Berbicara halal dan haram, biasanya selalu mengarah dan identik pada pembahasan masalah pangan, meskipun dewasa ini, konsep halal-haram, tidak hanya berkutat pada masalah makanan, ada juga yang bisa melabelkan halal atau haram pada dunia fashion, musik dan lain-lain. Namun rasanya pembahasan kali ini, kita akan fokus hanya pada masalah pangan, karena hal ini sangat urgen dalam aktivitas manusia sehari-hari. Rasulullah SAW dalam menyikapi masalah makanan halal ini pernah menggambarkan, bahwa jika ada orang yang tidak peduli dengan hal-hal syubhat (ragu-ragu antara halal dan haram), yang tidak jelas halal haramnya, seperti seorang pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar area terlarang. Apabila tidak hati-hati maka lambat laun akan masuk pada area terlarang, area itulah yang diharamkan oleh ALLAH SWT.
Dalam setiap kesempatan, tak terkecuali ketika sedang perjalanan atau berada di negeri yang muslimnya minoritas, kita acap kali memberikan ‘warning’ atau semacam signal merah jika di sebuah restoran terdapat makanan yang dilarang Islam. Menjauh dan mencari resto yang tidak menjual hal-hal yang dilarang tersebut. Karena, meskipun sebuah resto itu menjual makanan yang baik dan tidak dilarang Islam, ketika ditempat yang sama itu, di jual pula daging yang diharamkan Islam, maka -bisa jadi- dalam memproses makanan atau menyimpannya bersamaan dalam satu freezer. Terkadang moslem foods tidak menjadi jaminan menjadi halal foods.
Di dunia traveling, masalah halal foods yang kadang luput menjadi fokus kita adalah makanan yang tersedia di dalam pesawat. Betapa besarnya rasa percaya penumpang muslim untuk meyakinkan bahwa makanan yang disantap di dalam pesawat itu adalah halal. Yah, karena merasa bahwa semua menu yang tersedia tidak sedikitpun terdapat makanan yang diharamkan oleh ALLAH SWT.
Insting dan ‘penciuman’ halal tidaknya makanan dalam pesawat hanya terbaca melalui ‘keyakinan’ yang kadang pula dipaksakan. ‘Bismillah saja lah’ menjadi kalimat pamungkas untuk menelan makanan yang -sejatinya- sebagai penumpang muslim memiliki hak untuk tahu tentang apa makanan yang akan di konsumsinya. Kalaupun maskapai tertentu memiliki klaim bahwa, perusahaan cathering-nya sudah menjamin kehalalan makanan tersebut, sehingga tidak perlu ada penjelasan halal tidaknya pada menu yang akan disajikan.
Jika demikian, apakah teramat rugi bila sedikit saja terdapat tulisan kata ‘halal’ atau emboss-an (huruf timbul) baik menggunakan bahasa Arab atau pun latin (?) dalam masalah bisnis, justru hal ‘kecil’ inilah yang akan memberikan efek positif pada brand-nya. Mungkin banyak yang menilai bahwa maskapai ini bisa ‘menyelamatkan keraguan’ ratusan penumpang muslim dari berbagai belahan dunia.
Rasanya, penumpang non-muslim pun yang melihat dan ‘kadung’ menerima makanan bertuliskan ‘halal’ tidak lantas memuntahkan dan mengembalikan kembali pada pramugari yang menyajikan.
Bagi muslim keyakinan dalam menentukan halal dan haram adalah hal yang sangat prinsip. Sehingga jika masalah makan saja sudah dijamin kenyamanannya, tidak mustahil maskapai tersebut menjadi satu-satunya yang hanya menjadi pilihan muslim dalam melakukan perjalanan.
Berandai jika saja maskapai yang kita maksud itu adalah milik negeri ini, saya yakin semua muslim yang mayoritas di negeri kita hanya akan memilihnya menjadi teman sejati dalam perjalanan indahnya.