Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW sedang duduk i’tikaf semalam suntuk pada hari-hari terakhir Bulan Suci Ramadhan. Para sahabat pun tidak sedikit yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau berdiri shalat, mereka juga shalat, beliau menengadahkan tangannya untuk berdoa dan para sahabat pun juga serempak mengamininya. Saat itu langit mendung tak berbintang. Angin pun meniup tubuh-tubuh yang memenuhi masjid. Dalam riwayat tersebut, malam itu adalah malam ke-27 dari bulan suci Ramadhan. Di saat Rasulullah SAW dan para sahabat sujud, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Masjid yang tidak beratap itu menjadi tergenang air hujan. Salah seorang sahabat ada yang ingin membatalkan shalatnya, ia bermaksud ingin berteduh dan lari dari shaf, namun niat itu digagalkan karena dia melihat Rasulullah SAW dan sahabat lainnya tetap sujud dengan khusyuk tidak bergerak. Air hujan pun semakin menggenangi masjid dan membasahi seluruh tubuh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang berada di dalam masjid tersebut, akan tetapi Rasulullah SAW dan para sahabat tetap sujud dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.
Beliau basah kuyup dalam sujud. Namun sama sekali tidak bergerak. Seolah-olah beliau sedang asyik masuk ke dalam suatu alam yang melupakan segala-galanya. Beliau sedang masuk ke dalam suatu alam keindahan. Beliau sedang diliputi oleh cahaya Ilahi. Beliau takut keindahan yang beliau saksikan ini akan hilang jika beliau bergerak dari sujudnya. Beliau takut cahaya itu akan hilang jika beliau mengangkat kapalanya. Beliau terpaku lama sekali di dalam sujudnya.
Beberapa sahabat ada yang tidak kuat menggigil kedinginan. Ketika Rasulullah SAW mengangkat kepala dan mengakhiri shalatnya, hujan pun berhenti seketika. Anas bin Malik, sahabat Rasulullah SAW, bangun dari tempat duduknya dan berlari ingin mengambil pakaian kering untuk Rasulullah SAW. Namun beliau pun mencegahnya dan berkata: “Wahai Anas bin Malik, janganlah engkau mengambilkan sesuatu untukku, biarkanlah kita sama-sama basah, nanti juga pakaian kita akan kering dengan sendirinya.”
Anas pun duduk kembali dan mendengarkan dengan seksama cerita Rasulullah SAW mengapa beliau begitu lama bersujud. Masya ALLAH, ternyata ketika tadi Rasulullah SAW lama bersujud, dan di saat hujan mulai turun, di saat itu pula malaikat di bawah pimpinan Malaikat Jibril, turun dalam keindahan dan bentuk aslinya. Mereka berbaris rapi dengan suara gemuruh tasbih dan tahmid mereka bergema di langit dan di bumi, serta alam semesta saat itu dipenuhi dengan cahaya Ilahi. Inilah yang membuat Rasulullah SAW terpaku menyaksikan keindahan dan cahaya yang sama sekali tidak bisa dilihat oleh mata.
Gema tasbih dan tahmid malaikat yang tak pernah didengar oleh telinga dan suasana yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh pikiran manusia.
Di malam itu, para malaikat di bawah pimpinan Jibril turun atas izin ALLAH SWT, mereka menebarkan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan. Mereka menyampaikan salam sampai terbitnya fajar ke seluruh semesta alam. Lailatul Qadar adalah malam kebesaran ALLAH SWT, malam keagungan-Nya, malam pengampunan-Nya, malam yang dimiliki-Nya untuk memberi maaf kepada para pembuat dosa dan menebarkan kasih sayang kepada para hamba-Nya.
Di langit ada kerajaan sangat besar yang mengatur dan mencatat segala amal manusia di muka bumi ini. Ketika para malaikat melihat kitab catatan amal manusia, mereka ‘iri’ dengan amal yang hanya khusus dilakukan penduduk bumi di malam Lailatul Qadar.
Malaikat pun tidak ada yang dapat menirunya. Salah satu di antaranya adalah rintihan taubat para pembuat dosa yang kemudian diampuni segala dosa- dosanya. ALLAH SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi: “Aku lebih suka mendengarkan rintihan taubat para pembuat dosa ketimbang gemuruh suara tasbih. Karena gemuruh suara tasbih hanya menyentuh kebesaranKu, sedangkan rintihan para pembuat dosa menyentuh kasih sayangKu.”
(Dari Berbagai Sumber)