Kekacauan penerbangan yang dialami Garuda Airline akhir-akhir ini sangat dirasa oleh sebagian besar jemaah haji, baik reguler maupun haji khusus. Delayed penerbangan dari 9 jam ke-atas membuat schedule Garuda berantakan. Awalnya, staf Garuda di Airport Jeddah, Saudia Arabia mengabarkan alasan ‘klasik’ ini diakibatkan kepadatan penerbangan di Airport King Abdul Aziz, sehingga gate yang akan digunakan take-off mengalami antrian. Mengingat banyaknya jemaah haji yang akan kembali ke Tanah Air-nya di belahan dunia. Namun belakangan, diketahui bahwa penyebabnya yakni, Garuda Indonesia tengah menerapkan sistem baru yang disebut dengan sistem kendali operasi terpadu (integrated operasional control system/IOCS). Menurut Kepala Komunikasi Perusahaan PT Garuda Indonesia, Pujobroto dalam sebuah media online, sebelumnya sistem yang digunakan terpisah dan berdiri sendiri, yakni sistem untuk memantau pergerakan pesawat, awak kabin, dan penjadwalan. Sistem tersebut kemudian diintegrasikan. Sistem kendali terpadu ini telah diuji coba berkali-kali, tetapi pada Ahad kemarin 21/11 pelaksanaan sistem tersebut bermasalah.
Apapun alasan yang dikemukakan oleh pihak Garuda, tentunya mengandung hikmah dan pelajaran yang harus dicermati oleh semua pihak. Keterlambatan saat kepulangan smartHAJJ tahun lalu pun telah terjadi, dan kini terulang kembali. Imbas dari peristiwa tersebut –tentunya- menimbulkan efek domino bagi sebagian pengelola haji yang mengalami keterlambatan. Benar, bahwa Pihak Garuda akan memberikan fasilitas (mengganti cost) untuk akomodasi, tetapi –tanpa mengecilkan ikhtiar Garuda- apakah akomodasi yang diberikan sesuai dengan standar yang dibangun tuk menciptakan kenyamanan bagi smartHAJJ (?). Belum lagi dengan pembangunan ‘rasa’, yang mustahil dipungkiri akan dialami oleh para jemaah haji. Waktu yang tergadai, dan semua aspek yang meliputinya.
Meminta maaf biasanya lebih mudah dari memberi maaf. Karena -biasanya- tekanan batin pemaaf lebih cenderung bersikap pasif dengan ungkapan “ya sudah lah…”, berbeda dengan peminta maaf yang cenderung ‘bebas’ setelah melontarkan ‘maaf-nya’.
Namun, dari semua itu. Kami mencoba tuk meyakinkan diri, bahwa dari ragam unpredictable ini, terdapat skenario besar untuk membumikan konsep mabrur dengan “Keep the Faith” nya jemaah haji. Kesucian diri harus terus berlanjut, menahan segala pikiran negative atas segala ketidaknyamanan yang dirasa. Tanpa ber-apologi, kami –sekali lagi- meyakinkan diri, bahwa semua ini adalah benturan dan ujian yang harus dan akan terus kita temukan setelah tapak suci berjejak di ranah haji.
Bagaimana pun, Garuda Indonesia telah banyak memberikan kontribusi bagi pelayanan tamu suci, karenanya tak bijak, jika semua tangan mengarahkan pada kebobrokan maskapai kebanggaan Indonesia ini dengan berlebihan. Kita hanya berharap, semoga peristiwa ini menjadi pelajaran yang berarti untuk Garuda Indonesia. Sehingga tidak cukup dengan mental peminta maaf tanpa implementasi di kemudian hari.