Best For Last

Berbuat baik sebelum segalanya berakhir, adalah pertanda manusia visioner yang selalu mengedepankan aksi sebelum sesuatunya hancur tak bermakna. Salah satu hikmah kenapa kematian dirahasiakan adalah memberikan pilihan manusia agar selalu melakukan yang terbaik setiap hal yang dikerjakannya. Karena ia tidak tahu kapan kematian itu menyapa langkahnya. Kapan, dimana dan sedang apa ia menghembuskan nafasnya. Kematian itu adalah gerbang pertama manusia menghadapi masa depan abadinya. Sebab melakukan yang terbaik sebelum ajal tiba adalah satu pilihan tuk men-genggam kunci kenikmatan abadi di kampung akhirat.

Dikisahkan seorang lelaki kaya ingin bunuh diri karena kehidupan dan hartanya gagal membuat ia bahagia. Semua yang ia hasilkan dari jerih-payahnya seolah memusuhi dan menjadi faktor utama dalam merusak segala kebahagian hidup. Hidupnya terasa sesak dengan segala problematika yang ia ciptakan sendiri. Istrinya terasa semakin jauh dan melelahkan berhadapan dengannya, masalah kecil selalu menjadi ‘perang besar’ dengan bumbu teramat pedas tuk diucapkan.

Gagal dalam mendidik buah hati, anak-anaknya semakin terasa durhaka dan tiada hormat kepadanya. Setiap saat selalu muncul masalah dikarenakan ulah sang anak. Perkelahian, tawuran, hingga terjerat kasus narkoba. Semuanya menjadi sangat menyakitkan, terlebih mereka –sesungguhnya- adalah asset yang paling indah dalam kehidupannya. Di lingkungan kantor, ia tidak lagi dihormati, karena –memang- ia jarang pula menghormati atasan maupun bawahannya. Tertekan dengan suasana yang menghimpit dada, ia tak kuasa tuk menjalani kehidupannya lagi. Ia lebih memilih untuk segera mengakhiri hidupnya, namun sebelum waktu eksekusi itu dilaksanakan, ia ingin yang terakhir kalinya mengadu ke salahsatu ustadz terpandang di desanya.

Dengan sedikit tergesa, ia menceritakan keinginan untuk membunuh dirinya kepada sang ustadz. Dengan sangat detail ia juga menceritakan semua alasan untuk sebuah niatan besar dalam hidupnya itu, mengakhiri dirinya. “Bagaimana Ustadz, saya sudah letih, tidak tahan dengan semua kehimpitan ini, bisakah ustadz memberikan cara mengakhiri hidup namun tetap dalam koridor khusnul khotimah” (happy ending).

Dengan bijak sang Ustadz memahami kondisi dia, dan mengganggukan keinginnannya. Setelah itu ia mohon izin ke belakang untuk membawakan obat atau racun untuk diminum oleh si lelaki yang sudah ngebet mengakhiri hidupnya dengan paksa. “Ini saya bawakan racun ter-keras di kota ini, minumlah”, seru Sang Ustadz dengan membawa botol kecil berwarna putih dengan penutupnya. Tanpa menunggu lama-lama, si lelaki langsung menegaknya sampai habis.

“Karena unik dan kerasnya racun ini, maka efeknya akan timbul setelah 24 jam dari sekarang. Maka, jika kau ingin khusnul khotimah, mati dalam keadaan baik, selamat atau happy ending, maka lakukanlah kebaikan sekecil apapun dengan sempurna, lakukan yang terbaik, karena kematian mu akan tiba esok hari tepat jam 8 pagi ini”, seru sang ustadz dengan serius ke lelaki yang akan menghadapi kematian ini. “Baiklah ‘Stadz, terimakasih, saya mohon izin pulang”. Jawabnya dengan sedikit lemas.

Selama diperjalanan menuju rumah, semua yang ada dalam pikirnya menerawang dan mengingat apa yang terjadi sejak ia kecil. Memorinya terus merayap kepada sosok-sosok yang telah mengisi kehidupannya selama ini. Ia menjadi ingat pada kakek-neneknya yang sudah belasan tahun meninggal. Ia juga mendadak ingat ketika kakeknya marah dan memukul kakinya dengan sejadah karena susah dibangunkan untuk sholat subuh. Hingga terus menerawang ingatannya menuju kenyataan yang ia hadapi saat ini.

Setiba di rumah, ia langsung menemui istrinya dan memeluknya erat. Seraya kaget, sang istri terperanjat “Ada apa seh!” Tanya istrinya dengan ketus. Karena memang sudah lama mereka tak pernah bersua dengan mesra. “Mah, maafkan papah. Selama ini papah tak pernah merhatikan mamah, papah gak peduli dengan perasaan yang mamah rasakan. Papah minta maaf sayang, mungkin hari ini adalah hari terakhir papah memeluk dan melihat mamah, maafkan papah sayang”.

Kontan saja dengan ketulusan itu, sang istri yang awalnya merasa heran, kini malah lebih meledak akan tangisannya yang masih dalam pelukan suaminya. “Maafin mamah juga Pah, mamah yang gak bisa buat papah bahagia di rumah, mamah banyak nuntut ke papah, banyak maunya, maafin mamah yang belum bisa jadi istri sholehah pah, maafin mamah”, tangisnya meledak dalam hangatnya cinta suci.

Setelah saling memaafkan, lelaki yang nyawanya kian habis termakan detik waktu itu, segera menghampiri anak-anaknya. Memeluknya dengan sangat erat, airmatanya mengalir dengan deras, seolah enggan tuk melepas dari sentuhan kulit orang yang ia sayangi. Bertubi-tubi ia menciumi kening, wajah dan kepalanya. Semakin erat cengkraman tangannya memeluk, jangankan ditinggalkan, meninggalkannya pun tak kuasa ia hadapi. Sayangnya teramat besar, terlebih ia telah lama menyia-kan anak-anaknya tanpa pendidikan baik dalam rumahtangga. Kesedihan yang mendalam teramat ia rasakan, saat maut kan segera menjemput dengan meninggalkan mereka seperti kondisi sekarang.

Lama ia mendekap anak-anaknya seraya enggan melepaskannya. Persis yang dilakukan ibunya. Si anak, yang awalnya kaget kini tenggelam dengan tangisan airmata, bersatu dengan hangatnya cinta ayah dan anak.

Dalam sisa waktunya ini, ia enggan tuk melepas sesuatu dari mulutnya terkecuali dzikir dan perkataan baik kepada setiap orang yang akan ditemuinya. Meski enggan tuk melangkah dan berangkat kantor yang terakhir kalinya dalam hidup, karena masih kurang cukup waktu perjumpaan terakhirnya dengan keluarga tercinta.

Ia berjalan dengan segala kerendahan, menyapa setiap orang yang dilaluinya, dan memperbanyak sedekah. Semuanya ia kerahkan demi Best for Last yang sudah di depan mati. Melakukan –sekuat tenaga- apa yang terbaik pada detik-detik kehidupannya. Setelah melakukan kebaikan dengan totalitas yang terbangun dari hati, dengan cepatnya ia mendapatkan keindahan hidup yang sesungguhnya. Keluarganya kembali dalam dekapan romantisme hidup, lingkungan kerjanya menjadi orang-orang yang sebaliknya memberikan kebahagiaan kepadanya, tetangganya dan semua orang menjadi sangat bersahabat dengannya.

Hingga tibalah satu jam waktu yang ditentukan, waktu obat itu akan segera bereaksi dan mematikan rasa. Ia terlanjur bergairah dengan kehidupan barunya, ia kembali bergegas menuju rumah ustadz untuk meminta penawar obat yang telah ia tegak kemarin. Ia masih ingin berbuat baik sebelum segalanya berakhir.

Best for Last, demikianlah kisah seorang yang secara yakin hari kematiannya akan segera tiba. Kebaikan demi kebaikanlah yang akan ia perbuat. Meski ia tak sadar bahwa yang ia minum itu –sebenarnya- adalah air putih biasa. Namun ketika hati dan pikirnya telah terbentuk pada suatu keyakinan bahwa kematiannya akan segera tiba, maka semua prilaku dengan sangat cepat merubah apa yang biasanya ia kerjakan.

Best for Last menjadi sebuah keniscayaan akan sebuah pilihan hidup. Now or never, kerjakan kebaikan sebaik mungkin, sekarang atau tidak selamanya.

So’ menghadapi Grand Manasik kali ini, Cordova menyongsong tema “Best For Last” dengan sebuah tujuan bahwa kita jadikan pengabdian dan peribadahan haji ini, seolah yang terakhir dari kehidupan kita.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *