Rasanya kabar tentang ‘pemutihan’ bagi WNA di Saudi Arabia yang overstay, atau juga ‘dianggap’ ilegal oleh imigrasi Saudi Arabia sudah menjadi buah bibir, bukan hanya di seantero negeri. Bahkan sudah menjadi isu internasional. Yah, termasuk WNI kita yang jumlahnya ratusan ribu. Bukan saja yang bekerja, mereka yang sedang sekolah melalui jalur ma’had (pesantren) pun, kerap menjadi sasaran ‘pemutihan’ oleh imigrasi. Alasan legalitas menjadi pintu masuk Jawazaat (kepolisian imigrasi) untuk merazia setiap orang asing yang tampak seliweran di setiap pojok kota. Sedikit saja nampak seperti ‘mukimin’ overstay, maka ia akan segera diamankan. Semangat Kerajaan Saudi Arabia untuk membersihkan Tanah Suci dari pendatang gelap memang patut di apresiasi, tetapi sudahkah mereka menyadari apa yang akan terjadi esok dan hari-hari yang akan datang (?)
Sebagai Khadimul Haramain (Pelayan Dua Tanah Suci), semangat Raja dan –tentunya- sepaket dengan kebijakan pemerintahannya memang sangat mulia, yakni dengan mega proyek renovasi Masjidil Haram, bahkan terbesar dalam sejarah pembangunan Al-Haram. Tujuannya untuk memberikan kenyamanan dan keleluasan para tamu ALLAH dalam beribadah. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, mereka bukan hanya sebagai Pelayan Dua Tanah Suci, tetapi juga sebagai pelayan para tamu suci. Bukan pelayan ‘Thing’-nya saja yang berupa bangunan fisik nan megah, tetapi juga justru ‘pilgrim-’nya lah yang harus menjadi menu utama dalam pelayanan itu.
Kembali ke masalah ‘pemutihan’ yang memukul rata setiap ‘mukimin’atau orang yang tinggal di Saudi, rasa-rasanya akan menjadi masalah baru, baik bagi negara Arab Saudi-nya, atau juga masalah bagi mayoritas muslim di dunia yang akan melaksanakan ibadah haji maupun umrah, jika proses ‘pemutihan’ itu tidak memiliki solusi alternatif bagi jutaan jemaah haji dan umrah setiap tahunnya. Katakanlah, jika diantara WNA yang terkena razia ‘pemutihan’ dan dikembalikan ke tanah airnya itu adalah orang-orang pilihan dari setiap negara untuk membantu jemaah haji dan umrah atau sebutlah sebagai Muthawif, maka siapkah mereka menangani problematika yang akan terjadi ketika jutaan orang di satu titik tanpa bantuan muthawif yang paham betul medan yang akan dihadapi.
Kalaupun Kementrian Haji Saudi telah menyediakan muassasah-muassasah (lembaga-lembaga) yang juga memiliki muthawif (untuk membantu para jemaah), namun cukupkah mereka melayani semua jemaah yang datang dari berbagai negeri (?). Belum lagi dengan perbedaan adat, budaya dan bahasa yang jauh berbeda, pastinya akan semakin mengurangi kualitas layanan itu sendiri. Karena –biasanya- mereka (para muassasah) memiliki muthawif berkebangsaan Saudi Arabia itu sendiri.
Seandainya, Kementrian Haji Saudi memiliki legalitas khusus bagi para muthawif yang bekerja di Saudi, tentunya akan sangat berbeda. Malah justru akan semakin menopang Khadimul Haramain (Pelayan Dua Tanah Suci) menjadi lebih mulia dengan saling membantu para tamu suci. Jika tidak ingin ‘kecolongan’ dengan berdatangannya para tamu gelap, maka cukup mereka memberikan sertifikasi Muthawif sebagai tugas yang teramat mulia. Standarisasi pengetahuan muthawif dan kualitas individunya sesuai dengan persyaratan mereka. Win-win solution dalam memberikan pelayanan terbaik para tamu-Nya.
To be continued