Sejatinya, jika masing-masing pihak atau stakeholder dalam menangani para tamu agung ke Tanah Suci mengedepankan kepentingan jemaah, maka permasalahan yang timbul belakangan ini akan sedikit diminimalisir. Meski -tentunya- tidak dinafikan bahwa mengais rezeki dari usaha tersebut tak bisa dielakkan. Tetapi sedikit disayangkan, jika hanya terlalu money orientied dengan seribu kepentingan meraup pangsa pasar yang menjanjikan, ternyata berakibat kisruh dan kekecewaan dari setiap calon jemaah umroh, lebih parah lagi visa umroh terlambat keluar dari schedule dan perencanaan setiap orang yang merindu Baitullah. Re-schedule bukan hal mudah bagi mereka yang telah memetakan agenda kesehariannya. Untuk masalah ini -baik batalnya ribuan orang berangkat ke Tanah Suci atau yang harus menunggu keluarnya visa- kita tidak lagi memiliki stock apologi bahwa Allah belum saatnya mengundang kita ke Tanah Suci. Sebab semua itu adalah perangkat yang bisa dilakukan oleh para pemegang kebijakan baik di Indonesia maupun di Arab Saudi. Hakikatnya panggilan Allah untuk mengundang hamba-Nya sudah dijawab dengan hati dan perbekalan yang mantap. Hanya birokrasi duniawi yang memuluskan rencana suci tersebut, karena terlaksana dengan mulus dan tidaknya permasalahan itu terdapat pada kebijakan diatas. Terlebih jika ada proses ‘jegal menjegal’ hanya demi meraup kepentingan bisnis, maka sungguh hal tersebutlah yang sebenar-benarnya pendzoliman pada Tetamu Allah SWT (baca edisi Cordova Turut Berduka).
Hampir setiap tahun peristiwa tragis itu berlangsung, jika bukan visa umrahnya yang tidak keluar, maka yang ada show off kekuatan menjadi ajang ‘beking-bekingan’ pada area vital embassy dan maskapai. Strategi konvensional yang larut dengan kepentingan individu itu kerap menghancurkan impian banyak orang yang merindu Baitullah. Jika kita menyisir Bandara Soekarno Hatta beberapa hari yang lalu, maka teras negeri tercinta itu, dipenuhi puluhan bahkan ratusan para manusia mulia yang tergeletak di emperan Soeta dengan penuh harap. Harapan yang hampa, harapan yang menghancurkan niat mulia, serta harapan yang sirna oleh kisruhnya birokrasi yang terkadang sangat mengherankan. Penuh dengan ke tidak-pastian, sarat dengan intrik, dan mungkin juga sesak oleh keserakahan duniawi.
Tidak ada lagi teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan pribadi. Kepentingan yang terkadang meluluhkan manusia pengabdi para tamu suci, kepentingan yang tidak lagi menjungjung tinggi predikat sakral haji, bahkan –mungkin- lebih busuk dari watak para gambler di arena judi. Padahal kepala terbalut topi putih, jemari berlingkar tasbih, namun mata tertutup akan jeritan manusia yang meradang karena gagal merapat ke istana suci-Nya.
Entah sampai kapan peristiwa memalukan ini sirna, entah sampai kapan doa orang terdzolimi itu lenyap, entah sampai kapan pelataran Soeta senyap dari airmata yang tak berlinang dari manusia-manusia pilihan Sang Pencipta (?) Entahlah…