“Yadullahi ma’al jamaah”, Tangan atau kekuasaan Allah, berada dalam jamaah (kebersamaan). Begitu sabda Rasul dalam sebuah hadits. Dalil ini menunjukan betapa kuatnya rasa kebersamaan yang dibangun masyarakat Madani oleh Rasulullah. Dalam konteks kebersamaan itulah, Islam mengajarkan hidup yang sesungguhnya. Hidup yang tidak sekedar memenuhi kebutuhan dan mempertahankan eksistensi diri. Tapi lebih dari itu, Islam mengajarkan kita meraih kehidupan yang bermakna dengan kekuatan berjemaah. Esensi kebersamaan dalam hidup adalah adanya tolong menolong dalam perbuatan kebajikan dan takwa (QS. 5:2), saling menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang (QS. 90:17). Sadar betapa pentingnya makna kebersamaan, saya bersama team Cordova lainnya mencoba menyusun dan mengevaluasi bagaimana jalinan yang meliputi kebersamaan rasa yang penuh keberkahan. Beberapa hari lalu, ba’da Maghrib di mushola kantor, kami mengayunkan rasa untuk kembali meneropong sejauh mana langkah kebersamaan yang terjalin. Cerita dan kisah digambarkan oleh pimpinan kami, betapa keberkahan dalam sebuah komunitas tercipta hanya dengan kebersamaan rasa, kepemilikan peka dan penuh oleh rasa peduli diantara kita.
Yah, masing-masing diantara kita kembali mengukur sejauh mana rasa peduli yang terbangun. Apakah hanya bersifat ‘sementara’ atau terbenam permanent pada jiwa yang tulus pada attitude madani. Rasa peduli dan kebersamaan itu, –tentunya- bukan hanya teruntuk semua staf Cordova, tetapi lebih ditunjukkan pula untuk para jemaah yang menjadi Tamu-Tamu Allah SWT. Karena dengan rasa kebersamaan itulah, berkah kan menjamur pada setiap jejak langkah kita. Ketika hati-hati itu telah terikat, maka rasa peduli dan kasihsayang menjadi sangat mudah diciptakan. Tiada kamuflase dalam mengarungi ‘perjuangan hidup’ karena semua terbingkai oleh indahnya kebersamaan.
Dari keberkahan hidup berjemaah itu, saya teringat kembali pada sebuah kisah ringan di sebuah kota. Waktu itu menunjukkan hampir tengah malam. Sepasang suami istri setengah baya terlihat mengemasi dagangannya. Sang istri membereskan piring, gelas dan perabotan lainnya. Sedangkan sang suami memasukkannya dalam gerobak. Sesaat mereka menghitung laba yang masuk.
Siapa pun tahu, penghasilan tak selalu datang seperti yang diharapkan. Terkadang hujan turun, pada waktu lain petugas ketertiban menghalau, atau kadang semuanya begitu menggembirakan. Manis dan asam memang bumbu penyedap sehari-hari. Yang pasti, esok, kehidupan harus dijalani dengan penuh ikhlas.
Sepasang suami istri itu berjalan bergegas, yang laki mendorong gerobak, yang perempuan terkantuk-kantuk duduk di atasnya. Keduanya berlalu menembus malam. Hidup memang bukan untuk dijalani seorang diri. Tapi bersama-sama, teman, sahabat, keluarga atau tetangga. Hidup adalah untuk saling kuat-menguatkan, topang-menopang serta kasih-mengasihi.
Semoga kebersamaan kami tak akan pernah lekang oleh waktu dan tempat. Sehingga keberkahan tetap menyertai dimanapun kita berada.