Jika ingin mabrur, jangan takabur, perbanyaklah syukur. Ungkapan itu sangat relevan bagi setiap muslim, terlebih untuk calon jemaah haji yang akan segera menuju Tanah Suci. Karena mabrur merupakan puncak kebaikan yang meliputi seluruh amal sholeh, termasuk syukur. Mungkin kita sering mendengar bahwa manusia harus bisa bersyukur dalam hidup ini. Namun, bersyukur tidak hanya sesuatu yang wajib dilakukan oleh mereka yang memiliki iman, tetapi juga syukur sebagai alat pembuka rezeki dan nikmat yang berlimpah. Seperti yang dijanjikan Allah dalam firman-Nya “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berjanji kepadamu; Sesungguhnya jika kamu bersyukur, PASTI kami akan menambah ni’mat-Ku kepadamu” (QS. Ibrahim:7). Bersyukur bukan sekedar kata-kata, syukur adalah sebuah rasa terimakasih dan penghargaan yang mendalam atas sebuah pemberian dari Dzat Maha Kuasa. Karena bersyukur itu bukan sebuah konsep anyar, maka artikel ini hanya akan sedikit menggambarkan betapa syukur memiliki nilai yang sangat penting dalam setiap etape perjalanan hidup. Selain itu, artikel ini juga akan sekilas menuangkan tentang persepsi ‘syukur’ yang sederhana. Syukur yang akan membuka pintu rezeki dan anugerah yang lebih besar lagi. Syukur yang tiada henti, akan menciptkan suatu sistem ‘panen rezki’ yang sulit diperkirakan darimana munculnya.
Tentang syukur, banyak dikalangan kita yang memahami perasaan syukur dengan terbalik. Jika kita bersyukur karena telah mendapatkan atau mengalami sesuatu yang menyenangkan, itu sangat wajar, sebab semua orang mampu melakukan hal itu. Syukur yang dijanjikan Allah akan mendapat balasan rezeki yang berlimpah adalah rasa syukur akan apapun yang diberikan-Nya dalam semua situasi dan kondisi. Tidak peduli apakah hujan, angin, badai, guntur, banjir, kemarau. Sehat, sakit, sedih, senang. Segala suasana, setiap situasi, apapun yang terjadi. Bila kita merasa bersyukur saat itu, maka hal demikian adalah pertanda Allah menerima kesuksesan kita sembari menanti rezeki yang lebih besar.
Kegiatan syukur tak akan pernah surut hingga ruh meregang atas raga. Aktivitas itu hanya akan berhenti disaat semua yang dirasa telah hilang. Eleman yang menghidupkan manusia dalam segala hal adalah sesuatu yang selalu luput dari rasa syukur. Bisa jadi ia enggan mengucapkan syukur hanya lantaran merasa hidupnya sulit, tiada harta, makan pun sedapatnya. Tetapi ia lupa, bahwa udara yang ia hirup masih masuk dalam rongga nafasnya. Ia lupa bahwa beratus bahkan beribu kali ia harus mengedipkan mata dalam sehari. Ia pun khilaf, bahwa kakinya masih bisa menegakkan tubuh untuk berjalan kemana ia mau. Rezeki yang melekat dalam diri kita lah yang selalu luput dari perhitungan kita. Sehingga mata selalu mengawas pada rezeki yang didapatkan dari ‘luar’.
Sebelum segalanya berakhir, tiada yang pantas bagi setiap hamba selain ungkapan syukur atas segala nikmat yang didapat. Firman Allah; “Dan jika kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitung-nya” (QS. Ibrahim: 34). So’ before the last Syukur, kita hiasai bersama desah nafas ini dengan rasa syukur yang tiada henti kepada-Nya.