Saya bisa bayangkan bagaimana kondisi pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di jalan Pegangsaan, Jakarta, menjelang pukul 09.00 WIB. Suasana yang menderu, menggelombang dan menegangkan. Semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang menerjang kebiasaan, sesuatu yang membuka tabir gelap, dan sesuatu yang mengalir kencang melalui degup jantungnya. Saya juga merasakan bagaimana kering kerontangnya saat itu. Yah, saat moment penting kan di-proklamirkan, meski tanpa terlebih dulu meneguk secangkir kopi atau teh hangat, guna menjaga rasa grogi. Sang proklamator dengan lantang membaca teks kemerdekaan. Teks yang hanya tertulis tangan itu, mampu menembus setiap jiwa di seantero negeri, serta meluluhkan penjajah untuk segera hengkang. Saya semakin merasakan bagaimana hiruk-nya saat itu, euforia, dan airmata menyembur dari setiap kelopak yang membanjiri halaman itu. Takbir, syukur dan tahmid menggelegar di hari yang juga bertepatan dengan 8 Ramadhan 1364 H.
Agustus itu, memang awal dari kumandangan identitas negeri. Awal dari sebuah sikap bangsa, dan awal dari sebuah revolusi. Hari itu ada semacam kekuatan lidah yang teramat besar, lidah yang menghancurkan hegemoni jajah tuk bisa mengatakan “Kami Bangsa Indonesia, -apalagi sebuah “kami”- yang bisa menyatakan kemerdekaan. Sungguh tuk memproklamirkan kalimat itu, bangsa ini harus menaruhkan nyawa dan darahnya di penghujung bedil.
Tahun itu, sebuah revolusi besar sedang terjadi, revolusi jiwa -dari jiwa jajahan dan hamba- menjadi jiwa merdeka. Jiwa-jiwa merdeka yang berpikir sekali berarti, setelah itu mati, adalah adigium para pahlawan yang berjasa membangun negeri tercinta. Jiwa raga dan keluarga tercinta menjadi tumbal tuk kemerdekaan ini. Ikhlas, pasrah demi mendapatkan hak merdeka. Meski tak tahu bagaimana kelak penerusnya memberlakukan mereka, memuliakan dan menyantuninya kah (?) Atau hanya cukup dijadikan potret lusuh yang tak berguna, mendepak dan mengusir para pahlawan negeri dari sebidang tanah –yang dulu mereka rebutkan dengan darah-.
Mengusir para janda pahlawan, dan merobohkan rumahnya tuk dibangun asrama-asrama ‘penguasa negeri’. Sejenak saya terhentak dari lamunan euforia kemerdekaan 17 Agustus 45, yang membawa pada kondisi saat ini. Malu rasanya, jika para pahlawan menatap negeri ini, sebab mereka mendapatkan kemerdekaan ini dengan sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero, terlebih sok menjadi ‘hero nasionalis’.
Hmm… Kenapa sang Proklamator mengumandangkan kemerdekaan itu dengan sangat lugas dan lantang, semangat tuk menjadikan bangsa ini berdiri mandiri, terbebas dari tekanan atau penindasan pihak lain. Tetapi saat ini, ketika saya ingin kembali mengikuti dengan lantang apa yang dibaca Sang Proklamator itu, serasa tak ada daya tuk mengumandangkan kalimat “Merdeka!”. Entah apakah terlalu mahal atau… saya tak tahu.