Jauh sebelum datangnya musim haji, saya selalu melihat bagaimana gelora rasa yang hinggap pada sosok Bapak ini. Pikirnya selalu melompat kala menemukan ide segar, -mungkin- tiada kata yang mengalir setiap hari dalam darahnya, terkecuali untaian kata “Bagaimana melayani Tamu Allah dengan sempurna.” Kadang hari-harinya hanya dihabiskan dalam ruang berukuran 5 x 1.5 Meter. Bukan tanpa cipta, justru berkarya mencipta rangkaian karya. Sinar mata dan gerak langkahnya tertuju pada suatu cita yang sulit terabaikan. Antusias dalam mengawal niatan suci para calon haji, selalu tampak dalam raut wajahnya. Kadang cemas, kadang marah, kadang bahagia membalut emosi yang meletup, yah semua itu berlandas pada tujuan suci. Sungguh sulit saya membayangkan ketika Allah memberi kelembutan hati pada hambaNya, tanpa perhitungan duniawi, ia rela menaruh jaminan hidup-nya tuk niatan suci itu. Hingga suatu waktu, saya membaca testimoni yang begitu menggugah dari sosok Bapak itu, kata-katanya begitu bermakna, kalimatnya begitu renyah, namun saya yakin jiwanya sedang gundah. Ingin rasanya bermadu rasa, tuk menadah sedikit resah-nya. Dan merekat sedikit lubang dengan keyakinan yang menggebu.
Sengaja saya kutip testimoni cinta itu sebagai penawar bagi setiap jiwa yang melayani para Tamu Allah tanpa hati. “Doaku tak lagi punya air mata, entah gundah apa yang membelenggu jiwa. Lelah rasa raga lewati hari yang penuh harap, telah coba bersandar tuk tetap tegar nikmati segala ketetapan takdir, walau sesak menahan himpit rakus manusia. Doaku tak lagi punya air mata, doaku tak lagi dapat sujud sempurna, doaku tak lagi punya makna…tak lagi punya doa..Kini ku beri galau segala asa pada Mu Yaa Rabbi..Karena lelahku emban segala ketiadaanku. Beri doaku air mata yaa Illahi Rabbi…agar ku yakin terbasuh segala lusuh jiwa.”
Jelas dalam kata-kata itu, berakar sebuah makna yang sangat dalam. Sedalam samudra cinta yang ia berikan terhadap para jamaahnya. Tidak ingin mengecewakan, tidak ingin terbengkalai adalah suara hati yang nyaris setiap saat berdegup kencang dalam jiwanya. Haji adalah ibadah penyempurna kemusliman seseorang, karenanya tuk mengawal niatan suci itu, hati perlu dilibatkan tuk selalu menengadah penuh harap pada Sang Pencipta. Setelah ikhtiar, berdoa dan optimis adalah hal yang sejatinya tak dilupakan bukan hanya oleh para calon jemaah haji, tetapi juga oleh semua pihak. Mencoba terus menahan diri untuk tidak menghalalkan segala cara. Sebab dibalik perjalanan suci itu tersibak tujuan mulia tuk mendekap predikat mabrur.
Yah, seperti pesan di atas, bahwa tuk mengawal niatan suci perlu dengan cara yang sangat suci. Walhasil jangan pernah merasa diri superior bahwa urusan haji mudah dipolitisasi, semuanya kan runtuh ketika Dzat Maha Penentu tak dilibatkan dalam langkah kita.