Dalam banyak kasus, manusia terkadang kerap memperlihatkan kegelisahannya ketika mengalami musibah. Tidak hanya itu, kadang juga menggerutu, menyesali, menyalahkan orang, alam, bahkan Tuhan. Banyak juga –yang karena- tidak mampu menahan tekanan hidup, mereka justru menekan diri dan jiwanya hingga mengalami tekanan jiwa. padahal sesungguhnya, jika kita berani membuka tabir yang ada, masih banyak jutaan manusia yang mengalami hidup jauh lebih menderita dengan apa yang dialaminya. Karenanya, Rasulullah SAW senantiasa memberikan semangat bagi mereka yang sedang berada pada musibah, kekurangan dan juga kemiskinan, bahwa ‘Sunatutadawul’ atau siklus perputaran akan terus terjadi pada setiap orang, jika tidak di dunia, maka ia akan merasakannya di kampung akhirat yang kekal nan abadi. Syaratnya satu, kembalikanlah semua itu kepada Dzat Pemiliknya, Rabbul Izzati, ALLAH SWT. Pun mengenai nasib hidup yang kurang beruntung, Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk selalu melihat ke bawah, dengan maksud agar kita bisa lebih sadar, bahwa penderitaan yang kita alami tidak sepedih apa yang dirasakan oleh orang-orang yang lebih ‘bawah’ penderitaannya. Begitu seterusnya.
Sebaliknya, ada satu cerita hidup yang sangat mengesankan. Padatnya Jakarta di pagi hari, begitu menggoda rasa setiap pengendara. Semuanya sibuk dengan jalan yang hanya terlihat berapa meter di depan mata, karena saking macet dan padatnya. Bunyi klakson dan debu menjadi harmoni khas sepanjang hari-hari kerja. Umpatan, teriakan dan juga ‘adu mulut’ antara pengendara sering terdengar saling bersautan. Ditengah kemacetan dan ratusan motor, tampak seorang Bapak mengendarai sepeda motor dengan gerobak di sampingnya. Tampaknya ia baru keluar dan akan berjualan di suatu tempat.
Awalnya, tidak ada yang ganjil. Biasa saja, seperti biasanya pengendara motor yang lainnya. Tiada yang peduli, hingga setiap orang menyusulnya, dan melihat ke arah samping, Masya ALLAH ternyata kakinya tidak menapak pedal sepeda motor. Kakinya hanya menggantung kecil, kira-kira sekitar 50 centi dari pangkal pahanya. Rem dan kopling motor itu, di desain khusus olehnya agar bisa dijalankan menggunakan tangan.
Semua orang yang melewatinya, dan melihatnya dari samping terlihat miris dan kagum akan semangat bapak paruh baya itu. Meski kondisinya seperti itu, dia tetap semangat bekerja. Dia tidak meminta-minta, dia tidak berpakaian kusut agar dikasihani, namun justru berpakaian layak dengan semangat yang menggebu. Kisah kecil, yang nampaknya hanya ‘secuil’ dari permasalahan ibukota, rasanya akan menjadi bagian dari solusi massif ibukota mengenai pengangguran dan pengemis jalanan yang tampak masih lebih kuat dan muda dari bapak ini.
Hal ‘kecil’ ini juga bisa dijadikan barometer pertanyan pada setiap orang mengenai semangat kerjanya. Apakah kita lebih semangat dari bapak itu (?), kita lebih sempurna secara fisik, lebih banyak hal yang bisa kita lakukan. Tapi seberapa mampukah kita mengelola segala apa yang kita miliki (?). Tidak jarang kita –atau mungkin sebagian kecil dari kita- memoles diri agar dikasihani, menempatkan diri sebagai sosok yang menderita, memiliki persoalan hidup terberat, rasanya hanya kita saja yang terbebani dengan permasalahan hidup yang menumpuk. Kadang juga putus akan asa untuk berusaha yang lebih maksimal.
Bapak yang tidak banyak dikenal oleh orang-orang yang melalui kecepatan motornya itu telah mengajarkan tentang bagaimana semangat hidup itu harus selalu ada dalam jiwa kita, sekurang-kurangnya kondisi fisik kita, semangat pantang mundur. Semua ada jalan, kita tidak pernah sendiri mengarungi problematika hidup ini. Bismillah…