Sebuah kontemplasi
Menjelang senja di hari libur, biasanya kami menghabiskan waktu di depan rumah yang ditumbuhi beragam tanaman di teras yang tak terlalu luas. Terlebih saat ramadhan, ritual ini menjadi semacam ngabuburit menunggu adzan maghrib. Selepas mencuci sepeda motor, selang air yang saya pegang, diminta anak sulung saya untuk menyiram beberapa tanaman yang sudah tumbuh beberapa bunganya. –Memang- anak kecil paling senang jika harus bermain air, apalagi jika mendapatkan ‘restu’ dari ibunya, sungguh akan semakin menjadi ia bermain dengan air. Sewaktu menyiram tanaman sansevieria, atau nama terkenalnya “Lidah mertua” setinggi kurang lebih setengah meter, dikiranya akan kuat, ternyata begitu di semprot 3-4 kali, tanaman ini tumbang. Padahal beberapa kawan-nya masih tampak kokoh, ternyata bukan hanya “Lidah mertua” yang melilit disamping pagar tadi saja yang tumbang, kembang Telang, tanaman yang secara khusus dirawat istri saya pun sangat mudah tumbang, bahkan hanya dengan satu kali semprot. Anak saya begitu bangga, karena seolah telah mudah menumbangkan tanaman-tanaman mungil orangtuanya. Namun –justru- ibunya heran kenapa tanaman-tanaman itu begitu mudah jatuh hanya karena semprotan air selang. Ternyata ohh ternyata masalahnya terletak pada akar, kenapa akar (?)
Baik, kita lupakan cerita senja diatas. Kini kita masuk pada inti permasalahan besar di setiap kita, di setiap rumah yang kita hidupi, di setiap tempat mencari nafkah kita. Sesungguhnya peristiwa kecil diatas bisa menjadi besar ketika hal itu terwujud dalam kehidupan kita yang lebih besar, terlebih ketika cita dan impian-impian kita mudah sekali tumbang, jatuh dan mati justru ketika bangunan cita dan impian itu tampak kokoh.
Awalnya, ketika kita sering melihat peristiwa pohon besar rubuh dan menghantam kendaraan bahkan banyak pula yang menjadi korban jiwa, kita tidak menyangka pohon sebesar itu bisa tumbang, padahal tampak sebelum diterpa angin, pohon itu sangat kokoh. Penyebabnya ada beberapa kemungkinan, bisa saja karena anginnya memang besar, atau karena akar dari pohon itu sudah tidak bisa menyambat dan mencengkram bumi dengan kuat lagi. Seperti layaknya pohon, ketika sebatang pohon sebelum tumbuh dan menjadi tunas, maka pohon itu akan menancapkan akarnya sedalam-dalamnya di bawah tanah. Akar itu tiada lain adalah untuk mencari dan mendapatkan air, vitamin, mineral dan zat-zat lain yang digunakan untuk mewujudkan sebatang pohon yang akan menghasilkan dahan dan daun, pun demikian, dahan yang dihasilkan batang itu akan menghasilkan bunga atau buah yang dapat dinikmati.
Begitupun dengan manusia, -dan- atau bangunan masadepan yang tercipta dari kebersamaan mimpi mewujudkannya. Masadepan bersama berupa tempat mencari nafkah pun bisa diibaratkan sebagai batang yang kokoh. –Meski- kesuksesan batang itu bisa tampak gemerlap dari luar dan dari kejauhan sudah tampak menjulangnya, namun jika kekokohan pohon itu tidak dikuatkan pula oleh akarnya, maka tidak mustahil kemewahan pohon itu tidak menunggu lama untuk jatuh, tumbang, dan mati. Padahal orang tak menyangka, pohon kuat itu bisa tumbang dan luput dari tanda-tanda ketumbangannya. Hanya cerita saja yang akan menjadi sejarah, bahwa pohon istimewa itu tumbang tiba-tiba, semuanya kaget tidak mengira, yang tahu hanyalah jalaran akar yang saling mengikat bumi itu.
Kitalah akar yang menguatkan bangunan kokoh itu, kitalah yang akan mengairi air, vitamin dan mineral terhadap pertumbuhan dan keberlangsungan pohon tersebut. Semakin kita lebih dalam menggali bumi, semakin menjalar dan semakin kuat menancap pada bumi dengan cengkraman-cengkraman baru, maka semakin istimewa pohon masadepan kita.
So, mari bersama mengokohkan cengkraman akar kita, demi masadepan yang lebih bermakna.