Berkarya Dengan Hati

“Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta” –Cordova Founding Father-

Setiap kita –tentunya- pernah merasakan bagaimana langkah hidup tersendat hanya karena tiada ‘move’ dalam dirinya. Tak ada rasa tuk melanjutkan hamparan medan yang menghadang. Seperti filosopi sepeda yang kan terjatuh kala berhenti dalam putaran jeruji rodanya. Seperti bumi yang kan hancur ketika porosnya tak berfungsi untuk diputar dan memutarinya. Semisal ka’bah yang tak kan pernah berhenti dari putaran thawaf sebelum segalanya musnah. Begitulah ternyata langkah manusia. Fitrahnya terus bergerak dan bergerak, melangkah dan meloncat, menari dan ber-ritme. Terkecuali saat jasad terkujur kakulah ia kan berhenti dari segala pergerakan raga.

Hidup untuk bekerja dan berkarya, melangkah dan bergerak adalah bukti dari kerja dan proses berkarya. Namun terkadang semua itu menemui titik dimana segala komponen berhenti dari jalur alami manusia, sedang ia masih kokoh berdiri hidup dengan kenyataannya.

Suatu saat, saya bercerita pada sosok yang menjadi guru sekaligus orangtua kami di Cordova. “Saya benar-benar stuck dalam berkarya, tidak produktif dalam bekerja”, layaknya gerobak sayur yang mogok ditengah jalan, padahal banyak manusia di Pasar yang sudah menunggu kedatangannya. Atau ibarat pisau yang tumpul, tidak bisa digunakan untuk kepentingan apapun. Saya benar-benar menjadi ‘thing’ yang mudah dan kapan saja di ‘campakkan’ ke sebuah tempat yang teramat rendah.

Merosotnya gairah dan spirit saya menjadi penghambat aliran ‘rizki’ yang kan mengalir pada mulut-mulut mungil penerus estafeta hidup. Bahkan bukan hanya mereka yang berada di rumah, imbasnya –bisa jadi- mengganggu derasnya ‘aliran’ ke puluhan bahkan ratusan jiwa yang menanti hasil proses karya kami. Karena –memang- kami adalah satu yang bersinergi. Satu terhambat, semuanya kan merasakan dampak hambatan tersebut. Itulah sebuah team yang kami pelajari di Cordova.

Mati sebelum ajal. Berhenti ditengah jalan, dan lembut sebelum menjadi bubur. Saat itulah adigium diatas terasa menjadi semacam pelita ditengah gelapnya malam. “Jika pikir bekerja, pasti ada lelahnya. Namun jika Qolbu yang bekerja, tak pernah cukup tinta menggurat lembar karya yang tercipta”. Kalimat itulah yang –sejatinya- menjadi pengobar jiwa tuk kembali menyuntikan rasa menghadapi kenyataan yang ada.

kita bisa sedikit membedakan apa yang dikatakan dengan bekerja keras, bekerja cerdas, dan bekerja ikhlas. Yah’ bekerja keras selalu berorientasi dengan kerjaan fisik yang mudah melelahkan, begitupun dengan bekerja cerdas, meski positif dan menghasilkan lebih dari apa yang mereka kerjakan total dengan fisik. Namun terkadang akan selalu menghadapi titik lelah dalam berfikir. Tetapi dengan kerja ikhlas yang terlahir dari hati, ia akan selalu menempatkan kerja dan karyanya sebagai bagian dari kewajiban ibadah kepada Rabb-nya. Sehingga menjalaninya dengan penuh tanggungjawab, penuh konsentrasi, dan penuh dengan pengabdian.

Jika dirumuskan, mungkin bisa seperti ini; Bekerja keras itu menghasilkan, bekerja cerdas itu melipatgandakan, dan bekerja ikhlas itu menentramkan.

Karena segala sesuatunya bermula dari hati yang menjadi komandan setiap aksi gerak manusia.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *