Dalam dunia bisnis, atau pada ruang kehidupan lain, banyak ungkapan yang menyebutkan bahwa ketika pohon berkembang dan menjulang tinggi, maka angin pun akan semakin kencang berhembus. Ujian, cobaan akan silih berganti menerpanya, selain menguji kekuatan batang, angin pun mencoba mengangkat akar-akar kuat yang mencengkram bumi. Tidak salah banyak penerimaan secara pasti, ketika sebuah perusahaan diguncang beragam badai, maka kalimat pasrah yang mengkiaskan suatu alamiyah jika perusahaan semakin besar maka wajarlah jika banyak yang ingin mengguncangnya. Sehingga, apatis dan pasrah kerap terlontar dari kondisi yang ada. Atau istilah lain yang sering kita dengar, di pukul wajah sebelah kiri, kita kasih wajah sebelah kanan. Tidak ada sama sekali perlawanan untuk menghentikan badai tersebut, karena tokh itu suatu alamiyah yang biasa terjadi pada suatu perusahaan yang sedang melesat. Atau karena saking lembutnya hati, sehingga enggan tuk melakukan perlawanan atau bahkan pertahanan. Padahal Islam tidak mengajarkan seperti itu, bukankah membela dan melawan kenistataan demi mempertahankan harga diri, harta dan jiwa adalah sebuah kewajiban yang harus ditegakkan (?) Bukankah melawan sebuah serangan merupakan hal yang dicontohkan oleh para tentara Allah (?)
Yah, seperti itulah kondisi real perjuangan dalam dunia kerja. Bukan hanya persaingan, penghancuran dan penjegalan, bahkan pembunuhan karakter terhadap masing-masing individu pun kerap dilakukan guna memuluskan ambisinya. Terlebih jika dilakukan karena dendam kesumat terhadap seseorang yang ia benci karena cinta mati. Ia akan habis-habisan menyerangnya, dari celah dan lubang semut sekalipun. Setahun, dua tahun bahkan sampai 3 tahun ia simpan dendam itu guna membuat strategi penghancuran. Menyerang melalui fitnah-fitnah murah, sms-sms gelap agar mendapat simpati dan dukungan manusia lain tuk mencabik-cabik bangunan itu. Mengaku terdzolimi, namun dendam kuasai hati. mengaku terdzolimi, namun jiwa tak berasa. Itulah korban cinta, fakta pun diputar balik. Setelah cinta tak teraih, nestapa pun yang beralih. Duhai merananya, hidup disibukkan oleh strategi dendam yang kesumat. Tercampak dari keluarga, tertendang dari rekan, dan kini bergabung tuk membalas dendam dari kasus yang dipendam.
Jika saja ‘kartu truf’ itu terbuka, maka akan lebih sakit penderitaan yang ia rasa. Tapi biarlah kartu itu terbuka mengikuti apa yang akan mereka rancang. Terlebih semua orang tahu bagaimana thabiat dan watak sosok wanita ‘terhormat’ itu sebelum ditendang di sebuah komunitas negeri.
Serangan bertubi-tubi ia lesakkan guna menghancurkan stabilitas kami, memecah-belah dan menyerang individu lemah diantara kami. Namun tetap benteng kokoh itu tak kan pernah runtuh hanya oleh dendam kesumat yang membabi buta. Hanya karena cinta yang tak berbuah, ia rela menghinakan dirinya sendiri, menghancurkan keluarga dan makhluk lainnya.
Bagi jiwa yang lemah, maka tipudaya-nya kan mudah memalingkan rasa. Karenanya hanya kebersamaan dan kesolidan team yang bisa menahan gejolak badai yang mereka hembuskan. Biarlah ia menjadi wanita yang hanya mengendap dendam karena cintanya. Benci karena teramat merindukan rasa yang tergadai.