Malas Yang Tampak Optimis

Jika diperhatikan, dewasa ini banyak aktifitas negatif berselimut indah. Racun yang tertutupi madu, maksudnya hal yang sebenarnya buruk namun di modifikasi sedemikian rapih oleh hal yang baik. Diantara sekian aktivitas negatif, sedikit kita ambil contoh bagaimana rasa malas terselimuti oleh ungkapan excuse yang meyakinkan diri bahwa hal itu adalah optimisme akan apa yang terjadi. Orang malas apapun bisa menjadi alasan. Bahkan alasan yang tampak seperti optimisme, padahal hanya sebagai dalih agar dia tidak perlu bertindak. Tentunya hal demikian sangat berbahaya, sebab akan terdengar baik dan benar padahal –sesungguhnya- dapat menghancurkan diri sendiri dan khalayak ramai.

Pernah suatu saat saya menumpang sebuah bus. Sebagai standar keselamatan sebuah bus ac harus menyediakan minimal satu tabung pemadam kebakaran seandainya terjadi apa-apa seperti kebakaran. Mungkin kita pernah mendengar banyak korban akibat terjebak di bus yang terbakar, alasannya beraneka ragam, salahsatunya –bisa jadi- karena tidak ada tabung alat pemadam kebakaran. Dari percikan api menjadi membesar karena sulit untuk dipadamkan. Untuk itu, salahsatu standar keselamatan harus ada tabung pemadam kebakaran agar bisa ter-antisipasi percikan api tersebut.

Saya melihat ke tempat tabung itu, tempat sanggahan dan tulisannya ada, namun tabungnya tidak ada. Salahsatu penumpang bus bertanya kepada kondektur, Pak tabung pemadamnya dimana (?) Dia melihat tempat sanggahan tabung, kemudian menjawab, “Ah…tidak akan terjadi apa-apa Pak” Jawabnya enteng. Seperti sebuah optimisme tidak akan terjadi apa-apa. Adakah yang bisa menjamin (?) Apa yang dia katakan itu baik-baik saja, tetapi itu hanya alasan atas kemalasan dia menyiapkan perlengkapan bus sebelum berangkat. Jika terjadi apa-apa, semisal percikan apa, apakah akan selamat hanya dengan ucapan itu (?).

Benar bahwa semua kita dianjurkan untuk bersikap optimis atas segala hal, namun usaha tetap perlu diperlukan. Optimis yang benar adalah saat kita yakin akan menghasilkan yang baik di saat kita sudah berusaha. Malas memperbaiki diri dengan dalih akan baik-baik saja. Ungkapan kondektur itu adalah salahsatu dari ribuan alasan untuk tidak menuntut diri agar berusaha mengadakan tabung pemadam tersebut. Sedangkan berusaha adalah musuh terbesar bagi orang yang malas.

Berkaitan dengan alasan-alasan ‘pemalas’ yang bisa berselimut dari kalimat ‘suci’ lainnya adalah syukur. Hal ini juga seperti kata-kata bijak, padahal hanya untuk menutupi kemalasannya meraih pencapaian yang lebih tinggi. Misalnya dengan mengatakan mensyukuri yang ada saja tanpa harus meraih yang lebih besar lagi. Padahal –sesungguhnya- kita bisa tetap bersyukur sambil tetap berusaha meraih yang lebih baik. Wong usaha kita tuk mencapai yang lebih baik tidak akan merusak syukur kita.

Ah saya mah, syukuri apa yang ada saja”, adalah –bisa jadi- ungkapan rasa malas untuk meraih kembali apa yang belum dapat diraih dengan bekerja keras. Syukur adalah urusan hati, sementara usaha adalah urusan fisik. Karenanya, syukur dan ikhtiar tidak akan saling mengganggu. Artinya, kita bisa menyukuri yang ada sambil tetap berusaha untuk mendapatkan yang lebih baik.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *