Gelar yang Disandingkan

Gelar yang Disandingkan

“Ini di depannya kamu kasih gelar Haji, ya. Bapak nggak mau kejadian waktu nikahin adikmu terulang. Ngasih undangan ke teman-teman Bapak yang udah berHaji, tapi gelar Hajinya nggak kamu sandingkan. Bapak kan jadi nggak enak.” Ujar Bapak sembari menyerahkan selembar kertas yang  berisi deretan nama orang. Sesaat aku terdiam sambil menatap layar komputer jinjing kemudian melirik lembar kertas yang diberikan Bapak. Malam ini aku sedang mengetik nama-nama tamu yang yang akan diundang di acara pernikahanku.

“Ya Allah, Pak. Masih saja seperti ini?” Selorohku lalu mengambil dan membaca lembar kertas itu. Ada sekitar 35 nama rekan Bapak yang ada di kertas tersebut.

“Lho, kenapa memangnya? Ya, kan bagian dari menghormati tamu kita nanti. Mereka sudah naik Haji, jadi ya wajar harus dikasih gelar.” Jelas Bapak tegas kemudian duduk di sampingku.

“Pak, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja yang Hajinya paling benar tidak pakai gelar.” Cetusku dan Bapak terdiam agak lama. Aku kembali menatap layar laptopku dan mengetikkan nama orang yang tadi diberikan bapak. Tentu tanpa gelar Haji.

“Sudahlah, Nak. Patuhi saja perintah Bapak. Bapak paham arah pembicaraanmu ini ke mana muaranya. Bapak cuma nggak mau kejadian tak enak macam dulu terulang.” Seloroh Bapak sambil menepuk pundakku.

Aku menghembuskan napas perlahan sambil menatap punggung Bapak yang pergi meninggalkanku di ruang tamu. Satu-persatu nama rekan bapak yang sudah kuketikan kuberikan gelar Haji dengan menuliskan huruf ‘H’ besar disertai tanda titik sebelum namanya. Kulakukan itu semua karena aku patuh pada Bapak, bukan semata-mata karena gelar itu tepat dan benar jika disandingkan dengan nama rekan-rekannya. Teringat cerita Bapak saat sehari setelah pernikahan adikku usai. Bapak bilang temannya protes karena dalam undangan yang diberikan tidak ada gelar Haji yang bersanding dengan namanya. Temannya bilang bahwa sudah Haji mahal-mahal kenapa tidak dituliskan. Mendengar cerita Bapak saat itu aku tersenyum kecut. Kupikir temannya hanya bergurau karena mempermasalahkan hal macam demikian. Tapi ternyata tidak, temannya justru tersinggung dan menyampaikan ke Bapak agar lain kali hal semacam itu tak lagi  terulang.

Entah siapa yang memulai untuk memberikan gelar Haji pada orang-orang yang sudah menunaikan rukun islam yang terakhir itu. Dalam ayat Al Qur’an ataupun Hadits mana pun tak pernah dijelaskan tentang gelar yang harus disematkan jika seseorang sudah pergi Haji. Lucu, sepertinya gelar semacam itu hanya ada di negeri ini.

Jika tujuannya untuk menghormati orang lain yang sudah pergi Haji entah kenapa rasanya seperti sombong secara halus atau juga bisa dikatakan sebagai riya. Bagaimana tidak? Dengan menggunakan gelar Haji yang disandingkan dalam sebuah nama seolah ingin memberitahu kepada semua bahwa orang tersebut sudah menunaikan rukun islam terakhir. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang Hajinya paling benar tidak pernah menggunakan gelar itu. Bahkan sahabat-sahabat Rasul pun tidak berlaku demikian. Lalu apakah dengan begitu secara tidak langsung kita lebih menghormati orang lain ketimbang Rasulullah dan para sahabatnya? Padahal perjuangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya lebih berat dibanding dengan diri kita.

Jika memang gelar Haji perlu disandingkan dengan nama seseorang atas pelaksanaan rukun islam yang terakhir, seharusnya gelar syahadat, shalat, puasa dan zakat pun mendapat perlakuan yang sama. Tapi toh, sejauh ini dari lima rukun Islam hanya gelar Haji yang selalu bersanding dengan nama seseorang. Apa iya karena pelaksanakan rukun Islam yang kelima ini lebih terasa berat dan butuh perjungan ekstra ketimbang pelaksanaan rukun Islam lainnya?

Seharusnya kelima rukun Islam yang telah kita laksanakan cukuplah dengan tujuan mengharap ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa embel-embel apapun. Segala macam bentuk ibadah yang kita lakukan cukuplah hanya kita dan Allah yang tahu. Karena hanya Allahlah yang tahu bagaimana keimanan dan kualitas ibadah kita. Akan tetapi, jika ada seseorang yang memanggil kita dengan sebutan Pak Haji dan Bu Hajjah meski kita belum menunaikannya, biarlah karena mungkin itu bagian dari doa mereka agar kita bisa melaksanakannya. Bukan karena kita yang merasa perlu dan laik untuk menyandingkan gelar tersebut dengan nama kita jika ibadah Haji kita sudah terlaksana. Mari kita senantiasa koreksi dan menjauhkan diri dari sifat-sifat sombong sekecil apapun bentuknya.

 

Related Post

Malaikat Penolong

Malaikat Penolong

“Allahu Akbar! Tolong ya Allah, ya Rabb” Teriakku berusaha berdiri dari lautan manusia berihram putih…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *