Profesor Riset Astronomi-Astrofisika LAPAN dan Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI, Thomas Djamaluddin memastikan 1 Syawal 1431 H jatuh tepat Jum’at, 10 September 2010. Menurut dia, pada Rabu malam, posisi bulan sudah berada di bawah ufuk. “Insya Allah satu Syawal jatuh pada Jumat 10 September, karena pada 8 September bulan masih di bawah ufuk, sehingga semua kriteria belum masuk awal Syawal,” kata Djamaludin. Ia juga memperkirakan sejumlah ormas Islam akan menghasilkan kesimpulan yang sama. Asumsinya, papar dia, penetapan 1 Syawal didasari dengan penetapan hari pertama puasa. Pada saat menentukan hari pertama puasa, lanjutnya, sebagian besar ormas Islam sepakat pada hari yang sama. Oleh karena itu, secara otomatis perayaan hari Idul Fitri juga sama.
Meski demikian, Djamaluddin mengakui adanya kemungkinan perbedaan pada sejumlah ormas Islam dalam menetapkan 1 Syawal. Perbedaan itu disebabkan penggunaan metode yang diyakini. Jamaah An-Nadzir misalnya, papar dia, menggunakan metode perhitungan yang didasarkan pada penentuan awal bulan dengan menghisab atau mengamati bulan sejak purnama tua dan pasang air laut yang terbesar. Dia juga menyebut jamaah Tariqat Satariyah, Naqsabandiyah Padang, dan Naqsabandiyah Kholidiyah Jombang menggunakan rukyat dengan mata hati dan didukung oleh hisab lama yang bersifat urfi (bulan berselang seling 30 dan 29 hari, Ramadhan selalu 30 hari). “Saya tidak menyalahkan metode yang digunakan melainkan metode itu butuh penyempurnaan melalui data-data astronomis,” kata dia.
Ketika disinggung, apakah perbedaan metode itu bisa diselaraskan, Djamaluddin mengatakan perbedaan metode bisa diselaraskan dengan dasar tujuan yang sama yakni melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT. “Mestinya tidak ada niat untuk menonjolkan ego kelompoknya. Memang dalam pertemuan tersebut saya menyimpulkan tidak tampak adanya ego kelompok, tetapi semata-mata ingin menyempurnakan ketaatan yang diyakininya. Kalau begitu, pasti ada titik temu yang bisa kita upayakan untuk menyamakan persepsi,” paparnya.
Kesamaan persepsi itu, kata dia, selanjutnya bisa diterapkan dalam kerangka sistem kalender yang mapan, yang bisa digunakan untuk kegiatan muamalat sehari-hari dan dalam kegiatan ibadah. “Suatu sistem kalender akan mapan bila terpenuhi tiga syarat yakni adanya batasan wilayah keberlakukan (nasional atau global), Adanya otoritas tunggal yang menetapkan dan adanya kriteria yang disepakati,” pungkasnya.
(Sumber: www.republika.co.id)