Atas Nama Kualitas

Manusia berkualitas adalah manusia yang menghargai segala yang terjadi dalam kehidupannya. Kualitas diri mencerminkan daya pikir yang smart untuk tidak angkuh dalam setiap interaksi. Tidak lantas ‘mentang-mentang’merasa dalam kelas yang beda, ia layak disanjung, di junjung dan di berlakukan laiknya pejabat kakap. Sungguh tragis menyaksikan polah manusia dewasa ini, dimana praktik pengokohan diri kerap disematkan oleh dirinya, hanya karena memiliki ruahan harta yang dipastikan akan hilang jua ditelan bumi. Saat ini, bukan ilmu dan attitude lagi yang akan menjadi sample penghargaan manusia, tetapi semakin banyak orang yang memilih harta dan jabatan sebagai media penghargaan. Atas nama kualitas diri, atas nama harta yang dimiliki, manusia yang memiliki sifat angkuh itu akan berdiri tegak menyaksikan ‘kehebatan’ dirinya, seraya memandang rendah segala yang dilakukan manusia lain. Semoga sifat seperti itu, tak kan pernah ada pada sosok haji yang pernah merasakan perjalanan di lembah suci. Karena, edukasi diri dalam penyucian hati menjadi prioritas perjalanan haji dalam meraih kemabruran.

Mari bersama untuk tidak melepas segala apa yang telah kita raih selama berhaji. Karena proses mendapat mabrur bukan hanya saat kita berada di Padang Arafah, dan melakukan segala prosesi haji dengan baik dan benar. Tetapi maintain kemabruran itulah yang justru akan membawa kita pada keselamatan dunia akhirat. Terlalu naif –tentunya- jika kita merasa telah melaksanakan haji, dengan mengeluarkan banyak harta, lantas kita berpikir telah meraih kunci surga tanpa implementasi mabrur dalam aktivitas keseharian kita.

Dengan seribu kamuflase diri, manusia kerap ingin terlihat berkualitas hanya karena merasa lebih dari segalanya. Bukannya bersyukur malah kufur akan segala pinjaman harta dan jabatannya yang sesaat. Atas nama kepatutan mendapat predikat paling hebat, tak lagi lazim dimiliki disaat bumi sudah penat dengan keangkuhan manusia yang lambat laun akan musnah jua. Tak patut rasanya bersombong diri, lantaran mati kita hanya bisa kaku sendiri, tanpa dayang, dan kerabat yang mengusung keranda kematian. Terlebih dengan membawa harta yang dibanggakannya.

Janji-janji Arafah yang mampu ‘memaksa’ diri untuk bersimbuh airmata jangan pernah kita dustakan dengan kepicikan pola pikir, kekotoran santun yang menyelinap dalam selimut kemunafikan. Mari bersama kita berhenti sejenak, mentadabburi betapa indahnya hidup dengan kebersamaan, tanpa perlu memandang kelas dan status yang kita miliki. Sehingga malaikat masih terus menjaga disaat kepulangan haji belum genap 30 hari.

Related Post

Cinta Sederhana

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *