Mungkin ketika tema diatas terbaca. Maka apa yang ada dalam benak Anda adalah daya pikir yang jauh terbang menuju pemahaman absolut sesungguhnya, yakni tentang Dzat Mutlak yang hanya milik Allah SWT. Tetapi, sesungguhnya saya menarik segi absolut diatas dari segmentasi lain yang lebih membumi tentang kehidupan sosial (hubungan antar manusia). Secara definitif, absolut bermakna mutlak. Ada arti positif dan negatif dalam dua sisi bidang yang berbeda. Contohnya yang mengandung arti absolut negatif dalam pemerintahan, adalah seorang pemimpin negara yang diktator. Adapun absolut yang digunakan dalam bidang matematika, yakni untuk menyatakan nilai absolut, memiliki makna positif. Kedua bidang yang berbeda itu, membuat pemahaman absolut menjadi terbelah antara positif dan negatif. Tetapi saya tegaskan kembali, bahwa yang akan dibahas dibawah ini adalah absolut berkonotasi negatif.
Penjajahan yang paling sempurna dalam kehidupan, sesungguhnya adalah pola pikir dari setiap orang yang berada dalam sebuah komunitas. Yang berhasil menakut-nakuti, serta membatas-batasi dirinya sendiri dengan ketakutan hasil dari buah pikirnya. Saya memberikan contoh ringan, ketika orang takut akan setan, maka ketika berada dalam kubangan rasa takut, ia seolah berfantasi mengenai setan dalam alam pikirnya. Begitu-pun dalam sistem feodalisme, ketika pelayan takut untuk menghadapi majikan saat berhadapan dengan tuannya, maka rasa takut itu dihinggapi karena daya pikir yang terlalu mencekam akan sifat tuannya. Begitu seterusnya, dibalik semua aktivitas, terdapat pola pikir yang beragam.
Pada tingkat tatanan masyarakat kuno, manusia selalu terbagi atas perbedaan-perbedaan melalui ras, golongan darah biru, status sosial, keturunan dan bahkan jabatan. Sehingga aspek absolut dalam diri menjadi semakin meningkat untuk berpotensi “Merendahkan” manusia lainnya. Sehingga yang terpikir hanyalah bagaimana menyelamatkan eksistensi diri dalam menghadapi segala hal yang kan terjadi. Lalu, bagaimana dengan kondisi masyarakat modern sekarang (?)
Sebagian kecil, justru komunitas masyarakat kita, kini menampung paham-paham ‘neo-feodal’ yang meliputi pola pikir dan mentalnya. Hingga akhirnya masyarakat kembali dihantui pada mimpi buruk masa lalu dengan mengumandangkan “euforia” bangsa kuli, kaum kere, yang hanya bertugas harus patuh dan manut apa kata juragan atau kaum ndoro-ndoronya. Secara sadar maupun tidak, kini mereka mendelegitimasi dirinya sendiri-sendiri dengan menciptakan tembok buatan yang membatasi pikirannya masing-masing. Tentu, hasil dari pikiran itu akan membuat mental menjadi pasrah, tak berdaya, orang kecil, bukan penguasa, sudah suratan takdir dll.
Itulah yang saya maksud dengan penjajahan absolut pada kehidupan kita saat sekarang. Dimana pola pikir telah membelenggu setiap karya hidup yang seharusnya tereksplor, dan membentuk mental yang mudah tergoyahkan oleh masalah yang terjadi. Sehingga, saya boleh memilih untuk tidak menjadi “absolut” guna menghindari potensi mental neo-feodal bagi orang lain, yang –rasanya- telah menjamur dikalangan kita.