Liku perjalanan setiap manusia memiliki goresan yang terkadang sulit terhapuskan. Ibarat melukis diatas batu, ia akan tetap ada melawan waktu, meski dipenghujungnya hanya menjadi prasasti. Dikenang, dilihat dan akhirnya dilupakan. Namun diantara sekian juta kisah, terdapat jua rentetan cerita hidup yang tak kan pernah usang ditelan zaman, ia meninggalkan sejuta rasa bagi yang ditinggalkannya. Namanya berhembus disetiap detak nafas manusia-manusia yang mencintainya. Kemuliannya terlukis dalam setiap benak makhluk yang dikasihinya. Ketiadaannya menjadi samudra airmata, dan kepergiannya diiringi isakan yang tiada henti. Manusia seperti itulah yang sulit dilupakan oleh segenap makhluk disekelilingnya. Manusia seperti itu juga lah yang membuat lisan orang terbungkam enggan tuk sekedar mengucap ‘Good bye’. Berbeda dengan sosok awal, yang diibaratkan lakon dan kepergiannya sangat mudah terhapus, perpisahannya hanya menghasilkan ungkapan “I’m Sorry good bye” that’s it. Tiada kalimat penyambung, atau rasa yang tersambung. Seolah pertemuan, perjumpaan dan jalinan rasa luntur oleh tindak lakunya sendiri.
Masih sulit memahami kemana arah artikel ini (?) Mari sedikit menyimak sebuah analogi –yang juga- pernah dilontarkan oleh salah seorang guru kami di Cordova. Dalam sebuah keluarga, kasih sayang dan cinta menjadi pilar penegak rasa. Orangtua menjadi sumber cinta bagi para anak yang dikasihinya. Di dunia ini, bagi makhluk yang memiliki nurani, tiada satupun orangtua yang tidak sayang dan cinta kepada buah hatinya. Tiada kemunafikan rasa dalam mengasihinya. Semua limpahkan kasih sayang untuk anak-anak tercintanya, sekalipun ia harus berenang dalam genangan darah dan airmata, meski ia harus mengorbankan rasa malu, kesal, marah, benci dan rasa-rasa yang berkecamuk dalam jiwanya. Ia tidak akan pernah mencampurkan air susu-nya dengan kotoran yang beracun, ia hanya ingin menyaksikan anak-anak kebanggannya hidup berkembang dengan rasa tulus yang tiada balas.
Setelah masa anak itu berkembang, tiba-tiba ada sosok asing yang entah asal-usulnya muncul darimana, memberikan sepotong kue dengan sedikit bualan manis, secara spontan si anak itu berpikir bahwa pemberiannya sangat luar biasa. Pujian mengalir deras, ia senang bahwa si orang asing ini teramat sayang kepadanya. Saking termakan oleh bualan manisnya, si anak termabuk oleh pemberian secuil kue itu hingga rela melupakan kasih serta sayang orangtuanya yang telah lama menyayanginya. Dengan pemberian itu’ ia merasa lebih disayang dan diperhatikan daripada orangtua yang telah lama melahirkan rasa.
Analogi ini mencerminkan bahwa siapapun kita, memiliki pilihan hidup masing-masing. Tiada yang menjamin bahwa kesetiaan, keloyalan dan kekeluargaan bisa tumbuh abadi, bersemi dalam kerangka cinta yang telah terbangun kokoh. Bak kisah Nabiyullah Adam As. yang tergelincir oleh hasut dan buaian iblis, meski telah berada dalam kehangatan cinta dan sayang-Nya ALLAH di surga-Nya.
Tiada kata ‘mantan’ dalam keluarga, tiada pula bahasa ‘pecat’ dalam keluarga ini. kalaupun ada hanyalah ungkapan “I’m Sorry Good Bye”, berjalanlah… tatap dan berkembanglah kau disana. Raih impian dan harapanmu!