lugas. Baik dalam tataran kepemimpinan nasional, maupun dalam scoop yang lebih kecil, antara pimpinan dan bawahan pada sebuah company. Pernyataan ‘siap’ yang terlontar dalam kesiapan kerja –terkadang- hanya merupakan sikap reaksi, namun terkendala dengan aksi riil. Terlepas dari skill yang mumpuni, masalah ini akan memunculkan stigma buruk bagi individu yang terbiasa melakukan reaksi tanpa aksi tersebut.
Namun –tentunya- tidak bisa dikatakan buruk juga, karena ia telah bereaksi, respek terhadap suatu permasalahan (tidak ‘membatu’ alias apatis), tetapi karena kosong dari aksi itulah yang menyebabkan reaksi itu menjadi tidak berguna. Jika kita masih kabur dalam memahami ‘Reaksi tanpa aksi’, marilah sedikit kita ambil sepenggal contoh mengenai banjir yang kerap melanda di setiap sudut kota saat ini. Setiap akan banjir kita sudah bereaksi untuk mencegah banjir itu, baik dengan bersiap untuk di evakuasi dari tempat banjir, atau menyiapkan penghalang agar air tidak masuk ke dalam rumah. Namun aksi untuk mencegah agar banjir itu tidak melanda kembali, menjadi hal yang teramat sulit dilakukan. Biarlah aksi untuk menangani masalah itu dibebankan kepada orang. Bereaksi namun tanpa aksi.
Contoh lain, ketika seorang pemimpin perusahaan memberikan perintah untuk memberikan pelayan yang terbaik kepada setiap client-nya, dengan sigap kita menyatakan kesiapannya. Bereaksi menyambut perintah tersebut, namun disisi lain ternyata kita tidak memberikan pelayanan terbaik bagi dirinya sendiri. Penampilan, performance dan body langunge yang kerap mengendurkan kualitas layanan tersebut. Bukankah hal demikian juga sebagai pertanda reaksi tanpa aksi (?).
Tentunya, tulisan ini bukanlah sebuah ajang men-judge bahwa kita hanya bisa bereaksi namun kosong dari aksi, terlampau lembut dari bahasa ‘OMDO’. Namun menjadi semacam intropeksi diri bahwa untuk menciptakan sesuatu bernilai tinggi, ternyata tidak bisa hanya dengan sikap reaksi atau cukup dengan respect, namun perlu lebih riil dengan aksi yang telah kita rencanakan.